Apa
Itu Liberalisme?
Liberalisme derivatnya
dari kata liberal yang bermakna bebas dari batasan, bebas berpikir,
leluasa dan sebagainya. Kata ini aslinya mulai dikenali pada abad ke-14 melalui
Prancis, Latinnya adalah Liberalis. Dan suffix isme yang melekat setelah kata
liberal menunjukkan bahwa “kebebasan berpikir” ini merupakan jenis kecendrungan
yang kemudian belakang hari membentuk sebuah maktab. Dari sudut pandang
etimologi, liberal dapat dilekatkan pada seseorang yang dalam
pandangan-pandangan atau perilaku beragam yang diperbuatnya ia bersikap toleran
dan ewuh-pakewuh. Dengan kata lain, ia tidak bersikap puritan dan fanatik
terhadap pandangannya sendiri. Keyakinan terhadap kebebasan pribadi. Pendapat
dan sikap politik yang menghendaki terjaganya tingkat kebebasan di hadapan
hegemoni pemerintah atau setiap institusi lainnya yang mengancam kebebasan
manusia. (Burdeau, Georges, Le Liberalisme, hal. 16)
Isaiah Berlin dalam
mendefinisikan liberalism berkata: “Aku memandang liberalisme (kebebasan) itu
tiadanya pelbagai penghalang dalam mewujudkan selaksa harapan manusia.”
(Berlin, Char Maqaleh darbare Azadi; terjemahan Dr. Muh. Ali Muwahhid, hal. 46)
Sebagaimana dari
beberapa definisi yang diutarakan di atas jelas bahwa liberalism juga seperti
terma-terma humaniora lainnya yang kurang jelas definisinya. Dan karena
liberalisme dalam tingkatan yang beragam, seperti digunakan dalam bidang
politik, ekonomi, agama, akhlak dan sebagainya. Usaha untuk memasukkan seluruh
sisi beragam pemahaman ini dalam sebuah definisi yang ketat merupakan sebuah
tindakan berani. Oleh karena itu apabila kita mau-tak-mau ingin menunjukkan
definisi liberalism maka kita harus mendefinisikannya secara umum dan global.
Sejatinya liberalisme
secara esensi berdiri di atas kredo bahwa manusia adalah bebas, namun kebebasan
ini secara praktik dibandingkan dengan kebalikannya akan menjadi jelas. Dari
sini, makna liberalisme secara sempurna dapat kita definisikan ketika
dibandingkan dengan lawan katanya; seperti dictator, pemerintahan absolut,
nasionalisme,
Sejatinya seluruh jenis
liberalism memiliki sisi-sisi common yaitu liberalisme digunakan dalam menolak
pressing kekuatan luar dengan segala bentuknya dan tujuan dari penolakan ini
adalah melontarkan kebebasan pribadi.
Secara global kita
telah mengetahui dari apa yang dimaksud dengan liberalisme; akan tetapi untuk
sampai pada kesimpulan yang jelas dan transparan, sebelumnya mari kita menengok
beberapa penggunaan istilah kebebasan yang ekuivalen dengan terma liberal dan
selayang pandang sejarah kemunculan liberalisme.
Penggunaan
Beberapa Istilah Kebebasan
Penggunaan kata
kebebasan merupakan kata umum yang digunakan untuk berbagai tujuan dan
keperluan. Ekuivalen kata kebebasan dalam bahasa Arab adalah kalimat “hurriya”
dan “ikhtiyar”. Sebagaimana padanan katanya dalam bahasa Inggris adalah
“freedom” dan “liberty.”
Mari kita lihat
penggunaan redaksi-redaksi di atas dalam al-Qur’an, terminologi teolog dan
juris.
Kalimat “hurriyah”
(ism) digunakan pada urusan-urusan berikut ini:
1. Membebaskan
(tahrir) budak atau kanis, “Wa man qatala mu’minan khatha’an fatahriru raqabatin mu’minatin.” (QS.
An-Nisa’ (4): 92)
2. Terbebas dari
ikatan dan sekat duniawi serta mensucikan diri untuk berkhidmat di jalan Allah.
Ayat “Nadhartu laka maa fii batni muharraran,” (QS. Ali ‘Imran (3): 35) adalah
tergolong dari makna bebas ini.
Kalimat ikhtiyar (ism)
derivatnya dari kata “khair” dan bermakna memilih, pilihan dan baiknya yang
dipilih memiliki hubungan niscaya, artinya orang yang memilih memandangnya
sebagai sesuatu yang baik dan ideal. Dalam terminologi teolog, ikhtiar bermakna
kekuasaan melakukan atau meninggalkan sesuatu. Dengan demikian ikhtiar
digunakan dalam dua hal:
1. Kekuasaan untuk
memilih mengerjakan atau meninggalkan yang posisinya lebih dahulu daripada
meninggalkan atau mengerjakan (sifat dzati).
2. Memilih
melakukan perbuatan atau meninggalkan (sifat perbuatan).
Dalam terminologi para
juris terdapat kalimat “khiyar” yang digunakan sebagai hak untuk membatalkan
transaksi. Khiyar ini memiliki hukum dan bagian-bagian tertentu. Dari seluruh
perkara yang telah disebutkan menandaskan tiadanya keterpaksaan yang menjadi
titik-konvergen antara dua peristilahan ini. Dan titik-seberangnya dua
peristilahan ini adalah keterpaksaan dan keharusan.
Dari Encarta Dictionary
Tools, penggunaan kata “freedom” dan “liberty” dapat kita lihat sebagai
berikut:
Kalimat freedom
(nomina) biasanya digunakan pada urusan-urusan berikut ini:
1. Kemampuan untuk
bertindak secara bebas. Sebuah kondisi yang membuat seseorang mampu untuk
bertindak dan hidup berdasarkan pilihannya sendiri, tanpa tunduk kepada segala
jenis pembatasan atau pengekangan, misalnya hidup dalam kebebasan dan kebebasan
beragama.
2. Bebas dari tawanan
penjara atau perbudakan. Bebas atau terselamatkan dari pembatasan secara fisik
atau dari tawanan, perbudakan, penjara.
3. Hak untuk
berekspresi atau bertindak secara bebas tanpa adanya pembatasan, campur tangan
atau ketakutan. Misalnya Berikan mereka kebebasan (freedom) untuk masuk tanpa
passport.
4. Hak suatu
bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri tanpa ada campur tangan, atau dominasi
dari bangsa lain (country’s right to self-rule).
5. Kondisi batin
yang tidak terpengaruh atau tunduk pada sesuatu yang tidak menyenangkan, bebas
dari rasa takut.
6. Keterbukaan
(frankness) dalam obrolan atau perilaku.
7. Freewill
(philosophy free will): Kemampuan untuk menggunakan kebebasan dan membuat
pilihan secara bebas.
Demikian juga kata
liberty (nomina), yang memang merupakan derivat liberal dari Latin, libertes,
biasanya digunakan pada hal-hal berikut ini:
1. Bebas untuk
memilih, kebebasan untuk berpikir atau beraksi tanpa pemaksaan:
2. Sinonim dengan
Freedom, bebas dari tawanan atau perbudakan.
3. Hak dasar: Hak
politik, sosial dan ekonomi yang dimiliki oleh warga suatu bangsa atau seluruh
orang. (biasanya digunakan dalam bentuk plural).
Kalau kita
memperhatikan penggunaan kata kebebasan, hurriyah, ikhtiyar, freedom dan
liberty lawan katanya adalah keterbatasan dan keterpaksaan. Di tanah air, kita
melihat seruan para proponen Liberalisme di tanah air dapat didengar dari dua
jaringan. Dari Freedom Institute dan JIL yang keduanya menjadikan liberalisme
sebagai kiblat gerakannya. Yang pertama mengusung tema liberalisme politik dan
ekonomi. Yang kedua dalam bidang pemikiran. Meski keduanya berbeda nama, tapi
terlihat dari jajaran pengurusnya, kita melihat orang-orang yang sama. Artinya
penggunaan freedom dan liberal pada tataran operasional kegiatan juga tidak
jauh berbeda.
Pokok-Pokok Liberalisme
Ada tiga hal yang mendasar dari Ideolog Liberalisme yakni
Kehidupan, Kebebasan dan Hak Milik (Life, Liberty and Property).Dibawah ini, adalah nilai-nilai
pokok yang bersumber dari tiga nilai dasar Liberalisme tadi:
- Kesempatan yang sama. (Hold the Basic Equality of All Human Being). Bahwa manusia mempunyai kesempatan yang sama, di dalam segala bidang kehidupan baik politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan. Namun karena kualitas manusia yang berbeda-beda, sehingga dalam menggunakan persamaan kesempatan itu akan berlainan tergantung kepada kemampuannya masing-masing. Terlepas dari itu semua, hal ini (persamaan kesempatan) adalah suatu nilai yang mutlak dari demokrasi.
- Dengan adanya pengakuan terhadap persamaan manusia, dimana setiap orang mempunyai hak yang sama untuk mengemukakan pendapatnya, maka dalam setiap penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi baik dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi, kebudayaan dan kenegaraan dilakukan secara diskusi dan dilaksanakan dengan persetujuan – dimana hal ini sangat penting untuk menghilangkan egoisme individu.( Treat the Others Reason Equally.)
- Pemerintah harus mendapat persetujuan dari yang diperintah. Pemerintah tidak boleh bertindak menurut kehendaknya sendiri, tetapi harus bertindak menurut kehendak rakyat.(Government by the Consent of The People or The Governed)
- Berjalannya hukum (The Rule of Law). Fungsi Negara adalah untuk membela dan mengabdi pada rakyat. Terhadap hal asasi manusia yang merupakan hukum abadi dimana seluruh peraturan atau hukum dibuat oleh pemerintah adalah untuk melindungi dan mempertahankannya. Maka untuk menciptakan rule of law, harus ada patokan terhadap hukum tertinggi (Undang-Undang), persamaan dimuka umum, dan persamaan sosial.
- Yang menjadi pemusatan kepentingan adalah individu.(The Emphasis of Individual)
- Negara hanyalah alat (The State is Instrument). Negara itu sebagai suatu mekanisme yang digunakan untuk tujuan-tujuan yang lebih besar dibandingkan negara itu sendiri. Di dalam ajaran Liberal Klasik, ditekankan bahwa masyarakat pada dasarnya dianggap, dapat memenuhi dirinya sendiri, dan negara hanyalah merupakan suatu langkah saja ketika usaha yang secara sukarela masyarakat telah mengalami kegagalan.
- Dalam liberalisme tidak dapat menerima ajaran dogmatisme (Refuse Dogatism).Hal ini disebabkan karena pandangan filsafat dari John Locke (1632 – 1704) yang menyatakan bahwa semua pengetahuan itu didasarkan pada pengalaman. Dalam pandangan ini, kebenaran itu adalah berubah.
Dua Masa Liberalisme
Liberalisme adalah sebuah ideologi yang mengagungkan kebebasan. Ada dua macam Liberalisme, yakni Liberalisme
Klasik dan Liberallisme Modern. Liberalisme Klasik timbul pada awal abad ke 16.
Sedangkan Liberalisme Modern mulai muncul sejak abad ke-20. Namun, bukan
berarti setelah ada Liberalisme Modern, Liberalisme Klasik akan hilang begitu
saja atau tergantikan oleh Liberalisme Modern, karena hingga kini, nilai-nilai
dari Liberalisme Klasik itu masih ada.
Liberalisme Modern tidak mengubah hal-hal yang mendasar ; hanya
mengubah hal-hal lainnya atau dengan kata lain, nilai intinya (core values)
tidak berubah hanya ada tambahan-tanbahan saja dalam versi yang
baru. Jadi sesungguhnya, masa
Liberalisme Klasik itu tidak pernah berakhir.
Dalam Liberalisme Klasik, keberadaan individu dan
kebebasannya sangatlah diagungkan. Setiap individu memiliki kebebasan berpikir
masing-masing – yang akan menghasilkan paham baru. Ada dua paham, yakni demokrasi (politik) dan kapitalisme (ekonomi). Meskipun
begitu, bukan berarti kebebasan yang dimiliki individu itu adalah kebebasan
yang mutlak, karena kebebasan itu adalah kebebasan yang harus
dipertanggungjawabkan. Jadi, tetap ada
keteraturan di dalam ideologi ini, atau dengan kata lain, bukan
bebas yang sebebas-bebasnya.
Pemikiran Tokoh Klasik Dalam Kelahiran Dan
Perkembangan Liberalisme Klasik
Tokoh yang memengaruhi paham Liberalisme Klasik cukup
banyak – baik itu dari awal maupun sampai taraf perkembangannya. Berikut ini
akan dijelaskan mengenai pandangan yang relevan dari tokoh-tokoh terkait
mengenai Liberalisme Klasik.
Martin Luther Dalam Reformasi Agama
Gerakan Reformasi Gereja pada awalnya hanyalah
serangkaian protes kaum bangsawan dan penguasa Jerman terhadap kekuasaan imperium Katolik Roma. Pada saat itu
keberadaan agama sangat mengekang individu.
Tidak ada kebebasan, yang ada hanyalah dogma-dogma agama serta dominasi gereja. Pada perkembangan berikutnya, dominasi gereja
dirasa sangat menyimpang dari otoritasnya semula. Individu menjadi tidak
berkembang, kerena mereka tidak boleh melakukan hal-hal yang dilarang oleh
Gereja bahkan dalam mencari penemuan ilmu pengetahuan sekalipun. Kemudian timbullah kritik dari beberapa pihak
– misalnya saja kritik oleh Marthin Luther; seperti : adanya
komersialisasi agama dan ketergantungan umat terhadap para pemuka agama,
sehingga menyebabkan manusia menjadi tidak berkembang; yang berdampak luas,
sehingga pada puncaknya timbul sebuah reformasi gereja (1517) yang
menyulut kebebasan dari para individu yang tadinya “terkekang”.
John Locke Dan Hobbes; Konsep State
Of Nature Yang Berbeda
Kedua tokoh ini berangkat dari sebuah konsep sama. Yakni
sebuah konsep yang dinamakan konsep negara alamaiah" atau yang lebih
dikenal dengan konsep State of Nature.
Namun dalam perkembangannya, kedua pemikir ini memiliki pemikiran yang
sama sekali bertolak belakang satu sama lainnya. Jika ditinjau dari awal, konsepsi State of Nature yang mereka pahami
itu sesungguhnya berbeda. Hobbes (1588 –
1679) berpandangan bahwa dalam ‘’State of Nature’’, individu itu pada dasarnya
jelek (egois) – sesuai dengan fitrahnya.
Namun, manusia ingin hidup damai.
Oleh karena itu mereka membentuk suatu masyarakat baru – suatu
masyarakat politik yang terkumpul untuk membuat perjanjian demi melindungi
hak-haknya dari individu lain dimana perjanjian ini memerlukan pihak ketiga
(penguasa). Sedangkan John Locke (1632 – 1704)
berpendapat bahwa individu pada State of Nature adalah baik, namun
karena adanya kesenjangan akibat harta atau kekayaan, maka khawatir jika hak
individu akan diambil oleh orang lain sehingga mereka membuat perjanjian yang
diserahkan oleh penguasa sebagai pihak penengah namun harus ada syarat bagi
penguasa sehingga tidak seperti ‘membeli kucing dalam karung’. Sehingga, mereka memiliki bentuk akhir dari
sebuah penguasa/ pihak ketiga (Negara), dimana Hobbes berpendapat akan timbul
Negara Monarkhi Absolute sedangkan Locke, Monarkhi Konstitusional. Bertolak
dari kesemua hal tersebut, kedua pemikir ini sama-sama menyumbangkan pemikiran
mereka dalam konsepsi individualisme.
Inti dari terbentuknya Negara, menurut Hobbes adalah demi kepentingan
umum (masing-masing individu) meskipun baik atau tidaknya Negara itu kedepannya
tergantung pemimpin negara. Sedangkan
Locke berpendapat, keberadaan Negara itu akan dibatasi oleh individu sehingga
kekuasaan Negara menjadi terbatas – hanya sebagai “penjaga malam” atau hanya
bertindak sebagai penetralisasi konflik.
Adam Smith
Para ahli ekonomi dunia menilai bahwa pemikiran mahzab
ekonomi klasik merupakan dasar sistem ekonomi kapitalis. Menurut Sumitro
Djojohadikusumo, haluan pandangan yang mendasari seluruh pemikiran mahzab
klasik mengenai masalah ekonomi dan politik bersumber pada falsafah tentang tata susunan masyarakat yang sebaiknya dan
seyogyanya didasarkan atas hukum alam yang secara wajar berlaku dalam kehidupan
masyarakat. Salah satu pemikir ekonomi klasik adalah Adam Smith (1723-1790).
Pemikiran Adam Smith mengenai politik dan ekonomi yang sangat luas, oleh
Sumitro Djojohadikusumo dirangkum menjadi tiga kelompok pemikiran. Pertama,
haluan pandangan Adam Smith tidak terlepas dari falsafah politik, kedua,
perhatian yang ditujukan pada identifikasi tentang faktor-faktor apa dan
kekuatan-kekuatan yang manakah yang menentukan nilai dan harga barang. Ketiga,
pola, sifat, dan arah kebijaksanaan negara yang mendukung kegiatan ekonomi ke
arah kemajuan dan kesejahteraan mesyarakat. Singkatnya, segala kekuatan ekonomi
seharusnya diatur oleh kekuatan pasar dimana kedudukan manusia sebagai
individulah yang diutamakan, begitu pula dalam politik.
Relevansi Kekuatan Individu Liberalisme
Klasik Dalam Demokrasi Dan Kapitalisme
Telah dikatakan bahwa setidaknya ada dua paham yang
relevan atau menyangkut Liberalisme Klasik. Dua paham itu adalah paham mengenai
Demokrasi dan Kapitalisme.
* Demokrasi dan Kebebasan
Dalam pengertian Demokrasi, termuat nilai-nilai hak asasi
manusia, karena demokrasi dan Hak-hak asasi manusia merupakan satu kesatuan
yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya. Sebuah negara
yang mengaku dirinya demokratis mestilah mempraktekkan dengan konsisten
mengenai penghormatan pada hak-hak asasi manusia, karena demokrasi tanpa
penghormatan terhadap hak-hak asasi setiap anggota masyarakat, bukanlah
demokrasi melainkan hanyalah fasisme atau negara totalitarian yang menindas.
Jelaslah bahwa demokrasi berlandaskan nilai hak kebebasan
manusia. Kebebasan yang melandasi demokrasi haruslah kebebasan yang positif –
yang bertanggungjawab, dan bukan kebebasan yang anarkhis. Kebebasan atau
kemerdekaan di dalam demokrasi harus menopang dan melindungi demokrasi itu
dengan semua hak-hak asasi manusia yang terkandung di dalamnya. Kemerdekaan
dalam demokrasi mendukung dan memiliki kekuatan untuk melindungi demokrasi dari
ancaman-ancaman yang dapat menghancurkan demokrasi itu sendiri. Demokrasi juga
mengisyaratkan penghormatan yang setinggi-tingginya pada kedaulatan Rakyat.
* Kapitalisme dan Kebebasan
Tatanan ekonomi memainkan peranan rangkap dalam memajukan
masyarakat yang bebas. Di satu pihak, kebebasan dalam tatanan ekonomi itu
sendiri merupakan komponen dari kebebasan dalam arti luas ; jadi,
kebebasan di bidang ekonomi itu sendiri menjadi tujuan. Di pihak lain,
kebebasan di bidang ekonomi adalah juga cara yang sangat yang diperlukan untuk
mencapai kebebasan politik. Pada dasarnya, hanya ada dua cara untuk
mengkoordinasikan aktivitas jutaan orang di bidang ekonomi. Cara pertama ialah
bimbingan terpusat yang melibatkan penggunaan paksaan – tekniknya tentara dan
negara dan negara totaliter yang modern. Cara lain adalah kerjasama individual
secara sukarela – tekniknya sebuah sistem pasaran. Selama kebebasan untuk
mengadakan sistem transaksi dipertahankan secara efektif, maka ciri pokok dari
usaha untuk mengatur aktivitas ekonomi melalui sistem pasaran adalah bahwa ia
mencegah campur tangan seseorang terhadap orang lain. Jadi terbukti bahwa
kapitalisme adalah salah satu perwujudan dari kerangka pemikiran liberal.
Menelusuri Akar Pemikiran Liberalisme
Liberalisme
telah masuk ke dalam semua kelompok masyarakat manusia. Tidak terkecuali kaum
muslimin. Indonesia sebagai Negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam pun
demikian. Pengaruh liberalisme telah merasuk ke dalam semua lini kehidupan
banyak masyarakat kaum muslimin di negeri ini.
Selain
faktor internal kaum muslimin yang lemah dari sisi komitmen mereka terhadap
agamanya, terutama persoalan yang berkaitan dengan akidah, tersebarnya aliran
pemikiran liberalisme tidak lepas dari peran Barat yang sangat giat
menyebarkannya melalui kekuatan politik, ekonomi dan teknologi informasi yang
mereka miliki. Dan disinyalir, kaum muslimin adalah sasaran utama dari invansi
pemikiran ini. Karena, sebagaimana yang dikatakan oleh Samuel P. Huntington
dalam bukunya yang berjudul “Clash Of Civilization” (Benturan Peradaban),
setelah jatuhnya aliran Komunisme, maka tantangan Barat selanjutnya adalah
Islam. Menurutnya, “bahaya Islam” lebih berat dari peradaban-peradaban yang
lain seperti Cina, Jepang dan negeri-negeri Asia Utara yang lain.
Selain
itu, keyakinan Barat terhadap konsep liberal di antaranya juga diinspirasi oleh
tesis Francis Fukuyama dalam “The End Of History” (Akhir Sejarah) yang
menyebutkan bahwa demokrasi liberal adalah titik akhir dari evolusi sosial
budaya dan bentuk pemerintahan manusia.
Sebagai
umat Islam, tentu kita tidak ingin peradaban Islam yang di bangun diatas akidah
dan nilai-nilai agama Allah ini dirusak oleh orang-orang kafir dengan
pemikiran-pemikiran luar itu. Islam adalah agama yang sempurna dengan ajaran
yang bersumber dari wahyu Allah, Pencipta yang Mahamengetahui segala kebutuhan
makhluk-makhluk-Nya. Karenanya Islam tidak membutuhkan isme-isme dan ideologi
dari luar. Allah berfirman:
“Pada
hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al Maidah [5]:
3)
Sejarah
Liberalisme
Sejarah
kemunculan liberalisme terbentang dari sejak abad ke-15, saat Eropa memulai era
kebangkitan (Renaissance) mereka sampai sekitar abad ke-18 masehi,
setelah sebelumnya dari sejak abad ke-5, orang-orang Eropa hidup dalam era
kegelapan (Dark Ages).
Dr.
Abdurrahim Shamâyil mengatakan, “Liberalisme secara teori politik, ekonomi dan
sosial tidak terbentuk dalam satu waktu dan oleh satu tokoh pemikir, akan
tetapi ia dibentuk oleh sejumlah pemikir. Liberalisme bukan pemikiran John Luke
(w 1704), bukan pemikiran Rousseau (1778), atau pemikiran John Stuart Mill (w
1873), akan tetapi setiap dari mereka memberikan konstribusi yang sangat
berarti untuk ideologi liberalisme.”
Sejarah
liberalisme dimulai sebagai reaksi atas hegemoni kaum feodal pada abad
pertengahan di Eropa. Sebagaimana diketahui, Kristen adalah agama yang telah
mengalami perubahan dan penyimpangan ajaran. Pada tahun 325 M, Imperium Romawi
mulai memeluk agama Kristen yang telah mengalami perubahan tersebut, yaitu
setelah agama Kristen merubah keyakinan tauhid menjadi trinitas dan penyimpangan-penyimpangan yang
lainnya.
Pada
saat yang sama, sistem politik yang dianut oleh penguasa untuk memerintah
rakyatnya ketika itu adalah feodalisme; sistem otoriter yang zalim, menekan dan
memasung kebebasan masyarakat. Sistem feodal berada pada puncaknya di abad ke-9
Masehi ditandai dengan munculnya kerajaan-kerajaan dan hilangnya pemerintahan
pusat. Kaum feodal terbagi menjadi tiga unsur ketika itu; (1) intitusi gereja,
(2) kaum bangsawan dan (3) para raja. Semuanya memperlakukan rakyat yang
bermata pencaharian sebagai petani dengan otoriter, zalim dan sewenang-wenang.
Kehidupan
beragama dibawah institusi gereja juga sarat dengan penyimpangan. Tersebarnya
peribadatan yang tidak memiliki landasan dalam kitab suci dan merebaknya surat
pengampunan dosa adalah diantaranya. Paus Roma, ketika mereka membutuhkan dana
untuk membiayai aktifitas Gereja, mereka menerbitkan surat pengampunan dosa dan
menghimbau masyarakat untuk membelinya dengan iming-iming masuk surga.
Pendapat-pendapat tokoh agama pun bersifat absolut dan tidak boleh digugat.
Alquran juga menyebutkan di antara penyimpangan mereka:
“Mereka
menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain
Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka
hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah)
selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. At Taubah [9]:
31)
“Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim
Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan
batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah.” (QS. At Taubah [9]: 34)
Penyimpangan
keyakinan, ditambah dengan sistem politik otoriter inilah faktor utama yang
kemudian melahirkan pemikiran liberal. Saat masyarakat tertekan dan hidup dalam
kezaliman, muncullah reaksi yang bertujuan kepada kebebasan hidup. Hal yang
telah menjadi sunnatullah.
Kesadaran
masyarakat Eropa yang ingin bebas dari segala bentuk tekanan itu mengharuskan
mereka untuk melakukan tranformasi pemikiran. Diantara proses transformasi
pemikiran ini adalah reformasi agama. Pada akhir abad ke-15, muncul seorang
tokoh Gereja asal Jerman bernama Martin Luther (w 1546), kemudian diikuti oleh
John Calvin (w 1564), lalu John Nouks (w 1572). Mereka melakukan perlawanan
terhadap Gereja Katolik yang kemudian mereka beri nama Protestan.
Gerakan
reformasi agama yang dilakukan oleh Luther ini memiliki pengaruh besar dalam
sejarah liberalisme selanjutnya. Rumusan pemikiran Luther dapat disimpulkan
menjadi beberapa poin berikut:
- Otoritas agama satu-satunya adalah teks-teks Bible dan bukan pendapat tokoh-tokoh agama.
- Pengingkaran terhadap sistem kepausan gereja yang berposisi sebagai khalifah almasih.
- Menegasikan keyakinan pengampunan atau tidak diampuni (dari institusi geraja).
- Ajakan kepada liberalisasi pemikiran, keluar dari tirani tokoh agama dan monopoli mereka dalam memahami kitab suci, klaim rahasia suci serta pengabaian peran akal atas nama agama.
Gerakan
ini disebut sebagai gerakan liberal karena ia bersandar kepada kebebasan
berfikir dan rasionalisme dalam menafsirkan teks-teks agama.
Perlawanan
terhadap gereja dan feodalisme terus berlanjut di Eropa. Runtuhnya feodalisme
menutup abad pertengahan dan abad selanjutnya disebut dengan abad pencerahan (Enlightment).
Beberapa tokoh pemikiran muncul. Di Perancis, Jean Jacues Rousseau (w 1778) dan
Voltaire (w 1778) adalah diantara pemikir yang perannya sangat berpengaruh.
Karya-karya mereka berdua menjadi inspirasi gerakan politik Revolusi Perancis
pada tahun 1789, puncak dari perlawanan terhadap hegemoni feodal.
Namun,
gerakan yang tadinya sebagai reformasi agama, pada perkembangan selanjutnya
perlawanan terhadap gereja mengarah kepada atheisme. Para pemikir dan filusuf
Perancis rata-rata adalah para atheis yang tidak mengakui keberadaan agama.
Sejarah panjang agama Kristen dari sejak penyimpangan dan perubahan ajaran
hingga perang agama yang meletus akibat reformasi Luther memunculkan kejenuhan
yang berakibat hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap agama. Kebebasan
rasional (akal) secara mutlak akhirnya menjadi ciri utama dari gerakan ini.
Dr.
Abdulaziz al Tharify mengatakan, “Pengagungan terhadap akal semakin nampak pada
waktu-waktu revolusi. Mereka mengangkatnya dan mempertuhankannya. Sebagian
mereka bahkan mengatakan bahwa ini adalah penyembahan terhadap akal. Para tokoh
revolusi mengajak orang-orang untuk meninggalkan agama, terkhusus agama
katolik, mereka memutuskan hubungan Perancis dengan Vatikan. Dan pada tanggal
24 November 1793 M, mereka menutup gereja-gereja di Paris, merubah sekitar 2400
fungsi gereja menjadi markaz-markaz rasionalisme dan untuk pertama kalinya
digagas soal kebebasan kaum wanita.”
Intinya,
titik tolak liberalisme berangkat dari perlawanan terhadap penguasa absolut
raja dan institusi gereja yang mengekang kebebasan masyarakat.
Pengertian
Liberalisme
Secara
etimologi, Liberalisme (dalam bahasa inggris Liberalism) adalah derivasi dari
kata liberty (dalam bahasa inggris) atau liberte (dalam bahasa Perancis) yang berarti
“bebas”. Adapun secara terminologi, para peneliti mengemukakan bahwa
Liberalisme adalah terminologi yang cukup sulit untuk didefinisikan. Hal itu
karena konsep liberalisme yang terbentuk tidak hanya dalam satu generasi,
dengan tokoh pemikiran yang bermacam-macam dan orientasi yang berbeda-beda.
Dalam
al Mawsû’ah al ‘Arabiyyah al Âlamiyyah dikatakan, “Liberalisme termasuk
terminologi yang samar, karena makna dan penegasannya senantiasa berubah-ubah
dalam bentuk yang berbeda dalam sepanjang sejarahnya.”
Namun
demikian, liberalisme memiliki esensi yang disepakati oleh seluruh pemikir
liberal pada setiap zaman, dengan perbedaan-perbedaan trend pemikiran dan
penerapannya, sebagai cara untuk melakukan reformasi dan menciptakan
produktifitas. Esensi ini adalah, bahwa liberalisme meyakini kebebasan sebagai
prinsip dan orientasi, motivasi dan tujuan, pokok dan hasil dalam kehidupan
manusia. Ia adalah satu-satunya sistem pemikiran yang hanya menghendaki untuk
mensifati kegiatan manusia yang bebas, menjelaskan dan mengomentarinya.
Dr.
Sulaiman al Khurasyi mengatakan, “Liberalisme adalah aliran pemikiran yang
berorientasi kepada kebebasan individu, berpandangan wajibnya menghormati
kemerdekaan setiap orang, meyakini bahwa tugas pokok negara adalah melindungi
kebebasan warganya seperti kebebasan berfikir dan berekspresi, kepemilikan
swasta dan yang lainnya. Aliran pemikiran ini membatasi peran penguasa dan
menjauhkan pemerintah dari kegiatan pasar. Aliran ini juga dibangun diatas
prinsip sekuler yang mengagungkan kemanusiaan dan berpandangan bahwa manusia
dapat dengan sendirinya mengetahui segala kebutuhan hidupnya.
Dalam
Acodemik American Ensiclopedia dikatakan, “Sistem liberal yang baru (yang
termanifestasi dalam pemikiran abad pencerahan) memposisikan manusia sebagai
tuhan dalam segala hal. Ia memandang bahwa manusia dengan seluruh akalnya mampu
memahami segala sesuatu. Mereka dapat mengembangkan diri dan masyarakatnya
melalui kegiatan rasional dan bebas.”
Karakteristik
Liberalisme
Walaupun
liberalisme bukan terdiri dari satu trend pemikiran, namun kita dapat mengenali
aliran ini dengan karakteristik khusus. Karakter paling kuat yang ada dalam
aliran ini adalah :
- Kebebasan
Individu
Setiap
orang bebas berbuat apa saja tanpa campur tangan siapa pun, termasuk negara.
Fungsi negara adalah melindungi dan menjamin kebebasan tersebut dari siapapun
yang mencoba untuk merusaknya. Oleh karena itu, liberalisme sangat mementingkan
kebebasan dengan semua jenisnya. Kekebasan berkreasi, berpendapat, menyampaikan
gagasan, berbuat dan bertindak, bahkan kebebasan berkeyakinan adalah tema yang
mereka ingin wujudkan dalam kehidupan ini.
Kebebasan
dalam pandangan mereka tidak berbatas, selama tidak merugikan dan bertabrakan
dengan kebebasan orang lain. Kaidah kebebasan mereka berbunyi, “Kebebasan Anda
berakhir pada permulaan kebebasaan orang lain.”
- Rasionalisme
Penganut
liberalisme meyakini bahwa akal manusia mampu mencapai segala kemaslahatan
hidup yang dikehendaki. Standar kebenaran adalah akal atau rasio. Karakter ini
sangat kentara dalam pemikiran liberal. Rasionalisme diantaranya nampak pada:
Pertama, keyakinan bahwa hak setiap orang bersandar kepada hukum
alam. Sementara hukum alam tidak dapat diketahui kecuali dengan akal melalui
media indera/materi atau eksperimen. Dari sini kita mengenal aliran filsafat
materialisme (aliran filsafat yang mengukur setiap kebenaran melalui materi)
dan empirisme (aliran filsafat yang menguji setiap kebenaran melalui
eksperimen).
Kedua, negara harus bersikap netral terhadap semua agama. Karena
tidak ada kebenaran yang bersifat yakin atau absolut, yang ada adalah kebenaran
yang bersifat relatif. Ini yang dikenal dengan “relatifisme kebenaran”.
Ketiga, perundang-undangan yang mengatur kebebasan ini semata-mata
hasil dari pemikiran manusia, bukan syariat agama.
Perspektif
Islam
Dari
latar belakang sejarah liberalisme yang telah dipaparkan di atas, kita dapat
menilai bahwa liberalisme jelas sangat bertolak belakang dengan ajaran Islam.
Sejarah kemunculannya yang sangat dipengaruhi oleh situasi sosial-politik dan
problem teologi Kristen ketika itu dapat kita jadikan alasan bahwa Islam tidak
perlu, dan tidak akan perlu menerima liberalisme. Karena sepanjang sejarahnya,
Islam tidak pernah mengalami problem sebagaimana yang dialami oleh agama
Kristen. Oleh karena itu, tidak ada alasan mendasar bagi Islam untuk menerima
konsep liberalisme dengan semua bentuknya.
Apalagi
jika ditilik dari konsep pokoknya, pemikiran liberalisme sangat bertentangan
dengan ajaran Islam. Kebebasan mutlak ala liberalisme adalah kebebasan yang
mencederai akidah Islam, ajaran paling pokok dalam agama ini. Liberalisme
mengajarkan kebebasan menuruti semua keinginan manusia, sementara Islam
mengajarkan untuk menahannya agar tidak keluar dari ketundukan kepada Allah.
Hakikat kebebasan dalam ajaran Islam adalah, bahwa Islam membebaskan manusia
dari penghambaan kepada sesama makhluk, kepada penghambaan kepada Rabb makhluk.
Begitu
pun dengan otoritas akal sebagai sumber nilai dan kebenaran dalam ‘ajaran’
liberalisme. Sumber kebenaran dalam Islam adalah wahyu, bukan akal manusia yang
terbatas dalam mengetahui kebenaran. Dengan demikian, menerima liberalisme
berarti menolak Islam, dan tunduk kepada Islam berkonsekwensi menanggalkan faham
liberal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar