Selasa, 07 Mei 2013

Obesitas Dapat Diprediksi Sejak Lahir



Para ilmuwan mengatakan bahwa kesempatan seorang anak menderita obesitas dapat diprediksi sejak lahir, dengan menggunakan rumus yang sederhana. Rumus ini, sebagaimana dilansir dari BBC, merupakan kombinasi beberapa faktor yang sudah diketahui, untuk memperkirakan risiko terjadinya obesitas. Peneliti yang membuat laporan penelitian ini mengatakan bahwa dirinya berharap rumus tersebut dapat membantu identifikasi obesitas pada bayi.
Rumus yang digunakan untuk memprediksi termasuk bobot bayi saat lahir, indeks massa tubuh orang tua, jumlah orang yang ada di lingkungan rumah tangga, profesi dan ibu bayi, dan konsumsi rokok saat ibu sedang mengandung. Obesitas pada anak dapat memicu berbagai masalah kesehatan termasuk diabetes tipe dua dan penyakit jantung.
Para peneliti dari Imperial College London memeriksa 4.032 anak asal Finlandia, yang lahir pada 1986, dan dibandingkan dengan 1.503 anak asal Italia dan 1.032 anak asal AS. Para peneliti menemukan bahwa dengan melihat rumus sederhana tersebut, sudah cukup mampu untuk memperkirakan apakah seorang anak akan mengalami obesitas.
Baru-baru ini para peneliti juga menemukan bahwa faktor genetik juga memiliki peran yang besar nantinya pada masalah berat badan seseorang. Namun, hanya ada sepuluh kasus obesitas akibat mutasi genetik yang memberi dampak pada nafsu makan.
Faktor risiko obesitas memang sudah diketahui, namun baru kali ini formula yang menjadi satu rumusan ini dijadikan satu untuk memprediksi obesitas.
Pemimpin penelitian dari Imperial College London, Prof. Philippe Froguel mengatakan bahwa tindakan pencegahan bisa dilakukan sebagai strategi terbaik untuk mencegah obesitas. Sekali anak menderita obesitas, maka akan sangat sulit untuk menurunkan bobot tubuhnya kembali normal.
"Sayangnya, kampanye untuk mencegah obesitas pada anak usia sekolah dikalangan masyarakat masih kurang efektif. Namun, pemberian informasi dan pendidikan untuk orang tua mengenai bahaya pemberian makan terlalu banyak , serta nutrisi buruk pada usia muda, akan jauh lebih efektif," ujar Froguel.
Pada kesempatan yang berbeda, pakar obesitas pada anak dari Leeds Metropolitan University, Prof Paul Gately, mengatakan bahwa rumusan seperti ni akan sangat membantu untuk perubahan sikap masyarakat yang bisa memicu obesitas.
"Sekali saja kita gunakan rumus dan formula ini sebagai alat, maka kita juga membutuhkan program untuk anak-anak yang memiliki risiko tinggi terhadap obesitas," ujar dia.

Hubungan Antara Obesitas & Disfungsi Seksual
Masalah berat badan ternyata memiliki dampak terhadap kesehatan seksual. Dalam sebuah studi yang dipublikasikan secara online di British Medical Journal, para peneliti mencoba mencari kebenarannya.
Obesitas adalah salah satu pandemi yang paling cepat berkembang di zaman modern. Namun seperti apa efeknya terhadap kesehatan seksual, memang masih belum jelas benar.
Penelitian yang dipimpin oleh Profesor Nathalie Bajos, Direktur Riset di Institut National de la Sante et de la Recherche Medicale di Paris adalah studi besar pertama yang menyelidiki dampak kelebihan berat badan atau obesitas pada aktivitas seksual dan hasil kesehatan seksual, seperti kepuasan seksual, kehamilan, dan aborsi yang tidak diinginkan.
Dari hasil penelitian yang melibatkan 12.364 pria dan wanita berusia antara 18 dan 69 tahun menunjukkan bahwa wanita obesitas adalah 30% lebih kecil kemungkinannya untuk memiliki pasangan seksual dalam 12 bulan terakhir.
Sementara pria kegemukan 70% lebih kecil kemungkinannya untuk memiliki lebih dari satu pasangan seksual pada periode yang sama dan dua setengah kali lebih mungkin mengalami disfungsi ereksi.
Studi ini juga melaporkan bahwa tingkat kehamilan yang tidak direncanakan terjadi empat kali lebih tinggi pada wanita obesitas tunggal daripada wanita dengan berat badan normal, meskipun mereka menjadi kurang cenderung aktif secara seksual.
Wanita gemuk cenderung untuk meminta saran kontrasepsi atau menggunakan kontrasepsi oral. Sementara pria obesitas memiliki mitra seksual lebih sedikit dalam jangka waktu 12 bulan, tetapi lebih mungkin menderita disfungsi ereksi dan mengembangkan infeksi menular seksual daripada pria dengan berat badan normal. Demikian seperti yang dilansir Science Daily.

Penderita Obesitas Akan Gemuk Selamanya?
Salah satu hal yang menjengkelkan dari perubahan berat badan adalah kembalinya lemak dalam tubuh meski sudah melakukan diet terbaik. Peneliti lantas menemukan tampaknya obesitas seolah mematikan berat badan normal penderitanya menjadi bentuk tubuh yang permanen.
Seperti yang dilansir dari Daily Mail, peneliti tepatnya menggunakan tikus laboratorium sebagai percobaan. Mereka membuktikan semakin lama binatang kelebihan berat badan, kondisi mereka akan selamanya seperti itu. Sehingga mendapatkan tubuh ideal dan mempertahankannya seolah tidak mungkin terjadi.
"Percobaan kami menunjukkan bahwa obesitas menjadi gangguan utama memiliki berat badan ideal. Jadi lebih baik anak diajari untuk mencegah daripada merasakan dampaknya seumur hidup," tutur kepala penulis penelitian Dr Malcolm Low dari University of Michigan.
Penemuan ini kemudian memunculkan pertanyaan seberapa banyak batasan kalori yang sebaiknya dikonsumsi dan olahraga apa yang harus dilakukan demi menurunkan berat badan.
"Intinya, jika obesitas dibiarkan, tubuh akan menganggap bahwa berat badan normal seseorang itu adalah ketika dia gemuk," lanjut Dr Low.
Penelitian tersebut merupakan kolaborasi antara para ahli dari University of Michigan dan Argentina-based National Council of Science and Technology. Hasilnya pun telah dilaporkan dalam Journal of Clinical Investigation.
Obesitas memang menjadi kasus yang selalu diperhatikan para ahli. Pasalnya kondisi ini memicu berbagai macam penyakit mematikan, seperti diabetes tipe 2, hipertensi, dan penyakit kardiovaskular.

Anak Obesitas Kurang Sensitif Dalam Merasa
Selain berisiko terserang berbagai penyakit, anak obesitas juga mengalami masalah lain dalam merasa. Berdasarkan penelitian terbaru, rupanya anak obesitas kurang sensitif dalam merasa dibandingkan dengan anak yang berat badannya normal.
Seperti yang dilansir dari Telegraph (20/09), peneliti mengujicoba anak obesitas berusia 6-18 tahun. Mereka diminta merasa lima jenis sensasi berbeda. Hasilnya, jawaban yang mereka berikan ternyata kurang begitu akurat.
Penelitian yang telah dilaporkan dalam jurnal Archives of Disease in Childhood ini menyebutkan rasa asin, gurih, dan pahit paling sulit diidentifikasi anak obesitas. Anak dengan berat badan berlebih itu juga tidak mampu merasakan sensasi manis dengan lebih baik daripada anak yang normal.
Penelitian sebelumnya menunjukkan kalau kepekaan indra perasa yang meningkat dapat membantu mengurangi jumlah makanan yang dimakan. Namun adanya penelitian ini akhirnya membuat anak obesitas seolah semakin sulit menurunkan berat badannya.
Penelitian ini dilakukan oleh para ahli dari Jerman. Mereka melibatkan 99 anak obesitas dan 94 anak dengan berat badan normal.
Secara lebih detail, mereka diberi kertas filter yang telah diberi konsentrasi lima rasa yang berbeda ditambah dua kertas kosong lainnya. Kertas perasa diletakkan di lidah dan mereka ditanyai rasa apa yang mereka jilat.
Selain kurangnya sensitivitas anak obesitas, peneliti juga menemukan anak perempuan dan yang berusia lebih tua lebih baik dalam menentukan rasa kertas tersebut.

Ibu Hamil Yang Merokok Tingkatkan Risiko Obesitas Pada Anak
Ketika sedang hamil, wanita memang disarankan untuk menghentikan kebiasaan merokok. Sebab selama ini merokok di masa kehamilan sering dikaitkan dengan kelahiran prematur. Bukan hanya itu, penelitian terbaru bahkan menyebutkan ibu hamil yang merokok mampu meningkatkan risiko obesitas pada anak.
"Memang ibu hamil yang merokok bisa memicu kondisi jangka panjang bayi, yaitu obesitas. Namun fenomena yang mendasari hal itu belum diketahui," terang peneliti Dr Amirreza Haghighi dari Hospital for Sick Children, Toronto, Kanada seperti yang dikutip dalam Daily Mail (04/09).
Merokok saat hamil di sini maksudnya adalah menghisap lebih dari seputung tembakau setiap hari pada trimester pertama. Padahal wanita sebenarnya sudah diperingatkan untuk tidak merokok bahkan satu tahun sebelum mereka mengandung.
Penelitian yang dilakukan ini melibatkan 378 orang remaja berusia 13-19 tahun yang kebanyakan ibu mereka merokok ketika hamil. Memang saat dilahirkan, bayi dari ibu hamil merokok cenderung lebih kecil. Namun dalam jangka panjang, BMI (body mass index) anak-anak tersebut perlahan meningkat.
Peneliti juga mencatat hal penting mengenai scan otak remaja yang ibunya merokok selama kehamilan. Mereka menemukan remaja tersebut memiliki volume bernama amygdala yang lebih rendah. Amygdala sendiri berperan dalam pengolahan dan penyimpanan emosi serta ingatan.
Sebagai bagian dari otak, amygdala tampaknya memiliki peran dalam membatasi asupan lemak. Sehingga peneliti menduga jika volume amygdala menurun, asupan lemak menjadi naik.
Dr David Haslam dari National Obesity Forum di Inggris yang tidak terlibat dalam penelitian pun ikut angkat bicara mengenai masalah ibu hamil yang merokok ini. Ia menyarankan pola hidup sehat dengan diet tepat sebaiknya dijalankan oleh para ibu hamil.
"Ibu hamil sangat dianjurkan memberikan yang terbaik untuk anaknya. Misalnya saja merokok. Kebiasaan itu justru 'menghidupkan' gen yang buruk pada anaknya," tegas Dr Haslam.

Sumber : www.antaranews.com, www.okezone.com, www.merdeka.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar