Perjanjian Giyanti
adalah kesepakatan antara VOC,
pihak Mataram
(diwakili oleh Sunan Pakubuwana III), dan kelompok Pangeran Mangkubumi.Kelompok. Pangeran
Sambernyawa tidak ikut dalam perjanjian ini. Pangeran Mangkubumi demi
keuntungan pribadi memutar haluan menyeberang dari kelompok pemberontak
bergabung dengan kelompok pemegang legitimasi kekuasaan memerangi pemberontak
yaitu Pangeran Sambernyawa. Perjanjian yang ditandatangani pada bulan 13
Februari 1755 ini secara de facto dan de jure menandai
berakhirnya Kerajaan Mataram
yang sepenuhnya independen. Nama Giyanti diambil dari lokasi
penandatanganan perjanjian ini, yaitu di Desa Giyanti (ejaan Belanda, sekarang tempat itu berlokasi di Dukuh Kerten, Desa Jantiharjo), di tenggara kota Karanganyar, Jawa Tengah.
Lokasi penandatanganan Perjanjian Giyanti
Berdasarkan
perjanjian ini, wilayah Mataram dibagi dua: wilayah di sebelah timur Kali Opak
(melintasi daerah Prambanan
sekarang) dikuasai oleh pewaris tahta Mataram (yaitu Sunan Pakubuwana III) dan
tetap berkedudukan di Surakarta,
sementara wilayah di sebelah barat (daerah Mataram yang asli) diserahkan kepada
Pangeran Mangkubumi
sekaligus ia diangkat menjadi Sultan Hamengkubuwana I yang berkedudukan di Yogyakarta. Di dalamnya juga terdapat klausul, bahwa pihak VOC dapat
menentukan siapa yang menguasai kedua wilayah itu jika diperlukan.
Perundingan
Pembagian Kerajaan Mataram
Menurut dokumen register harian N. Hartingh (Gubernur VOC untuk Jawa Utara),
pada tanggal 10 September 1754 N. Hartingh
berangkat dari Semarang
untuk menemui Pangeran Mangkubumi.
Pertemuan dengan Pangeran Mangkubumi sendiri baru pada 22
September 1754.
Pada hari berikutnya diadakan perundingan yang tertutup dan hanya dihadiri oleh
sedikit orang. Pangeran Mangkubumi didampingi oleh Pangeran Notokusumo dan Tumenggung Ronggo. Hartingh didampingi
Breton, Kapten Donkel, dan sekretaris Fockens. Sedangkan yang menjadi juru
bahasa adalah Pendeta Bastani.
Pembicaraan pertama mengenai pembagian Mataram.
N. Hartingh menyatakan keberatan karena tidak mungkin ada dua buah matahari.
Mangkubumi menyatakan di Cirebon ada lebih dari satu Sultan. Hartingh menawarkan Mataram sebelah
timur. Usul ini ditolak sang Pangeran. Perundingan berjalan kurang lancar
karena masih ada kecurigaan di antara mereka. Akhirnya setelah bersumpah untuk
tidak saling melanggar janji maka pembicaraan menjadi lancar. Kembali Gubernur VOC mengusulkan agar
Mangkubumi jangan menggunakan gelar Sunan, dan menentukan daerah mana saja yang
akan dikuasai oleh beliau. Mangkubumi berkeberatan melepas gelar Sunan karena
sejak 5 tahun lalu diakui rakyat sebagai Sunan. (Pangeran Mangkubumi diangkat
sebagai Sunan [Yang Dipertuan] atas kerajaan Mataram ketika Paku
Buwono II wafat di daerah Kabanaran,
bersamaan VOC melantik
Adipati Anom menjadi Paku Buwono III).
Perundingan terpaksa dihentikan dan diteruskan
keesokan harinya. Pada 23 September 1754 akhirnya tercapai nota kesepahaman bahwa Pangeran Mangkubumi akan memakai gelar
Sultan dan mendapatkan setengah
Kerajaan. Daerah Pantai Utara Jawa
(orang Jawa sering
menyebutnya dengan daerah pesisiran)
yang telah diserahkan pada VOC (orang Jawa sering menyebut dengan Kumpeni) tetap dikuasai VOC dan ganti rugi atas penguasaan Pantura Jawa oleh VOC akan diberikan
setengah bagiannya pada Mangkubumi. Terakhir, Pangeran memperoleh setengah dari
pusaka-pusaka istana. Nota kesepahaman tersebut kemudian disampaikan pada Paku
Buwono III. Pada 4 November tahun yang sama, Paku
Buwono III menyampaikan surat pada Gubernur
Jenderal VOC Mossel atas persetujuan beliau tehadap hasil perundingan Gubernur
Jawa Utara dan
Mangkubumi.
Berdasarkan perundingan 22-23
September 1754
dan surat persetujuan Paku Buwono III maka pada 13 Februari
1755 ditandatangani
'Perjanjian di Giyanti yang kurang lebih poin-poinnya, seperti
dikemukakan Soedarisman Poerwokoesoemo, sebagai
berikut:
Pasal
1
Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalaga
Ngabdurrahman Sayidin Panotogomo Kalifattullah di atas separo dari
Kerajaan Mataram, yang diberikan kepada beliau dengan hak turun temurun pada
warisnya, dalam hal ini Pangeran
Adipati Anom Bendoro Raden Mas Sundoro.
Pasal
2
Akan senantiasa diusahakan adanya kerjasama
antara rakyat yang berada dibawah kekuasaan Kumpeni dengan rakyat Kasultanan.
Pasal
3
Sebelum Pepatih Dalem (Rijks-Bestuurder)
dan para Bupati mulai melaksanakan tugasnya masing-masing, mereka harus
melakukan sumpah setia pada Kumpeni di tangan Gubernur.Intinya seorang patih
dari dua kerajaan harus dikonsultasikan dengan Belanda sebelum kemudian Belanda
menyetujuinya.
Pasal
4
Sri Sultan tidak akan mengangkat/memberhentikan
Pepatih Dalem dan Bupati, sebelum mendapatkan persetujuan dari Kumpeni.Pokok
pokok pemikirannya itu Sultan tidak memiliki kuasa penuh terhadap berhenti atau
berlanjutnya seorang patih karena segala keputusan ada di tangan Dewan Hindia
Belanda.
Pasal
5
Sri Sultan akan mengampuni Bupati yang selama
dalam peperangan memihak Kumpeni.
Pasal
6
Sri Sultan tidak akan menuntut haknya atas pulau Madura dan
daerah-daerah pesisiran, yang telah diserahkan oleh Sri Sunan Paku
Buwono II kepada Kumpeni dalam Contract-nya pada tanggal 18 Mei 1746. Sebaliknya
Kumpeni akan memberi ganti rugi kepada Sri Sultan 10.000 real tiap tahunnya.
Pasal
7
Sri Sultan akan memberi bantuan pada Sri Sunan Paku
Buwono III sewaktu-waktu diperlukan.
Pasal
8
Sri Sultan berjanji akan menjual kepada Kumpeni
bahan-bahan makanan dengan harga tertentu.
Pasal
9
Sultan berjanji akan mentaati segala macam
perjanjian yang pernah diadakan antara raja-raja Mataram terdahulu
dengan Kumpeni, khususnya perjanjian-perjanjian 1705, 1733, 1743, 1746, 1749.
Penutup
Perjanjian ini dari pihak VOC ditanda tangani
oleh N. Hartingh, W. van Ossenberch, J.J. Steenmulder, C.
Donkel, dan W. Fockens. "
Perlu ditambahkan Pepatih Dalem (Rijks-Bestuurder/Chief
of Administration Officer) dengan persetujuan residen/gubernur adalah
pemegang kekuasaan eksekutif sehari hari yang sebenarnya (bukan di tangan
Sultan).
Badai Belum Berlalu
Perjanjian Giyanti belum mengakhiri kerusuhan
karena dalam perjanian ini kelompok Pangeran Sambernyawa (Raden Mas Said) tidak
turut serta. Mengapa dalam perjanjian Giyanti ini Pangeran Sambernyawa tidak turut serta? Para
Pujangga Jawa dan Sejarahwan rupanya enggan untuk menulis persoalan detail
sekitar perjanjian ini atau paling tidak generasi muda diberi suatu informasi
yang benar sebagai landasan membangun mentalitas bangsa pentingnya persatuan.
Dalam Perjanjian Giyanti ini Pangeran Sambernyawa adalah rivalitas Pangeran Mangkubumi untuk menjadi penguasa
nomer satu di Mataram. Perjanjian Giyanti merupakan persekongkolan untuk
menghancurkan pemberontak. Berhubung pemberontak Mangkubumi sudah bertobat dan
kembali bersama VOC
dan Paku Buwono III bersekutu kembali untuk tujuan yang sama mematahkan dan
menumpas pemberontakan.
Pemberontak yang dimaksud dalam persekutuan
dengan Perjanjian Giyanti adalah Pangeran Sambernyawa. Sebagai pemimpin
pemberontak Pangeran Sambernyawa dinyatakan sebagai musuh
bersama. Disini Perjanjian Giyanti
terjadi bukannya tanpa sebab. Sebab yang utama adalah "penyeberangan Pangeran Mangkubumi" dari memberontak
menjadi sekutu VOC dan
Paku
Buwono III.
Mengapa dan bagaimana Pangeran Mangkubumi yang telah lari dari
Keraton dan menggabungkan diri dengan pemberontak tiba tiba kembali memerangi
pemberontak? Dengan Perjanjian Giyanti Pangeran Mangkubumi sudah bukan lagi sebagai
pejabat bawahan Paku Buwono III melainkan sebagai penguasa yang
demi alasan ketenteraman Kerajaan memainkan peran memerangi pemberontak.
Disini rupanya sejarah ada yang disembunyikan dan
ditutup tutupi. Pangeran Mangkubumi yang sebelum Perjanjian
Giyanti memusuhi VOC secara tiba tiba berbalik bahu membahu memerangi pemberontak.
Apa latar belakang yang mendasari sehingga terjadi persekutuan baru VOC, Paku
Buwono III dan Pangeran Mangkubumi? Persekutuan Paku
Buwono III dengan VOC
sudah bukan barang baru lagi karena keduanya bersekutu untuk menumpas
pemberontakan. Pangeran Mangkubumi merupakan persoalan
tersendiri karena bersama Pangeran Sambernyawa berada dalam posisi
memberontak dan memusuhi VOC.
Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Sambernyawa tidak kompak dalam
menghadapi VOC. Kedua
nya berselisih dan puncak perselisihan itu mengemuka dengan menyeberangnya Pangeran Mangkubumi ke pihak lawan ( VOC ). Penyeberangan itu
dilakukan karena kekuatan bersenjata Pangeran Mangkubumi mengalami kekalahan yang
sangat telak dan Pangeran Mangkubumi tidak ingin kehilangan
kekuasaannya atas kekuatan bersenjatanya akibat kalah dengan Pangeran Sambernyawa. VOC melihat bahwa Pangeran Mangkubumi tidak bakalan menyeberang
ke pihaknya kalau tidak mengalami kekalahan dalam perselisihan itu.
Dengan bersama sama Kompeni atau VOC maka musuh Pangeran Mangkubumi bukan lagi VOC/Kompeni/Belanda
melainkan musuhnya adalah Pangeran Sambernyawa sebagai musuh bersama ( VOC/Kompeni/Belanda, Pakubuwono
III, Pangeran Mangkubumi).
Sebelum secara bersama bahu membahu bertindak
melenyapkan Pangeran Sambernyawa disini tampak dengan
jelas bahwa "pembagian Mataram menjadi Keraton Yogyakarta dan Keraton
Surakarta" adalah Kesepakatan VOC dengan Pangeran Mangkubumi yang digelar di Giyanti.
Babad Giyanti
adalah sebuah syair dalam bentuk tembang macapat
yang dikarang oleh Yasadipura tentang sejarah pembagian Jawa pada 13 Februari
1755. Sesudah keraton
dipindahkan ke Surakarta dari Kartasura karena dibakar oleh orang Tionghoa,
maka Pangeran Mangkubumi pun keluar dari keraton dan
marah sampai memberontak. Sebab tanah
bengkoknya dikurangi banyak sekali. Maka berperanglah beliau melawan
keraton Surakarta. Selama peperangan ini beliau dibantu oleh banyak pangeran
dan bangsawan lainnya, antara lain Pangeran Samber-Nyawa (Mangkunegara
I). Lalu Pangeran Samber Nyawa dibuat panglima perang.
Dalam peperangan ini, Pangeran Mangkubumi menaklukkan daerah-daerah
di sebelah barat Surakarta, di daerah Mataram. Selanjutnya Pangeran Sambernyawa malahan bentrok
dengan Pangeran Mangkubumi. Terjadinya bentrok ini
karena kedua nya sama sama ingin mendapatkan supremasi tunggal kedaulatan yang
tidak terbagi.Sambernyawa menjadi pesaing yang serius dari Mangkubumi dalam
mendapatkan dukungan elite Jawa sebab ketika diambil pemungutan suara antara
memilih Sambernyawa atau Mangkubumi maka pilihan dan dukungan kepada Sambernyawa
melebihi dukungan kepada Mangkubumi (Ricklefs, 1991).Melihat dukungannya
berkurang, Mangkubumi menyerang sambernyawa dengan kekuatan bersenjata tetapi
Sambernyawa alih alih dikalahkan, Mangkubumi bahkan menderita kekalahan yang
telak dan serius.Kekuatan bersenjata Mangkubumi kalah telak dengan kekuatan
Sambernyawa.Satu satu nya jalan untuk cepat cepat bisa mendapat separuh
kerajaan Mataram maka jalan pengkianatan dilakukan oleh Mangkubumi.Mangkubumi
meminta Semarang memberinya separuh kekuasaan Mataram dan berjanji setia dan
tunduk kepada Belanda serta bersedia membantu Surakarta dan Belanda untuk
melenyapkan Sambernyawa.Sebagai ikatan perjanjian yang baru antara bekas musuh
maka Mangkubumi
bersedia untuk memberikan isterinya Raden Ayu Retnosari dari Sukowati
kepada Belanda
atau VOC
sebagai tanda perjanjian persahabatan yang baru itu.Akhirnya Pangeran
Mangkubumi menjadi raja sendiri; sultan Hamengkubuwana I di kota baru yang dinamakan Yogyakarta
Karya sastra ini memuat visi Yasadipura dari peristiwa di atas ini. Secara umum
karya sastra ini dianggap indah dan mendapatkan kritik yang baik oleh para
pakar kesustraan Jawa.
Masa Penulisan
Masa penulisan Babad
Giyanti tidak diketahui secara pasti. Namun diperkirakan karya sastra ini
digubah antara tahun 1757
dan 1803.
Tahun 1757 adalah tahun terakhir yang ditulis kejadian-kejadian peristiwanya di
karya sastra ini. Sementara tahun 1803 merupakan tahun meninggalnya Yasadipura
senior.
Tapi perlu dikemukakan
di sini pula bahwa tidaklah pasti oleh Yasadipura yang mana karya sastra ini
dikarang. Sebab Yasadipura senior menurunkan Yasadipura junior yang juga
merupakan seorang sastrawan ternama. Yasadipura
junior adalah kakek Ranggawarsita.
Oleh para pakar sastra Jawa, Babad Giyanti biasanya
dianggap dikarang oleh Yasadipura senior.
Ringkasan
Babad Giyanti membahas
peristiwa-peristiwa politik yang terjadi di pulau Jawa antara tahun 1741 dan 1757. Peristiwa-peristiwa
ini ditulis menurut sudut pandang atau opini Yasadipura.
Tahun 1746 merupakan sebuah
lembaran hitam dalam sejarah Jawa. Sampai tahun 1746 wilayah Kasunanan Mataram
mencakup seluruh bagian Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pada tahun tersebut Mataram
secara sekaligus kehilangan seluruh pesisir utara, dan bahkan di antara
Pasuruan dan Banyuwangi semuanya hilang. Pada waktu yang sama muncul perang
baru lagi di mana Mataram kehilangan separuh daerah yang masih ada. Lalu ketika
perjanjian perdamaian ditanda tangani sembilan tahun kemudian, pada tahun 1755, paling tidak separuh
penduduk Jawa tewas.
Alasan langsung
bencana-bencana ini ialah kunjungan audiensi kepada Susuhunan yang dilakukan
oleh Gubernur-Jenderal Van Imhoff pada tahun
1746. Beberapa tahun sebelumnya pesisir utara dan Jawa bagian timur dijanjikan
kepada VOC,
karena VOC telah membantu Sunan menumpas pemberontakan. Sekarang ini Van Imhoff
menuntut janji sang Sunan. Sunan Pakubuwana II yang kala itu menjabat memang
pernah menjanjikan daerah-daerah ini ketika ia sedang terjepit. Kala itu beliau
harus melarikan diri dari keraton sementara dikawal oleh para serdadu VOC.
Sunan Pakubuwana II
memang tidak banyak mengenal damai dalam masa pemerintahannnya (1726-1749).
Warga Tionghoa yang memberontak dan mengacau, karena alasan yang sangat berbeda
dan sebenarnya tidak ada hubungannya dengan Sunan yaitu karena ada pembantaian
warga Tionghoa di Batavia pada tahun 1740, dan sebuah pemberontakan di Madura
yang menjalar ke Jawa Timur. Selain itu di ibu kota sendiri, banyak
pangeran-pangeran, “warisan” ayahnya yang memberontak meminta kekuasaan serta
intrik-intrik keraton. Salah seorang pangeran yang banyak mengganggu sunan Pakubuwana II
adalah kakaknya sendiri, pangeran Mangkunagara. Untungnya Pakubuwana II bisa
membuangnya ke Sri Lanka berkat bantuan VOC. Namun bagi
putranya, Raden Mas Said, hal ini menjadikan alasan untuk
membangkang dan membalas dendam terhadap pamannya, Sunan Pakubuwana II. Karena
Pakubuwana II tidak kuat melawan Raden Mas Said, maka beliau menjanjikan
imbalan bagi yang bisa mengusirnya. Seorang adik Pakubuwana II yang lain,
pangeran Mangkubumi berhasil mengusir Raden Mas Said. Namun kemudian patih
Sunan Pakubuwana II berpendapat bahwa imbalannya terlalu besar, padahal Sunan
Pakubuwana II sebenarnya tidak apa-apa.
Masalah dengan
Mangkubumi ini justru terjadi ketika Van Imhoff sedang meminta audiensi di
keraton pada tahun 1746. Van Imhoff sebenarnya bersedia untuk membantu Sunan
Pakubuwana II, maka beliaupun menegur Mangkubumi mengenai tuntutannya yang
keterlaluan di tempat umum. Lalu Sunan Pakubuwana II memotong imbalannya sampai
dua pertiga. Mangkubumi kehilangan mukanya dan tidak bisa tetap tinggal di
keraton. Iapun pergi dan mencari kontak dengan Raden Mas Said, keponakannya
yang telah diusirnya. Kehilangan muka Mangkubumi sebenarnya bukan satu-satunya
alasan, meski alasan utama, menjauhnya Pakubuwana II dengan Mangkubumi.
Pangeran Mangkubumi sebenarnya juga kurang setuju terhadap keputusan kakaknya
menyerahkan daerah pesisir dan akan kompensasi VOC yang telah diberikan untuk
pendapatan yang hilang.
Perang awalnya
berlangsung buruk bagi sunan Pakubuwana II dan sekutunya, VOC. Mereka hanya
bisa mempertahankan posisi mereka saja. Musuh mereka menyerang di seluruh pulau
Jawa. Bahkan kota Surakartapun tidak aman. Mangkubumi menerapkan taktik perang gerilya.
Sementara ini
Mangkubumi tujuannya tidak hanya membalas dendam saja, namun beliaupun ingin
menjadi Sunan. Ketika Sunan Pakubuwana II pada saat berlangsungnya perang jatuh
sakit dan mangkat pada tahun 1749, maka Mangkubumi memproklamasikan dirinya
sebagai Susuhunan yang baru dan mendirikan keraton di Yogyakarta. Karena
Surakarta dan VOC tidak mengakuinya, namun menobatkan putra Sunan Pakubuwana II
menjadi Sunan Pakubuwana II, maka kala itu terdapat dua Susuhunan di Jawa.
Kala itu terlihat jelas
bahwa kedua kubu tidak ada yang lebih kuat untuk mengalahkan yang lain. Maka
kedua kubupun sadar dengan hal ini. Selain itu Gubernur-Jenderal Van Imhoff
meninggal pada tahun 1750 dan digantikan oleh Jacob Mossel.
Lalu Pangeran Mangkubumi sudah tidak akrab lagi dengan Raden Mas Said sehingga
situasipun berubah. Raden Mas Said sendiri memiliki aspirasi untuk menjadi
raja. Pada tahun 1754 mulailah rundingan antara Mangkubumi dengan VOC (tanpa
melibatkan Raden Mas Said dan Sunan Pakubuwana III). Tawaran Mangkubumi untuk
melawan Raden Mas Said, diterima oleh VOC dengan imbalan separuh wilayah
kekuasaan Mataram yang masih ada. Tawarannya diterima oleh VOC tetapi kekuatan
mangkubumi tidak cukup untuk mengalahkan mas Said. Pada tanggal 13 Februari
1755 perjanjian ini
ditanda tangani di desa Giyanti, beberapa kilometer di sebelah timur Surakarta.
Mangkubumi akhirnya mendapatkan gelar Sultan Hamengkubuwana I. Sunan Pakubuwana
III tidak bisa berbuat lain daripada menerima kenyataan. Sementara itu Raden
Mas Said dua tahun kemudian pada tahun 1757 memutuskan untuk
menghentikan peperangan dengan syarat beliau boleh menjadi raja. Tuntutannya
dituluskan dan beliau mendapat wilayah yang diambil dari wilayah Surakarta dan
diperbolehkan menyebut dirinya Pangeran Adipati.
Sumber : www.wikipedia.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar