Senin, 13 Mei 2013

Perjanjian Giyanti

Perjanjian Giyanti adalah kesepakatan antara VOC, pihak Mataram (diwakili oleh Sunan Pakubuwana III), dan kelompok Pangeran Mangkubumi.Kelompok. Pangeran Sambernyawa tidak ikut dalam perjanjian ini. Pangeran Mangkubumi demi keuntungan pribadi memutar haluan menyeberang dari kelompok pemberontak bergabung dengan kelompok pemegang legitimasi kekuasaan memerangi pemberontak yaitu Pangeran Sambernyawa. Perjanjian yang ditandatangani pada bulan 13 Februari 1755 ini secara de facto dan de jure menandai berakhirnya Kerajaan Mataram yang sepenuhnya independen. Nama Giyanti diambil dari lokasi penandatanganan perjanjian ini, yaitu di Desa Giyanti (ejaan Belanda, sekarang tempat itu berlokasi di Dukuh Kerten, Desa Jantiharjo), di tenggara kota Karanganyar, Jawa Tengah.

Lokasi penandatanganan Perjanjian Giyanti
Berdasarkan perjanjian ini, wilayah Mataram dibagi dua: wilayah di sebelah timur Kali Opak (melintasi daerah Prambanan sekarang) dikuasai oleh pewaris tahta Mataram (yaitu Sunan Pakubuwana III) dan tetap berkedudukan di Surakarta, sementara wilayah di sebelah barat (daerah Mataram yang asli) diserahkan kepada Pangeran Mangkubumi sekaligus ia diangkat menjadi Sultan Hamengkubuwana I yang berkedudukan di Yogyakarta. Di dalamnya juga terdapat klausul, bahwa pihak VOC dapat menentukan siapa yang menguasai kedua wilayah itu jika diperlukan.
Perundingan Pembagian Kerajaan Mataram
Peta pembagian Mataram setelah Perjanjian Giyanti dan didirikannya Mangkunagaran pada tahun 1757
Menurut dokumen register harian N. Hartingh (Gubernur VOC untuk Jawa Utara), pada tanggal 10 September 1754 N. Hartingh berangkat dari Semarang untuk menemui Pangeran Mangkubumi. Pertemuan dengan Pangeran Mangkubumi sendiri baru pada 22 September 1754. Pada hari berikutnya diadakan perundingan yang tertutup dan hanya dihadiri oleh sedikit orang. Pangeran Mangkubumi didampingi oleh Pangeran Notokusumo dan Tumenggung Ronggo. Hartingh didampingi Breton, Kapten Donkel, dan sekretaris Fockens. Sedangkan yang menjadi juru bahasa adalah Pendeta Bastani.
Pembicaraan pertama mengenai pembagian Mataram. N. Hartingh menyatakan keberatan karena tidak mungkin ada dua buah matahari. Mangkubumi menyatakan di Cirebon ada lebih dari satu Sultan. Hartingh menawarkan Mataram sebelah timur. Usul ini ditolak sang Pangeran. Perundingan berjalan kurang lancar karena masih ada kecurigaan di antara mereka. Akhirnya setelah bersumpah untuk tidak saling melanggar janji maka pembicaraan menjadi lancar. Kembali Gubernur VOC mengusulkan agar Mangkubumi jangan menggunakan gelar Sunan, dan menentukan daerah mana saja yang akan dikuasai oleh beliau. Mangkubumi berkeberatan melepas gelar Sunan karena sejak 5 tahun lalu diakui rakyat sebagai Sunan. (Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sunan [Yang Dipertuan] atas kerajaan Mataram ketika Paku Buwono II wafat di daerah Kabanaran, bersamaan VOC melantik Adipati Anom menjadi Paku Buwono III).
Perundingan terpaksa dihentikan dan diteruskan keesokan harinya. Pada 23 September 1754 akhirnya tercapai nota kesepahaman bahwa Pangeran Mangkubumi akan memakai gelar Sultan dan mendapatkan setengah Kerajaan. Daerah Pantai Utara Jawa (orang Jawa sering menyebutnya dengan daerah pesisiran) yang telah diserahkan pada VOC (orang Jawa sering menyebut dengan Kumpeni) tetap dikuasai VOC dan ganti rugi atas penguasaan Pantura Jawa oleh VOC akan diberikan setengah bagiannya pada Mangkubumi. Terakhir, Pangeran memperoleh setengah dari pusaka-pusaka istana. Nota kesepahaman tersebut kemudian disampaikan pada Paku Buwono III. Pada 4 November tahun yang sama, Paku Buwono III menyampaikan surat pada Gubernur Jenderal VOC Mossel atas persetujuan beliau tehadap hasil perundingan Gubernur Jawa Utara dan Mangkubumi.
Berdasarkan perundingan 22-23 September 1754 dan surat persetujuan Paku Buwono III maka pada 13 Februari 1755 ditandatangani 'Perjanjian di Giyanti yang kurang lebih poin-poinnya, seperti dikemukakan Soedarisman Poerwokoesoemo, sebagai berikut:
Pasal 1
Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalaga Ngabdurrahman Sayidin Panotogomo Kalifattullah di atas separo dari Kerajaan Mataram, yang diberikan kepada beliau dengan hak turun temurun pada warisnya, dalam hal ini Pangeran Adipati Anom Bendoro Raden Mas Sundoro.
Pasal 2
Akan senantiasa diusahakan adanya kerjasama antara rakyat yang berada dibawah kekuasaan Kumpeni dengan rakyat Kasultanan.
Pasal 3
Sebelum Pepatih Dalem (Rijks-Bestuurder) dan para Bupati mulai melaksanakan tugasnya masing-masing, mereka harus melakukan sumpah setia pada Kumpeni di tangan Gubernur.Intinya seorang patih dari dua kerajaan harus dikonsultasikan dengan Belanda sebelum kemudian Belanda menyetujuinya.
Pasal 4
Sri Sultan tidak akan mengangkat/memberhentikan Pepatih Dalem dan Bupati, sebelum mendapatkan persetujuan dari Kumpeni.Pokok pokok pemikirannya itu Sultan tidak memiliki kuasa penuh terhadap berhenti atau berlanjutnya seorang patih karena segala keputusan ada di tangan Dewan Hindia Belanda.
Pasal 5
Sri Sultan akan mengampuni Bupati yang selama dalam peperangan memihak Kumpeni.
Pasal 6
Sri Sultan tidak akan menuntut haknya atas pulau Madura dan daerah-daerah pesisiran, yang telah diserahkan oleh Sri Sunan Paku Buwono II kepada Kumpeni dalam Contract-nya pada tanggal 18 Mei 1746. Sebaliknya Kumpeni akan memberi ganti rugi kepada Sri Sultan 10.000 real tiap tahunnya.
Pasal 7
Sri Sultan akan memberi bantuan pada Sri Sunan Paku Buwono III sewaktu-waktu diperlukan.
Pasal 8
Sri Sultan berjanji akan menjual kepada Kumpeni bahan-bahan makanan dengan harga tertentu.
Pasal 9
Sultan berjanji akan mentaati segala macam perjanjian yang pernah diadakan antara raja-raja Mataram terdahulu dengan Kumpeni, khususnya perjanjian-perjanjian 1705, 1733, 1743, 1746, 1749.
Penutup
Perjanjian ini dari pihak VOC ditanda tangani oleh N. Hartingh, W. van Ossenberch, J.J. Steenmulder, C. Donkel, dan W. Fockens. "
Perlu ditambahkan Pepatih Dalem (Rijks-Bestuurder/Chief of Administration Officer) dengan persetujuan residen/gubernur adalah pemegang kekuasaan eksekutif sehari hari yang sebenarnya (bukan di tangan Sultan).
Badai Belum Berlalu
Perjanjian Giyanti belum mengakhiri kerusuhan karena dalam perjanian ini kelompok Pangeran Sambernyawa (Raden Mas Said) tidak turut serta. Mengapa dalam perjanjian Giyanti ini Pangeran Sambernyawa tidak turut serta? Para Pujangga Jawa dan Sejarahwan rupanya enggan untuk menulis persoalan detail sekitar perjanjian ini atau paling tidak generasi muda diberi suatu informasi yang benar sebagai landasan membangun mentalitas bangsa pentingnya persatuan.
Dalam Perjanjian Giyanti ini Pangeran Sambernyawa adalah rivalitas Pangeran Mangkubumi untuk menjadi penguasa nomer satu di Mataram. Perjanjian Giyanti merupakan persekongkolan untuk menghancurkan pemberontak. Berhubung pemberontak Mangkubumi sudah bertobat dan kembali bersama VOC dan Paku Buwono III bersekutu kembali untuk tujuan yang sama mematahkan dan menumpas pemberontakan.
Pemberontak yang dimaksud dalam persekutuan dengan Perjanjian Giyanti adalah Pangeran Sambernyawa. Sebagai pemimpin pemberontak Pangeran Sambernyawa dinyatakan sebagai musuh bersama. Disini Perjanjian Giyanti terjadi bukannya tanpa sebab. Sebab yang utama adalah "penyeberangan Pangeran Mangkubumi" dari memberontak menjadi sekutu VOC dan Paku Buwono III.
Mengapa dan bagaimana Pangeran Mangkubumi yang telah lari dari Keraton dan menggabungkan diri dengan pemberontak tiba tiba kembali memerangi pemberontak? Dengan Perjanjian Giyanti Pangeran Mangkubumi sudah bukan lagi sebagai pejabat bawahan Paku Buwono III melainkan sebagai penguasa yang demi alasan ketenteraman Kerajaan memainkan peran memerangi pemberontak.
Disini rupanya sejarah ada yang disembunyikan dan ditutup tutupi. Pangeran Mangkubumi yang sebelum Perjanjian Giyanti memusuhi VOC secara tiba tiba berbalik bahu membahu memerangi pemberontak. Apa latar belakang yang mendasari sehingga terjadi persekutuan baru VOC, Paku Buwono III dan Pangeran Mangkubumi? Persekutuan Paku Buwono III dengan VOC sudah bukan barang baru lagi karena keduanya bersekutu untuk menumpas pemberontakan. Pangeran Mangkubumi merupakan persoalan tersendiri karena bersama Pangeran Sambernyawa berada dalam posisi memberontak dan memusuhi VOC.
Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Sambernyawa tidak kompak dalam menghadapi VOC. Kedua nya berselisih dan puncak perselisihan itu mengemuka dengan menyeberangnya Pangeran Mangkubumi ke pihak lawan ( VOC ). Penyeberangan itu dilakukan karena kekuatan bersenjata Pangeran Mangkubumi mengalami kekalahan yang sangat telak dan Pangeran Mangkubumi tidak ingin kehilangan kekuasaannya atas kekuatan bersenjatanya akibat kalah dengan Pangeran Sambernyawa. VOC melihat bahwa Pangeran Mangkubumi tidak bakalan menyeberang ke pihaknya kalau tidak mengalami kekalahan dalam perselisihan itu.
Dengan bersama sama Kompeni atau VOC maka musuh Pangeran Mangkubumi bukan lagi VOC/Kompeni/Belanda melainkan musuhnya adalah Pangeran Sambernyawa sebagai musuh bersama ( VOC/Kompeni/Belanda, Pakubuwono III, Pangeran Mangkubumi).
Sebelum secara bersama bahu membahu bertindak melenyapkan Pangeran Sambernyawa disini tampak dengan jelas bahwa "pembagian Mataram menjadi Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta" adalah Kesepakatan VOC dengan Pangeran Mangkubumi yang digelar di Giyanti.


Babad Giyanti

Babad Giyanti adalah sebuah syair dalam bentuk tembang macapat yang dikarang oleh Yasadipura tentang sejarah pembagian Jawa pada 13 Februari 1755. Sesudah keraton dipindahkan ke Surakarta dari Kartasura karena dibakar oleh orang Tionghoa, maka Pangeran Mangkubumi pun keluar dari keraton dan marah sampai memberontak. Sebab tanah bengkoknya dikurangi banyak sekali. Maka berperanglah beliau melawan keraton Surakarta. Selama peperangan ini beliau dibantu oleh banyak pangeran dan bangsawan lainnya, antara lain Pangeran Samber-Nyawa (Mangkunegara I). Lalu Pangeran Samber Nyawa dibuat panglima perang.
Dalam peperangan ini, Pangeran Mangkubumi menaklukkan daerah-daerah di sebelah barat Surakarta, di daerah Mataram. Selanjutnya Pangeran Sambernyawa malahan bentrok dengan Pangeran Mangkubumi. Terjadinya bentrok ini karena kedua nya sama sama ingin mendapatkan supremasi tunggal kedaulatan yang tidak terbagi.Sambernyawa menjadi pesaing yang serius dari Mangkubumi dalam mendapatkan dukungan elite Jawa sebab ketika diambil pemungutan suara antara memilih Sambernyawa atau Mangkubumi maka pilihan dan dukungan kepada Sambernyawa melebihi dukungan kepada Mangkubumi (Ricklefs, 1991).Melihat dukungannya berkurang, Mangkubumi menyerang sambernyawa dengan kekuatan bersenjata tetapi Sambernyawa alih alih dikalahkan, Mangkubumi bahkan menderita kekalahan yang telak dan serius.Kekuatan bersenjata Mangkubumi kalah telak dengan kekuatan Sambernyawa.Satu satu nya jalan untuk cepat cepat bisa mendapat separuh kerajaan Mataram maka jalan pengkianatan dilakukan oleh Mangkubumi.Mangkubumi meminta Semarang memberinya separuh kekuasaan Mataram dan berjanji setia dan tunduk kepada Belanda serta bersedia membantu Surakarta dan Belanda untuk melenyapkan Sambernyawa.Sebagai ikatan perjanjian yang baru antara bekas musuh maka Mangkubumi bersedia untuk memberikan isterinya Raden Ayu Retnosari dari Sukowati kepada Belanda atau VOC sebagai tanda perjanjian persahabatan yang baru itu.Akhirnya Pangeran Mangkubumi menjadi raja sendiri; sultan Hamengkubuwana I di kota baru yang dinamakan Yogyakarta Karya sastra ini memuat visi Yasadipura dari peristiwa di atas ini. Secara umum karya sastra ini dianggap indah dan mendapatkan kritik yang baik oleh para pakar kesustraan Jawa.
Masa Penulisan
Masa penulisan Babad Giyanti tidak diketahui secara pasti. Namun diperkirakan karya sastra ini digubah antara tahun 1757 dan 1803. Tahun 1757 adalah tahun terakhir yang ditulis kejadian-kejadian peristiwanya di karya sastra ini. Sementara tahun 1803 merupakan tahun meninggalnya Yasadipura senior.
Tapi perlu dikemukakan di sini pula bahwa tidaklah pasti oleh Yasadipura yang mana karya sastra ini dikarang. Sebab Yasadipura senior menurunkan Yasadipura junior yang juga merupakan seorang sastrawan ternama. Yasadipura junior adalah kakek Ranggawarsita. Oleh para pakar sastra Jawa, Babad Giyanti biasanya dianggap dikarang oleh Yasadipura senior.
Ringkasan
Babad Giyanti membahas peristiwa-peristiwa politik yang terjadi di pulau Jawa antara tahun 1741 dan 1757. Peristiwa-peristiwa ini ditulis menurut sudut pandang atau opini Yasadipura.
Tahun 1746 merupakan sebuah lembaran hitam dalam sejarah Jawa. Sampai tahun 1746 wilayah Kasunanan Mataram mencakup seluruh bagian Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pada tahun tersebut Mataram secara sekaligus kehilangan seluruh pesisir utara, dan bahkan di antara Pasuruan dan Banyuwangi semuanya hilang. Pada waktu yang sama muncul perang baru lagi di mana Mataram kehilangan separuh daerah yang masih ada. Lalu ketika perjanjian perdamaian ditanda tangani sembilan tahun kemudian, pada tahun 1755, paling tidak separuh penduduk Jawa tewas.
Alasan langsung bencana-bencana ini ialah kunjungan audiensi kepada Susuhunan yang dilakukan oleh Gubernur-Jenderal Van Imhoff pada tahun 1746. Beberapa tahun sebelumnya pesisir utara dan Jawa bagian timur dijanjikan kepada VOC, karena VOC telah membantu Sunan menumpas pemberontakan. Sekarang ini Van Imhoff menuntut janji sang Sunan. Sunan Pakubuwana II yang kala itu menjabat memang pernah menjanjikan daerah-daerah ini ketika ia sedang terjepit. Kala itu beliau harus melarikan diri dari keraton sementara dikawal oleh para serdadu VOC.
Sunan Pakubuwana II memang tidak banyak mengenal damai dalam masa pemerintahannnya (1726-1749). Warga Tionghoa yang memberontak dan mengacau, karena alasan yang sangat berbeda dan sebenarnya tidak ada hubungannya dengan Sunan yaitu karena ada pembantaian warga Tionghoa di Batavia pada tahun 1740, dan sebuah pemberontakan di Madura yang menjalar ke Jawa Timur. Selain itu di ibu kota sendiri, banyak pangeran-pangeran, “warisan” ayahnya yang memberontak meminta kekuasaan serta intrik-intrik keraton. Salah seorang pangeran yang banyak mengganggu sunan Pakubuwana II adalah kakaknya sendiri, pangeran Mangkunagara. Untungnya Pakubuwana II bisa membuangnya ke Sri Lanka berkat bantuan VOC. Namun bagi putranya, Raden Mas Said, hal ini menjadikan alasan untuk membangkang dan membalas dendam terhadap pamannya, Sunan Pakubuwana II. Karena Pakubuwana II tidak kuat melawan Raden Mas Said, maka beliau menjanjikan imbalan bagi yang bisa mengusirnya. Seorang adik Pakubuwana II yang lain, pangeran Mangkubumi berhasil mengusir Raden Mas Said. Namun kemudian patih Sunan Pakubuwana II berpendapat bahwa imbalannya terlalu besar, padahal Sunan Pakubuwana II sebenarnya tidak apa-apa.
Masalah dengan Mangkubumi ini justru terjadi ketika Van Imhoff sedang meminta audiensi di keraton pada tahun 1746. Van Imhoff sebenarnya bersedia untuk membantu Sunan Pakubuwana II, maka beliaupun menegur Mangkubumi mengenai tuntutannya yang keterlaluan di tempat umum. Lalu Sunan Pakubuwana II memotong imbalannya sampai dua pertiga. Mangkubumi kehilangan mukanya dan tidak bisa tetap tinggal di keraton. Iapun pergi dan mencari kontak dengan Raden Mas Said, keponakannya yang telah diusirnya. Kehilangan muka Mangkubumi sebenarnya bukan satu-satunya alasan, meski alasan utama, menjauhnya Pakubuwana II dengan Mangkubumi. Pangeran Mangkubumi sebenarnya juga kurang setuju terhadap keputusan kakaknya menyerahkan daerah pesisir dan akan kompensasi VOC yang telah diberikan untuk pendapatan yang hilang.
Perang awalnya berlangsung buruk bagi sunan Pakubuwana II dan sekutunya, VOC. Mereka hanya bisa mempertahankan posisi mereka saja. Musuh mereka menyerang di seluruh pulau Jawa. Bahkan kota Surakartapun tidak aman. Mangkubumi menerapkan taktik perang gerilya.
Sementara ini Mangkubumi tujuannya tidak hanya membalas dendam saja, namun beliaupun ingin menjadi Sunan. Ketika Sunan Pakubuwana II pada saat berlangsungnya perang jatuh sakit dan mangkat pada tahun 1749, maka Mangkubumi memproklamasikan dirinya sebagai Susuhunan yang baru dan mendirikan keraton di Yogyakarta. Karena Surakarta dan VOC tidak mengakuinya, namun menobatkan putra Sunan Pakubuwana II menjadi Sunan Pakubuwana II, maka kala itu terdapat dua Susuhunan di Jawa.
Kala itu terlihat jelas bahwa kedua kubu tidak ada yang lebih kuat untuk mengalahkan yang lain. Maka kedua kubupun sadar dengan hal ini. Selain itu Gubernur-Jenderal Van Imhoff meninggal pada tahun 1750 dan digantikan oleh Jacob Mossel. Lalu Pangeran Mangkubumi sudah tidak akrab lagi dengan Raden Mas Said sehingga situasipun berubah. Raden Mas Said sendiri memiliki aspirasi untuk menjadi raja. Pada tahun 1754 mulailah rundingan antara Mangkubumi dengan VOC (tanpa melibatkan Raden Mas Said dan Sunan Pakubuwana III). Tawaran Mangkubumi untuk melawan Raden Mas Said, diterima oleh VOC dengan imbalan separuh wilayah kekuasaan Mataram yang masih ada. Tawarannya diterima oleh VOC tetapi kekuatan mangkubumi tidak cukup untuk mengalahkan mas Said. Pada tanggal 13 Februari 1755 perjanjian ini ditanda tangani di desa Giyanti, beberapa kilometer di sebelah timur Surakarta. Mangkubumi akhirnya mendapatkan gelar Sultan Hamengkubuwana I. Sunan Pakubuwana III tidak bisa berbuat lain daripada menerima kenyataan. Sementara itu Raden Mas Said dua tahun kemudian pada tahun 1757 memutuskan untuk menghentikan peperangan dengan syarat beliau boleh menjadi raja. Tuntutannya dituluskan dan beliau mendapat wilayah yang diambil dari wilayah Surakarta dan diperbolehkan menyebut dirinya Pangeran Adipati.
Sumber : www.wikipedia.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar