Upacara Natal Bersama Haram
Dilatarbelakangi perayaan Natal-Lebaran bersama, MUI
keluarkan fatwa.
MAJELIS
Ulama Indonesia (MUI) menganjurkan umat Islam tak mengikuti kegiatan-kegiatan perayaan
Natal. Mengikuti upacara Natal Bersama bagi umat Islam hukumnya haram. Demikian
bunyi fatwa tentang perayaan Natal Bersama yang dikeluarkan MUI pada 7 Maret
1981. Kala itu MUI dipimpin Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka), sedangkan
ketua Komisi Fatwa-nya adalah Syukuri Ghozali.
Fatwa
tersebut dilatarbelakangi fenomena yang kerap terjadi sejak 1968 ketika Hari
Raya Idul Fitri jatuh pada 1-2 Januari dan 21-22 Desember. Lantaran perayaan
Lebaran berdekatan dengan Natal, banyak instansi menghelat acara perayaan Natal
dan Halal Bihalal bersamaan. Ceramah-ceramah keagaman dilakukan bergantian oleh
ustadz, kemudian pendeta. Menurut Jan S. Aritonang dalam Sejarah Perjumpaan
Kristen dan Islam di Indonesia, Hamka mengecam kebiasaan itu bukan
toleransi namun memaksa kedua penganut Islam dan Kristiani menjadi munafik.
Hamka juga menilai penganjur perayaan bersama itu sebagai penganut sinkretisme.
Dalam
fatwanya, MUI sendiri melihat bahwa perayaan Natal Bersama disalahartikan oleh
sebagian umat Islam dan “disangka sama dengan perayaan Maulid Nabi Muhammad
Saw”. Karena salah pengertian itu, ada sebagian umat Islam ikut dalam perayaan
Natal dan duduk dalam kepanitiaan Natal. Padahal, lanjut MUI, perayaan Natal
bagi umat Kristen adalah ibadah.
Dengan
pertimbangan, umat Islam perlu mendapat petunjuk jelas, tak tercampuraduknya
akidah dan ibadahnya dengan agama lain, perlu menambah iman dan takwa, serta
tanpa mengurangi usaha menciptakan kerukunan antarumat beragama, MUI
mengeluarkan fatwa tentang Perayaan Natal Bersama. MUI berharap umat Islam tak
terjerumus dalam syubhat (perkara-perkara samar) dan larangan Allah.
Fatwa
MUI kemudian ramai diperdebatkan. Kebiasaan saling menghadiri, saling
mengucapkan selamat dan merayakan bersama di kantor atau sekolah lantas membuat
para pimpinan sekolah maupun instansi dilema.
Menurut
Ketua Komisi Fatwa, Syukri Ghozali, dikutip Tempo 30 Mei 1981, fatwa itu
sebenarnya dibuat agar Departemen Agama menentukan langkah dalam menyikapi
Natalan-Lebaran yang kerap terjadi. “Jadi seharusnya memang tidak bocor
keluar,” ujar Syukri. Namun, fatwa yang disiarkan buletin Majelis Ulama
3 April 198 dikutip harian Pelita 5 Mei 1981. Jadilah fatwa itu menyebar
ke masyarakat sebelum petunjuk pelaksanaan selesai dibuat Departemen Agama.
Dianggap
dapat menegangkan kerukunan antarumat beragama, pemerintah turun tangan.
Menteri Agama Alamsjah Ratu Perwiranegara dalam memoarnya H. ARPN:
Perjalanan Hidup Seorang Anak Yatim Piatu, menuliskan: “Saya undang
pimpinan Mejelis Ulama. Saya sarankan agar fatwa tersebut dicabut dan saya akan
mengambil-alih dengan mengeluarkan peraturan.”
Hamka
tak lantas mencabut fatwa itu. Dia hanya mengeluarkan Surat Keputusan MUI No.
139 tahun 1981 mengenai penghentian edaran fatwa. Namun, dalam surat pembaca
yang ditulisnya dan kemudian dimuat di Kompas 9 Mei 1981, dia
menjelaskan Surat Keputusan MUI itu tak mempengaruhi kesahihan fatwa tentang
perayaan Natal. “Fatwa itu dipandang perlu dikeluarkan sebagai tanggung jawab
para ulama untuk memberikan pegangan kepada umat Islam dalam kewajiban mereka
memelihara kemurnian aqidah Islamiyah,” tulis Hamka.
“Drama”
kemudian bergulir. Hamka meletakkan jabatan. Dalam buku Mengenang 100 Tahun
Hamka, Shobahussurur mencatat perkataan Hamka: “Masak iya saya harus
mencabut fatwa,” kata Hamka sambil tersenyum sembari menyerahkan surat
pengunduran dirinya sebagai ketua MUI kepada Departemen Agama.
Gonjang-ganjing
MUI dan fatwa tersebut sampai ke DPR. Menurut Kompas, 21 Mei 1981, dalam
tanggapannya di depan rapat kerja dengan Komisi IX DPR, Menteri Agama berencana
menghelat pertemuan dengan Musyawarah Kerukunan Antar Agama untuk merumuskan
batasan kegiatan seremonial atau ibadah mana yang bisa dan tidak bisa diikuti
orang di luar umat agama tersebut.
Pada
2 September 1981 Menteri Agama mengeluarkan Surat Edaran Nomor MA/432/1981
kepada berbagai instansi pemerintah. Isinya menjelaskan: selepas acara kegiatan
ibadah umat Kristiani, yakni acara seremonialnya, boleh saja pemeluk agama lain
hadir mengucapkan dan merayakan Natal. Kegiatan ibadah, menurut surat edaran
tersebut, adalah sembahyang, berdoa, puji-pujian, bernyanyi, membakar lilin,
dan lain-lain. Demikian juga umat Islam, ketika salat Idul Fitri atau Idul Adha
tak pernah mengundang pemeluk agama lain, tapi setelah selesai salat pintu
terbuka untuk semua tamu.
Alasan Terlarangnya Mengucapkan Selamat Natal bagi
Muslim
Mungkin tidak lama lagi, akan terdengar, akan
terpampang tulisan yang dibaca “Merry Christmas”, atau yang artinya
Selamat Hari Natal. Dan biasanya, momen ini disandingkan dengan ucapan Selamat
Tahun Baru.
Sebagian orang menganggap ucapan semacam itu
tidaklah bermasalah, apalagi yang yang berpendapat demikian adalah mereka
orang-orang kafir. Namun hal ini menjadi masalah yang besar, ketika seorang
muslim mengucapakan ucapan selamat terhadap perayaan orang-orang kafir.
Dan ada juga sebagian di antara kaum muslimin,
berpendapat nyeleneh sebagaimana pendapatnya orang-orang kafir. Dengan alasan
toleransi dalam beragama!? Toleransi beragama bukanlah seperti kesabaran yang
tidak ada batasnya. Namun toleransi beragama dijunjung tinggi oleh syari’at,
asal di dalamnya tidak terdapat penyelisihan syari’at. Bentuk toleransi bisa
juga bentuknya adalah membiarkan saja mereka berhari raya tanpa turut serta
dalam acara mereka, termasuk tidak perlu ada ucapan selamat.
Islam mengajarkan kemuliaan dan akhlak-akhlak terpuji. Tidak hanya perlakuan baik
terhadap sesama muslim, namun juga kepada orang kafir. Bahkan seorang muslim
dianjurkan berbuat baik kepada orang-orang kafir, selama orang-orang kafir
tidak memerangi kaum muslimin.
Allah Ta’ala berfirman,
لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ
الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ
أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik
dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan
tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al Mumtahanah: 8)
Namun hal ini dimanfaatkan oleh sebagian orang
untuk menggeneralisir sikap baik yang harus dilakukan oleh seorang muslim
kepada orang-orang kafir. Sebagian orang menganggap bahwa mengucapkan ucapan
selamat hari natal adalah suatu bentuk perbuatan baik kepada orang-orang
nashrani. Namun patut dibedakan antara berbuat baik (ihsan) kepada orang kafir
dengan bersikap loyal (wala) kepada orang kafir.
Alasan Terlarangnya Ucapan Selamat Natal
1- Bukanlah Perayaan Kaum Muslimin
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
menjelaskan bahwa perayaan bagi kaum muslimin hanya ada 2, yaitu hari ‘Idul
fitri dan hari ‘Idul Adha.
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata :
“Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, penduduk Madinah
memiliki dua hari raya untuk bersenang-senang dan bermain-main di masa
jahiliyah. Maka beliau berkata : Aku datang kepada kalian dan kalian mempunyai
dua hari raya di masa Jahiliyah yang kalian isi dengan bermain-main. Allah
telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik bagi kalian, yaitu hari raya
kurban (‘Idul Adha) dan hari raya ‘Idul Fitri” (HR. Ahmad, shahih).
Sebagai muslim yang ta’at, cukuplah petunjuk Nabi
-shallallahu ‘alaihi wa sallam- menjadi sebaik-baik petunjuk.
2- Menyetujui Kekufuran Orang-Orang Yang
Merayakan Natal
Ketika ketika mengucapkan selamat atas sesuatu,
pada hakekatnya kita memberikan suatu ucapan penghargaan. Misalnya ucapan
selamat kepada teman yang telah lulus dari kuliahnya saat di wisuda.
Nah,begitu juga dengan seorang yang muslim
mengucapkan selamat natal kepada seorang nashrani. Seakan-akan orang yang mengucapkannya,
menyematkan kalimat setuju akan kekufuran mereka. Karena mereka menganggap
bahwa hari natal adalah hari kelahiran tuhan mereka, yaitu Nabi ‘Isa ‘alaihish
shalatu wa sallam. Dan mereka menganggap bahwa Nabi ‘Isa adalah tuhan mereka.
Bukankah hal ini adalah kekufuran yang sangat jelas dan nyata?
Padahal Allah Ta’ala telah berfirman,
لَكُمْ
دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
“Bagimu agamamu, bagiku agamaku.” (QS.
Al-Kafirun: 6).
3-
Merupakan Sikap Loyal (Wala) Yang Keliru
Loyal (wala) tidaklah sama dengan berbuat baik
(ihsan). Wala memiliki arti loyal, menolong, atau memuliakan orang kita cintai,
sehingga apabila kita wala terhadap seseorang, akan tumbuh rasa cinta kepada
orang tersebut. Oleh karena itu, para kekasih Allah juga disebut dengan wali-wali
Allah.
Ketika kita mengucapkan selamat natal, hal itu
dapat menumbuhkan rasa cinta kita perlahan-lahan kepada mereka. Mungkin
sebagian kita mengingkari, yang diucapkan hanya sekedar di lisan saja. Padahal
seorang muslim diperintahkan untuk mengingkari sesembahan-sesembahan oarang
kafir.
Allah Ta’ala berfirman,
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ
مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَاء مِنكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِن
دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ
وَالْبَغْضَاء أَبَداً حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang
baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka
berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari
daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) mu
dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat
selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” (Qs. Al Mumtahanah:
4)
4-
Nabi Melarang Mendahului Ucapan Salam
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
لاَ تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلاَ النَّصَارَى بِالسَّلاَمِ
“Janganlah kalian mendahului Yahudi dan
Nashara dalam salam (ucapan selamat).” (HR. Muslim no. 2167). Ucapan
selamat natal termasuk di dalam larangan hadits
ini.
5-
Menyerupai Orang Kafir
Tidak samar lagi, bahwa sebagian kaum muslimin
turut berpartisipasi dalam perayaan natal. Lihat saja ketika di pasar-pasar, di
jalan-jalan, dan pusat perbelanjaan. Sebagian dari kaum muslimin ada yang
berpakaian dengan pakaian khas perayaan natal. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam telah melarang kaum muslimin untuk menyerupai kaum kafir.
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ
فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka
dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).
Pembicaraan Kelahiran Isa Dalam Al Qur’an
Bacalah kutipan ayat di bawah ini. Allah Ta’ala
berfirman,
فَحَمَلَتْهُ فَانْتَبَذَتْ بِهِ مَكَانًا قَصِيًّا (22) فَأَجَاءَهَا
الْمَخَاضُ إِلَى جِذْعِ النَّخْلَةِ قَالَتْ يَا لَيْتَنِي مِتُّ قَبْلَ هَذَا
وَكُنْتُ نَسْيًا مَنْسِيًّا (23) فَنَادَاهَا مِنْ تَحْتِهَا أَلَّا تَحْزَنِي
قَدْ جَعَلَ رَبُّكِ تَحْتَكِ سَرِيًّا (24) وَهُزِّي إِلَيْكِ بِجِذْعِ
النَّخْلَةِ تُسَاقِطْ عَلَيْكِ رُطَبًا جَنِيًّا (25)
“Maka Maryam mengandungnya, lalu ia
mengasingkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh. Maka rasa sakit
akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma, dia
berkata: ‘Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi barang
yang tidak berarti, lagi dilupakan.’ Maka Jibril menyerunya dari tempat yang
rendah: “Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan
anak sungai di bawahmu. Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu,
niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu.” (QS.
Maryam: 22-25)
Kutipan ayat di atas menunjukkan bahwa Maryam
mengandung Nabi ‘Isa ‘alahis salam pada saat kurma sedang berbuah. Dan musim
saat kurma berbuah adalah musim panas. Jadi selama ini natal yang diidetikkan
dengan musim dingin (winter), adalah suatu hal yang keliru.
Penutup
Ketahuilah wahai kaum muslimin, perkara yang
remeh bisa menjadi perkara yang besar jika kita tidak mengetahuinya.
Mengucapkan selamat pada suatu perayaan yang bukan berasal dari Islam saja
terlarang (semisal ucapan selamat ulang tahun), bagaimana lagi mengucapkan
selamat kepada perayaan orang kafir? Tentu lebih-lebih lagi terlarangnya.
Meskipun ucapan selamat hanyalah sebuah ucapan
yang ringan, namun menjadi masalah yang berat dalam hal aqidah. Terlebih lagi, jika ada di antara
kaum muslimin yang membantu perayaan natal. Misalnya dengan membantu
menyebarkan ucapan selamat hari natal, boleh jadi berupa spanduk, baliho, atau
yang lebih parah lagi memakai pakaian khas acara natal (santa klaus, pent.)
Allah Ta’ala telah berfirman,
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ
وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran.” (QS. Al-Maidah: 2).
Wallahu waliyyut taufiq.
Sumber : www.historia.co.id, www.muslim.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar