Minggu, 19 Mei 2013

Ki Hadjar Dewantara



Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (EYD: Suwardi Suryaningrat, sejak 1972 menjadi Ki Hadjar Dewantara, EYD: Ki Hajar Dewantara, beberapa menuliskan bunyi bahasa Jawanya dengan Ki Hajar Dewantoro; lahir di Yogyakarta, 2 Mei 1889 – meninggal di Yogyakarta, 26 April 1959 pada umur 69 tahun; selanjutnya disingkat sebagai "Soewardi" atau "KHD") adalah aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman penjajahan Belanda. Ia adalah pendiri Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda.
Tanggal kelahirannya sekarang diperingati di Indonesia sebagai Hari Pendidikan Nasional. Bagian dari semboyan ciptaannya, tut wuri handayani, menjadi slogan Kementerian Pendidikan Nasional Indonesia. Namanya diabadikan sebagai salah sebuah nama kapal perang Indonesia, KRI Ki Hajar Dewantara. Potret dirinya diabadikan pada uang kertas pecahan 20.000 rupiah tahun emisi 1998.
Ia dikukuhkan sebagai pahlawan nasional yang ke-2 oleh Presiden RI, Soekarno, pada 28 November 1959 (Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959).

Masa Muda dan Awal Karier
Soewardi berasal dari lingkungan keluarga Keraton Yogyakarta. Ia menamatkan pendidikan dasar di ELS (Sekolah Dasar Eropa/Belanda). Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai penulis dan wartawan di beberapa surat kabar, antara lain, Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya komunikatif dan tajam dengan semangat antikolonial.
Aktivitas pergerakan
Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Sejak berdirinya Boedi Oetomo (BO) tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda untuk menyosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia (terutama Jawa) pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Kongres pertama BO di Yogyakarta juga diorganisasi olehnya.
Soewardi muda juga menjadi anggota organisasi Insulinde, suatu organisasi multietnik yang didominasi kaum Indo yang memperjuangkan pemerintahan sendiri di Hindia Belanda, atas pengaruh Ernest Douwes Dekker (DD). Ketika kemudian DD mendirikan Indische Partij, Soewardi diajaknya pula.

Als ik een Nederlander was
Sewaktu pemerintah Hindia Belanda berniat mengumpulkan sumbangan dari warga, termasuk pribumi, untuk perayaan kemerdekaan Belanda dari Perancis pada tahun 1913, timbul reaksi kritis dari kalangan nasionalis, termasuk Soewardi. Ia kemudian menulis "Een voor Allen maar Ook Allen voor Een" atau "Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga". Namun kolom KHD yang paling terkenal adalah "Seandainya Aku Seorang Belanda" (judul asli: "Als ik een Nederlander was"), dimuat dalam surat kabar De Expres pimpinan DD, 13 Juli 1913. Isi artikel ini terasa pedas sekali di kalangan pejabat Hindia Belanda. Kutipan tulisan tersebut antara lain sebagai berikut.
"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya".
Beberapa pejabat Belanda menyangsikan tulisan ini asli dibuat oleh Soewardi sendiri karena gaya bahasanya yang berbeda dari tulisan-tulisannya sebelum ini. Kalaupun benar ia yang menulis, mereka menganggap DD berperan dalam memanas-manasi Soewardi untuk menulis dengan gaya demikian.
Akibat tulisan ini ia ditangkap atas persetujuan Gubernur Jenderal Idenburg dan akan diasingkan ke Pulau Bangka (atas permintaan sendiri). Namun demikian kedua rekannya, DD dan Tjipto Mangoenkoesoemo, memprotes dan akhirnya mereka bertiga diasingkan ke Belanda (1913). Ketiga tokoh ini dikenal sebagai "Tiga Serangkai". Soewardi kala itu baru berusia 24 tahun.

Dalam pengasingan
Dalam pengasingan di Belanda, Soewardi aktif dalam organisasi para pelajar asal Indonesia, Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia).
Di sinilah ia kemudian merintis cita-citanya memajukan kaum pribumi dengan belajar ilmu pendidikan hingga memperoleh Europeesche Akte, suatu ijazah pendidikan yang bergengsi yang kelak menjadi pijakan dalam mendirikan lembaga pendidikan yang didirikannya. Dalam studinya ini Soewardi terpikat pada ide-ide sejumlah tokoh pendidikan Barat, seperti Froebel dan Montessori, serta pergerakan pendidikan India, Santiniketan, oleh keluarga Tagore. Pengaruh-pengaruh inilah yang mendasarinya dalam mengembangkan sistem pendidikannya sendiri.

Taman Siswa
Soewardi kembali ke Indonesia pada bulan September 1919. Segera kemudian ia bergabung dalam sekolah binaan saudaranya. Pengalaman mengajar ini kemudian digunakannya untuk mengembangkan konsep mengajar bagi sekolah yang ia dirikan pada tanggal 3 Juli 1922: Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa. Saat ia genap berusia 40 tahun menurut hitungan penanggalan Jawa, ia mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara. Ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun jiwa.
Semboyan dalam sistem pendidikan yang dipakainya kini sangat dikenal di kalangan pendidikan Indonesia. Secara utuh, semboyan itu dalam bahasa Jawa berbunyi ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani. ("di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan"). Semboyan ini masih tetap dipakai dalam dunia pendidikan rakyat Indonesia, terlebih di sekolah-sekolah Perguruan Tamansiswa.

Pengabdian Pada Masa Indonesia Merdeka

Patung Ki Hajar Dewantara
Dalam kabinet pertama Republik Indonesia, KHD diangkat menjadi Menteri Pengajaran Indonesia (posnya disebut sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan) yang pertama. Pada tahun 1957 ia mendapat gelar doktor kehormatan (doctor honoris causa, Dr.H.C.) dari universitas tertua Indonesia, Universitas Gadjah Mada. Atas jasa-jasanya dalam merintis pendidikan umum, ia dinyatakan sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia dan hari kelahirannya dijadikan Hari Pendidikan Nasional (Surat Keputusan Presiden RI no. 305 tahun 1959, tanggal 28 November 1959).
Ia meninggal dunia di Yogyakarta tanggal 26 April 1959 dan dimakamkan di Taman Wijaya Brata.

Pesan Ki Hajar Dewantara Pada Pelajar Indonesia
Amburadulnya pelaksanaan Ujian Nasional (UN) tahun ini, menambah runyam wajah pendidikan Indonesia. Meski pendidikan mendapatkan alokasi dana paling besar ketimbang sektor lain, sebesar 20 persen dari total APBN, nyatanya hal itu bukan jaminan terselenggaranya pendidikan yang berkualitas.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, M Nuh bersikukuh akan tetap melaksanakan UN di tahun-tahun mendatang. Sebab UN masih diperlukan, sebagai standardisasi tingkat kelulusan siswa.

"Tentu (UN sebagai standar kelulusan). Kalau Kemendikbud tidak yakin UN sebagai standar kelulusan, jadi sudah bubar toh, enggak ada UN," kata M Nuh di sela rapat kerja Kemendikbud dengan Komisi X DPR di Komplek Parlemen, Senayan Jakarta, beberapa waktu lalu.
Pendidikan memang salah satu sektor yang banyak mendapat sorotan publik. Karena sektor inilah yang menjadi mesin utama pencetak kualitas generasi muda. Baik buruknya moral atau pintar bodohnya generasi bangsa, tergantung kualitas pendidikannya.
Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hadjar Dewantoro sejak awal sudah memetakan faktor minus dalam pendidikan Indonesia. Menurutnya, kelemahan utama sistem pendidikan Indonesia adalah masih terpakunya materi pelajaran dengan ujian.
"Anak-anak dan pemuda-pemuda kita sukar dapat belajar dengan tentram, karena dikejar-kejar oleh ujian-ujian yang sangat keras dalam tuntutan-tuntutannya," kata Ki Hajar dalam buku 60 tahun Tamansiswa, 1922-1982.
Menurutnya kualitas pendidikan Indonesia belum bisa mencetak peserta didik, menjadi generasi berbudi pekerti baik. Sebaliknya, pendidikan hanya dimaksimalkan untuk mengejar nilai.

"Mereka belajar tidak untuk perkembangan hidup kejiwaannya; sebaliknya, mereka belajar untuk dapat nilai-nilai yang tinggi dalam school raportnya atau untuk dapat ijazah," kata Ki Hajar.

Sudah selayaknya peringatan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei ini, sebagai momentum perbaikan kualitas pendidikan kita. Dengan alokasi dana besar, diharapkan juga ada perubahan besar ke arah yang lebih baik.

Mengulas Warisan Kepemimpinan Ki Hajar Dewantara
Tanggal 02 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional di negara Indonesia yang biasanya identik dengan figur yang cukup vital di hari pendidikan nasional ini, Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, atau lebih terkenal dengan nama Ki Hajar Dewantara dan tidak kebetulan bahwa tanggal lahir beliau kemudian menjadi dasar penentuan Hari Pendidikan Nasional. Meski beliau lebih identik dikenal sebagai Tokoh Pendidikan Nasional, warisan semboyan Ki Hajar Dewantara justru juga dapat diterapkan dalam nilai-nilai kepemimpinan. Mari kita mengulas lebih rinci nilai kepemimpinan yang dapat kita tangkap dari Ki Hajar Dewantara.
Ki Hajar Dewantara adalah seorang cendekiawan Indonesia yang brilian, aktifis pergerakan kemerdekaan RI, kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan negara kita. Jasa Ki Hajar Dewantara membawanya sebagai seorang Pahlawan Nasional dan buah peninggalan beliau yang sangat besar adalah pendirian Perguruan Taman Siswa & munculnya semboyan terkenal yang sudah menjadi legenda dalam dunia pendidikan di Indonesia. Warisan semboyan dari Ki Hajar Dewantara ini, mengandung 3 (tiga) frasa kalimat :
Ing Ngarso, Sung Tuladha (Di depan menjadi teladan) ;
Ing Madya, Mangun Karso (Di tengah ikut serta) ;
Tut Wuri, Handayani (Di belakang memberi dorongan)

1. Ing Ngarso, Sung Tuladha
Mengajarkan sebagai seorang pemimpin, perlu adanya keteladanan untuk ditiru dan menjadi contoh yang benar. Keteladanan tidak berhenti terhadap waktu karena berlangsung 24 jam sehari dan 7 hari seminggu serta dilakukan bukan hanya di masyarakat, namun juga di rumah, lingkungan sekolah, lingkungan pekerjaan, dan lingkungan terkait lainnya. Keteladanan itu berefek kepada tutur kata, sikap, gaya bahasa tubuh dan implikasi dalam relasi pemimpin itu kepada bawahan dan orang lain.
Tidak ada manusia yang dapat dikatakan 100% sempurna di dunia ini, hanya kalau memang rekan sekalian berada dalam lingkaran pemimpin, tentu tanggung jawab yang disandang akan jauh lebih berat daripada kalau sekedar menjadi bawahan. Akhlak dan nurani memegang peran penting yang sudah diajarkan dalam agama dan kepercayaan kita masing-masing. Keteladanan tidak dapat dibuat-buat karena orang lain cepat atau lambat akan merasakan dan mengetahuinya, maka bila kita sudah menjadi teladan, secara tidak langsung rekan sekalian sebenarnya sudah menjadi seorang panutan dan pemimpin.

 2. Ing Madya, Mangun Karso
Menerangkan keikut sertaan kita dalam bekerja bersama-sama. Dalam suka dan duka, semua ditanggung bersama, untuk memperbaiki nasib dan meningkatkan taraf dalam ke semua hal, entah taraf kehidupan, taraf pendidikan, taraf kebersamaan dan lain sebagainya. Pemimpin yang bijak akan berada bersama dengan yang dipimpin, sama-sama melinting lengan baju dan ikut membuat tangannya kotor dan berkeringat agar ada perbaikan bersama menuju hari esok yang lebih baik.
Negara Indonesia membutuhkan karakter pemimpin yang sejati dimana para pemimpinnya bukan mementingkan masalah pencitraan akan tetapi bagaimana bekerja keras bersama dengan rakyat untuk membuat komunitas dan rakyat yang dipimpinnya mendapatkan keadilan sosial semakmur-makmurnya sesuai Sila ke 5 dari Pancasila : “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” dan bukan hanya kesejahteraan sosial untuk kalangan / golongan tertentu saja. Pertanyaannya, makin bertambah banyak atau makin bertambah sedikit, type Pemimpin Indonesia yang mau bekerja keras dengan rakyat dan masih berjiwa Pancasila?

3. Tut Wuri Handayani
Yang merupakan pelengkap semboyan tidak kalah pentingnya bahwa sebagai seorang pemimpin bijak, seyogyanya ketika bawahan atau rakyat yang dipimpin sedang mengalami kesusahan dan keterpurukan, pemimpin harus turun ke bawah, mengayomi serta memberikan dorongan dan mengangkat mereka yang jatuh.
Semua orang tanpa terkecuali pasti pernah mengalami kegagalan / kenyataan pahit yang bagi beberapa orang susah untuk diterima. Pemimpin bijak tidak berhenti disana hanya karena tidak mendapat sorotan perhatian, karena pemimpin yang sejati dapat menempatkan dirinya dalam berbagai posisi apapun senyampang bahwa kepemimpinannya itu adalah untuk kepentingan rakyat. Di belakang, jarang ada orang yang dapat melihat sumbangsih atau kerja keras dari kepemimpinan dibelakang layar, namun percayalah, hal yang baik suatu kali pasti akan kembali dan memberikan pahala besar buat mereka yang tidak lelah memberikan sumbangsih positif.
Semboyan Ki Hajar Dewantara yang luar biasa ini bukan hanya berlaku dalam dunia pendidikan belaka, tetapi juga dalam sektor kepemimpinan dapat diterapkan dengan tepat. Warisan berharga beliau inilah yang harus kita lestarikan di bumi Indonesia, tempat kelahiran beliau. Salam sukses selalu!.

Sosok Ki Hajar Dewantara Telah Dilupakan
SOLOKANJERUK (GM) - Sebagian orang yang berkecimpung dalam dunia pendidikan kini sudah kehilangan jati dirinya. Ujung-ujungnya, pendidikan di Indonesia mengalami kemandekan, meski banyak orang cerdas dan pintar yang sudah berprestasi dalam bidang pendidikan. Bahkan mereka benar-benar telah melupakan sosok Ki Hajar Dewantara.
Demikian dikatakan Ketua Badan Pembinaan Olahraga Pelajar Seluruh Indonesia (Bapopsi) Kec. Solokanjeruk sekaligus Kepala SDN Sukamulya Solokanjeruk, Endi Supardi, S.Pd., kepada "GM" di Solokanjeruk, Jumat (5/4).
Menurut Endi, sosok Ki Hajar Dewantara, tokoh pendidikan di Indonesia dengan semboyannya, Tut Wuri Handayani (Mengikuti dan Mendorong dari Belakang), Ing Ngarso Sun Tulodo (Menjadi Suri Tauladan), dan Ing Madyo Mbangun Karso (Berbaur dan Berinovasi) patut dicontoh.

Dikatakan Endi, saat ini sudah banyak pendidik yang benar-benar sudah melupakan semboyan Ki Hajar Dewantara tersebut. Padahal semboyan itu bisa menjadi patokan untuk meningkatkan pendidikan di Indonesia, khususnya di Kab. Bandung dan Kec. Solokanjeruk.
Seorang pemimpin dan seorang pendidik itu harus menjadi contoh. Jangan sampai ada ucapan, guru kencing berdiri, murid kencing berlari," kata Endi.
Jika semboyan Ki Hajar Dewantara tersebut tetap dicuekin dan tak dijadikan pegangan serta pemahaman dalam dunia pendidikan, dikhawatirkan kualitas pendidikan akan mengalami kemunduran. Bahkan bisa dikatakan jalan di tempat.

Berbalik
Endi juga sempat mengisahkan riwayat pendidikan di Indonesia beberapa tahun silam. Sewaktu pendidikan Indonesia menjadi perhatian dunia luar, kata dia, banyak orang luar negeri mengikuti pendidikan di dalam negeri. "Sayang saat ini, kondisinya terbalik. Banyak warga Indonesia yang mengikuti pendidikan di luar negeri,"katanya.
Kemandekan juga, kata dia, bisa dilihat dari kondisi sosial budaya, termasuk sumber daya manusia. Terkait dengan persoalan itu, saat ini di sekolah-sekolah ada pendidikan umum yang fokus pada pembelajaran/pendidikan karakter bangsa. "Pendidikan karakter sangat penting untuk dilaksanakan di sekolah. Hal itu bagian dari perubahan dalam kurikulum baru untuk meningkatkan kualitas pendidikan," katanya.
Ia juga mengatakan, adanya perubahan kurikulum baru itu bagian dari penyempurnaan dan pemantapan dari kurikulum sebelumnya. "Tetapi sebaik apapun kurikulum tetap saja, ujung tombak pendidikan ada pada guru," katanya.
Sama halnya yang dikatakan Kasubag Tata Usaha UPTD TK/SD Dinas Pendidikan Kec. Solokanjeruk, Drs. Agus. "Pendidikan di Indonesia mengalami kemandekan. Sementara negara-negara lain perkembangan pendidikannya benar-benar berkembang pesat. Mandek alias tak ada peningkatan," katanya.

Sumber : www.wikipedia.org, www.merdeka.com, www.solusibijak.com, www.klik-galamedia.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar