Apartheid (arti dari bahasa
Afrikaans: apart memisah, heid sistem atau
hukum) adalah sistem pemisahan ras
yang diterapkan oleh pemerintah kulit
putih di Afrika
Selatan dari sekitar awal abad
ke-20 hingga tahun 1990.
Hukum apartheid
dicanangkan pertama kali di Afrika Selatan, yang pada tahun 1930-an
dikuasai oleh dua bangsa kulit putih, koloni Inggris
di Cape
Town
dan Namibia
dan para Afrikaner Boer (Petani Afrikaner) yang mencari
emas/keberuntungan di tanah kosong Arika Selatan bagian timur atau disebut Transvaal
(sekarang kota Pretoria
dan Johannesburg).
Setelah Perang
Boer
selesai, penemuan emas
terjadi di beberapa daerah di Afrika Selatan, para penambang ini tiba-tiba
menjadi sangat kaya, dan kemudian sepakat untuk mengakhiri perang di antara
mereka, dan membentuk Persatuan
Afrika Selatan.
Perdana Menteri Hendrik Verwoerd
pada tahun 1950-an
mulai mencanangkan sistem pemisahan di antara bangsa berkulit hitam, dan bangsa
berkulit putih, yang sebenarnya sudah terjadi sejak tahun 1913 yaitu "Land
Act" dimana para bangsa kulit hitam tidak boleh memiliki tanah semeter pun
di luar batas "Homeland" mereka, yang sangat kotor dan tidak terawat.
Dari banyak sekali Homeland (bahasa
Afrikaans: Tuisland) yang dibentuk/ dipisahkan dari Afrika Selatan
yang "putih". Empat menyatakan kemerdekaannya; yaitu negara yang
dikelompokkan menjadi TBVC (Transkei,
Bophutatswana,
Venda,
dan Ciskei)
dari suku bahasanya.
Frederik Willem de Klerk
adalah orang yang mengakhiri masa suram ini dengan pidato-pidatonya yang
reformatif. Negara Republik Afrika Selatan setelahnya ini akan berdiri dengan
pimpinan demokratis Nelson Mandela
yang mempunyai nama alias "Rolitlatla" (Pengambil Ranting/pencari
gara-gara).
Sejarah
Apartheid
Istilah Apartheid pertama kali
digunakan oleh orang-orang keturunan Belanda yang lahir di AfrikaSelatan.
Istilah itu sendiri mengandung arti pemisahan. Pemisahan di sini maksudnya
adalah pemisahan orang-orang Belanda (kulit putih) dengan penduduk asli Afrika
(kulit hitam). Istilah Apartheid kemudian berkembang menjadi suatu
kebijaksanaan politik. Apartheid, yang menjadi politik resmi Pemerintahan
Afrika Selatan, terdiri atas program-program dan peraturan-peraturan yang
bertujuan untuk melestarikan pemisahan rasial. Secara structural, Apartheid
adalah kebijaksanaan mempertahankan dominasi minoritas kulit putih atas
mayoritas bukan kulit putih melalui pengaturan masyarakat di bidang social,
ekonomi, politik, militer dan kebudayaan. Kebijaksanaan ini mulai berlaku resmi
pada tahun 1948. Orang-orang yang bukan kulit putih dihalang-halangi untuk
berpartisipasi secara aktif dalam kehidupan politik. Mereka juga dibatasi untuk
dapat bertempat tinggal dan tidak diberikan hak untuk bepergian dengan bebas.
Sebaliknya, orang kulit putih berhak mengendalikan pemerintahan, termasuk
dalam urusan militer dan polisi.
Munculnya masalah Apartheid ini
berawal dari pendudukan yang dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa di Afrika.
Bangsa Eropa pertama yang dating ke Afrika Selatan adalah bangsa Belanda.
Bangsa Belanda datang ke Afrika selatan dipimpin oleh Jan Anthony van Riebeeck
(1618-1677). Kedatangan bangsa Belanda di Afrika Selatan ini menimbulkan
masalah baru dalam kehidupan masyarakat di Afrika Selatan. Kedudukan masyarakat
Afrika Selatan menjadi di bawah kedudukan bangsa Eropa (Belanda atau kulit
putih), sehingga masalah warna kulit inilah yang menjadi titik pangkal
munculnya masalah Apartheid. Bangsa Belanda kemudian langsung menetap. Mereka
sering disebut dengan nama bangsa Boer. Kedatangan bangsa Belanda itu kemudian
diikuti oleh bangsa Inggris yang berhasil melakukan
penguasaan dari ujung Afrika Utara
(Mesir) hingga ujung Afrika Selatan (cape Town). Kedatangan Inggris di Afrika
Selatan mengakibatkan meletusnya Perang Boer (1899-1902) antara Inggris dan
orang-orang Boer (Belanda). Dalam perang itu pihak Inggris berhasil mengalahkan
bangsa Boer, sehingga wilayah Afrika Selatan menjadi daerah kekuasaan
Inggris. Inggris akhirnya menjadi penguasa di wilayah Afrika Selatan,
selanjutnya, dibentuklah Uni Afrika Selatan pada tahun 1910. dengan kemenangan
Inggris di Afrika Selatan ini, maka semakin banyak orang-orang Inggris yang
datang ke Afrika Selatan.
Sejak Inggris berkuasa, di wilayah
Afrika Selatan telah dibentuk system pemerintahan yang berada di bawah
pengawasan Inggris. Di wilayah tersebut Inggris juga telah menjalankan politik
rasial (pemisahan berdasarkan ras). Dalam Negara tersebut, orang kulit putih
yang merupakan minoritas menjadi penguasa terhadap orang kulithitam yang
mayoritas. Orang kulit putih, dengan Partai Nasional mendapat kemenangan
dalam pemilu tahun 1948. sejak tahun 1948, Apartheid menjadi kebijaksanaan resmi
Negara Afrika Selatan. Kebijaksanaan ini memungkinkan bangsa kulit putih Afrika
Selatan, yang terdiri dari 15 persen dari jumlah penduduknya, mengatur segala
masalah di negeri itu.
Melalui kebijaksanaan ini, penduduk
Afrika Selatan digolongkan menjadi empat golongan besar,yaitu kulit putih atau
keturunan Eropa, suku bangsa Bantu (salah satu suku bangsa di Afrika Selatan),
orang Asia yang kebanyakan adalah orang Pakistan dan India, dan orang kulit
berwarna atau berdarah campuran, diantaranya kelompok Melayu Cape. Pemisahan
suku yang dilakukan di Afrika Selatan ini mendapat tanggapan dunia
internasional. Bahkan Majelis Umum PBB mengutuk perbuatan itu.
Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah tersebut juga mendapat
tanggapan yang serius dari rakyat Afrika Selatan. Di Afrika Selatan sering
terjadi gerakan-gerakan pemberontakan untuk menghapus pemerintahan Apartheid.
Gerakan yang terkenal dilakukan oleh kalangan rakyat kulit hitam Afrika
Selatan dipelopori oleh African National Congress (ANC) yang berada di bawah
pimpinan Nelson Mandela. Pada tahun 1961, ia memimpin aksi rakyat Afrika
Selatan untuk tinggal di dalam rumah. Aksi tersebut ditanggapi oleh pemerintah
Apartheid dengan menangkap dan kemudian menjebloskan Mandela ke penjara
Pretoria tahun 1962. Nelson Mandela baru dibebaskan pada tanggal 11 Februari
1990 pada masa pemerintahan Frederik Willem de Klerk. Pembebasan Nelson
Mandela membawa dampak positif terhadap perjuangan rakyat Afrika Selatan dalam
memperjuangkan penghapusan pemerintahan Apartheid. Pada tanggal 2 Mei 1990
untuk pertama kalinya pemerintahan Afrika Selatan mengadakan perundingan dengan
ANC untuk membuat undangundang nonrasial. Pada tanggal 7 Juni 1990 De Klerk
menghapuskan Undang-undang Darurat Negara yang berlaku hampir pada setiap bagian
negara Afrika Selatan. Perjuangan-perjuangan yang dilakukan oleh Nelson Mandela
dalam menegakkan kekuasaan tanpa adanya rasialisme di Afrika Selatan dan
menghapuskan kekuasaan Apartheid memakan waktu yang cukup lama. Nelson Mandela
terus berjuang untuk mencapai kebebasab negerinya baik perjuangan yang
dilakukan di dalam negerinya, agar mendapat dulungan dari seluruh rakyatnya,
maupun perjuangan yang dilakukan di luar negeri, yaitu untuk
mendapatkan pengakuan atas perjuanganya dalam menghapuskan kekuasaan Apartheid
di Afrika Selatan. Upaya-upaya yang ditempuh oleh Nelson Mandela tersebut mulai
menampakkan hasil yang menggembirakan, ketika pwemerintah minoritas kulit
putih di bawah pimpinan F.W. De Klerk memberikan angina segar kebebasan bagi
warga kulit hitam. Pada tanggal 21 Februari 1991, di hadapan siding parlemen
Afrika Selatan, presiden F.W. De Klerk mengumumkan penghapusan semua ketentuan
dan eksistensi system politik Apartheid. Pengumuman itu diikuti dengan
penghapusan 3 undang-undang yang memperkuat kekuasaan Apartheid, yaitu :
- Land act, yaitu undang-undang yang melarang orang kulit hitam memiliki tanah di luar wilayah tempat tinggal yang telah ditentukan.
- Group Areas Act, yaitu undang-undang yang mengatur pemisahan tempat tinggal orang-orang kulit putih dan kulit hitam, dan
- Population Registration Act, yaitu undang-undang yang mewajibkan semua orang kulit hitam untuk mendaftarkan diri menurut kelompok suku masing-masing.
Penghapusan undang-undang tersebut
diikuti dengan janji pemerintahan De Klerk untuk menyelenggarakan pemilu tanpa
pembatasan rasial (pemilu multirasial).Garis politik yang ditempuh Presiden De
Klerk tersebut menghentak banyak pihak dan membangkitkan semangat
perjuangan orang-orang kulit hitam dalam rangka memperjuangkan Afrika Selatan
tanpa adanya perbedaan rasialis.
Ketika diadakan pemilu multirasial
pertama tahun 1994, partai yang dipimpin oleh Nelson Mandela, ANC, berhasil
menjadi pemenang. Pada tanggal 9 Mei 1994, Nelson Mandela dipilih oleh Majelis
Nasional (Parlemen Afrika Selatan) sebagai presiden Afrika Selatan. Ia adalah
presiden pertama dari orang kulit hitam. Pada tanggal 10 Mei 1994 Nelson
Mandela dilantik sebagai presiden dalam upacara megah di Union Building,
Pretoria. Upacara pelantikan dihadiri oleh sejumlah tokoh dunia dan disaksikan
jutaan mata pemirsa televise baik dari dalam maupun luar Afrika Selatan.
Peristiwa bersejarah ini merupakan puncak perjuangan rakyat
Afrika Selatan. Sejak terhapusnya kekuasaan Apartheid, Afrika Selatan
mulai membangun negerinya agar dapat sederajat dengan Negara-negara lain di
dunia.
Nelson
Mandela dan Politik Apartheid
Nelson Mandela
mendeskripsikan apartheid sebagai “kaum yang terlalu memilah siapa yang miskin
dan siapa yang kaya... siapa yang hidup dalam kemewahan dan siapa yang hidup
dalam kekumuhan... siapa yang layak mendapatkan makanan, pakaian dan pelayanan
kesehatan... dan siapa yang layak hidup dan siapa yang harus mati.”
Apartheid adalah
sistem diskriminasi dan pemisahan rasis yang berkuasa di Afrika Selatan dari
tahun 1948 hingga akhirnya dihapuskan di awal 1990-an. Dengan
mengembangkan diskriminasi terhadap orang-orang kulit hitam selama
bertahun-tahun, National Party atau Partai Nasional menerapkan apartheid sebagai
model untuk memisahkan pembangunan bagi berbagai ras yang berbeda, meski pada
kenyataannya kebijakan tersebut hanya bertujuan untuk melindungi kepentingan
orang kulit putih. Kebijakan tersebut mengklasifikasikan masyarakat
sebagai orang kulit putih, Bantu (kulit hitam), kulit berwarna (ras campuran),
atau Asia. Manifestasi kebijakan ini termasuk tidak memiliki hak pilih,
pemisahan areal permukiman dan sekolah, pas khusus untuk bepergian dalam negeri
untuk orang kulit hitam, dan kendali sistem peradilan yang dipegang oleh orang
kulit putih.
Sebagai bagian
dari usahanya untuk menghapuskan praktik ini selama beberapa dekade, PBB pada
tahun 1973 mengesahkan Konvensi Internasional tentang Penindasan dan Hukuman
terhadap Apartheid, yang diratifikasi oleh 101 Negara. Konvensi ini
menyatakan apartheid sebagai suatu pelanggaran yang dapat dipertanggungjawabkan
secara individual. Konvensi ini juga mendeskripsikan apartheid sebagai
sebuah rangkaian “tindakan tanpa perikemanusiaan yang dilakukan untuk membangun
dan mempertahankan dominasi kelompok ras tertentu terhadap kelompok ras lainnya
dan secara sistematis melakukan penindasan terhadap mereka.” Hal ini termasuk
pengabaian hak terhadap kehidupan dan kemerdekaan, perusakan kondisi hidup
dengan tujuan untuk menghancurkan kelompok tertentu, tindakan legislatif untuk
mencegah partisipasi kelompok tersebut dalam kehidupan kebangsaan, pembagian
populasi berdasarkan kelompok ras, dan eksploitasi terhadap buruh dari kelompok
tertentu. Konvensi tersebut juga menyatakan apartheid sebagai pelanggaran
terhadap hak asasi manusia.
Konvensi
Jenewa mewajibkan Negara untuk memberlakukan kebijakan antidiskriminasi dalam
melayani orang yang sakit dan terluka, kapal yang tenggelam dan terdampar,
gerilyawan dan masyarakat sipil yang tertangkap dalam kekuasaan rezim tertentu
ataupun situasi konflik tertentu. Apartheid juga disebut sebagai
kejahatan perang dalam sengketa internasional menurut Protokol Tambahan I
Konvensi Jenewa. Protokol I mendaftarkan berbagai pelanggaran serius seperti apartheid
“dan praktik-praktik tidak berperikemanusiaan dan biadab lainnya yang melakukan
penindasan terhadap martabat seseorang, berdasarkan diskriminasi ras,” meskipun
hal ini hanya bisa ditanggapi secara serius dalam konflik bersenjata
internasional. Penggolongan apartheid sebagai pelanggaran serius
berdasarkan kampanye internasional untuk mengisolasi Afrika Selatan dan
mendapatkan tentangan dari sejumlah Negara Barat dengan alasan kasus tersebut
tidak berhubungan dengan konflik bersenjata. Komite Palang Merah
Internasional (ICRC) mencatat bahwa daftar berbagai pelanggaran serius ini
tidak memperluas skala pelanggaran perang secara signifikan karena banyak
pelanggaran paling buruk yang dilakukan politik apartheid dapat digolongkan
sebagai pelanggaran perang bila dilakukan dalam konflik bersenjata. Namun
beberapa tindakan yang mungkin sebelumnya bukan merupakan pelanggaran (walaupun
mungkin tidak sesuai hukum) dengan jelas dapat digolongkan sebagai tindakan
politik apartheid—misalnya dengan memilah-milah tawanan perang atupun
masyarakat sipil berdasarkan rasnya.
Usaha terkini yang
dilakukan untuk mengkriminalisasikan apartheid dilakukan dalam konteks
rancangan peraturan mengenai pelanggaran internasional Komisi Hukum
Internasional PBB tahun 1996, yang menggolongkan suatu tindakan yang disebut
sebagai “diskriminasi yang terorganisir” sebagai sebuah pelanggaran terhadap
hak asasi manusia, yang merupakan versi turunan dari politik apartheid; dan
Statuta Roma tentang Mahkamah Kejahatan Internasional (ICC) juga menggolongkan
apartheid sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia, dan mendeskripsikan
praktik tersebut sebagai tindakan biadab “yang dilakukan dalam konteks
penindasan dan dominasi secara sistematis dan terorganisir oleh rezim sebuah
kelompok ras tertentu terhadap kelompok ras lainnya... dengan tujuan
mempertahankan rezim tersebut.”
Meski Konvensi Apartheid (dan sekarang ICC) tidak didefinisikan secara geografis, negara-negara dan LSM jarang sekali menyebut sistem politik yang berlaku selain di Afrika Selatan sebagai sistem politik apartheid. Kelompok-kelompok ras seperti suku Kurdi, orang Tamil, Sudan Selatan atau kelompok-kelompok ras lainnya telah sejak lama mengalami perlakuan diskriminasi secara sistematis yang mungkin sesuai dengan definisi apartheid, meski mungkin praktik-praktik perangkap hukum seperti yang berlaku di Afrika Selatan tidak terjadi pada mereka. Namun istilah ini mungkin belum dikemukakan oleh para korban maupun pengacara mereka, karena tidak diragukan lagi istilah ini memang masih dihubungkan dengan situasi politik yang terjadi di Afrika Selatan. Jadi, kemungkinan bahwa seseorang mendapat hukuman secara domestik maupun internasional akibat praktik politik apartheid dalam waktu dekat ini kelihatannya akan sangat kecil.
Meski Konvensi Apartheid (dan sekarang ICC) tidak didefinisikan secara geografis, negara-negara dan LSM jarang sekali menyebut sistem politik yang berlaku selain di Afrika Selatan sebagai sistem politik apartheid. Kelompok-kelompok ras seperti suku Kurdi, orang Tamil, Sudan Selatan atau kelompok-kelompok ras lainnya telah sejak lama mengalami perlakuan diskriminasi secara sistematis yang mungkin sesuai dengan definisi apartheid, meski mungkin praktik-praktik perangkap hukum seperti yang berlaku di Afrika Selatan tidak terjadi pada mereka. Namun istilah ini mungkin belum dikemukakan oleh para korban maupun pengacara mereka, karena tidak diragukan lagi istilah ini memang masih dihubungkan dengan situasi politik yang terjadi di Afrika Selatan. Jadi, kemungkinan bahwa seseorang mendapat hukuman secara domestik maupun internasional akibat praktik politik apartheid dalam waktu dekat ini kelihatannya akan sangat kecil.
Bentuk-Bentuk
Politik Apartheid
Afrika selatan, dimana
angka kulit hitam adalah 7 berbanding satu dengan kulit putih, telah menjadikan
diskriminasi rasial sebagai undang-undang. Sistem apartheid membuat putih,
hitam, imigran india, kulit berwarna tinggal dalam kelompok yang terpisah.
Kartu identitas negara memperlihatkan mereka milik kelompok yang mana Pemisahan
dilakukan di dalam bis, kereta api, gereja, restoran, wartel, rumah sakit dan
dan kuburan. Perkahwinan campuran dilarang. Seorang berkulit hitam tidak bisa bekerja
di kawasan orang kulit putih maupun bekerja di bidang intelektual atau bidang
saintifik. Kerja-kerja buruh diperuntukkan untuk kulit hitam. Sedikit yang
memperhatikan bahawa setengah juta berada di penjara! Jaksa berkulit putih
memimpin kasus-kasus yang melibatkan orang berkulit hitam.
seorang gadis berkulit
hitam, yang dilahirkan dirumah orang kulit putih. Menurut undang-undang Afrika
Selatan, ia hanya dibenarkan untuk tinggal dirumah bapanya sebagai budak, atau
tinggal di kawasan kulit hitam Johannesburg. Sang ayah memilih untuk
pindah rumah ke sebuah tanah tempat anak perempuannya itu bisa hidup bersama
ibu dan bapanya, sebagaimana seharusnya, dari pada harus tunduk kepada
undang-undang yang tidak berperikemanusiaan itu.
Manifestasi kebijakan ini termasuk tidak memiliki hak pilih, pemisahan areal permukiman dan sekolah, pas khusus untuk bepergian dalam negeri untuk orang kulit hitam, dan kendali sistem peradilan yang dipegang oleh orang kulit putih.
Manifestasi kebijakan ini termasuk tidak memiliki hak pilih, pemisahan areal permukiman dan sekolah, pas khusus untuk bepergian dalam negeri untuk orang kulit hitam, dan kendali sistem peradilan yang dipegang oleh orang kulit putih.
Rezim
Apartheid Resmi Dibubarkan
30 Juni tahun 1991,
masa kekuasaan rezim rasialisme Apartheid di Afrika Selatan secara resmi
berakhir. Rezim Apartheid mulai berkuasa sejak tahun 1948 dan secara
opresif memberlakukan hukum rasialis yang menghapuskan sebagian hak asasi warga
non-kulit putih. Rezim ini juga melakukan pembunuhan, penyiksaan, dan
penahanan terhadap oposan-oposan politiknya. Akhirnya, akibat perlawanan
di dalam negeri dan tekanan dunia internasional, kekuasaan rezim ini
berakhir pada tahun 1991. Pada tahun 1993 UU baru Afsel yang mengakui persamaan
hak warga kulit putih dan kulit hitam disahkan. Pada tahun 1994, diadakan
pemilu kepresidenan dan pejuang kulit hitam Nelson Mandela berhasil menang dan
diangkat sebagai presiden.
Sumber : www.wikipedia.org, www.katailmu.com,
indonesiadalamsejarah.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar