Kesultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat (Hanacaraka: ) adalah negara dependen yang berbentuk
kerajaan. Kedaulatan dan kekuasaan pemerintahan negara diatur dan dilaksanakan
menurut perjanjian/kontrak politik yang dibuat oleh negara induk Kerajaan Belanda bersama-sama
negara dependen Kesultanan Ngayogyakarta. Kontrak politik terakhir antara
negara induk dengan kesultanan adalah Perjanjian
Politik 1940 (Staatsblad
1941, No. 47). Sebagai konsekuensi dari bentuk negara kesatuan yang dipilih
oleh Republik Indonesia sebagai negara induk, maka pada tahun 1950 status negara dependen Kesultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat (bersama-sama dengan Kadipaten
Pakualaman) diturunkan
menjadi daerah istimewa setingkat
provinsi dengan nama Daerah
Istimewa Yogyakarta.
Awal Riwayat
Nama Yogyakarta adalah perubahan bentuk dari Yodyakarta.
Yodyakarta berasal dari kata Ayodya dan Karta. Ayodya diambil dari nama
kerajaan dalam kisah Ramayana, sementara karta berarti ramai.
Dengan ditandatanganinya Perjanjian
Giyanti (13 Februari 1755) antara Pangeran
Mangkubumi dan VOC di bawah Gubernur-Jendral Jacob Mossel, maka Kerajaan Mataram dibagi dua. Pangeran
Mangkubumi diangkat
sebagai Sultan dengan gelar Sultan
Hamengkubuwana I dan berkuasa atas setengah daerah Kerajaan Mataram. Sementara itu
Sunan Paku
Buwono III tetap berkuasa
atas setengah daerah lainnya dengan nama baru Kasunanan
Surakarta dan daerah pesisir
tetap dikuasai VOC.
Sultan
Hamengkubuwana I kemudian segera membuat ibukota kerajaan beserta istananya yang baru
dengan membuka daerah baru (jawa: babat alas) di Hutan Paberingan yang terletak antara aliran Sungai
Winongo dan Sungai Code. Ibukota
berikut istananya tersebut tersebut dinamakan Ngayogyakarta
Hadiningrat dan landscape
utama berhasil diselesaikan pada tanggal 7 Oktober 1756. Para penggantinya tetap
mempertahankan gelar yang digunakan, Hamengku Buwono. Untuk membedakan antara
sultan yang sedang bertahta dengan pendahulunya, secara umum, digunakan frasa
" ingkang jumeneng kaping .... ing Ngayogyakarto " (Indonesia:
"yang bertahta ke .... di Yogyakarta"). Selain itu ada beberapa nama
khusus antara lain Sultan Sepuh (Sultan yang Tua) untuk Hamengku Buwono
II.
Wilayah dan Penduduk
Wilayah
Mengikuti kerajaan Mataram, wilayah Kesultanan
Yogyakarta pada mulanya
dibagi menjadi beberapa lapisan yaitu Nagari Ngayogyakarta
(wilayah ibukota), Nagara Agung (wilayah utama), dan Manca
Nagara (wilayah luar). Keseluruhan wilayah Nagari Ngayogyakarta dan
wilayah Nagara Agung memiliki luas 53.000 karya (sekitar 309,864500 km
persegi), dan keseluruhan wilayah Manca Nagara memiliki luas 33.950 karya
(sekitar 198,488675 km persegi). Selain itu, masih terdapat tambahan wilayah
dari Danurejo I di Banyumas, seluas 1.600 karya (sekitar 9,3544 km
persegi).
- Nagari Ngayogyakarta meliputi:
(2) Daerah
sekitarnya dengan batas Masjid Pathok Negara.
- Nagara Agung meliputi:
(1) Daerah Siti
Ageng Mlaya Kusuma (wilayah Siti Ageng [suatu wilayah di antara Pajang dengan Demak] bagian timur yang tidak jelas batasnya dengan wilayah
Kesunanan),
(4) Daerah Siti
Panekar (wilayah Pajang bagian timur, dari Sungai Samin ke
selatan sampai Gunungkidul, ke timur
sampai Kaduwang), dan
(5) Daerah Siti
Gadhing Mataram (wilayah Mataram Ngayogyakarta [suatu wilayah di antara Gunung Merapi dengan Samudera Hindia]).
Pembagian Mataram dan Manca Nagara pada tahun 1757.
- Manca Nagara meliputi:
(b) Kalangbret,
dan
(a) Jipang
(Ngawen) dan
(b) Teras Karas
(Ngawen);
(b) Warung
(Kuwu-Wirosari), dan
Wilayah-wilayah Kesultanan tersebut bukan sebuah wilayah
yang utuh, namun terdapat banyak enklave maupun eksklave wilayah Kesunanan dan Mangku Negaran. Wilayah-wilayah
tersebut merupakan hasil dari Perjanjian
Palihan Nagari yang ditandatangani di Giyanti. Perjanjian itu juga disebut Perjanjian
Giyanti.
Dalam perjalanan waktu wilayah tersebut berkurang akibat
perampasan oleh Daendels dan Raffles. Setelah Perang Diponegoro selesai pada 1830, pemerintah Hindia Belanda akhirnya
merampas seluruh wilayah Manca Nagara. Pada tahun itu pula ditandatangani Perjanjian Klaten pada 27 September 1830 yang menegaskan wilayah dan batas-batas Kasultanan
Yogyakarta dengan Kasunanan
Surakarta. Wilayah Kasultanan
Yogyakarta hanya meliputi
Mataram dan Gunungkidul dengan luas
2.902,54 km persegi. Di wilayah tersebut terdapat enklave Surakarta (Kotagede dan Imogiri), Mangku Negaran (Ngawen), dan Paku
Alaman (Kabupaten Kota Paku Alaman).
Penduduk
Potret putra
dan putri bangsawan Kesultanan Yogyakarta (1870).
Pembagian wilayah menurut Perjanjian
Palihan Nagari juga diikuti dengan pembagian pegawai kerajaan (abdi Dalem) dan
rakyat (kawula Dalem) yang menggunakan atau memakai wilayah tersebut.
Hal ini tidak terlepas dari sistem pemakaian tanah pada waktu itu yang menggunakan sistem lungguh (tanah
jabatan). Diperkirakan penduduk kesultanan pada waktu perjanjian berjumlah
522.300 jiwa, dengan asumsi tanah satu karya dikerjakan oleh satu keluarga
dengan anggota enam orang. Pada 1930 penduduk meningkat menjadi 1.447.022 jiwa.
Dalam strata sosial, penduduk dapat dibedakan menjadi
tiga golongan yaitu bangsawan (bandara), pegawai (abdi Dalem) dan
rakyat jelata (kawula Dalem). Sultan yang merupakan anggota lapisan bangsawan menempati
urutan puncak dalam sistem sosial. Anggota lapisan bangsawan ini memiliki
hubungan kekerabatan dengan Sultan yang pernah atau sedang memerintah.
Namun hanya bangsawan keturunan 1-4 (anak, cucu, anak dari cucu, dan cucu dari
cucu) dari Sultan yang termasuk Keluarga Kerajaan dalam
artian mereka memiliki kedudukan dan peran dalam upacara kerajaan.
Lapisan pegawai mendasarkan kedudukan mereka dari surat
keputusan yang dikeluarkan oleh Sultan. Lapisan ini dibedakan menjadi tiga yaitu pegawai Keraton, pegawai Kepatihan, Kabupaten, dan Kapanewon, serta pegawai
yang diperbantukan pada pemerintah penjajahan. Lapisan rakyat jelata dibedakan
atas penduduk asli dan pendatang dari luar. Selain itu terdapat juga
orang-orang asing maupun keturunannya yang bukan warga negara Kasultanan Yogyakarta yang berdiam
di wilayah kesultanan.
Pemerintahan dan Politik
Koridor di depan Gedhong Jene dan
Gedhong Purworetno. Dari bangunan yang disebut terakhir ini Sultan mengendalikan seluruh kerajaan.
Pemerintahan Kasultanan Yogyakarta mulanya
diselenggarakan dengan menggunakan susunan pemerintahan warisan dari Mataram. Pemerintahan dibedakan menjadi dua urusan besar yaitu Parentah
Lebet (urusan dalam) yang juga disebut Parentah Ageng Karaton, dan Parentah
Jawi (urusan luar) yang juga disebut Parentah Nagari. Sultan memegang seluruh kekuasaan pemerintahan negara. Dalam
menjalankan kewajibannya sehari-hari Sultan dibantu lembaga Pepatih
Dalem yang bersifat personal.
Pada mulanya pemerintahan urusan dalam dan urusan luar
masing-masing dibagi menjadi empat kementerian yang dinamakan Kanayakan.
Kementerian urusan dalam adalah:
(1) Kanayakan
Keparak Kiwo, dan
(2) Kanayakan
Keparak Tengen,
yang keduanya
mengurusi bangunan dan pekerjaan umum;
(3) Kanayakan
Gedhong Kiwo, dan
(4) Kanayakan
Gedhong Tengen,
yang keduanya
mengurusi penghasilan dan keuangan.
Kementerian urusan luar adalah
(5) Kanayakan
Siti Sewu, dan
(6) Kanayakan
Bumijo,
yang keduanya
mengurusi tanah dan pemerintahan;
(7) Kanayakan
Panumping, dan
(8) Kanayakan
Numbak Anyar,
yang keduanya
mengurusi pertahanan.
Masing masing kementerian dipimpin oleh Bupati Nayaka
yang karena jabatannya juga merupakan komandan militer yang memimpin pasukan
kerajaan dalam peperangan.
Untuk menangani urusan agama Sultan membentuk sebuah badan khusus yang disebut dengan Kawedanan
Pengulon. Badan ini mengurus masalah peribadatan, perawatan masjid-masjid
kerajaan, dan upacara-upacara keagamaan istana, serta urusan peradilan kerajaan
dalam lingkungan peradilan syariat Islam. Urusan regional di luar ibukota dibagi menjadi beberapa
daerah administratif yang dikepalai oleh pejabat senior dengan pangkat Bupati. Mereka dikoordinasi oleh Pepatih
Dalem.
Tugas-tugasnya meliputi pengelolaan administrasi lokal, hukum dan peradilan,
pemungutan pajak dan pengiriman hasil panenan melalui
bawahannya, Demang, dan Bekel.
Setidaknya sampai 1792 Kasultanan
Yogyakarta secara de facto merupakan negara merdeka dan VOC hanyalah mitra yang sejajar. Untuk menjamin posisinya
maka VOC menempatkan seorang Residen di Yogyakarta untuk mengawasi Kesultanan. Kedudukan Residen ini mulanya berada di bawah Sultan dan sejajar dengan Pepatih
Dalem. Daendels menaikkan kedudukan Residen menjadi Minister, yang
merupakan menteri Raja/Ratu Belanda dan mewakili kehadiran Gubernur Jenderal.
Dengan kedatangan Raffles sistem pemerintahan berubah lagi. Sultan tidak diperbolehkan mengadakan hubungan dengan negara
lain sebab kedaulatan berada ditangan pemerintah Inggris. Begitu pula dengan Pepatih
Dalem, Pengurus
Kerajaan (Rijkbestuurder), diangkat dan
diberhentikan berdasar kebutuhan pemerintah Inggris dan dalam menjalankan pekerjaannya harus sepengetahuan
dan dengan pertimbangan Residen Inggris. Sultan mulai dibebaskan dari pemerintahan
sehari-hari yang dipimpin oleh Pepatih
Dalem yang dikontrol
oleh Residen.
Selepas Perang Diponegoro selesai pada
1830, pemerintahan Nagari yang berada di tangan Pepatih
Dalem dikontrol
secara ketat sekali oleh Belanda untuk mencegah terjadinya
pemberontakan. Kasultanan
Yogyakarta secara de facto dan de jure menjadi negara protektorat dari Koninkrijk der Nederlanden, dengan status zelfbestuurende
landschappen. Selain itu pemerintah Hindia Belanda selalu
mengajukan perjanjian politik yang dinamakan kontrak politik bagi calon Sultan yang akan ditahtakan. Perjanjian ini diberlakukan
terhadap Sultan
Hamengkubuwana V - Sultan
Hamengkubuwana IX. Kontrak politik terakhir dibuat pada 18 Maret 1940 antara Gubernur Hindia Belanda untuk Daerah Yogyakarta, L. Adam dengan HB
IX.
Pada 1900-an Belanda mencampuri birokrasi pemerintahan Kesultanan secara intensif dengan maksud memasukkan birokrasi barat modern. Untuk membiayai birokrasi tersebut maka pada 1915 APBN Kasultanan
Yogyakarta dibagi menjadi
dua yaitu APBN untuk Parentah Ageng Karaton dan APBN untuk Parentah Nagari yang berada dalam kontrol Hindia Belanda. Untuk belanja
dan mengurus keperluan istana, setiap tahun Sultan mendapat uang ganti rugi yang disebut Daftar Sipil yang ditentukan
dalam kontrak politik yang dibuat sebelum Sultan ditahtakan. Dengan demikian Sultan benar benar tersingkir dari pemerintahan Nagari dan
hanya berperan di istana saja.
Perubahan besar dalam pemerintahan terjadi pada saat Sultan
Hamengkubuwono IX (HB IX) naik tahta pada tahun 1940, khususnya selama pendudukan Jepang (1942-1945). Secara perlahan namun pasti, Sultan melakukan restorasi (bandingkan dengan restorasi Meiji). Sultan membentuk badan-badan pemerintahan baru untuk menampung
urusan pemerintahan yang diserahkan oleh Tentara Pendudukan Jepang. Badan tersebut dinamakan Paniradya yang
masing-masing dikepalai oleh Paniradyapati. Paniradyapati tidak lagi
berada di bawah kekuasaan Pepatih
Dalem melainkan
langsung berada di bawah kekuasaan Sultan. Dengan perlahan namun pasti Sultan memulihkan kembali kekuasaannya selaku kepala
pemerintahan.
Pada pertengahan 15 Juli 1945, Pepatih
Dalem terakhir, KPHH
Danurejo VIII, mengundurkan
diri karena memasuki usia pensiun. Sejak saat itu Sultan tidak menujuk lagi Pepatih
Dalem sebagai
penggantinya melainkan mengambil alih kembali kekuasaan pemerintahan negara.
Sebagai kelanjutannya birokrasi kesultanan dibedakan menjadi dua bagian yaitu urusan dalam istana (Imperial
House) dan urusan luar istana. Urusan dalam istana ditangani oleh Parentah
Ageng Karaton yang mengkoordinasikan seluruh badan maupun kantor pemerintahan
yang berada di istana yang terdiri dari beberapa badan atau kantor Semuanya di
pimpin dan diatur secara langsung oleh saudara atau putera Sultan.
Sultan meminpin sendiri lembaga luar istana, yang terdiri dari
beberapa Paniradya yang dipimpin
oleh Bupati. Daerah di sekitar istana dibagi
menjadi lima kabupaten yang administrasi lokalnya dipimpin oleh Bupati. Setelah kemerdekaan, sebagai konsekuensi integrasi Kesultanan pada Republik, status dan posisi serta administrasi Kesultanan dijalankan berdasar peraturan Indonesia. Kesultanan diubah menjadi
daerah administrasi khusus dan Sultan menjadi Kepala Daerah Istimewa. Kesultanan menjadi bagian dari republik modern.
Hukum dan Peradilan
Dalam sistem peradilan kerajaan, kekuasaan kehakiman tertinggi berada di tangan Sultan. Dalam kekuasaan kehakiman Kesultanan
Yogyakarta terdapat empat
macam badan peradilan yaitu Pengadilan Pradoto, Pengadilan Bale Mangu, Al Mahkamah Al Kabirah, dan Pengadilan Darah Dalem.
- Pengadilan Pradoto merupakan pengadilan sipil yang menangani masalah kasus pidana maupun perdata.
- Pengadilan Bale Mangu merupakan pengadilan khusus yang menangani tata urusan pertanahan dan hubungan antar tingkat antara pegawai kerajaan.
- Al Mahkamah Al Kabirah atau yang sering disebut dengan Pengadilan Surambi adalah pengadilan syar’iyah yang berlandaskan pada Syariat (Hukum) Islam. Pengadilan ini merupakan konsekuensi dari bentuk Pemerintahan Yogyakarta sebagai sebuah Kesultanan Islam. Mulanya pengadilan ini menangani ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga) seperti nikah dan waris, serta jinayah (hukum pidana). Dalam perjalanannya kemudian berubah hanya menangani ahwal al-syakhsiyah nikah, talak, dan waris.
- Pengadilan Darah Dalem atau Pengadilan Ponconiti merupakan pengadilan khusus (Forum Privilegatum) yang menangani urusan yang melibatkan anggota keluarga kerajaan. Pengadilan ini sebenarnya terdiri dari dua pengadilan yang berbeda yaitu Pengadilan Karaton Darah Dalem dan Pengadilan Kepatihan Darah Dalem.
Perubahan bidang kehakiman mendasar terjadi pada 1831 ketika pemerintah Hindia Belanda setahap demi
setahap mencampuri dan mengambil alih kekuasaan kehakiman dari pemerintahan Kasultanan Yogyakarta. Mulai dari penunjukkan Residen Kerajaan Hindia Belanda untuk Kasultanan
Yogyakarta sebagai ketua Pengadilan Pradoto sampai dengan pembentukan pengadilan Gubernemen (Landraad) di Yogyakarta. Akhirnya Pengadilan Pradoto dan Bale Mangu dihapuskan masing-masing pada 1916 dan 1917 serta kewenangannya dilimpahkan pada
Landraad Yogyakarta. Setelah Kasultanan
Yogyakarta menyatakan
sebagai bagian dari Negara Republik Indonesia maka sistem peradilan yang digunakan
adalah sistem peradilan nasional. Pengadilan yang digunakan adalah Pengadilan Negeri sebagai ganti
dari Landraad Yogyakarta. Pada 1947 Pemerintah Pusat Indonesia menghapuskan pengadilan kerajaan yang terakhir, Pengadilan Darah Dalem.
Dalam sistem hukum kerajaan pernah digunakan sebuah Kitab Undang-undang Hukum (KUH) Kesultanan yang disebut dengan nama Kitab Angger-angger yang
disusun bersama oleh Kasultanan
Yogyakarta dan Kasunanan
Surakarta pada 1817. KUH ini terdiri dari lima/enam buku (volume) yaitu Angger Aru-biru, Angger Sadoso, Angger
Gunung, Angger Nawolo Pradoto Dalem, Angger Pradoto Akhir (khusus Yogyakarta), dan Angger Ageng. Seiring dengan berdirinya Landraad
Yogyakarta maka KUH pun
diganti dengan KUH Belanda seperti Burgerlijk Wetboek dan Wetboek
van Strafrecht.
Ekonomi dan Agraria
Sumber ekonomi utama yang tersedia bagi Kesultanan
Yogyakarta adalah tanah, hutan kayu keras, perkebunan, pajak, dan uang sewa.
Oleh karena itu sistem ekonomi tidak bisa lepas dari sistem agraria. Sultan
menguasai seluruh tanah di Kesultanan Yogyakarta. Dalam birokrasi kerajaan,
pertanahan diurus oleh Kementerian Pertanahan, Kanayakan Siti Sewu. Urusan
tanah di Kesultanan Yogyakarta dibagi menjadi dua bentuk yaitu tanah yang
diberikan Sultan kepada anggota keluarga kerajaan dan tanah yang diberikan
kepada pegawai kerajaan. Tanah tersebut berlokasi teritori Nagara Agung, khususnya
daerah Mataram, dan disebut sebagai tanah
lungguh (apanage
land/tanah jabatan). Tanah yang berada dalam pemeliharaan para keluarga
kerajaan dan pegawai kerajaan tersebut juga digunakan oleh masyarakat umum
sebagai tempat tinggal dan pertanian dari generasi ke generasi. Sebagai
imbalannya mereka menyetor sebagian hasil panen sebagai bentuk pajak. Sekalipun
kaum ningrat dan rakyat umum memiliki kebebasan dalam mengatur, mengolah, dan
mendiami tanah tersebut mereka tidak diijinkan untuk menjualnya.
Selain itu kerajaan juga menerima penerimaan yang besar
dari penebangan hutan kayu keras dalam skala besar sejak Sultan HB I. Pada 1821 pemerintahan Hindia Belanda memperoleh hak
atas hasil penebangan dari hutan kayu keras dan istana bertanggung jawab atas
manajemen dan eksploitasinya. Pada 1848 sebuah peraturan mengharuskan Sultan memenuhi kebutuhan
kayu keras pemerintah jajahan dan dalam ganti rugi Sultan memperoleh biaya
penebangan dan pengangkutan kayu. Pada 1904 masa pemerintahan HB VII, manajemen hutan kayu keras di
Gunung Kidul diambil alih oleh pemerintah Hindia Belanda. Sebagai kompensasi
atas persetujuan itu istana memperoleh kayu keras gratis untuk konstruksi
istana Ambar Rukmo dan Ambar Winangun.
Perkebunan yang dikembangkan di Yogyakarta, terutama
setelah 1830, adalah kopi, tebu, nila, dan
tembakau. Kebanyakan perkebunan ditangani oleh perkebunan swasta asing. Jumlah
perkebunan yang semula ada 20 buah pada tahun 1839 meningkat menjadi 53 pada
tahun 1880, seiring pertumbuhan ekonomi, sistem
penyewaan tanah, dan pembangunan infrastruktur.
Restrukturisasi di zaman HB IX karena
dihadapkan pada beban ekonomi dan sumber yang terbatas. Pada 1942, Sultan tidak melaporkan secara akurat jumlah produksi
beras, ternak, dan produk lain untuk melindungi rakyat dari Jepang. Sultan juga
membangun kanal guna meningkatkan produksi beras dan untuk mencegah rakyat
Yogyakarta dijadikan romusha oleh Jepang.
Kebudayaan, Pendidikan, dan Kepercayaan
Gerbang Danapratapa, Keraton
Yogyakarta, antara seni, filsafat, kosmologi, kebiasaan umum (adat istiadat), sistem
kepercayaan, pandangan hidup, dan pendidikan yang tak terpisahkan dalam
kebudayaan Jawa.
Sebagaimana masyarakat Jawa pada umumnya, kebudayaan di Kesultanan Yogyakarta tidak
begitu memiliki batas yang tegas antar aspeknya. Kebiasaan umum (adat
istiadat), kepercayaan, seni, pandangan hidup, pendidikan, dan sebagainya
saling tumpang tindih, bercampur dan hanya membentuk suatu gradasi yang kabur.
Sebagai contoh seni arsitektur bangunan keraton tidak lepas dari konsep “Raja Gung Binathara”
(raja yang agung yang dihormati bagaikan dewa) yang merupakan pandangan hidup
masyarakat yang juga menjadi bagian dari sistem kepercayaan (penghormatan
kepada dewa/tuhan).
Beberapa tarian tertentu, misalnya Bedaya Ketawang,
selain dianggap sebagai seni pertunjukan juga bersifat sakral sebagai bentuk
penghormatan kepada leluhur pendiri kerajaan dan penguasa alam. Begitu pula
benda-benda tertentu dianggap memiliki kekuatan magis dan berkaitan dengan
dunia roh dalam pandangan hidup masyarakat. Oleh karenanya dalam pergaulan
sehari-haripun ada pantangan yang bila dilanggar akan menimbulkan kutuk
tertentu bagi pelakunya. Ini pula yang menimbulkan tata kebiasaan yang
diberlakukan dengan ketat.
Kebudayaan tersebut diwariskan dari generasi ke generasi
berdasar cerita dari mulut ke mulut. Pelajaran tentang kehidupan disampaikan
melalui cerita-cerita wayang yang pada akhirnya menumbuhkan kesenian
pertunjukkan wayang kulit maupun wayang jenis lain. Selain itu wejangan dan
nasihat tentang pandangan hidup dan sistem kepercayaan juga ditransmisikan
dalam bentuk tembang (lagu) maupun bentuk sastra lainnya. Semua hal itu
tidak lepas dari sistem bahasa yang digunakan dan membuatnya berkembang. Dalam
masyarakat dipakai tiga jenjang bahasa yaitu Ngoko (bahasa Jawa rendah),
Krama Andhap (bahasa Jawa tengah), dan Krama Inggil (bahasa Jawa
tinggi). Aturan pemakaian bahasa tersebut sangat rumit, namun tercermin budaya
penghormatan dan saling menghargai. Ada satu lagi bahasa yang khusus dan hanya
digunakan di lingkungan istana yang disebut dengan Bagongan yang lebih
mencerminkan pandangan hidup kesetaraan kedudukan di antara pemakainya.
Perkembangan budaya sebagaimana dijelaskan di awal tidak
lepas pula dari sistem pendidikan. Pada mulanya sistem pendidikan yang
digunakan meneruskan sistem yang digunakan zaman Mataram. Pendidikan formal
hanya dapat dinikmati oleh keluarga kerajaan. Pendidikan itu meliputi
pendidikan agama dan sastra. Pendidikan agama diselenggarakan oleh Kawedanan
Pengulon. Pendidikan ini berlokasi di kompleks masjid raya kerajaan.
Pendidikan sastra diselenggarakan oleh Tepas Kapunjanggan. Kedua
pendidikan ini satu sistem dan tidak terpisah. Para siswa diberi pelajaran
agama, bahasa Jawa, budaya, dan
literatur (serat dan babad).
Pendidikan barat baru diperkenalkan oleh pemerintah
penjajahan pada awal abad 20. Pada pemerintahan Sultan HB VIII sistem
pedidikan dibuka. Mula-mula sekolah dasar dibuka di Tamanan dan kemudian
dipindahkan di Keputran. Sekolah ini masih ada hingga sekarang dalam
bentuk SD N Keputran. Pendidikan lanjut memanfaatkan pendidikan yang dibuka
oleh pemerintah penjajahan seperti HIS, Mulo, dan AMS B.
Pada 1946, kesultanan ikut serta dalam
mendirikan Balai Perguruan Kebangsaan Gajah Mada yang pada 1949 dijadikan UGM.
Sebagai sebuah Kesultanan, Islam merupakan kepercayaan resmi kerajaan. Sultan memegang
kekuasaan tertinggi dalam bidang kepercayaan dengan gelar Sayidin Panatagama
Khalifatullah. Walaupun demikian kepercayaan-kepercayaan lokal (baca
kejawen) masih tetap dianut rakyat disamping mereka menyatakan diri sebagai
orang Islam. Berbagai ritus kepercayaan lokal masih dijalankan namun doa-doa
yang dipanjatkan diganti dengan menggunakan bahasa Arab. Hal ini menujukkan
sebuah kepercayaan baru yang merupakan sinkretis antara kepercayaan Islam dan
kepercayaan lokal. Gerakan puritan untuk membersihkan Islam dari
pengaruh kepercayaan lokal dan westernisasi baru muncul pada 1912 dari kalangan Imam Kerajaan. Pada perkembangan
selanjutnya kawasan Kauman Yogyakarta yang menjadi tempat tinggal para
Imam Kerajaan menjadi pusat gerakan puritan itu.
Pertahanan dan Keamanan
Pada mulanya sistem birokrasi pemerintahan menganut
sistem militer sebagaimana kerajaan Mataram. Seorang pegawai pemerintah juga
merupakan seorang serdadu militer. Begitu pula para pimpinan kabinet kerajaan
karena jabatannya merupakan komandan militer, bahkan kalau perlu mereka harus
ikut bertempur membela kerajaan. Walaupun begitu untuk urusan pertahanan
terdapat tentara kerajaan yang dikenal dengan abdi Dalem Prajurit.
Tentara Kesultanan Yogyakarta hanya terdiri dari angkatan darat saja yang
dikelompokkan menjadi sekitar 26 kesatuan. Selain itu terdapat pula paramiliter
yang berasal dari rakyat biasa maupun dari pengawal para penguasa di Manca
Nagara.
Pada paruh kedua abad 18 sampai awal abad 19 tentara
kerajaan di Yogyakarta merupakan kekuatan yang patut diperhitungkan. Walaupun
Sultan merupakan panglima tertinggi namun dalam keseharian hanya sebagian saja
yang berada di dalam pengawasan langsung oleh Sultan. Sebagian yang lain berada
di dalam pengawasan Putra mahkota dan para pangeran serta pejabat senior yang
memimpin kementerian/kantor pemerintahan. Kekuatan pertahanan menyurut sejak
dimakzulkannya HB II oleh Daendels pada 1810 dan ditanda tanganinya perjanjian antara HB III dengan Raffles pada 1812. Perjanjian itu mencantumkan Sultan
harus melakukan demiliterisasi birokrasi kesultanan. Sultan, pangeran, dan
penguasa daerah tidak boleh memiliki tentara kecuali dengan izin pemerintah
Inggris dan itupun hanya untuk menjaga keselamatan pribadi sang pejabat.
Kekuatan pertahanan benar-benar lumpuh setelah selesainya
perang Diponegoro pada tahun 1830. Tentara Kesultanan Yogyakarta hanya
menjadi pengawal pribadi Sultan, Putra Mahkota, dan Pepatih Dalem. Jumlahnya
sangat dibatasi dan persenjataannya tidak lebih dari senjata tajam dan beberapa
pucuk senapan tua. Pertahanan menjadi tanggung jawab pemerintah Hindia Belanda.
Sebagai pengganti kekuatan militer yang dikebiri Kesultanan Yogyakarta dapat
membentuk polisi untuk menjaga keamanan warganya. Pada 1942, untuk mengindari keterlibatan kesultanan dalam perang
pasifik Sultan membubarkan tentara kesultanan. Keputusan ini kemudian
dikukuhkan dalam perintah Pemerintah Militer Angkatan Darat XVI Jepang pada
bulan Agustus 1942. Dengan demikian kesultanan tidak memiliki lagi kekuatan
militer.
Akhir Riwayat
Hamengku Buwono IX
Pada saat Proklamasi Kemerdekaan RI, Sultan Hamengku Buwono
IX dan Sri Paduka
Paku Alam VIII mengirim kawat
kepada Presiden RI, menyatakan bahwa Daerah Kesultanan Yogyakarta dan Daerah
Paku Alaman menjadi bagian wilayah Negara Republik Indonesia, serta bergabung
menjadi satu, mewujudkan sebuah Daerah
Istimewa Yogyakarta yang bersifat kerajaan. Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam
VIII kemudian menjadi Kepala Daerah Istimewa dan Wakil Kepala Daerah Istimewa
dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden
Republik Indonesia.
Pada tahun 1950 secara resmi Kasultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat ini, bersama-sama dengan Kadipaten Pakualaman menjadi Daerah
Istimewa Yogyakarta, sebuah daerah berotonomi khusus setingkat provinsi sebagai bagian Negara
Kesatuan Indonesia. Dengan demikian status Kasultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat sebagai sebuah negara (state) berakhir dan menjelma menjadi
pemerintahan daerah berotonomi khusus. Sedangkan institusi istana kemudian
dipisahkan dari "negara" dan diteruskan oleh Keraton Kasultanan
Yogyakarta.
Keraton Yogyakarta
Istana atau Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat
dirancang sendiri oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I saat mendirikan Kasultanan.
Keahliannya dalam bidang arsitektur antara lain dihargai oleh Dr. Pigeund dan
Dr. Adam, yaitu para peneliti berkebangsaan Belanda. Bagian-bagian keraton
adalah
(1) Kompleks Alun-alun
Lor yang terdiri dari sub kompleks: Gladhak-Pangurakan, Alun-alun Lor,
Mesjid Ageng, dan Pagelaran;
(2) Kompleks Siti
Hinggil Lor;
(3) Kompleks Kamandhungan
Lor;
(4) Kompleks Sri
Manganti;
(5) Kompleks Kedhaton
yang terdiri dari sub kompleks: Pelataran Kedhaton, Ksatriyan, Keputren,
dan Kraton Kilen;
(6) Kompleks Kamagangan;
(7) Kompleks Kamandhungan
Kidul;
(8) Kompleks Siti
Hinggil Kidul; dan
(9) Kompleks Alun-alun
Kidul dan Nirbaya.
Keraton Yogyakarta Ngayogyakarta Hadiningrat selain
merupakan kediaman resmi Sultan, saat ini juga berfungsi sebagai salah satu
cagar budaya masyarakat Jawa. Sebagai pusat budaya, keraton sering melaksanakan
kegiatan-kegiatan budaya dan merupakan salah satu tujuan pariwisata Daerah
Istimewa Yogyakarta, yang sering didatangi para wisatawan dalam dan luar
negeri.
Peristiwa Penting
Abad ke-18
- 1749, 12 Desember, Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai raja Mataram oleh pengikutnya dan para bangsawan senior dari Surakarta dengan gelar Susuhunan Paku Buwono Senopati Ingalaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama.
- 1750, RM Said (MN I) yang telah menjadi perdana menteri P Mangkubumi menggempur Surakarta.
- 1752, Mangkubumi berhasil menggerakkan pemberontakan di provinsi-provinsi Pasisiran (daerah pantura Jawa) mulai dari Banten sampai Madura. Perpecahan Mangkubumi-RM Said.
- 1754, Nicolas Hartingh menyerukan gencatan senjata dan perdamaian. 23 September, Nota Kesepahaman Mangkubumi-Hartingh. 4 November, PB III meratifikasi nota kesepahaman. Batavia walau keberatan tidak punya pilihan lain selain meratifikasi nota yang sama.
- 1755, 13 Februari, Perjanjian Palihan Nagari di desa Giyanti. P Mangkubumi mengambil gelar baru: Sampeyan Ingkang Ndalem Sinuwun Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing-Ngalaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama Khalifatullah. Yudonegoro, Gubernur Banyumas, menjadi Pepatih Dalem Danurejo I.
- 1756, 7 Oktober, Sultan HB I menempati istana barunya yang diberi nama Ngayogyakarta.
- 1773, Angger Aru-biru yang menjadi acuan dalam peradilan yang pertama disahkan.
- 1774, Putra mahkota (kelak HB II) menulis buku Serat Raja Surya yang kemudian menjadi pusaka.
- 1785, Perbentengan besar bergaya di sekeliling istana dibangun secara mendadak dan diselesikan dalam 2 tahun.
- 1792, HB I wafat. Sultan HB II berusaha mengabaikan control VOC.
- 1799, Danurejo I wafat dan diganti cucunya dengan gelar Danurejo II.
Abad ke-19
- 1808, 28 Juli, Daendels mengeluarkan peraturan baru tentang penggantian residen dengan minister dan perubahan kedudukannya yang sejajar dengan Sultan dan Sunan.
- 1810, Awal prahara politik Yogyakarta yang akan berlangsung sampai 1830. HB II menolak mentah-mentah kebijakan Daendels mengenai perubahan kedudukan minister. Danurejo II dipecat dan digantikan oleh Notodiningrat (PA II). Atas tekanan Daendels Danurejo II mendapatkan kembali kedudukannya. 31 Desember Daendels memberhentikan HB II dengan kekuatan militer dan mengangkat putra mahkota menjadi HB III serta merampas kekayaan istana.
- 1811, Daendels menghapus uang sewa pesisir yang menjadi pemasukan keuangan negara. September/Oktober, HB II merebut kembali tahtanya. HB III dikembalikan dalam posisi putra mahkota. Oktober Danurejo II dibunuh di istana. Sindunegoro (Danurejo III) menjadi Pepatih Dalem.
- 1812, 18 Juli-20 Juli, Kolonel Gillespie memimpin pasukan Inggris menyerang Yogyakarta. HB II dimakzulkan dan dibuang ke Penang (wilayah Malaysia sekarang). 1 Agustus, HB III menandatangani perubahan pemerintahan dan demiliterisasi birokrasi kerajaan.
- 1813, 13 Maret, Notokusumo diangkat menjadi Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam yang mengepalai sebuah principality yang terlepas dari Yogyakarta. Sindunegoro diganti oleh Bupati Jipan yang bergelar Danurejo IV.
- 1814, Sultan HB III wafat, putra mahkota yang masih berusia 9/10 tahun diangkat menjadi HB IV. PA I yang tidak disukai oleh istana ditunjuk Inggris menjadi wali sampai 1821.
- 1816, Inggris menyerahkan kembali daerah jajahan kepada Hindia Belanda.
- 1817, 6 Oktober Kitab Angger-angger sebagai Kitab Undang-undang Hukum (KUH) ditetapkan bersama Yogyakarta dan Surakarta.
- 1823, HB IV dibunuh oleh seorang agen Belanda. Putra mahkota yang masih berusia 3(4) diangkat menjadi HB V. Sebuah dewan perwalian yang terdiri atas Ibu Suri, Nenek Suri, P. Mangkubumi, P Diponegoro dan Danurejo IV dibentuk.
- 1825, Belanda menyerang kediaman P Diponegoro mengawali perang Jawa 1825-1830. Banyak bangsawan Yogyakarta mendukung P Diponegoro.
- 1826, HB II dipulangkan dari Ambon untuk meredakan perang namun tidak membawa hasil.
- 1828, HB II wafat, HB V kembali diangkat di bawah dewan perwalian baru.
Kasultanan pada tahun 1830 (berwarna hijau dan berada di
sebelah selatan)
- 1830, Akhir perang Diponegoro. Seluruh Mancanegara Yogyakarta dirampas Belanda sebagai pertanggungjawaban atas meletusnya perang. 27 September, Perjanjian Klaten menentukan tapal yang tetap antara Surakarta dan Yogyakarta. 24 Oktober, HB V meratifikasi Perjanjian Klaten.
- 1831, 11 Juni Perubahan struktur peradilan Kesultanan Yogyakarta.
- 1848, Peraturan yang mengharuskan Sultan memenuhi kebutuhan kayu keras pemerintah jajahan di tetapkan.
- 1855, HB V wafat. Adiknya diangkat menjadi HB VI.
- 1868, Gempa besar menghancurkan bangunan penting.
- 1877, HB VI wafat digantikan putranya HB VII.
- 1883, Seorang pangeran dari Yogyakarta berupaya memberontak dan gagal.
Abad ke-20
- 1904, Hindia Belanda mengambil alih penguasaan dan pengelolaan atas hutan di wilayah Kesultanan.
- 1908, 20 Mei, Budi Utomo didirikan oleh Mas Ngabehi Wahidin Sudirohusodo, seorang pegawai kesehatan.
- 1912, 18 November, Muhammadiyah didirikan oleh Mas Ketib Amin Haji Ahmad Dahlan, seorang Imam Kerajaan.
- 1915, APBN Kesultanan Yogyakarta mulai dipisah menjadi dua APBN.
- 1916, Pengadilan Bale Mangu dihapus oleh Hindia Belanda.
- 1917, Pengadilan Pradoto dihapus oleh Hindia Belanda.
- 1918, Perubahan hak atas tanah di wilayah Kesultanan.
- 1921, Sultan HB VIII bertahta. Kesultanan Yogyakarta memiliki dua APBN.
- 1922, Taman Siswa didirikan oleh Ki Hajar Dewantara, seorang kerabat Paku Alaman.
- 1933, 30 November, Danurejo VIII dilantik menggantikan Danurejo VII.
- 1940, 18 Maret, Sultan HB IX menandatangani Kontrak Politik terakhir dengan Hindia Belanda.
- 1942, Maret, Jepang datang. 1 Agustus, Sultan HB IX diangkat menjadi Koo atas Yogyakarta Kooti.
- 1943, Sultan membentuk Paniradya untuk mengurangi kekuasaan Pepatih Dalem.
Peta Tahun 1945
- 1945, 15 Juli, Danurejo VIII diberhetikan karena pensiun. 1 Agustus, Restorasi HB IX. 5 September, Kesultanan Yogyakarta berintegrasi dengan Indonesia. 30 Oktober, HB IX dan PA VIII menyerahkan kekuasaan legeslatif kepada BP KNID Yogyakarta.
- 1946, 4 Januari, kedudukan Pemerintah Indonesia dipindah ke Yogyakarta atas jaminan kesultanan. 18 Mei, Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta oleh Kesultanan dan Paku Alaman.
- 1947, Pengadilan Darah Dalem dihapus oleh Pemerintah Indonesia.
- 1950, 4 Maret, Daerah Kesultanan Yogyakarta dan Daerah Paku Alaman ditetapkan menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta, sebuah daerah berotonomi khusus setingkat provinsi, dan mulai berlaku pada 15 Agustus.
- 1965, 1 September, Daerah Istimewa Yogyakarta dijadikan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
- 1988, Sultan HB IX wafat.
www.Wikipedia.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar