Piagam Jakarta adalah hasil kompromi tentang dasar negara Indonesia yang dirumuskan oleh Panitia Sembilan dan disetujui pada tanggal 22 Juni 1945 antara pihak Islam dan kaum kebangsaan (nasionalis). Panitia Sembilan merupakan panitia kecil yang dibentuk oleh BPUPKI.
Di
dalam Piagam Jakarta terdapat lima butir yang kelak menjadi Pancasila
dari lima butir, sebagai berikut:
- Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
- Kemanusiaan yang adil dan beradab
- Persatuan Indonesia
- Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
- Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Pada
saat penyusunan UUD pada Sidang Kedua BPUPKI, Piagam
Jakarta dijadikan Muqaddimah (preambule).
Selanjutnya pada pengesahan UUD 45 18 Agustus 1945 oleh PPKI, istilah Muqaddimah
diubah menjadi Pembukaan UUD.
Butir pertama yang berisi kewajiban menjalankan Syariat Islam
bagi pemeluknya, diganti menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa oleh Drs. M. Hatta atas usul A.A. Maramis
setelah berkonsultasi dengan Teuku Muhammad Hassan, Kasman Singodimedjo dan Ki Bagus Hadikusumo.
Naskah
Piagam Jakarta ditulis dengan menggunakan ejaan
Republik dan ditandatangani oleh Ir. Soekarno,
Mohammad
Hatta, A.A. Maramis, Abikoesno
Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakir, H.A. Salim,
Achmad
Subardjo, Wahid Hasjim, dan Muhammad
Yamin.
Untuk naskah Piagam Jakarta dalam ejaan yang disempurnakan:
Piagam
Jakarta
Bahwa sesungguhnya
kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di
atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan
perikeadilan.
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
Atas berkat Rahmat
Allah yang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya
berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini
kemerdekaannya.
Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia Merdeka yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Hukum Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasar kepada: ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewudjudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Jakarta, 22 Juni 1945
Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia Merdeka yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Hukum Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasar kepada: ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewudjudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Jakarta, 22 Juni 1945
Ir. Soekarno
Mohammad Hatta
A.A. Maramis
Abikusno Tjokrosujoso
Abdulkahar Muzakir
H.A. Salim
Achmad Subardjo
Wachid Hasjim
Muhammad Yamin
Mohammad Hatta
A.A. Maramis
Abikusno Tjokrosujoso
Abdulkahar Muzakir
H.A. Salim
Achmad Subardjo
Wachid Hasjim
Muhammad Yamin
Kemudian
dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara
Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia
dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Kisah Di Balik Terhapusnya Piagam Jakarta
Ada
khianat dan dusta, di balik terhapusnya kalimat, “dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam Piagam Jakarta yang juga
Pembukaan UUD 1945. Sikap toleran tokoh-tokoh Islam, dibalas dengan
tipu-tipu politik!
Sebagaimana
ditulis sebelumnya, sehari pasca pembacaan Proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia pada 17 Agustus 1945, tujuh kata dalam Piagam Jakarta dihapuskan. Di
antara tokoh yang sangat gigih menolak penghapusan itu adalah tokoh
Muhammadiyah, Ki Bagus Hadikusumo. Saking gigihnya, sampai-sampai Soekarno dan
Hatta tak berani bicara langsung dengan Ki Bagus. Soekarno terkesan menghindar
dan canggung, karena bagi Ki Bagus, penegakan syariat Islam adalah harga mati
yang tak bisa ditawar lagi.
Untuk
meluluhkan pendirian Ki Bagus, Soekarno kemudian mengirim utusan bernama Teuku
Muhammad Hassan dan KH Wahid Hasyim agar bisa melobi Ki Bagus. Namun, keduanya
tak mampu meluluhkan pendirian tokoh senior di Muhammadiyah ketika itu.
Akhirnya, dipilihlah Kasman Singodimedjo yang juga orang Muhammadiyah, untuk
melakukan pendekatan secara personal, sesama anggota Muhammadiyah, untuk
melunakkan sikap dan pendirian Ki Bagus Hadikusumo.
Dalam
memoirnya yang berjudul ”Hidup Itu Berjuang“, Kasman menceritakan bahwa
ia mendatangi Ki Bagus dan berkomunikasi dengan bahasa Jawa halus (kromo
inggil). Kepada Ki Bagus, Kasman membujuk dengan mengatakan,
“Kiai,
kemarin proklamasi kemerdekaan Indonesia telah terjadi. Hari ini harus
cepat-cepat ditetapkan Undang-Undang Dasar sebagai dasar kita bernegara, dan
masih harus ditetapkan siapa presiden dan lain sebagainya untuk melancarkan
perputaran roda pemerintahan. Kalau bangsa Indonesia, terutama
pemimpin-pemimpinnya cekcok, lantas bagaimana?!
Kiai,
sekarang ini bangsa Indonesia kejepit di antara yang tongol-tongol dan
yang tingil-tingil. Yang tongol-tongol ialah
balatentara Dai Nippon yang masih berada di bumi Indonesia dengan persenjataan
modern. Adapun yang tingil-tingil (yang mau masuk kembali ke
Indonesia, pen) adalah sekutu termasuk di dalamnya Belanda, yaitu
dengan persenjataan yang modern juga. Jika kita cekcok, kita pasti akan konyol.
Kiai,
di dalam rancangan Undang-Undang Dasar yang sedang kita musyawarahkan hari ini
tercantum satu pasal yang menyatakan bahwa 6 bulan lagi nanti kita dapat adakan
Majelis Permusyawaratan Rakyat, justru untuk membuat Undang-Undang Dasar yang
sempurna. Rancangan yang sekarang ini adalah rancangan Undang-Undang
Dasar darurat. Belum ada waktu untuk membikin yang sempurna atau memuaskan
semua pihak, apalagi di dalam kondisi kejepit!
Kiai,
tidakkah bijaksana jikalau kita sekarang sebagai umat Islam yang mayoritas ini
sementara mengalah, yakni menghapus tujuh kata termaksud demi kemenangan
cita-cita kita bersama, yakni tercapainya Indonesia Merdeka sebagai negara yang
berdaulat, adil, makmur, tenang tenteram, diridhai Allah SWT.”
Kasman
juga menjelaskan perubahan yang diusulkan oleh Mohammad Hatta, bahwa kata
”Ketuhanan” ditambah dengan ”Ketuhanan Yang Maha Esa”. KH A Wahid Hasyim
dan Teuku Muhammad Hassan yang ikut dalam lobi itu menganggap Ketuhanan Yang
Maha Esa adalah AllahSubhanahu wa Ta’ala, bukan yang lainnya. Kasman
menjelaskan, Ketuhanan Yang Maha Esa menentukan arti Ketuhanan dalam Pancasila.
”Sekali lagi bukan Ketuhanan sembarang Ketuhanan, tetapi yang dikenal Pancasila
adalah Ketuhanan Yang Maha Esa,” kata Kasman meyakinkan Ki Bagus.
Kasman
juga menjelaskan kepada Ki Bagus soal janji Soekarno yang mengatakan bahwa enam
bulan lagi akan ada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk membuat
undang-undang yang sempurna. Di sanalah nanti kelompok Islam bisa kembali
mengajukan gagasan-gagasan Islam. Karena Soekarno ketika itu mengatakan, bahwa
perubahan ini adalah Undang-Undang Dasar sementara, Undang-undang Dasar kilat.
“Nanti kalau kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih tenteram, kita
tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat
membuat Undang-Undang yang lebih lengkap dan sempurna,” kata Soekarno.
”Hanya
dengan kepastian dan jaminan enam bulan lagi sesudah Agustus 1945 itu akan
dibentuk sebuah Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Majelis pembuat
Undang-Undang Dasar Negara guna memasukkan materi Islam itu ke dalam
undang-undang dasar yang tetap, maka bersabarlah Ki Bagus Hadikusumo itu untuk
menanti,” kenang Kasman dalam memoirnya.
Selain
soal jaminan di atas, tokoh-tokoh Islam juga dihadapkan pada suatu situasi
terjepit dan sulit, dimana kalangan sekular selalu mengatakan bahwa kemerdekaan
yang sudah diproklamasikan membutuhkan persatuan yang kokoh. Inilah yang
disebut Kasman dalam memoirnya bahwa kalangan sekular pintar memanfaatkan momen
psikologis, dimana bangsa ini butuh persatuan, sehingga segala yang berpotensi
memicu perpecahan harus diminimalisir. Dan yang perlu dicatat, tokoh-tokoh
Islam yang dari awal menginginkan negeri ini merdeka dan bersatu, saat itu begitu legowo untuk
tidak memaksakan kehendaknya mempertahankan tujuh kata tersebut, meskipun
begitu pahit rasanya hingga saat ini. Sementara kalangan sekular-Kristen yang
minoritas selalu membuat move politik yang memaksakan kehendak
mereka.
Namun
sikap toleran dan legowo tokoh-tokoh Islam ternyata dikhianati. Kasman sendiri
akhirnya menyesal telah membujuk dan melobi Ki Bagus hingga akhirnya tokoh
Muhammadiyah itu menerima penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Setelah
berhasil melobi Ki Bagus, sebagaimana diceritakan Kasman dalam Memoirnya, ia
gelisah dan tidak bisa tidur. Kepada keluarganya ia tidak bicara, diam membisu.
Ia menceritakan dalam memoirnya,
”Alangkah
terkejut saya waktu mendapat laporan dari Cudhanco Latief Hendraningrat, bahwa
balatentara Dai Nippon (Jepang, pen) telah mengepung Daidan, dan
kemudian merampas semua senjata dan mesiu yang ada di Daidan. Selesai laporan,
maka Latief Hendraningrat hanya dapat menangis seperti anak kecil, dan
menyerahkan diri kepada saya untuk dihukum atau diampuni. Nota bene, Latief
sebelum itu, bahkan sebelum memberi laporannya telah meminta maaf terlebih
dahulu.
Ya
apa mau dibuat! Saya pun tak dapat berbuat apa-apa. Saya mencari kesalahan pada
diri saya sendiri sebelum menunjuk orang lain bersalah. Ini adalah pelajaran
Islam. Memang saya ada bersalah, mengapa saya sebagai militer kok ikut-ikutan
berpolitik dengan memenuhi panggilan Bung Karno!?
….Malamnya
tanggal (18 Agustus malam menjelang 19 Agustus 1945) itu sengaja saya membisu.
Kepada keluargapun saya tidak banyak bicara, saya pun lelah, letih sekali hari
itu, lagi pula kesal di hati. Siapa yang harus saya marahi?”
Kasman
mengatakan, ada dua kehilangan besar dalam sejarah bangsa ini ketika itu. Pertama,
penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang menjadi Pembukaan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Kedua, hilangnya sejumlah
senjata milik tentara Indonesia dan lain-lainnya yang sangat vital pada waktu
itu.
Kasman
menyadari dirinya terlalu praktis dan tidak berpikir jauh dalam memandang
Piagam Jakarta. Ia hanya terbuai dengan janji Soekarno yang mengatakan bahwa
enam bulan lagi akan ada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat yang akan dapat
memperbaiki kembali semua itu. Padahal dalam waktu enam bulan, mustahil untuk
melakukan sidang perubahan di tengah kondisi yang masih bergolak. Meski Kasman
telah mengambil langkah keliru, namun niat di hatinya sesungguhnya sangat baik,
ingin bangsa ini bersatu.
“Sayalah
yang bertanggung jawab dalam masalalah ini, dan semoga Allah mengampuni dosa
saya,” kata Kasman sambil meneteskan air mata, seperti diceritakan tokoh
Muhammadiyah Lukman Harun, saat Kasman mengulang cerita peristiwa tanggal 18
Agustus itu.
Dengan
lantang dan berapi-api ia berpidato, “Saudara ketua, satu-satunya tempat yang
tepat untuk menetapkan Undang-Undang Dasar yang tetap dan untuk menentukan
dasar negara yang tentu-tentu itu ialah Dewan Konstituante ini! Justru itulah
yang menjadi way out daripada pertempuran sengit di dalam
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang telah pula saya singgung dalam
pidato saya dalam pandangan umum babak pertama.
Saudara
ketua, saya masih ingat, bagaimana ngototnya almarhum Ki Bagus Hadikusumo Ketua
Umum Pusat Pimpinan Muhammadiyah yang pada waktu itu sebagai anggota Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia mempertahankan Islam untuk dimasukkan dalam
muqoddimah dan Undang-Undang Dasar 1945. Begitu ngotot saudara ketua, sehingga
Bung Karno dan Bung Hatta menyuruh Mr T.M Hassan sebagai putra Aceh menyantuni
Ki Bagus Hadikusumo guna menentramkannya. Hanya dengan kepastian dan jaminan
bahwa 6 bulan lagi sesudah Agustus 1945 kita akan bentuk sebuah Majelis
Permusyawaratan Rakyat dan Majelis Pembuat Undang-Undang Dasar yang tetap, maka
bersabarlah Ki Bagus Hadikusumo untuk menanti.
Saudara
ketua, kini juru bicara Islam Ki Bagus Hadikusumo itu telah meninggalkan kita
untuk selama-lamannya, karena telah berpulang ke rahmatullah. Beliau telah
menanti dengan sabarnya, bukan menanti 6 bulan seperti yang telah dijanjikan
kepadanya. Beliau menanti, ya menanti sampai dengan wafatnya…
Gentlement
agreement itu sama sekali tidak bisa
dipisahkan daripada “janji” yang telah diikrarkan oleh Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia kepada kami golongan Islam yang berada dalam panitia
tersebut. Di dalam hal ini Dewan Konstituante yang terhormat dapat memanggil
Mr. T.M Hassan, Bung Karno dan Bung Hatta sebagai saksi mutlak yang masih
hidup guna mempersaksikan kebenaran uraian saya ini…
Saudara
ketua, di mana lagi jika tidak di Dewan Konstituante yang terhormat ini,
saudara ketua, di manakah kami golongan Islam menuntut penunaian “janji” tadi
itu? Di mana lagi tempatnya? Apakah Prof Mr Soehardi mau memaksa kita
mengadakan revolusi? Saya persilakan saudara Prof Mr Soehardi menjawab
pertanyaan saya ini secara tegas! Silakan!
Pidato
Kasman di Sidang Konstituante yang sangat menyengat dan mengusulkan Islam
sebagai dasar negara sungguh sebuah penebusan kesalahan yang sangat luar
biasa.Dalam pidato tersebut, Kasman secara detil mengemukakan alasan-alasannya
mengapa Islam layak dijadikan dasar negara, dan mempersilakan golongan lain
untuk mengemukakan alasan-alasannya terhadap Pancasila.
Bagi
Kasman, Islam adalah sumber mata air yang tak pernah kering dan tak akan ada
habisnya untuk digunakan sebagai dasar dari NKRI ini, jika negara ini
dilandaskan pada Islam. Sedangkan Pancasila yang dijadikan dasar negara tak
lebih seperti “air dalam tempayan”, yang diambil diangsur, digali dari “mata
air” atau sumber yang universal itu, yaitu Islam.
Kasman
mengatakan, “Ada yang mengira, si penemu—katakan kalau mau, ‘si penggali’ air
dalam tempayan itu adalah sakti mandra guna, dianggapnya hampir-hampir seperti
Nabi atau lebih daripada itu, dan tidak dapat diganggu gugat. Sedang air dalam
tempayan itu, lama kelamaan, secara tidak terasa mungkin, dianggapnya sebagai
air yang keramat, ya sebagai supergeloof (ideologi yang luar
biasa, pen) yang tidak dapat dibahas dengan akal
manusia, dan yang tidak boleh didiskusikan lagi di Konstituante sini. Masya
Allah!”
Begitulah
sekelumit kisah di balik penghapusan syariat Islam dalam naskah Piagam Jakarta.
Ada dusta dan khianat dari mereka yang memberi janji-janji muluk kepada
tokoh-tokoh Islam saat itu. Ada upaya-upaya yang jelas dan tegas untuk
memarjinalkan Islam. Menggunting dalam lipatan, menelikung di tengah jalan,
adalah politik yang dilakukan kelompok-kelompok yang tidak ingin negara ini
berlandaskan pada syariat Islam.
Inilah
pelajaran berharga bagi umat Islam, dimana sikap toleran kita terhadap kelompok
minoritas justru dihadiahi janji-janji palsu dan dusta. Umat Islam harus
menagih janji itu, bahwa Piagam Jakarta harus kembali diberlakukan!
Sumber
: www.wikipedia.org, www.arrahmah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar