Kesultanan Mataram adalah kerajaan Islam di Pulau Jawa
yang pernah berdiri pada abad ke-17. Kerajaan ini dipimpin suatu dinasti
keturunan Ki Ageng Sela dan Ki Ageng Pemanahan, yang mengklaim sebagai suatu
cabang ningrat keturunan penguasa Majapahit.
Asal-usulnya adalah suatu Kadipaten di bawah Kesultanan
Pajang, berpusat di "Bumi Mentaok" yang diberikan kepada Ki Ageng
Pemanahan sebagai hadiah atas jasanya. Raja berdaulat pertama adalah Sutawijaya
(Panembahan Senapati), putra dari Ki Ageng Pemanahan.
Kerajaan Mataram pada
masa keemasannya pernah menyatukan tanah Jawa dan sekitarnya, termasuk Madura.
Negeri ini pernah memerangi VOC di Batavia untuk mencegah semakin berkuasanya
firma dagang itu, namun ironisnya malah harus menerima bantuan VOC pada
masa-masa akhir menjelang keruntuhannya.
Mataram merupakan
kerajaan berbasis agraris/pertanian dan relatif lemah secara maritim. Ia
meninggalkan beberapa jejak sejarah yang dapat dilihat hingga kini, seperti
kampung Matraman di Batavia/Jakarta, sistem
persawahan di Pantura
Jawa
Barat, penggunaan hanacaraka dalam literatur bahasa
Sunda, politik feodal di Pasundan, serta beberapa batas administrasi wilayah
yang masih berlaku hingga sekarang.
Masa Awal
Sutawijaya
naik tahta setelah ia merebut wilayah Pajang sepeninggal
Hadiwijaya
dengan gelar Panembahan Senopati. Pada saat itu wilayahnya
hanya di sekitar Jawa Tengah saat ini, mewarisi wilayah Kerajaan
Pajang. Pusat pemerintahan berada di Mentaok, wilayah
yang terletak kira-kira di timur Kota
Yogyakarta dan selatan Bandar Udara Adisucipto sekarang. Lokasi keraton
(tempat kedudukan raja) pada masa awal terletak di Banguntapan,
kemudian dipindah ke Kotagede. Sesudah ia meninggal
(dimakamkan di Kotagede) kekuasaan diteruskan putranya Mas Jolang
yang setelah naik tahta bergelar Prabu Hanyokrowati.
Pemerintahan Prabu Hanyokrowati tidak berlangsung lama karena
beliau wafat karena kecelakaan saat sedang berburu di hutan Krapyak. Karena
itu ia juga disebut Susuhunan Seda Krapyak atau Panembahan Seda
Krapyak yang artinya Raja (yang) wafat (di) Krapyak. Setelah itu
tahta beralih sebentar ke tangan putra keempat Mas Jolang yang bergelar Adipati Martoputro. Ternyata Adipati Martoputro
menderita penyakit syaraf sehingga tahta beralih ke putra sulung Mas Jolang
yang bernama Mas Rangsangpada masa pemerintahan Mas
Rangsang,Mataram mengalami masa keemasan.
Sultan Agung
Sesudah naik tahta Mas
Rangsang bergelar Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo atau lebih dikenal
dengan sebutan Sultan Agung. Pada masanya Mataram berekspansi untuk
mencari pengaruh di Jawa. Wilayah Mataram mencakup Pulau Jawa dan Madura
(kira-kira gabungan Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur sekarang). Ia memindahkan lokasi kraton ke Karta (Jw.
"kertå", maka muncul sebutan pula "Mataram Karta"). Akibat
terjadi gesekan dalam penguasaan perdagangan antara Mataram dengan VOC yang berpusat di Batavia, Mataram
lalu berkoalisi dengan Kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon dan terlibat dalam beberapa
peperangan antara Mataram melawan VOC. Setelah wafat (dimakamkan di Imogiri), ia
digantikan oleh putranya yang bergelar Amangkurat
(Amangkurat I).
Terpecahnya
Mataram
Peta Mataram Baru yang telah
dipecah menjadi empat kerajaan pada tahun 1830, setelah Perang
Diponegoro. Pada peta ini terlihat bahwa Kasunanan Surakarta memiliki banyak enklave di
wilayah Kasultanan Yogyakarta dan wilayah Belanda.
Mangkunagaran juga memiliki sebuah enklave di Yogyakarta. Kelak enklave-enklave
ini dihapus.
Amangkurat
I memindahkan lokasi keraton ke Plered
(1647), tidak jauh dari Karta. Selain itu, ia tidak lagi menggunakan gelar
sultan, melainkan "sunan" (dari "Susuhunan" atau "Yang
Dipertuan"). Pemerintahan Amangkurat I kurang stabil karena banyak
ketidakpuasan dan pemberontakan. Pada masanya, terjadi pemberontakan besar yang
dipimpin oleh Trunajaya dan memaksa Amangkurat bersekutu dengan VOC. Ia
wafat di Tegalarum
(1677) ketika mengungsi sehingga dijuluki Sunan Tegalarum. Penggantinya,
Amangkurat II (Amangkurat Amral), sangat patuh pada VOC sehingga kalangan
istana banyak yang tidak puas dan pemberontakan terus terjadi. Pada masanya,
kraton dipindahkan lagi ke Kartasura (1680), sekitar 5km sebelah barat
Pajang karena kraton yang lama dianggap telah tercemar.
Pengganti Amangkurat II
berturut-turut adalah Amangkurat III (1703-1708), Pakubuwana I (1704-1719),
Amangkurat IV (1719-1726), Pakubuwana II (1726-1749). VOC tidak menyukai
Amangkurat III karena menentang VOC sehingga VOC mengangkat Pakubuwana I
(Puger) sebagai raja. Akibatnya Mataram memiliki dua raja dan ini menyebabkan
perpecahan internal. Amangkurat III memberontak dan menjadi "king in
exile" hingga tertangkap di Batavia lalu dibuang ke Ceylon.
Kekacauan politik baru
dapat diselesaikan pada masa Pakubuwana III setelah pembagian wilayah Mataram
menjadi dua yaitu Kesultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta tanggal 13
Februari 1755.
Pembagian wilayah ini tertuang dalam Perjanjian Giyanti (nama diambil dari lokasi
penandatanganan, di sebelah timur kota Karanganyar,
Jawa Tengah). Berakhirlah era Mataram sebagai satu kesatuan politik dan
wilayah. Walaupun demikian sebagian masyarakat Jawa beranggapan bahwa Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta adalah "ahli
waris" dari Kesultanan Mataram.
Peristiwa Penting
- 1558 - Ki Ageng Pemanahan dihadiahi wilayah Mataram oleh Sultan Pajang Adiwijaya atas jasanya mengalahkan Arya Penangsang.
- 1577 - Ki Ageng Pemanahan membangun istananya di Pasargede atau Kotagede.
- 1584 - Ki Ageng Pemanahan meninggal. Sultan Pajang mengangkat Sutawijaya, putra Ki Ageng Pemanahan sebagai penguasa baru di Mataram, yang sebelumnya sebagai putra angkat Sultan Pajang bergelar "Mas Ngabehi Loring Pasar" (karena rumahnya di sebelah utara pasar). Ia mendapat gelar "Senapati in Ngalaga" (karena masih dianggap sebagai Senapati Utama Pajang di bawah Sultan Pajang).
- 1587 - Pasukan Kesultanan Pajang yang akan menyerbu Mataram porak-poranda diterjang badai letusan Gunung Merapi. Sutawijaya dan pasukannya selamat.
- 1588 - Mataram menjadi kerajaan dengan Sutawijaya sebagai Sultan, bergelar "Senapati Ingalaga Sayidin Panatagama" artinya Panglima Perang dan Ulama Pengatur Kehidupan Beragama.
- 1601 - Panembahan Senopati wafat dan digantikan putranya, Mas Jolang yang bergelar Panembahan Hanyakrawati dan kemudian dikenal sebagai "Panembahan Seda ing Krapyak" karena wafat saat berburu (jawa: krapyak).
- 1613 - Mas Jolang wafat, kemudian digantikan oleh putranya Pangeran Aryo Martoputro. Karena sering sakit, kemudian digantikan oleh kakaknya Raden Mas Rangsang. Gelar pertama yang digunakan adalah Panembahan Hanyakrakusuma atau "Prabu Pandita Hanyakrakusuma". Setelah Menaklukkan Madura beliau menggunakan gelar "Susuhunan Hanyakrakusuma". Terakhir setelah 1640-an beliau menggunakan gelar bergelar "Sultan Agung Senapati Ingalaga Abdurrahman"
- 1645 - Sultan Agung wafat dan digantikan putranya Susuhunan Amangkurat I.
- 1645 - 1677 - Pertentangan dan perpecahan dalam keluarga kerajaan Mataram, yang dimanfaatkan oleh VOC.
- 1677 - Trunajaya merangsek menuju Ibukota Pleret. Susuhunan Amangkurat I mangkat. Putra Mahkota dilantik menjadi Susuhunan Amangkurat II di pengasingan. Pangeran Puger yang diserahi tanggung jawab atas ibukota Pleret mulai memerintah dengan gelar Susuhunan Ing Ngalaga.
- 1680 - Susuhunan Amangkurat II memindahkan ibukota ke Kartasura.
- 1681 - Pangeran Puger diturunkan dari tahta Plered.
- 1703 - Susuhunan Amangkurat III wafat. Putra mahkota diangkat menjadi Susuhunan Amangkurat III.
- 1704 - Dengan bantuan VOC Pangeran Puger ditahtakan sebagai Susuhunan Paku Buwono I. Awal Perang Tahta I (1704-1708). Susuhunan Amangkurat III membentuk pemerintahan pengasingan.
- 1708 - Susuhunan Amangkurat III ditangkap dan dibuang ke Srilanka sampai wafatnya pada 1734.
- 1719 - Susuhunan Paku Buwono I meninggal dan digantikan putra mahkota dengan gelar Susuhunan Amangkurat IV atau Prabu Mangkurat Jawa. Awal Perang Tahta Jawa Kedua (1719-1723).
- 1726 - Susuhunan Amangkurat IV meninggal dan digantikan Putra Mahkota yang bergelar Susuhunan Paku Buwono II.
- 1742 - Ibukota Kartasura dikuasai pemberontak. Susuhunan Paku Buwana II berada dalam pengasingan.
- 1743 - Dengan bantuan VOC Ibukota Kartasura berhasil direbut dari tangan pemberontak dengan keadaan luluh lantak. Sebuah perjanjian sangat berat (menggadaikan kedaulatan Mataram kepada VOC selama belum dapat melunasi hutang biaya perang) bagi Mataram dibuat oleh Susuhunan Paku Buwono II sebagai imbalan atas bantuan VOC.
- 1745 - Susuhunan Paku Buwana II membangun ibukota baru di desa Sala di tepian Bengawan Beton.
- 1746 - Susuhunan Paku Buwana II secara resmi menempati ibukota baru yang dinamai Surakarta. Konflik Istana menyebabkan saudara Susuhunan, P. Mangkubumi, meninggalkan istana. Meletus Perang Tahta Jawa Ketiga yang berlangsung lebih dari 10 tahun (1746-1757) dan mencabik Kerajaan Mataram menjadi dua Kerajaan besar dan satu kerajaan kecil.
- 1749 - 11 Desember Susuhunan Paku Buwono II menandatangani penyerahan kedaulatan Mataram kepada VOC. Namun secara de facto Mataram baru dapat ditundukkan sepenuhnya pada 1830. 12 Desember Di Yogyakarta, P. Mangkubumi diproklamirkan sebagai Susuhunan Paku Buwono oleh para pengikutnya. 15 Desember van Hohendorff mengumumkan Putra Mahkota sebagai Susuhunan Paku Buwono III.
- 1752 - Mangkubumi berhasil menggerakkan pemberontakan di provinsi-provinsi Pasisiran (daerah pantura Jawa) mulai dari Banten sampai Madura. Perpecahan Mangkubumi-RM Said.
- 1754 - Nicolas Hartingh menyerukan gencatan senjata dan perdamaian. 23 September, Nota Kesepahaman Mangkubumi-Hartingh. 4 November, PB III meratifikasi nota kesepahaman. Batavia walau keberatan tidak punya pilihan lain selain meratifikasi nota yang sama.
- 1755 - 13 Februari Puncak perpecahan terjadi, ditandai dengan Perjanjian Giyanti yang membagi Kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Pangeran Mangkubumi menjadi Sultan atas Kesultanan Yogyakarta dengan gelar "Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing-Ngalaga Ngabdurakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah" atau lebih populer dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I.
- 1757 - Perpecahan kembali melanda Mataram. Perjanjian Salatiga, perjanjian yang lebih lanjut membagi wilayah Kesultanan Mataram yang sudah terpecah, ditandatangani pada 17 Maret 1757 di Kota Salatiga antara Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa) dengan Sunan Paku Buwono III,VOC dan Sultan Hamengku Buwono I. Raden Mas Said diangkat sebagai penguasa atas sebuah kepangeranan, Praja Mangkunegaran yang terlepas dari Kesunanan Surakarta dengan gelar "Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangku Nagara Senopati Ing Ayudha".
- 1788 - Susuhunan Paku Buwono III mangkat.
- 1792 - Sultan Hamengku Buwono I wafat.
- 1795 - KGPAA Mangku Nagara I meninggal.
- 1799 - Voc dibubarkan
- 1813 - Perpecahan kembali melanda Mataram. P. Nata Kusuma diangkat sebagai penguasa atas sebuah kepangeranan, Kadipaten Paku Alaman yang terlepas dari Kesultanan Yogyakarta dengan gelar "Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam".
- 1830 - Akhir perang Diponegoro. Seluruh daerah Manca nagara Yogyakarta dan Surakarta dirampas Belanda. 27 September, Perjanjian Klaten menentukan tapal yang tetap antara Surakarta dan Yogyakarta dan membagi secara permanen Kerajaan Mataram ditandatangani oleh Sasradiningrat, Pepatih Dalem Surakarta, dan Danurejo, Pepatih Dalem Yogyakarta. Mataram secara de facto dan de yure dikuasai oleh Hindia Belanda.
KOTAGEDE,
Saksi Bisu Berdirinya Kerajaan Mataram Islam (Abad ke-16)
Pada abad ke-8, wilayah
Mataram (sekarang disebut Jogja /
Yogyakarta) merupakan pusat Kerajaan Mataram Hindu yang menguasai
seluruh Pulau Jawa. Kerajaan ini memiliki kemakmuran dan peradaban yang luar
biasa sehingga mampu membangun candi-candi
kuno dengan arsitektur yang megah, seperti Candi Candi
Prambanan dan Candi Candi
Borobudur. Namun pada abad ke-10, entah kenapa kerajaan tersebut
memindahkan pusat pemerintahannya ke wilayah Jawa Timur. Rakyatnya
berbondong-bondong meninggalkan Mataram dan lambat laun wilayah ini kembali
menjadi hutan lebat.
Enam abad kemudian
Pulau Jawa berada di bawah kekuasaan Kesultanan Pajang yang berpusat di Jawa
Tengah. Sultan Hadiwijaya yang berkuasa saat itu menghadiahkan Alas Mentaok (alas
= hutan) yang luas kepada Ki Gede Pemanahan atas keberhasilannya menaklukkan
musuh kerajaan. Ki Gede Pemanahan beserta keluarga dan pengikutnya lalu pindah
ke Alas Mentaok, sebuah hutan yang sebenarnya merupakan bekas Kerajaan Mataram
Hindu dahulu.
Desa kecil yang didirikan Ki Gede Pemanahan di hutan itu mulai makmur. Setelah
Ki Gede Pemanahan wafat, beliau digantikan oleh putranya yang bergelar Senapati
Ingalaga. Di bawah kepemimpinan Senapati yang bijaksana desa itu tumbuh menjadi
kota yang semakin ramai dan makmur, hingga disebut Kotagede (=kota besar). Senapati
lalu membangun benteng dalam (cepuri) yang mengelilingi kraton dan
benteng luar (baluwarti) yang mengelilingi wilayah kota seluas ± 200 ha.
Sisi luar kedua benteng ini juga dilengkapi dengan parit pertahanan yang lebar
seperti sungai.
Sementara itu, di Kesultanan Pajang terjadi perebutan takhta setelah Sultan
Hadiwijaya wafat. Putra mahkota yang bernama Pangeran Benawa disingkirkan oleh
Arya Pangiri. Pangeran Benawa lalu meminta bantuan Senapati karena pemerintahan
Arya Pangiri dinilai tidak adil dan merugikan rakyat Pajang. Perang pun
terjadi. Arya Pangiri berhasil ditaklukkan namun nyawanya diampuni oleh
Senapati. Pangeran Benawa lalu menawarkan takhta Pajang kepada Senapati namun
ditolak dengan halus. Setahun kemudian Pangeran Benawa wafat namun ia sempat
berpesan agar Pajang dipimpin oleh Senapati. Sejak itu Senapati menjadi raja
pertama Mataram Islam bergelar Panembahan. Beliau tidak mau memakai gelar
Sultan untuk menghormati Sultan Hadiwijaya dan Pangeran Benawa. Istana
pemerintahannya terletak di Kotagede.Selanjutnya Panembahan Senapati memperluas wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram Islam hingga ke Pati, Madiun, Kediri, dan Pasuruan. Panembahan Senapati wafat pada tahun 1601 dan dimakamkan di Kotagede berdekatan dengan makam ayahnya. Kerajaan Mataram Islam kemudian menguasai hampir seluruh Pulau Jawa (kecuali Banten dan Batavia) dan mencapai puncak kejayaannya di bawah pimpinan raja ke-3, yaitu Sultan Agung (cucu Panembahan Senapati). Pada tahun 1613, Sultan Agung memindahkan pusat kerajaan ke Karta (dekat Plered) dan berakhirlah era Kotagede sebagai pusat kerajaan Mataram Islam.
Peninggalan
Sejarah
Dalam perkembangan
selanjutnya Kotagede tetap ramai meskipun sudah tidak lagi menjadi ibukota
kerajaan. Berbagai peninggalan sejarah seperti makam para pendiri kerajaan,
Masjid Kotagede, rumah-rumah tradisional dengan arsitektur Jawa yang khas,
toponim perkampungan yang masih menggunakan tata kota jaman dahulu, hingga
reruntuhan benteng bisa ditemukan di Kotagede.
Pasar Kotagede
Tata kota kerajaan Jawa
biasanya menempatkan kraton, alun-alun dan pasar dalam poros selatan - utara.
Kitab Nagarakertagama yang ditulis pada masa Kerajaan Majapahit (abad ke-14)
menyebutkan bahwa pola ini sudah digunakan pada masa itu. Pasar tradisional
yang sudah ada sejak jaman Panembahan Senopati masih aktif hingga kini. Setiap
pagi legi dalam kalender Jawa, penjual, pembeli, dan barang dagangan
tumpah ruah di pasar ini. Bangunannya memang sudah direhabilitasi, namun
posisinya tidak berubah. Bila ingin berkelana di Kotagede, Anda bisa memulainya
dari pasar ini lalu berjalan kaki ke arah selatan menuju makam, reruntuhan
benteng dalam, dan beringin kurung.
Kompleks Makam Pendiri
Kerajaan
Berjalan 100 meter ke
arah selatan dari Pasar Kotagede, kita akan menemukan kompleks makam para
pendiri kerajaan Mataram Islam yang dikelilingi tembok yang tinggi dan kokoh.
Gapura ke kompleks makam ini memiliki ciri arsitektur Hindu. Setiap gapura
memiliki pintu kayu yang tebal dan dihiasi ukiran yang indah. Beberapa abdi
dalem berbusana adat Jawa menjaga kompleks ini 24 jam sehari.
Kita akan melewati 3
gapura sebelum sampai ke gapura terakhir yang menuju bangunan makam. Untuk
masuk ke dalam makam, kita harus mengenakan busana adat Jawa (bisa disewa di
sana). Pengunjung hanya diperbolehkan masuk ke dalam makam pada Hari Minggu,
Senin, Kamis, dan Jumat pukul 08.00 - 16.00. Untuk menjaga kehormatan para
pendiri Kerajaan Mataram yang dimakamkan di sini, pengunjung dilarang memotret
/ membawa kamera dan mengenakan perhiasan emas di dalam bangunan makam.
Tokoh-tokoh penting yang dimakamkan di sini meliputi: Sultan Hadiwiijaya, Ki
Gede Pemanahan, Panembahan Senopati, dan keluarganya.
Masjid Kotagede
Berkelana ke Kotagede
tidak akan lengkap jika tidak berkunjung ke Masjid Kotagede, masjid
tertua di Jogja /
Yogyakarta yang masih berada di kompleks makam. Setelah itu tak ada
salahnya untuk berjalan kaki menyusuri lorong sempit di balik tembok yang
mengelilingi kompleks makam untuk melihat arsitekturnya secara utuh dan
kehidupan sehari-hari masyarakat Kotagede.
Rumah Tradisional
Persis di seberang
jalan dari depan kompleks makam, kita bisa melihat sebuah rumah tradisional
Jawa. Namun bila mau berjalan 50 meter ke arah selatan, kita akan melihat
sebuah gapura tembok dengan rongga yang rendah dan plakat yang yang bertuliskan
"cagar budaya". Masuklah ke dalam, di sana Anda akan melihat
rumah-rumah tradisional Kotagede yang masih terawat baik dan benar-benar
berfungsi sebagai rumah tinggal.
Kedhaton
Berjalan ke selatan
sedikit lagi, Anda akan melihat 3 Pohon Beringin berada tepat di tengah jalan.
Di tengahnya ada bangunan kecil yang menyimpan "watu gilang", sebuah
batu hitam berbentuk bujur sangkar yang permukaannya terdapat tulisan yang
disusun membentuk lingkaran: ITA MOVENTUR MUNDU S - AINSI VA LE MONDE - Z00
GAAT DE WERELD - COSI VAN IL MONDO. Di luar lingkaran itu terdapat tulisan AD
ATERN AM MEMORIAM INFELICS - IN FORTUNA CONSOERTES DIGNI VALETE QUIDSTPERIS
INSANI VIDETE IGNARI ET RIDETE, CONTEMNITE VOS CONSTEMTU - IGM (In Glorium
Maximam). Entah apa maksudnya, barangkali Anda bisa mengartikannya untuk kami?
Dalam bangunan itu juga
terdapat "watu cantheng", tiga bola yang terbuat dari batu berwarna
kekuning-kuningan. Masyarakat setempat menduga bahwa "bola" batu itu
adalah mainan putra Panembahan Senapati. Namun tidak tertutup kemungkinan bahwa
benda itu sebenarnya merupakan peluru meriam kuno.
Reruntuhan Benteng
Panembahan Senopati
membangun benteng dalam (cepuri) lengkap dengan parit pertahanan di sekeliling
kraton, luasnya kira-kira 400 x 400 meter. Reruntuhan benteng yang asli masih
bisa dilihat di pojok barat daya dan tenggara. Temboknya setebal 4 kaki terbuat
dari balok batu berukuran besar. Sedangkan sisa parit pertahanan bisa dilihat
di sisi timur, selatan, dan barat.
Berjalan-jalan
menyusuri Kotagede akan memperkaya wawasan sejarah terkait Kerajaan Mataram
Islam yang pernah berjaya di Pulau Jawa. Selain itu, Anda juga bisa melihat
dari dekat kehidupan masyarakat yang ratusan tahun silam berada di dalam
benteng kokoh.
Berbeda dengan kawasan
wisata lain, penduduk setempat memiliki keramahan khas Jawa, santun, dan tidak
terlalu komersil. Di Kotagede, Anda takkan diganggu pedagang asongan yang suka
memaksa (hawkers). Ini memang sedikit mengejutkan, atau lebih tepatnya
menyenangkan. Siapa juga yang butuh pedagang asongan yang suka memaksa?
KI AGENG WONOSOBO ;
CIKAL RAJA-RAJA MATARAM ISLAM
Akan banyak orang yang
tidak percaya bahwa Trah Raja Mataram Islam bermula dari sebuah daerah yang
bernama Kabupaten Wonosobo tepatnya di Desa Plobangan Kecamatan Selomerto. Di
sanalah Situs Makam Ki Ageng Wonosobo berada yang saat ini menjadi salah satu
Obyek Wisata Ritual Kabupaten Wonosobo. Lepas dari pro kontra siapa sebenarnya
Ki Ageng Wonosobo ini namun yang jelas nama beliau yang sama dengan Kabupaten
Wonosobo menunjukkan bahwa di wilayah Wonosobo pada abad 14 M telah ada
kehidupan sosial kemasyarakatan.
Ki Ageng Wonosobo dikenal pula dengan nama Ki Ageng Dukuh, sedangkan di Desa Plobangan lebih dikenal dengan nama Ki Wanu atau Ki Wanuseba. Menurut saya perbedaan nama ini lebih cenderung disebabkan dialek daerah tersebut terpengaruhi oleh dialek Banyumas.
Siapa Ki Ageng Wonosobo atau Ki Ageng Dukuh ini? Beliau merupakan cucu dari Prabu Brawijaya V Raja Majapahit terakhir dan merupakan putra dari Raden Bondan Kejawen (Lembu Peteng) putra Brawijaya V yang menikah dengan Nawangsih. Nawangsih sendiri adalah putri dari Ki Joko Tarub yang menikah dengan Dewi Nawangwulan (epos Joko Tarub). Secara trah keturunan, Ki Ageng Wonosobo masih Sayid atau keturunan Nabi Muhammad SAW karena Ki Joko Tarub adalah putra dari Maulana Malik Ibrahim yang merupakan keturunan Nabi Muhammad SAW dari Trah Hendramaut.
Ki Ageng Wonosobo dikenal pula dengan nama Ki Ageng Dukuh, sedangkan di Desa Plobangan lebih dikenal dengan nama Ki Wanu atau Ki Wanuseba. Menurut saya perbedaan nama ini lebih cenderung disebabkan dialek daerah tersebut terpengaruhi oleh dialek Banyumas.
Siapa Ki Ageng Wonosobo atau Ki Ageng Dukuh ini? Beliau merupakan cucu dari Prabu Brawijaya V Raja Majapahit terakhir dan merupakan putra dari Raden Bondan Kejawen (Lembu Peteng) putra Brawijaya V yang menikah dengan Nawangsih. Nawangsih sendiri adalah putri dari Ki Joko Tarub yang menikah dengan Dewi Nawangwulan (epos Joko Tarub). Secara trah keturunan, Ki Ageng Wonosobo masih Sayid atau keturunan Nabi Muhammad SAW karena Ki Joko Tarub adalah putra dari Maulana Malik Ibrahim yang merupakan keturunan Nabi Muhammad SAW dari Trah Hendramaut.
Dalam
hubungannya dengan berdirinya Mataram Islam, Ki Ageng Wonosobo berputra Pangeran
Made Pandan yang dibeberapa literatur yang saya baca merupakan nama lain dari
Ki Ageng Pandanaran pendiri Kota Semarang pada era Demak Bintoro. Pangeran Made
Pandan berputra Ki Ageng Saba. Ki Ageng Saba ini ada kemiripan dengan Ki Ageng
Wonosobo namun tidak jelas apakah keberadaan Ki Ageng Saba ada kaitannya dengan
Wonosobo tempo dulu.
Selanjutnya, Ki Ageng Sobo mempunyai seorang putri yang menikah dengan Ki Ageng Pemanahan yaitu Nyi Ageng Pemanahan yang merupakan Ibu dari Sutowijoyo atau lebih dikenal dengan Panembahan Senopati ing Alogo Syekh Sayyidina Pranoto Gomo (Panembahan Loring Pasar ? )pendiri Kerajaan Mataram Islam di Kota Gede Yogyakarta. Dari Penembahan Senopati ini turunlah trah Ki Ageng Wonosobo menjadi raja-raja Mataram Islam sampai dengan era Kasunan, Ngayogyakrto Hadiningrat, dan Mangkunegaran sekarang ini.
Selanjutnya, Ki Ageng Sobo mempunyai seorang putri yang menikah dengan Ki Ageng Pemanahan yaitu Nyi Ageng Pemanahan yang merupakan Ibu dari Sutowijoyo atau lebih dikenal dengan Panembahan Senopati ing Alogo Syekh Sayyidina Pranoto Gomo (Panembahan Loring Pasar ? )pendiri Kerajaan Mataram Islam di Kota Gede Yogyakarta. Dari Penembahan Senopati ini turunlah trah Ki Ageng Wonosobo menjadi raja-raja Mataram Islam sampai dengan era Kasunan, Ngayogyakrto Hadiningrat, dan Mangkunegaran sekarang ini.
Situs
makam beliau saat ini telah dipugar oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
Kabupaten Wonosobo dan dijaga dengan baik oleh warga sekitar. Lokasi Situs
makam ini sangat dihormati oleh masyarakat dikarenakan Ki Ageng Wonosobo
merupakan tokoh penyebar Agama Islam dan sekaligus cikal dari Desa Plobangan
Selomerto. Di sekitar makam Ki Ageng Wonosobo terdapat tiga makam kuno lain
yang dipagar. Kono ketiga makam ini juga para pendahulu yang merupakan Ulama di
era yang sejaman dengan Ki Ageng Wonosobo. Salah satunya adalah Kyai Chotik
yang makamnya berada di bawah pohon beringin yang sangat tua dan besar.
Diameter pohon beringin ini sekitar 4 meter (mengingatkan saya dengan pohon
beringin di Ibu Kota Mataram Kota Gede Jogja) dan makam Kyai Chotik dikelilingi
oleh akar pohon beringin tersebut. Makam Kyai Chotik sendiri hanya berjarak
kurang lebih 10 meter dari Makam Ki Ageng Wonosobo.
Keberadaan
situs Ki Ageng Wonosobo ini semakin menguatkan bahwa pada abad 14 M , Wonosobo
sudah mempunyai peran yang cukup penting dalam pengembangan Agama Islam
sekaligus mungkin sudah mempunyai pemerintahan di tingkat kecil (mungkin
pedukuhan). Yang jelas ketepatan sejarah dari Ki Ageng Wonosobo yang dimakamkan
di Desa Plobangan Kecamatan Selomerto ini perlu ditelaah lagi dengan seksama
namun beberapa waktu lalu konon pihak Keraton Jogjakarta sudah memasukkan makam
ini dalam salah satu situs Punden Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat. Wallahu
Alam.
Sumber : www.wikipedia.org, www.yogyes.com, www.jatiningjati.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar