Raymond
Westerling
Raymond Pierre Paul Westerling (lahir di Istanbul, Kesultanan Utsmaniyah, 31 Agustus 1919 – meninggal
di Purmerend, Belanda, 26
November 1987 pada umur 68 tahun) adalah komandan pasukan Belanda yang terkenal karena memimpin Pembantaian
Westerling (1946-1947) di Sulawesi
Selatan dan percobaan kudeta
APRA di Bandung, Jawa Barat.
Awal Karier
Westerling lahir sebagai anak kedua dari Paul Westerling (Belanda) dan
Sophia Moutzou (Yunani).
Westerling, yang dijuluki "si Turki" karena lahir di Istanbul,
mendapat pelatihan khusus di Skotlandia. Dia masuk dinas militer pada 26
Agustus 1941 di Kanada.
Pada 27 Desember 1941 dia tiba di Inggris dan bertugas di Brigade
Prinses Irene di Wolverhampton, dekat Birmingham. Westerling termasuk 48 orang Belanda sebagai angkatan pertama yang memperoleh latihan khusus
di Commando Basic Training Centre di Achnacarry, di Pantai Skotlandia yang tandus, dingin dan tak
berpenghuni. Melalui pelatihan yang sangat keras dan berat, mereka dipersiapkan
untuk menjadi komandan pasukan Belanda di Indonesia. Seorang instruktur Inggris sendiri mengatakan pelatihan
ini sebagai: "It’s hell on earth" (neraka di dunia). Pelatihan
dan pelajaran yang mereka peroleh antara lain "unarmed combat"
(perkelahian tangan kosong), "silent killing" (penembakan
tersembunyi), "death slide", "how to fight and kill
without firearms" (berkelahi dan membunuh tanpa senjata api), "killing
sentry" (membunuh pengawal) dan sebagainya. Setelah bertugas di Eastbourne sejak 31
Mei 1943,
maka bersama 55 orang sukarelawan Belanda lainnya pada 15
Desember 1943 Sersan
Westerling berangkat ke India
untuk betugas di bawah Laksamana
Madya Mountbatten Panglima South East Asia Command (Komando
Asia Tenggara). Mereka tiba di
India pada 15 Januari 1944
dan ditempatkan di Kedgaon, 60 km di utara kota Poona.
Pada 20
Juli 1946,
Westerling diangkat menjadi komandan pasukan khusus, Depot Speciale
Troepen – DST (Depot Pasukan Khusus). Awalnya, penunjukkan Westerling
memimpin DST ini hanya untuk sementara sampai diperoleh komandan yang lebih
tepat, dan pangkatnya pun tidak dinaikkan, tetap Letnan II (Cadangan). Namun
dia berhasil meningkatkan mutu pasukan menjelang penugasan ke Sulawesi
Selatan, dan setelah
'berhasil' menumpas perlawanan rakyat pendukung Republik di Sulawesi Selatan,
dia dianggap sebagai pahlawan namanya membubung tinggi.
Pembantaian Westerling
Westerling tiba di Makassar pada 5
Desember 1946, memimpin 120 orang Pasukan
Khusus dari DST. Dia
mendirikan markasnya di Mattoangin. Di sini dia menyusun strategi untuk Counter Insurgency
(penumpasan pemberontakan) dengan caranya sendiri, dan tidak berpegang pada Voorschrift
voor de uitoefening van de Politiek-Politionele Taak van het Leger - VPTL
(Pedoman Pelaksanaan bagi Tentara untuk Tugas di bidang Politik dan
Polisional), di mana telah ada ketentuan mengenai tugas intelijen serta
perlakuan terhadap penduduk dan tahanan. Suatu buku Pedoman untuk taktik
kontra-pemberontakan. Saat inilah terjadi peristiwa Pembantaian
Westerling.
Reputasi Pasukan Khusus DST dan komandannya, Westerling melambung tinggi.
Media massa Belanda memberitakan secara superlatif. Ketika pasukan DST tiba
kembali ke Markas DST pada 23
Maret 1947, mingguan militer Het Militair Weekblad
menyanjung dengan berita: "Pasukan si Turki kembali." Berita
pers Belanda sendiri yang kritis mengenai pembantaian di Sulawesi Selatan baru
muncul untuk pertama kali pada bulan Juli 1947.
Tanggal 5 Januari 1948,
nama DST diubah menjadi Korps Speciale
Troepen – KST (Korps
Pasukan Khusus) dan kemudian juga memiliki unit terjun payung. Westerling kini
memegang komando pasukan yang lebih besar dan lebih hebat dan pangkatnya kini
Kapten.
Setelah Persetujuan Renville, anggota pasukan KST ditugaskan juga untuk melakukan
patroli dan pembersihan, antara lain di Jawa
Barat. Namun sama
seperti di Sulawesi Selatan, banyak anak buah Westerling melakukan pembunuhan
sewenang-wenang terhadap penduduk di Jawa Barat. Perbuatan ini telah
menimbulkan protes di kalangan tentara KL (Koninklijke Leger) dari
Belanda, yang semuanya terdiri dari pemuda wajib militer dan sukarelawan
Belanda.
Pada 17
April 1948, Mayor KL R.F. Schill, komandan pasukan 1-11 RI di
Tasikmalaya, membuat laporan kepada atasannya, Kolonel KL M.H.P.J. Paulissen di
mana Schill mengadukan ulah pasukan elit KST (Korps Speciaale Troepen)
yang dilakukan pada 13 dan 16 April 1948. Di dua tempat di Tasikmalaya dan Ciamis, pasukan KST telah membantai 10 orang penduduk tanpa
alasan yang jelas, dan kemudian mayat mereka dibiarkan tergeletak di tengah
jalan.
Pengaduan ini mengakibatkan dilakukannya penyelidikan terhadap pasukan
khusus pimpinan Westerling. Setelah dilakukan penyelidikan, ternyata banyak
kasus-kasus pelanggaran HAM yang kemudian mencuat ke permukaan. Di samping
pembunuhan sewenang-wenang, juga terjadi kemerosotan disiplin dan moral di
tubuh pasukan elit KST. Kritik tajam mulai berdatangan dan pers menuding
Westerling telah menggunakan metode Gestapo (Geheime Staatspolizei), polisi rahasia Jerman yang terkenal kekejamannya semasa Hitler, dan hal-hal ini membuat para petinggi tentara Belanda
menjadi gerah.
Angkatan Perang Ratu Adil (APRA)
Walaupun Jenderal Spoor sendiri sangat menyenangi Westerling, namun untuk
menghindari pengusutan lebih lanjut serta kemungkinan tuntutan ke pangadilan
militer, Spoor memilih untuk menon-aktifkan Westerling. Pada 16
November 1948, setelah duasetengah tahun memimpin pasukan khusus Depot
Speciaale Troepen (DST) kemudian KST, Westerling diberhentikan dari
jabatannya dan juga dari dinas kemiliteran. Penggantinya sebagai komandan KST
adalah Letnan Kolonel KNIL W.C.A. van Beek. Setelah pemecatan atas dirinya,
Westerling menikahi pacarnya dan menjadi pengusaha di Pacet, Jawa Barat.
Pada bulan November 1949,
dinas rahasia militer Belanda menerima laporan, bahwa Westerling telah
mendirikan organisasi rahasia yang mempunyai pengikut sekitar 500.000 orang.
Laporan yang diterima Inspektur Polisi Belanda J.M. Verburgh pada 8
Desember 1949 menyebutkan
bahwa nama organisasi bentukan Westerling adalah "Ratu Adil Persatuan
Indonesia" (RAPI) dan memiliki satuan bersenjata yang dinamakan "Angkatan Perang
Ratu Adil" (APRA).
Westerling tetap aktif menjaga hubungan dengan bekas anak buahnya dan
menjalin hubungan dengan kelompok Darul
Islam di Jawa Barat.
Secara diam-diam ia membangun basis kekuatan bersenjata akan digunakan untuk
memukul Republik Indonesia, yang direalisasikannya pada 23
Januari 1950, dalam usaha yang dikenal sebagai "Kudeta
23 Januari". Secara
membabi buta Westerling dan anak buahnya menembak mati setiap anggota TNI yang
mereka temukan di jalan. 94 anggota TNI dari Divisi Siliwangi tewas dalam pembantaian tersebut, termasuk Letnan
Kolonel Lembong, dan tak ada korban di pihak APRA.
Aksi militer yang dilancarkan oleh Westerling bersama APRA yang antara lain terdiri dari pasukan elit tentara
Belanda, tentu menjadi berita utama media massa di seluruh dunia. Hugh Laming,
koresponden Kantor Berita Reuters yang pertama melansir pada 23 Januari 1950
dengan berita yang sensasional. Osmar White, jurnalis Australia dari Melbourne Sun memberitakan di halaman muka: "Suatu krisis dengan
skala internasional telah melanda Asia Tenggara." Untuk dunia
internasional, Belanda sekali lagi duduk di kursi terdakwa. Duta Besar Belanda
di AS, van Kleffens melaporkan bahwa di mata orang Amerika, Belanda secara licik sekali lagi telah mengelabui
Indonesia, dan serangan di Bandung dilakukan oleh de zwarte hand van
Nederland (tangan hitam dari Belanda).
Konspirasi Belanda Menyelamatkan Westerling
Sejak kegagalan tanggal 23 Januari, Westerling bersembunyi di Jakarta, dan mendatangkan istri dan anak-anaknya ke Jakarta. Dia
selalu berpindah-pindah tempat, antara lain di Kebon Sirih 62A, pada keluarga
De Nijs.
Pada 8 Februari 1950
istri Westerling menemui Mayor Jenderal Van Langen, yang menjabat sebagai
Kepala Staf, di rumah kediamannya. Isteri Westerling menyampaikan kepada van
Langen mengenai situasi yang dihadapi oleh suaminya. Hari itu juga van Langen
menghubungi Jend. Dirk Cornelis
Buurman van Vreeden, Hirschfeld
dan Mr. W.H. Andreae Fockema, Sekretaris Negara Kabinet Belanda yang juga
sedang berada di Jakarta. Pokok pembicaraan adalah masalah penyelamatan
Westerling, yang di mata banyak orang Belanda adalah seorang pahlawan.
Dipertimbangkan antara lain untuk membawa Westerling ke Papua bagian barat. Namun sehari setelah itu, pada 9
Februari Hatta menyatakan, bahwa apabila pihak Belanda berhasil
menangkap Westerling, pihak Republik akan mengajukan tuntutan agar Westerling
diserahkan kepada pihak Indonesia. Hirschfeld melihat bahwa mereka tidak
mungkin menolong Westerling karena apabila hal ini terungkap, akan sangat
memalukan Pemerintah Belanda. Oleh karena itu ia menyampaikan kepada pimpinan militer
Belanda untuk mengurungkan rencana menyelamatkan Westerling.
Namun tanpa sepengetahuan Hirschfeld, pada 10
Februari Mayor Jenderal Van
Langen memerintahkan Kepala Intelijen Staf Umum, Mayor F. van der Veen untuk
menghubungi Westerling dan menyusun perencanaan untuk pelariannya dari
Indonesia. Dengan bantuan LetKol. Johannes
Josephus Franciscus Borghouts–pengganti
Westerling sebagai komandan pasukan elit KST–pada 16
Februari di mess perwira
tempat kediaman Ajudan KL H.J. van Bessem di Kebon Sirih 66 berlangsung
pertemuan dengan Westerling, di mana Westerling saat itu bersembunyi. Borghouts melaporkan
pertemuan tersebut kepada Letkol KNIL Pereira, perwira pada Staf Umum, yang
kemudian meneruskan hasil pertemuan ini kepada MayJend. Van Langen.
Westerling pindah tempat persembunyian lagi dan menumpang selama beberapa
hari di tempat Sersan Mayor KNIL L.A. Savalle, yang kemudian melaporkan kepada
May. Van der Veen. Van der Veen sendiri kemudian melapor kepada Jenderal van
Langen dan Jend. Buurman van Vreeden, Panglima tertinggi Tentara Belanda. Dan
selanjutnya, Van Vreeden sendiri yang menyampaikan perkembangan ini kepada
Sekretaris Negara Andreae Fockema. Dengan demikian, kecuali Hirschfeld,
Komisaris Tinggi Belanda, seluruh jajaran tertinggi Belanda yang ada di Jakarta
baik militer maupun sipil mengetahui dan ikut terlibat dalam konspirasi
menyembunyikan Westerling dan rencana pelariannya dari Indonesia. Andreae
Fockema menyatakan, bahwa dia akan mengambil alih seluruh tanggung jawab.
Pada 17 Februari Letkol Borghouts dan Mayor Van der Veen ditugaskan untuk
menyusun rencana evakuasi. Disiapkan rencana untuk membawa Westerling keluar
Indonesia dengan pesawat Catalina milik "Marineluchtvaartdienst - MLD"
(Dinas Penerbangan Angkatan Laut) yang berada di bawah wewenang Vice Admiral
J.W. Kist. Rencana ini disetujui oleh Van Langen dan hari itu juga Westerling
diberitahu mengenai rencana ini. Van der Veen membicarakan rincian lebih lanjut
dengan Van Langen mengenai kebutuhan uang, perahu karet dan paspor palsu. Pada 18
Februari van Langen
menyampaikan hal ini kepada Jenderal van Vreeden. Van der Veen menghubungi
Kapten (Laut) P. Vroon, Kepala MLD dan menyampaikan rencana tersebut. Vroon
menyampaikan kepada Admiral Kist, bahwa ada permintaan dari pihak KNIL untuk
menggunakan Catalina untuk suatu tugas khusus. Kist memberi persetujuannya,
walau pun saat itu dia tidak diberi tahu penggunaan sesungguhnya. Jend. Van
Langen dalam suratnya kepada Admiral Kist hanya menjelaskan, bahwa diperlukan
satu pesawat Catalina untuk kunjungan seorang perwira tinggi ke kepulauan Riau.
Tak sepatah kata pun mengenai Westerling. Selanjutnya dibuatkan paspor palsu di
kantor Komisaris Tinggi (tanpa laporan resmi). Nama yang tertera dalam paspor
adalah Willem Ruitenbeek, lahir di Manila.
Pada hari Rabu tanggal 22 Februari, satu bulan setelah "kudeta"
yang gagal, Westerling yang mengenakan seragam Sersan KNIL, dijemput oleh Van
der Veen dan dibawa dengan mobil ke pangkalan MLD di Pelabuhan
Tanjung Priok. Pesawat Catalina
hanya singgah di Tanjung Pinang dan kemudian melanjutkan penerbangan menuju Singapura. Mereka tiba di perairan Singapura menjelang petang
hari. Kira-kira satu kilometer dari pantai Singapura pesawat mendarat di laut
dan perahu karet diturunkan.
Dalam bukunya De Eenling, Westerling memaparkan, bahwa perahu
karetnya ternyata bocor dan kemasukan air. Beruntung dia diselamatkan oleh satu
kapal penangkap ikan Tiongkok yang membawanya ke Singapura. Setibanya di
Singapura, dia segera menghubungi teman Tionghoanya Chia Piet Kay, yang pernah
membantu ketika membeli persenjataan untuk Pao An Tui. Dia segera membuat perencanaan untuk kembali ke
Indonesia.
Penangkapan
Pada 24
Februari kantor berita
Perancis Agence
France Presse memberitakan bahwa
Westerling telah dibawa oleh militer Belanda dengan pesawat Catalina dari MLD
ke Singapura. Setelah itu pemberitaan mengenai pelarian Westerling ke Singapura
muncul di majalah mingguan Amerika, Life.
Pada 26
Februari 1950 ketika berada di tempat Chia Piet Kay, Westerling
digerebeg dan ditangkap oleh polisi Inggris kemudian dijebloskan ke penjara Changi. Sebelumnya, pada 20
Februari ketika Westerling
masih di Jakarta, Laming, seorang wartawan dari Reuters, mengirim telegram ke London dan memberitakan bahwa
Westerling dalam perjalanan menuju Singapura, untuk kemudian akan melanjutkan
ke Eropa.
Pemberitaan di
media massa sangat memukul dan memalukan pimpinan sipil dan militer Belanda di
Indonesia. Kabinet RIS membanjiri Komisaris Tinggi Belanda Hirschfeld dengan
berbagai pertanyaan. Hirschfeld sendiri semula tidak mempercayai berita media
massa, sedangkan Jend. Buurman van Vreeden dan Jend. Van Langen menyangkal
bahwa mereka mengetahui mengenai bantuan pimpinan militer Belanda kepada
Westerling untuk melarikan diri ke Singapura.
25 Februari Hirschfeld menyadari bahwa semua pemberitaan itu betul
dan ternyata hanya dia dan Admiral Kist yang tidak diberitahu oleh Van Vreeden,
Van Langen dan Fockema mengenai adanya konspirasi Belanda untuk menyelamatkan
Westerling dari penagkapan oleh pihak Indonesia.
Fockema segera
menyatakan bahwa dialah yang bertanggungjawab dan menyampaikan kepada
Pemerintah Republik Indonesia Serikat, bahwa Hirschfeld sama sekali tidak mengetahui
mengenai hal ini. Menurut sinyalemen Moor, sejak skandal yang sangat memalukan
Pemerintah Belanda tersebut terbongkar, hubungan antara Hirschfeld dengan
pimpinan tertinggi militer Belanda di Indonesia mencapai titik nol.
Pelarian ke Belgia
Setelah mendengar bahwa Westerling telah ditangkap oleh Polisi Inggris di
Singapura, Pemerintah RIS mengajukan permintaan kepada otoritas di Singapura
agar Westerling diekstradisi ke Indonesia. Pada 15
Agustus 1950, dalam sidang Pengadilan Tinggi di Singapura, Hakim
Evans memutuskan, bahwa Westerling sebagai warganegara Belanda tidak dapat
diekstradisi ke Indonesia. Sebelumnya, sidang kabinet Belanda pada 7
Agustus telah memutuskan,
bahwa setibanya di Belanda, Westerling akan segera ditahan. Pada 21
Agustus, Westerling
meninggalkan Singapura sebagai orang bebas dengan menumpang pesawat Australia
Quantas dan ditemani oleh Konsul Jenderal Belanda untuk Singapura, Mr. R. van
der Gaag, seorang pendukung Westerling.
Westerling sendiri ternyata tidak langsung dibawa ke Belanda, namun –dengan
izin van der Gaag- dia turun di Brussel, Belgia.
Dia segera dikunjungi oleh wakil-wakil orang Ambon dari Den Haag, yang
mendirikan "Stichting Door de Eeuwen Trouw - DDET" (Yayasan
Kesetiaan Abadi). Mereka merencanakan untuk kembali ke Maluku untuk
menggerakkan pemberontakan di sana. Di negeri Belanda sendiri secara in
absentia Westerling menjadi orang yang paling disanjung.
Awal April 1952, secara diam-diam Westerling masuk ke Belanda.
Keberadaannya tidak dapat disembunyikan dan segera diketahui, dan pada 16
April Westerling
ditangkap di rumah Graaf A.S.H. van Rechteren. Mendengar berita penangkapan
Westerling di Belanda, pada 12 Mei 1952 Komisaris Tinggi Indonesia di Belanda
Susanto meminta agar Westerling diekstradisi ke Indonesia, namun ditolak oleh
Pemerintah Belanda, dan bahkan sehari setelah permintaan ekstradisi itu, pada
13 Mei Westerling dibebaskan dari tahanan. Putusan Mahkamah Agung Belanda pada 31
Oktober 1952, menyatakan bahwa Westerling adalah warganegara Belanda
sehingga tidak akan diekstradisi ke Indonesia.
Penghentian Pengusutan
Setelah keluar dari tahanan, Westerling sering diminta untuk berbicara
dalam berbagai pertemuan, yang selalu dipadati pemujanya. Dalam satu pertemuan
dia ditanya, mengapa Sukarno tidak ditembak saja. Westerling menjawab,
"Orang Belanda sangat perhitungan, satu peluru harganya 35 sen, Sukarno harganya
tidak sampai 5 sen, berarti rugi 30 sen yang tak dapat
dipertanggungjawabkan." Beberapa hari kemudian, Komisaris Tinggi Indonesia
memprotes kepada kabinet Belanda atas penghinaan tersebut.
Pada 17 Desember 1954
Westerling dipanggil menghadap pejabat kehakiman di Amsterdam di mana
disampaikan kepadanya, bahwa pemeriksaan telah berakhir dan tidak terdapat
alasan untuk pengusutan lebih lanjut. Pada 4
Januari 1955 Westerling menerima pernyataan tersebut secara tertulis.
Westerling kemudian menulis dua buku, yaitu otobiografinya Memoires
yang terbit tahun 1952, dan De Eenling yang terbit tahun 1982. Buku Memoires diterjemahkan ke bahasa Prancis, Jerman
dan Inggris. Edisi bahasa Inggris berjudul Challenge to Terror sangat
laku dijual dan menjadi panduan untuk counter insurgency dalam literatur
strategi pertempuran bagi negara-negara Eropa untuk menindas pemberontakan di
negara-negara jajahan mereka di Asia dan Afrika.
Westerling meninggal dengan tenang tahun 1987
Pengakuan
Sang Jagal
Tanpa
tedeng aling-aling, Westerling mengakui bertanggungjawab atas eksekusi massal
rakyat Sulawesi Selatan.
DALAM wawancara pada
1969, yang ditayangkan dalam acara "Altijd Wat" (Ada Saja) di
televisi NCRV pada 14 Agustus 2012 pukul 21.10 waktu Belanda, Kapten
Raymond Westerling mengakui tanpa ragu bertanggungjawab atas pembunuhan 3.500
–buku-buku sejarah di Indonesia menyebut sampai 40.000– rakyat Sulawesi Selatan
dalam operasinya pada 1946-1947.
“Saya bertanggungjawab
dan bukannya prajurit yang ada di bawah saya. Perbuatan itu adalah tindakan
saya pribadi. Jumlah persisnya korban bisa dibaca pada laporan patroliku,” kata
Westerling.
“Saya bertanggungjawab
pada perbuatan saya, tapi orang harus dapat membedakan antara kejahatan perang
dengan langkah tegas, konsekuen dan adil dalam keadaan yang sangat sulit,”
Westerling menambahkan, “sadisme yang tersembunyi dalam diri orang lebih cepet
mekar dalam keadaan perang ketimbang dalam situasi normal.”
Wawancara itu dilangsungkan
tidak lama setelah Joop Hueting lewat harian De Volkskrant dan acara
“Achter het Nieuws” di televisi VARA, membuka kejahatan perang di Hindia
Belanda. Berita itu mengejutkan dan membuat banyak veteran marah. Sehingga,
wartawan acara “Achter het Nieuws” sampai dikawal polisi karena diancam.
“Bersama juru kamera
Hans van der Busken, wartawan Joep Buttinghausen tahun 1969 berhasil
mewawancarai Westerling. Itulah penampilan Westerling pertama di televisi, tapi
sayangnya tidak ada satu lembaga penyiaran Belanda yang berani menyiarkannya.
Juru kamera tersebut selalu menyimpan film itu,” tulis Joss Wibisono, mengutip berita “Kapitein Westerling
geeft in tv-interview wandaden op Zuid-Celebes toe,” di Volkskrant, 14
Agustus 2012.
Enampuluh enam tahun
lalu, para pejuang di Sulawesi Selatan semakin giat mengganggu Belanda yang
mengambil-alih keadaan setelah tentara Australia menyelesaikan tugasnya melucuti
tentara Jepang pada Juli 1946. Panglima Teritorial Tentara Belanda untuk Borneo
en de Groote Oost, Kolonel HJ de Vries menulis surat kepada Letnan Gubernur
Jenderal Van Mook dan Letnan Jenderal Simon Spoor sebagai Panglima Tertinggi
Tentara Belanda di Indonesia, untuk meminta bantuan. Kemudian dikirimlah Kapten
Raymond Westerling sebagai komandan Depot Pasukan Khusus (Depot Speciale
Troepen, DST), yang tiba di Makassar 5 Desember 1946. Seminggu kemudian,
Jenderal Spoor menyatakan kawasan Sulawesi dalam keadaan darurat perang (Staat
van Oorlog en Beleg, SOB).
Dalam Ensiklopedi
Umum, AG Pringgodigdo menceritakan proses “pembersihan secara tandas”
Kapten Westerling: “Berpuluh-puluh desa didatangi satu demi satu bersama
pasukannya yang bersenjata lengkap. Penduduk desa laki-laki, perempuan,
anak-anak tidak terkecuali dikumpulkan di lapangan terbuka di hadapan
pasukannya dalam posisi siap menembak. Ditanyakan dimana gerilyawan-gerilyawan
bersembunyi. Tidak seorang pun menjawab. Beberapa orang dipanggil ke muka.
Pertanyaan diulang. Orang tetap bungkam. Sekejap kemudian peluru telah menembus
benak mereka. Dimaksudkan agar orang-orang selebihnya ketakutan dan suka
berbicara. Tidak pula keluar jawaban atas pertanyaan. Tembakan-tembakan
menyusul yang diarahkan ke tengah-tengah kumpulan manusia yang tidak berdaya
dan tidak berdosa itu. Desa berikutnya mendapat gilirannya. Kebuasan yang sama
dijalankan. Demikian dilakukan selama tiga bulan mulai 11 Desember 1946.
Kira-kira empatpuluh ribu manusia tak berdosa terbunuh karenanya.”
Jenderal Spoor kemudian
memecat Westerling pada November 1948. Namun, pada 23 Januari 1950, Westerling
dengan pasukan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) berkekuatan sekira 523 orang,
300 diantaranya anggota KL (Koninklijk Leger, Tentara Kerajaan) kembali
membuat onar dengan menyerang markas Divisi Siliwangi di Bandung. Aksi ini
menewaskan lebih dari 79 tentara Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat
(APRIS) dan banyak juga penduduk yang menjadi korban.
“Gerakan Kapten Westerling
gagal karena tidak mendapat dukungan dari pimpinan tentara KNIL dan KL yang
masih ada di Indonesia. Westerling jadi buronan,” tulis Rosihan Anwar dalam Sejarah
Kecil “Petite Histoire” Indonesia Volume 1.
Dengan bantuan marine
Belanda, sambung Rosihan, dia terbang ke lepas pantai Singapura, dan diturunkan
di sana. Dengan perahu karet dia berkayuh ke Singapura. Pada 25 Februari
tersiar berita Westerling telah berada di Singapura. Pada 2 Mei 1950 pemerintah
Republik Indonesia Serikat (RIS) mendesak pemerintah Inggris di Singapura untuk
menyerahkan Westerling. Tapi, tidak diindahkan karena tidak ada perjanjian
ekstradisi antara Inggris dengan RIS.
“Untuk menghindari
segala sengketa dan kesulitan, pemerintah Inggris mengusir Westerling,” tulis
Slamet Muljana dalam Kesadaran Nasional Volume 2. “Westerling kemudian
mengungsi ke Tangier, lalu ke Paris, dan baru pada 1952 muncul di Nederland
(Belanda).”
Pihak Republik
Indonesia menuntut pemerintah Belanda untuk menyerahkan Westerling, namun
Mahkamah Tinggi Belanda menolaknya dengan alasan Westerling adalah seorang
warga negara Belanda. “Ia akan diadili di Belanda atas tuduhan melarikan diri
dari tugas militer, pembunuhan, dan perkosaan,” tulis Slamet Muljana.
Hans Van Mierlo,
pemimpin Partai Demokrat D66 kemudian jadi Menteri Pertahanan dan Menteri Luar
Negeri, pernah mengusulkan supaya dibentuk pansus parlemen dan kalau terbukti
ada kejahatan perang dalam skala besar, maka pelakunya harus diadili, seperti
yang Belanda tuntut dari Jerman. “Saya bener-benar setujuh sama Hans Van
Mierlo. Kalau benar-benar sudah terjadi kejahatan perang maka saya adalah orang
pertama yang menyambut gembira pansus parlemen,” kata Westerling dalam
wawancara itu, seperti dikutip Joss Wibisono.
“Kalau anda sendiri
harus diadili, anda juga mau?” tanya Joep Buttinghausen. “Tentu saja. Karena
saya selalu berangkat dari pendirian macam itu, kalau kita mau dunia ini baik,
maka harus dimulai dari diri sendiri,” jawab Westerling dengan bijak.
Mengomentari perkataan
Westerling itu, Willem IJzereef, sejarawan yang meneliti Westerling mengatakan,
“Omongan seperti itu kedengarannya wah, kan? Dia berani bicara seperti itu
karena dia tahu bahwa dirinya tidak akan diadili. Pemerintah dan dewan menteri
sudah tidak mau membuka lagi perkara dia. Jelas dia merasa aman, makanya keluar
omongan seperti itu,” kata IJzereef.
Benar saja, hingga
akhir hayatnya 26 November 1987, pemerintah Belanda tidak pernah mengadili
Westerling. “Dari awal pemerintah Belanda sudah membuat perkecualian untuk
perbuatan Westerling,” tegas IJzereef.
Meski demikian, menurut
advokat Liesbeth Zegveld, Westerling yang tanpa ragu
mengakui eksekusi itu sangat penting bagi gugatan ganti rugi para korban
Sulawesi Selatan. “Ini barang bukti utama, jadi sangat menarik secara yuridis,”
kata Liesbeth Zegveld, yang berhasil menggugat
pemerintah Belanda untuk membayar ganti rugi kepada korban pembataian Rawagede, Karawang.
Misi
Klandestin Pangeran Oranye
Diam-diam Pangeran Bernhard menyokong aksi Westerling. Berambisi jadi
raja muda.
PERTENGAHAN 1950-an,
Pangeran Bernhard von Lippe-Biesterveld, suami Ratu Belanda Juliana, terjebak
di pusaran kemelut panas yang berpotensi dapat menyulut skandal nasional dan
internasional. Kalangan yang dekat dengan PM Willem J. Drees mencium indikasi
keterlibatan pangeran yang satu ini dalam sebuah komplot –yaitu rencana rahasia
yang dirancang Kapten Raymond Westerling, untuk menjatuhkan Presiden Sukarno
pada 23 Januari 1950– nyaris sebulan setelah Republik Indonesia diakui
kedaulatannya oleh Belanda. Apabila kecurigaan itu terbukti, skandal tersebut
dapat mengguncang dunia; bahkan juga dapat mengancam kelangsungan Dinasti
Oranye dari Kerajaan Belanda.
Arsip mengenai
peristiwa itu baru dibuka dan tiga tahun lalu menimbulkan kontroversi di
Belanda. Apakah sesungguhnya niat Pangeran Belanda yang menggandeng tangan
Westerling itu?
Hingga akhir 1950-an,
Kapten Westerling adalah sebuah nama yang dikagumi di Belanda. Komandan pasukan
elit yang patriotik ini menjadi ikon zaman. Di sekolah-sekolah menengah di
Hilversum, misalnya, para siswa dan siswi memuji-muji dan setiap pagi menggelar
doa bersama demi keselamatannya. Sentimen publik ini mencerminkan betapa kental
dan mendalam ikatan emosional dan kepentingan politik masyarakat Belanda di
masa itu dengan jajahannya, Indonesia. Jelas, sulit bagi mereka untuk
membayangkan bahwa negerinya, Belanda, sebenarnya telah kehilangan tanah
jajahannya yang amat berharga di Asia itu.
Raymond Westerling
sangat menyadari zeitgeist (suasana zaman) itu. Demikian pula Pangeran
Bernhard, yang dibesarkan oleh seorang ibu –Putri Armgard– yang juga tidak
menyukai Sukarno. Namun hanya segelintir orang di Belanda saat itu –bahkan
hingga belakangan ini– menyadari bahwa Bernhard, sang suami dari pucuk
Kerajaan, memiliki hubungan baik sekali dengan Westerling, sang perwira yang
namanya kelak cemar karena rekam-jejaknya sebagai komandan satuan yang pernah
melaksanakan hukuman eksekusi-di-tempat (standrechtelijke executies),
yang kini lazim disebut extra-legal killings terhadap penduduk beberapa
desa di Sulawesi Selatan pada kurun Desember 1946–Februari 1947.
Tiga tahun kemudian, pada
awal 1950, Westerling tampil sebagai pemeran penting dalam upaya kudeta APRA di
Bandung. Semua itu, menurut sejarawan Harry Veenendal dan wartawan Jort Kelder
yang menulis buku ZKH, Hoog Spel aan het hof van Zijne Koninkelijke Hoogheid
(Paduka Yang Mulia, Permainan Tinggi Paduka Yang Mulia Pangeran) dan
sejarawan-peneliti senior Gerard Aalders penulis buku Bernhard, Zakenprins
(Bernhard, Pangeran Bisnis) hanya bisa terjadi berkat peran rahasia
Pangeran Bernhard dan jejaring politik dan bisnisnya.
Sejumlah arsip Belanda
–arsip Koninkelijke Marechaussee (Marsose), berbagai laporan intelijen asing,
dan terutama buku harian Sekretaris Ratu, Gerrie van Maasdijk– menunjukkan
betapa Pangeran Bernhard secara efektif berhasil memanfaatkan statusnya sebagai
anggota keluarga kerajaan dan persahabatannya dengan Prof. Jan Willem Duyff,
untuk mengelola kepentingan-kepentingan politik, diplomatik dan bisnisnya.
J.W. Duyff, guru besar
fysiologi pada Universitas Leiden yang juga mantan pejuang melawan pendudukan
Nazi, dikenal sebagai “tokoh ambisius yang ingin menjaga agar Hindia-Belanda
tetap menjadi bagian dari Kerajaan Belanda”. Sejak 1940-an Duyff berhubungan
erat dengan Panglima Tentara Belanda di Batavia, Jenderal Simon Spoor. Melalui
kontak intensif dengan jenderal inilah, Duyff membangun mata rantai dengan
Westerling dan Sirdar Iqbal Ali Shah (kode: Ali Baba), seorang diplomat
Pakistan asal Afghanistan, pemasok senjata yang menjadi penghubung dengan Darul
Islam di Jawa Barat; dan dengan Max Alkadrie alias Sultan Hamid II, putra
Pontianak, yang mereka calonkan sebagai pengganti Presiden Sukarno.
Jejaring inilah yang
merencanakan serangan bersenjata terhadap pemerintah RIS pada saat kabinet
menggelar sidang di Jakarta pada 23 Januari 1950 untuk mecokok Sukarno-Hatta, dan
kemudian “langsung mengeksekusi mereka”. Untuk memastikan sukses operasi
itu, Bernhard menulis surat (tertanggal 13 Mei 1948) kepada Presiden Amerika
Serikat Dwight Eisenhower yang dititipkannya lewat utusannya, Jan Willem Duyff.
Surat itu mengimbau Presiden Eisenhower agar meminta Jen. Douglas MacArthur
yang mengkomandoi kapal-kapal perang AS di perairan sekitar Surabaya untuk
membantu menjaga keamanan apabila pecah “perang saudara” di Jawa jika ‘kudeta’
tersebut gagal. Eisenhower tidak pernah menjawab surat Bernhard.
Raja Muda
Operasi militer
Westerling 23 Januari 1950 yang dinamainya aksi APRA (Angkatan Perang Ratu
Adil) itu tetap berlangsung dan dilakukan dengan ceroboh, bahkan tak pantas
disebut coup d’etat, meski berdarah. Sukarno –yang saat itu berada di
luar negeri– dan Hatta selamat. Menyusul kegagalan itu, Sultan Hamid II ditahan
pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS), sementara Westerling lolos.
Namun, rencana makar
itu sempat menyulut kontroversi besar di Belanda. Pasalnya, Gerrie van Maasdijk,
sekretaris kerajaan yang juga mantan wartawan, mencium kontak-kontak Duyff dan
rencananya, dan melaporkannya kepada PM Willem Drees. Drees yang
bertanggungjawab atas perilaku anggota kerajaan, panik, memerintahkan
investigasi dan berusaha menutup-nutupi kasus tersebut.
Menurut arsip marsose
dan sejumlah laporan intelijen, komplotan Bernhard-Duyff-Westerling itu
mengatur penyelundupan senjata dari London, atau Paris, melalui Pakistan ke
Yogyakarta. Beruntung bagi Westerling, investigasi marsose itu tidak menemukan smoking
gun yang menunjuk pada peran kuncinya. Demikian juga dengan Bernhard
–kecuali perannya menulis surat kepada Presiden Eisenhower.
Laporan polisi Belanda
agaknya melindungi pangeran ini dengan cara tidak menguraikan secara rinci
siapa saja para tokoh yang memprakarsai ‘kudeta’ APRA itu. Upaya menutup-nutupi
peran kunci Bernhard, Duyff dan Westerling kelak juga tampak pada tulisan
mutakhir sejarawan yang akrab dengan “Keluarga Oranye”, Prof. Dr. C. Fasseur
(2009).
Yang pasti, demikian menurut
para sejarawan yang lain, “kudeta” itu merupakan hasil komplotan tingkat
tinggi. “Duyff tidak pernah –dan tidak mungkin– bertindak sendiri,” simpul
Veenendal, “Dia memerlukan dukungan penuh si Pangeran (Bernhard),” lanjutnya.
Duyff, tulis Aalders, berperan sebagai “intermediair (perantara) atas
nama Bernhard”, yang mengatur kontak-kontak dengan pedagang senjata dan
pebisnis lain. Peran inilah yang mengaitkan Bernhard lewat Duyff dan Ali Shah
–keduanya sering bertandang ke Istana Soestdijk– dengan “kudeta” APRA
Westerling, sementara Bernhard sendiri, menurut “biograf Oranye”, Fasseur,
“selalu berada di luar kejadian”. Walhasil, “kudeta” Westerling dan
penyelundupan senjata tersebut, pada hakekatnya merupakan bagian dari
petualangan Bernhard.
Bukan kebetulan,
‘kudeta’, tepatnya aksi militer Westerling itu, terjadi pada periode antara
pengakuan kedaulatan 27 Desember 1949 dan bubarnya RIS pada Agustus 1950.
Periode itu merupakan kurun singkat yang genting, bagi RIS tapi juga bagi
Belanda. Menurut G. Aalders, aksi Westerling itu bertujuan melumpuhkan tentara
Indonesia TNI dan mengganti pemerintah Sukarno-Hatta dengan pemerintah baru
yang mendukung formasi federal Indonesia yang terbentuk dari sejumlah
negara-bagian.
Aalders, demikian juga
sejarawan Frederik Willems (De Volkskrant, 6 Agustus 2012), memastikan
pemerintah di Den Haag tahu benar tentang aksi Westerling. Pada 22 Februari
1950 kapten yang dijuluki “Si Turki” ini akhirnya diselamatkan pesawat albatros
Catalina milik Marinir Belanda dengan menyelundupkannya ke Singapura. Belanda
tidak ingin Westerling jatuh ke tangan Indonesia dan mengganggu hubungan kedua
negara. Sebelumnya, pada 23 Agustus 1948, Bernhard sendiri pernah menyurati
Jenderal Simon Spoor di Jakarta agar Westerling mendapat koninkelijke onderscheiding
(penghargaan kerajaan), yang menurut Aalders, menunjukkan betapa pangeran ini
“mengagumi” perwira kontroversial yang pernah menjadi anggota staf pribadinya
ini.
Bernhard jelas memiliki
motif politik dan finansial. Penyelundupan senjata itu pasti menghasilkan
banyak uang; kelak, pada 1970-an, pangeran Belanda ini juga terlibat skandal
uang suap pabrik pesawat terbang AS Lockheed. Pangeran yang beristrikan Ratu
ini tak mungkin menjabat Raja Belanda, maka dia berambisi menjadi Onderkoning
(Raja Muda) yang berkuasa di Hindia-Belanda atas nama istrinya, Ratu Juliana.
Dengan begitu Bernhard akan sejajar dengan temannya dari Inggris, Lord
Mountbatten yang dengan prestise tinggi menjabat Viceroy yang atas nama
Ratu Inggris membawahi British-India.
Petualangan
Bernhard-Duyff-Westerling menunjukkan betapa sempit wawasan kalangan politik
mapan Belanda, khususnya para konspirator tersebut, atas dinamika perjuangan
kemerdekaan Indonesia. Dipandang dari perspektif Indonesia, tampak aneh bahwa
para konspirator justru melancarkan “kudeta” pada saat posisi diplomatik
Belanda di mata dunia setelah dua kali agresi militer (1947 dan 1948) amat
lemah. Lebih aneh lagi apabila komplotan itu seolah mengandalkan peran dan
kolaborasi dengan Darul Islam-nya Kartosuwirjo yang rencananya akan dipasok
senjata dan dibantu oleh Kapten Westerling sejak Kartosuwirjo berontak karena
kecewa terhadap Persetujuan Renville.
Koneksi Darul Islam
Dinas intelejen Amerika
CIA yang mencermati perkembangan di Jawa Barat dalam laporannya menulis bahwa
Darul Islam bekerjasama dengan Westerling melawan pemerintah Sukarno-Hatta. CIA
menduga disitu terkait peran Belanda. Ali Shah, diplomat Pakistan yang bermitra
erat dengan Duyff, memang bertugas menarik minat pimpinan Darul Islam pada
peran Belanda in casu Westerling dalam memerangi Sukarno-Hatta.
Westerling rupanya mau bekerjasama dengan siapa saja untuk tujuan tersebut,
demikian pula Darul Islam, atau apa yang menyebut diri Darul Islam ketika itu.
Banyak sekali indikasi
yang menunjuk pada keterlibatan Pangeran Bernhard, akan tetapi berbagai
peranannya selama lima tahun yang genting selama dasawarsa 1950-an tersebut,
bersama dengan Duyff, saudagar senjata Ali Shah dan Kapten Westerling tadi, tak
pernah terungkap secara lengkap dan tuntas. Semua bahan dan faktanya bersifat
“indikasi”, tak pernah ada smoking gun. Sebabnya sederhana: sejumlah
investigasi –oleh aparat negara marsose, marinir mau pun oleh sejarawan Istana
C. Fasseur– terhadap dirinya selalu berhenti atau dihentikan di tengah jalan.
Kasus-kasus Bernhard,
dengan Westerling mau pun dalam kasus yang paralel, yaitu skandal Lockheed
kelak (1970-an), terlampau peka sehingga dianggap dapat mengancam nama baik
Keluarga Kerajaan Oranye.
Walhasil, di Belanda,
Pangeran Bernhard –seperti juga, bahkan mungkin lebih ketimbang Kapten Raymond
Westerling– pada dasawarsa 1950-an memang disanjung sebagai ikon zaman, atau helden
(pahlawan), namun sejak dasawarsa 1970-an keduanya seringkali dicap sebagai schurken
(bandit).
Sumber : www.wikipedia.org, www.historia.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar