Senin, 15 April 2013

Jenderal Soedirman



Soedirman

Jenderal Besar TNI Anumerta Raden Soedirman (Ejaan Soewandi: Soedirman) (lahir di Bodas Karangjati, Purbalingga, Jawa Tengah, 24 Januari 1916 – meninggal di Magelang, Jawa Tengah, 29 Januari 1950 pada umur 34 tahun) adalah seorang perwira tinggi militer Indonesia dan panglima besar pertama Tentara Nasional Indonesia yang berjuang selama masa revolusi kemerdekaan.
Soedirman dilahirkan di Purbalingga, Hindia Belanda oleh pasangan wong cilik, lalu diangkat oleh pamannya, yang merupakan seorang priyayi. Setelah dibawa pindah bersama keluarganya ke Cilacap pada akhir tahun 1916, Soedirman tumbuh menjadi siswa yang rajin; ia juga sangat aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler, termasuk organisasi pramuka bentukan Organisasi Islam Muhammadiyah. Saat masih di sekolah menengah, Soedirman telah menunjukkan kemampuan sebagai pemimpin; ia juga dihormati dalam masyarakat karena taat pada agama Islam. Setelah keluar dari sekolah guru, ia menjadi guru di sebuah sekolah rakyat milik Muhammadiyah pada tahun 1936; Soedirman akhirnya diangkat sebagai kepala sekolah itu. Soedirman juga aktif dengan berbagai program Muhammadiyah lain, termasuk menjadi salah satu pemimpin organisasi Pemuda Muhammadiyah pada tahun 1937. Setelah pendudukan Jepang di Indonesia pada tahun 1942, Soedirman terus mengajar. Pada tahun 1944 ia bergabung dengan angkatan Pembela Tanah Air (PETA) yang disponsori Jepang sebagai pemimpin batalyon di Banyumas. Saat menjadi perwira PETA, Soedirman berhasil menghentikan sebuah pemberontakan yang dipimpin anggota PETA lain, tetapi akhirnya ditahan di Bogor. Setelah proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Soedirman dan tahanan lain melarikan diri. Soedirman kemudian pergi ke Jakarta dan bertemu dengan Presiden Soekarno. Di Jakarta, Soedirman ditugaskan untuk mengurus penyerahan prajurit Jepang di Banyumas, yang ia lakukan setelah mendirikan salah satu cabang Badan Keamanan Rakyat (TKR). Dengan merampas senjata dari Jepang, pasukan yang dipimpin Soedirman dijadikan bagian dari Divisi V 20 Oktober oleh panglima sementara Oerip Soemohardjo; Soedirman dijadikan panglima dari divisi tersebut.
Pada tanggal 12 November 1945, Soedirman terpilih dalam suatu pemilihan Panglima Besar TKR yang diadakan di Yogyakarta. Saat menunggu konfirmasi, Soedirman memimpin suatu serangan terhadap pasukan Sekutu di Ambarawa. Keterlibatannya dalam Palagan Ambarawa membuat Soedirman mulai dikenal di masyarakat luas. Ia akhirnya dikonfirmasikan sebagai panglima besar pada tanggal 18 Desember. Dalam tiga tahun berikutnya Soedirman menyaksikan ketidakberhasilan negosiasi dengan pasukan kolonial Belanda, pertama setelah Persetujuan Linggajati lalu setelah Persetujuan Renville—yang mengakibatkan Indonesia harus menyerahkan wilayah yang diambil oleh Belanda pada Agresi Militer I. Ia juga menghadapi pemberontakan dari dalam, termasuk suatu percobaan kudeta pada tahun 1948. Menjelang kematiannya, Soedirman menyalahkan hal-hal ini sebagai penyebab penyakit tuberculosisnya; karena infeksi tersebut, paru-parunya yang kanan dikempeskan pada bulan November 1948.
Pada tanggal 19 Desember 1948, beberapa hari setelah Soedirman pulang dari rumah sakit, pemerintah Belanda meluncurkan Agresi Militer II, suatu usaha untuk menduduki ibu kota di Yogyakarta. Meskipun banyak pejabat politik mengungsi ke kraton, Soedirman bersama sejumlah pasukan dan dokter pribadinya menuju ke arah selatan dan melakukan perlawanan gerilya sepanjang tujuh bulan. Awalnya mereka diikuti pasukan Belanda, tetapi akhirnya mereka berhasil kabur dan mendirikan markas sementara di Sobo, dekat Gunung Lawu. Di Sobo ia dan pasukannya menyiapkan Serangan Umum 1 Maret 1949, yang akhirnya dipimpin Letnan Kolonel Soeharto. Setelah Belanda mulai mengundurkan diri, pada bulan Juli 1949, Soedirman dipanggil kembali ke Yogyakarta. Meskipun ia hendak mengejar pasukan Belanda, ia dilarang oleh Soekarno. Karena kelelahan setelah berbulan-bulan bergerilya, tuberculosis Soedirman tumbuh lagi; akibatnya ia pergi ke Magelang untuk beristirahat. Ia meninggal kurang lebih satu bulan setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia. Sekarang Soedirman dikuburkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara di Yogyakarta.
Rakyat Indonesia berduka cita setelah kematian Soedirman; bendera dikibarkan setengah tiang di seluruh Nusantara dan ribuan orang mengikuti pemakamannya. Sampai sekarang Soedirman sangat disegani di Indonesia. Perang gerilyanya dianggap sebagai asal usul semangat Tentara Nasional Indonesia, termasuk perjalannya yang sepanjang 100 kilometer harus ditempuh oleh kadet Indonesia sebelum mereka lulus dari Akademi Militer. Gambar Soedirman ditampilkan pada uang kertas Rupiah keluaran 1968, dan namanya diabadikan di banyak jalan, museum, dan monumen. Pada tanggal 10 Desember 1964 ia dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia 
.
Kehidupan Awal
Sudirman lahir dari pasangan Karsid Kartawiraji dan Siyem sewaktu mereka tinggal bersama Tarsem, saudara Siyem satu dari tiga wanita yang dikawini Raden Cokrosunaryo, seorang camar di Rembang, Bodas Karangjati, Purbalingga, Hindia Belanda

Karier Militer
Ketika zaman pendudukan Jepang, ia masuk tentara Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor di bawah pelatihan tentara Jepang. Setelah menyelesaikan pendidikan di PETA, ia menjadi Komandan Batalyon di Kroya, Jawa Tengah. Kemudian ia menjadi Panglima Divisi V/Banyumas sesudah TKR terbentuk, dan akhirnya terpilih menjadi Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia (Panglima TKR).
Soedirman dikenal oleh orang-orang di sekitarnya dengan pribadinya yang teguh pada prinsip dan keyakinan, dimana ia selalu mengedepankan kepentingan masyarakat banyak dan bangsa di atas kepentingan pribadinya, bahkan kesehatannya sendiri. Pribadinya tersebut ditulis dalam sebuah buku oleh Tjokropranolo, pengawal pribadinya semasa gerilya, sebagai seorang yang selalu konsisten dan konsekuen dalam membela kepentingan tanah air, bangsa, dan negara.
Pada masa pendudukan Jepang ini, Soedirman pernah menjadi anggota Badan Pengurus Makanan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Karesidenan Banyumas. Dalam saat ini ia mendirikan koperasi untuk menolong rakyat dari bahaya kelaparan.

Pasca Kemerdekaan Indonesia
Setelah berakhirnya Perang Dunia II, pasukan Jepang menyerah tanpa syarat kepada Pasukan Sekutu dan Soekarno mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia. Soedirman mendapat prestasi pertamanya sebagai tentara setelah keberhasilannya merebut senjata pasukan Jepang dalam pertempuran di Banyumas, Jawa Tengah. Soedirman mengorganisir batalyon PETA-nya menjadi sebuah resimen yang bermarkas di Banyumas, untuk menjadi pasukan perang Republik Indonesia yang selanjutnya berperan besar dalam perang Revolusi Nasional Indonesia.
Sesudah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, ia kemudian diangkat menjadi Panglima Divisi V/Banyumas dengan pangkat Kolonel. Dan melalui Konferensi TKR tanggal 12 November 1945, Soedirman terpilih menjadi Panglima Besar TKR/Panglima Angkatan Perang RI. Selanjutnya dia mulai menderita penyakit tuberkulosis, walaupun begitu selanjutnya dia tetap terjun langsung dalam beberapa kampanye perang gerilya melawan pasukan NICA Belanda.

Peran Dalam Revolusi Nasional Indonesia
Menangnya Pasukan Sekutu atas Jepang dalam Perang Dunia II membawa pasukan Belanda untuk datang kembali ke kepulauan Hindia Belanda (Republik Indonesia sekarang), bekas jajahan mereka yang telah menyatakan untuk merdeka. Setelah menyerahnya pasukan Jepang, Pasukan Sekutu datang ke Indonesia dengan alasan untuk melucuti tentara Jepang. Ternyata pasukan sekutu datang bersama dengan tentara NICA dari Belanda yang hendak mengambil kembali Indonesia sebagai koloninya. Mengetahui hal tersebut, TKR pun terlibat dalam banyak pertempuran dengan tentara sekutu.
Perang besar pertama yang dipimpin Soedirman adalah perang Palagan Ambarawa melawan pasukan Inggris dan NICA Belanda yang berlangsung dari bulan November sampai Desember 1945. Pada Desember 1945, pasukan TKR yang dipimpin oleh Soedirman terlibat pertempuran melawan tentara Inggris di Ambarawa. Dan pada tanggal 12 Desember 1945, Soedirman melancarkan serangan serentak terhadap semua kedudukan Inggris di Ambarawa. Pertempuran terkenal yang berlangsung selama lima hari tersebut diakhiri dengan mundurnya pasukan Inggris ke Semarang. Perang tersebut berakhir tanggal 16 Desember 1945.
Setelah kemenangan Soedirman dalam Palagan Ambarawa, pada tanggal 18 Desember 1945 dia dilantik sebagai Jenderal oleh Presiden Soekarno. Soedirman memperoleh pangkat Jenderal tersebut tidak melalui sistem Akademi Militer atau pendidikan tinggi lainnya, tapi karena prestasinya.

Peran Dalam Agresi Militer II Belanda
Saat terjadinya Agresi Militer II Belanda, Ibukota Republik Indonesia dipindahkan di Yogyakarta, karena Jakarta sudah diduduki oleh tentara Belanda. Soedirman memimpin pasukannya untuk membela Yogyakarta dari serangan Belanda II tanggal 19 Desember 1948 tersebut. Dalam perlawanan tersebut, Soedirman sudah dalam keadaan sangat lemah karena penyakit tuberkulosis yang dideritanya sejak lama. Walaupun begitu dia ikut terjun ke medan perang bersama pasukannya dalam keadaan ditandu, memimpin para tentaranya untuk tetap melakukan perlawanan terhadap pasukan Belanda secara gerilya.
Penyakit yang diderita Soedirman saat berada di Yogyakarta semakin parah. Paru-parunya yang berfungsi hanya tinggal satu karena penyakitnya. Yogyakarta pun kemudian dikuasai Belanda, walaupun sempat dikuasai oleh tentara Indonesia setelah Serangan Umum 1 Maret 1949. Saat itu, Presiden Soekarno dan Mohammad Hatta dan beberapa anggota kabinet juga ditangkap oleh tentara Belanda. Karena situasi genting tersebut, Soedirman dengan ditandu berangkat bersama pasukannya dan kembali melakukan perang gerilya. Ia berpindah-pindah selama tujuh bulan dari hutan satu ke hutan lain, dan dari gunung ke gunung dalam keadaan sakit dan lemah dan dalam kondisi hampir tanpa pengobatan dan perawatan medis. Walaupun masih ingin memimpin perlawanan tersebut, akhirnya Soedirman pulang dari kampanye gerilya tersebut karena kondisi kesehatannya yang tidak memungkinkannya untuk memimpin Angkatan Perang secara langsung. Setelah itu Soedirman hanya menjadi tokoh perencana di balik layar dalam kampanye gerilya melawan Belanda.
Setelah Belanda menyerahkan kepulauan nusantara sebagai Republik Indonesia Serikat dalam Konferensi Meja Bundar tahun 1949 di Den Haag, Jenderal Soedirman kembali ke Jakarta bersama Presiden Soekarno, dan Wakil Presiden Mohammad Hatta.

Kematian
Pada tanggal 29 Januari 1950, Jenderal Soedirman meninggal dunia di Magelang, Jawa Tengah karena sakit tuberkulosis parah yang dideritanya. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara di Semaki, Yogyakarta. Ia dinobatkan sebagai Pahlawan Pembela Kemerdekaan. Pada tahun 1997 dia mendapat gelar sebagai Jenderal Besar Anumerta dengan bintang lima, pangkat yang hanya dimiliki oleh tiga jenderal di RI sampai sekarang, Haji Muhammad Soeharto, Abdul Haris Nasution dan dirinya sendiri.

Jenderal Besar Soedirman 

Bapak Tentara Dari Banyumas
Berlatih kepanduan di Hizbul Wathan dan menjadi guru di sekolah Muhammadiyah, Soedirman masuk tentara pada masa pendudukan Jepang. Kariernya melesat : di usia 29 tahun dia dipilih sebagai Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat.
Dikenang sebagai jenderal sederhana yang dekat dengan prajurit, ia peletak pondasi bagi kultur TNI-institusi yang pernah dikutuk sekaligus dicintai.
Ia mungkin telah menjadi ikon : sepotong jalan utama dan sebuah universitas negeri telah menggunakan namanya. Raut lelaki tirus itu pernah tertera pada sehelai uang kertas. Di Jakarta, tubuhnya yang ringkih diabadikan dalam bentuk patung setinggi 6,5 meter. Menghada utara, dibalut jas yang kedodoran, ia memberi hormat entah kepada siapa.
Barangkali, hanya sedikit cerita yang kita ingat dari Soedirman-sejumput dari buku sejarah sekolah menengah. Ia panglima tentara pertama, orang yang keras hati. Ia pernah bergerilya dalam bering yang akut-tuberkolosis menggerogoti paru-parunya.
Sejak ia remaja, orang segan kepadanya : karena alim, ia dijuluki kaji. Ia aktif dalam gerakan Hizbul Wathan-kepanduan di bawah payung Muhammadiyah. Dipilih melalui pemungutan suara sebagai Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat atau Angkatan Perang Republik Indonesia pada 12 November 1945, Soedirman figur yang sulit dilewatkan begitu saja. Ia mungkin sudah ditakdirkan memimpin tentara.
Dengan banyak pengalaman, tak sulit baginya terpilih sebagai panglima dalam tiga tahap pengumpulan suara. Dia menyisihkan calon-calon lain, termasuk Oerip Soemohardjo-kandidat lain yang mengenyam pendidikan militer Belanda.
Dengan adanya sentiment negatif terhadap eks prajurit Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) inilah yang memuluskan jalan Soedirman untuk terpilih dalam kongres Tentara Keamanan Rakyat di Yogyakarta. Ketika itu, ia 29 tahun dan terkenal di kalangan pemimpin divisi, terutama di Jawa, berkat kecakapan dan karismanya.
Ketika menjadi Komandan Batalion Pembela Tanah Air di Kroya, dia berhasil menyakinkan Jepang agar menyerahkan senjata secara damai. Sebagai Panglima Divisi TKR Purwekerto, Banyumas, dia juga menjadikan kota itu sumber pasokan senjata bagi wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Sebulan sesudah diangkat menjadi panglima, dia memukul mundur pasukan Inggris yang diboncengi Belanda di Ambarawa dalam sebuah petempuran yang brutal. Saat itu Inggris baru saja menaklukkan Jepang. Soedirman dilantik sebagai Panglima Besar pada 18 Desember 1945-tiga hari setelah kemenangan itu. Di Gedung Markas Tinggi TKR di Gondokusuman, Yogyakarta, ia ditahbiskan oleh Soekarno dan M. Hatta.
Sebagai Panglima Besar-meminjam sebutan Soepardjo Roestam, mantan pengawalnya-Soedirman adalah bapak para tentara yang setiap perintah yang diucapkannya disetujui oleh anak buah. Dia dipandang berjasa meletakkan pondasi bagi Tentara Nasional Indonesia. Tapi tak banyak catatan tentang Soedirman. Sejumlah orang terdekat memang menyinggung namanya dalam memoir mereka. Tapi setiap memoir punya sisi subyektifnya sendiri. Soedirman dengan demikian “dilukis” dari sudut pandang sang kerabat-ia tak pernah tampil utuh. Ia mosaik yang terserak.
Tak ada studi yang memadai, misalnya, yang menjelaskan posisi Soedirman dalam pertarungan isme-isme selepas kemerdekaan. Ia memang dekat dengan Tan Malaka, tapi ia tahu bahwa Tan bukan satu-satunya.

Sumber : www.wikipedia.org, Majalah Tempo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar