Kamis, 25 April 2013

Kecolongan Di Pearl Harbor



Mengapa Amerika Serikat bisa keok dalam pengeboman Jepang atas Pearl Harbor ? Bukan sekedar akibat unsur dadakan maupun keteledoran, konon. John Toland dalam bukunya Infamy : Pearl Harbor And Its Aftermath, membuka debat tentang kemungkinan dibiarkannya penyerangan Jepang itu oleh pihak Amerika Serikat sendiri. Dengan alasan yang berputar di sekitar diri Presiden Roosevelt dan orang-orangnya, Bantahan tentu terdengar - Seperti dimuat dalam The New York Times Magazine. Ceritanya, konon bermula pada suatu pagi  2 Desember 1941. 
Berikut ini kisah detailnya walaupun panjang tulisannya :
San Fransisco, 2 Desember 1941, pagi. Pelaut Z sedang asyik dengan peralatannya ketika tiba-tiba Letnan Ellsworth Hosmer mendatanginnya. Atasannya itu berkata, beberapa perusahaan telegraf swasta melaporkan telah menangkap sinyal-sinyal radio misterius dari arah barat Hawaii. Z merasakan nada penting pada ucapan atasan itu. Ia sendiri segera berpikir, jangan-jangan itulah yang selama ini mereka cari : satuan kapal induk Jepang, yang sejak pertengahan November raib dari pengamatan. Bersama Hosmer, dia memang ditugasi Divisi Intel Distrik Angkatan Laut XII di San Fransisco untuk melacak satuan itu.
Z segera beranjak menuju sebuah peta besar dan berdasarkan laporan tadi berusaha menentukan lokasi sumber frekuensi-frekuensi radio misterius itu. Sementara itu, Hosmer sendiri segera meneruskan laporan itu ke atasannya, kepala distrik inteligen setempat, Kapten Richard P. Kapten ini di kantornya terkenal sebagai kawan baik Presiden Amerika saat itu, Franklin Delano Roosevelt (FDR), dan diyakini bisa mengubungi Presiden melalui telepon Harry Hopkins di Gedung Putih.
Pagi berikutnya, setelah bekerja keras sepangjang hari, Letnan Hosmer dan Z berhasil menentukan satuan kapal induk yang dimaksud. Yaitu daerah barat daya Hawaii. Tiga hari kemudian, 6 Desember posisi yang lebih tepat bisa dipastikan : 400 mil sebelah utara-barat laut Oahu. Hasil pelacakan ini, sekali lagi, dilaporkan kepada FDR. Sampai disitu Z dan Hosmer merasa tugas sudah beres. Pesta kecil untuk merayakannya segera dilakukan. Tak lama lagi Jepang akan menyerbu Hawaii, dan mendapat kejutan besar – pikir mereka.
Seperti kita ketahui, dugaan mereka ternyata keliru. Bukannya Jepang- Amerikalah yang mendapatkan kejutan besar. Pagi 7 Desember 1941 itu, dalam sebuah serangan udara selama satu jam 45 menit, Jepang meluluhlantakkan pangkalan militer Amerika di Pearl Harbor, Hawaii. Amerika kehilangan 188 pesawat (tak termasuk 159 yang rusak berat), 18 kapal (termasuk dua kapal induk), dan 2.403 serdadu (tak termasuk 1.178 yang luka). Sementara itu, Jepang Cuma kehilangan 29 pesawat tempur beserta pilotnya dan enam kapal selam kecil dengan awaknya.
Lalu apa yang terjadi dengan laporan Z dan Hosmer ? Bagaimana mungkin Pearl Harbor sama sekali tidak tahu adanya serangan itu, jika Presiden telah mengetahui sebelumnya ? Itulah yang menjadi pertanyaan John Toland, dan yang jawabannya dia coba berikan dalam bukunya Infamy : Pearl Harbor And Its Aftermath. Dari buku itu pula cerita tentang pelaut Z ini diambil.
Tetapi sesungguhnya tak hanya Toland yang mencurigai adanya sesuatu dibalik kejadian yang memalukan AS itu. Banyak ahli lain juga. Sudah sekitar tujuh puluh satu tahun telah berlalu, sudah banyak pemeriksaan dilakukan Kongres atau badan eksekutif, tetapi kontroversi tentang siapa yang salah tetap belum terpecahkan.
Semua orang memang setuju bahwa serangan itu berhasil karena faktor dadakannya; dan bahwa dua penguasa pangkalan Pearl Harbor, Laksamana Husband E. Kimmel dan Letnal Jenderal Walter C Short, tak cukup siaga. Tetapi berbagai penyelidikan yang dilakukan kemudian menunjukkan bahwa serangan itu seberanarnya bisa dideteksi sebelumnya bahkan andai tak ada laporan dari pelaut Z tadi. Bukti-bukti yang dikumpulkan, serta peristiwa-peristiwa yang terjadi dia akhir tahun tiga puluhan dan awal empat puluhan, jelas mengarah ke satu hal : perang dengan Jepang adalah suatu hal yang tak terelakkan. Dan, karena itu, keteledoran para pejabat tinggi di Wangshintonlah yang menyebabkan Kimmel dan Short lalai.
Barangkali, sejak Jepang mulai melancarkan ekspansinya, banyak pejabat Wangshinton sudah memikirkan kemungkinan perang. Setelah Jepang menyerbu Cina, FDR segera melarang penjualan pesawat terbang dan mesiu ke negara itu. Tak lama kemudian ia melakukan tindakan militer pertama memerintahkan Armada Pasifik Angkatan Laut AS memindahkan pangkalannya dari San Diego ke Pearl Harbor.
Tetapi Jepang ternyata tidak takut dengan langkah-langkah ini. Ia meneruskan ekspansinya di Cina. Selain itu, ia secara rahasia juga merencanakan penaklukan lain : Indocina, jajahan Perancis yang menjadi tak terjaga setelah Perancis sendiri diduduki Jerman.
Sayang sekali, tanpa diketahui Jepang, rencana-rencana ini diketahui Amerika Serikat. Negara ini sudah beberapa waktu berhasil memecahkan kode sandi Jepang serta berhasil menyadap sinyal komunikasi mereka. Sinyal sadapan ini diberi nama Magic. Hasil sadapan paling penting adalah kode sandi Purple, kode paling rahasia Jepang untuk berhubungan dengan para diplomatnya di luar negeri. Dari kode-kode itu para pejabat AS tahu : Jepang sedang bersiap untuk perang.
Tetapi sema itu belum sampai menimbulkan konfrontasi langsung. Para diplomat kedua negara masih sibuk berunding,bahkan setelah Jepang melancarkan serbuannya ke Indocina dan Amerika telah memperketat embargonya. Embargo kali ini juga meliputi kapas, baja, dan yang paling penting : minyak.
Hanya saja, agaknya tingkah laku Jepang yang mendua itu – berunding sambil terus merencanakan penaklukan membuat Menteri Luar Negeri AS, Cordell Hull, tak senang. Maka FDR merencanakan sebuah usul lunak kepada Jepang, menjelang pertemuan dengan PM Fumiko Konoye di Hawaii, ia segera menghalang-halangi. Bahkan ia bisa membujuk FDR untuk mengganti usul itu dengan saran yang sangat keras : meminta Jepang dari semua daerah yang didudukinya setelah 1931, dan mengundurkan diri dari pakta pertahanan bersama Jerman dan Italia.
Hull berani mengajukan usul sekasar ini karena ia tahu saat itu, 25 November 1941 malam, Jepang sudah mengirimkan armadanya secara besar-besaran ke Asia Tenggara. Pikirnya, apa gunanya perundingan, kalau sudah begitu? Dalam hal ini ia disokong para penganut garis keras : Menteri AL Frank Knox, Menteri Perang Henry L. Stimson, dan kepala seksi Asia Departemen Luar Negeri Stanley Hombeck. Orang-orang ini yakin, jika terjadi perang melawan Jepang, AS akan berhasil menang dalam waktu enam bulan.
Jepang akhirnya memang menjadi marah oleh usul Hull. Mereka juga lalu merasa tak ada gunannya berunding. Perang harus segera dilancarkan. Dan jika itu terjadi, tak ada kemungkinan lain kecuali mendahului menyerang. Maka, dibawah Laksamana Yamamoto, panglima Armada Gabungan, persiapan segera dilakukan. Tujuan : Hawaii !
 Tanda-tanda adanya persiapan penyerbuan ini sebenarnya juga diketahui AS. Yakni dari kode sandi Purple Jepang yang bisa dipecahkan, dan lebih penting dari penyadapan telepon di konsulat Jepangdi Honolulu oleh Dinas Intelijen AS. Tindakan penyadapan seperti itu sebenarnya melanggar hokum, tetapi dinas itu dan banyak dinas rahasia AS lain, juga FBI toh melakukannya.
Hasil penyadapan telepon ini antara lain : AS tahu bahwa posisi-posisi militer AS telah diketahui oleh agen rahasia Jepang di Honolulu, dan pembakaran-pembakaran dokumen rahasia dilakukan di konsulat Jepang di Honolulu. FBI bahkan berhasil menangkap suara seorang juru masak di konsulat Jepang itu, yang memberi tahu temanya bahwa mereka membakar semua dokumen penting secara rahasia di dalam gedung, tidak diluar seperti biasa.
Selain itu, AL juga sudah tahu Jepang sering mengubah frekuensi komunikasi mereka. Dan, lebih penting, AL juga melaporkan bahwa ada satuan kapal pengangkut pesawat Jepang yang sejak 16 November tak bisa lagi diketahui posisinya, karena tak pernah melakukan hubungan radio. Tetapi berita ini ternyata sama sekali tak menarik Laksamana Kimmel. Ketika diberitahu, 2 Desember, ia cuma berkata, “Apa kamu mau bilang bahwa mereka telah mengepung kita dan kita tidak tahu?”
Ketidakacuhan Kimmel ini membuat orang-orang curiga. Jangan-jangan Wangshinton saat itu memang merencanakan sesuatu? Gamblangnya: jangan-jangan Presiden Roosevelt dan orang-orang dekatnya, yang mengehendaki keterlibatan AS dalam Perang Dunia, sengaja membiarkan Pearl Harbor tak terjaga dengan tak memberitahu Laksamana Kimmel dan agar Jepang tak takut melancarkan serangan. Soalnya, jika Jepang tahu AS telah siaga belum tentu mereka berani melanjutkan rencana penyerbuan. Dan jika mereka urung, akan susah Roosevelt untuk menyakinkan rakyat Amerika bahwa perang dengan Jepang adalah perlu.
Dalam masa-masa itu Amerika boleh dibilang memang agak mengambil jarak dari kekalutan politik di luar negeri. Tanpa sebab yang jelas, tak mungkin Presiden bisa menyakinkan Kongres bahwa perang merupaka suatu keharusan. Hanya jika Jepang menyerbu salah satu daerah AS-lah Filipina misalnya, atau Hawaii, maka perang bisa diumumkan.
Tetapi Jepang agaknya sengaja menghidarkan diri dari tindakan itu. Paling tidak, begitulah kekhawatiran banyak pemimpin sekutu. Churchill sendiri, perdana menteri Inggris itu, berkata, “Yang paling aku takuti adalah serangan Jepang atas koloni kita atau koloni Belanda (Indonesia), dan AS  tak bisa ikut campur karena dibatasi oleh undang-undang. Kita tahu bahwa Presiden Amerika dan orang-orangnya merasa, seperti kita juga, bahaya Jepang akan menyerbu Timur jauh dengan melewati daerah AS, dan karena itu Kongres tak bisa memberi sanksi berupa pernyataan perang.
FDR sendiri dihinggapi pikiran yang sama. Dia mengungkapkan kekhawatirannya itu kepada angota kabinetnya dalam suatu rapat. Sebagian besar setuju. Kepada James H. Rowe Jr., seorang kepercayaannya, dia lalu berkata, “Aku lebih suka ikut bertempur bersama Inggris, tetapi aku tak yakin rakyat akan setuju.”
Bukti jelas keengganan rakyat AS terlibat perang terlihat, misalnya, dari insiden berikut. Sebuah kapal AS, Panay, dalam suatu pelayaran di sungai Yang Tze, di bom Jepang. Mendengar peristiwa ini, Henrik Shipstead, senatordari Missouri, Cuma berkomentar, “Ngapain itu kapal ngelayap sampai disana, bukannya keluar?”.
Karena itulah, demikian pendapat orang-orang yang percaya akan keterlibatan FDR, tak heran jika FDR sengaja mengorbankan Hawaii. Dan, untuk membuktikan kecurigaan inilah Toland lalu mewawancarai pelaut Z tadi. Bahkan tak hanya Z yang dijadikannya bukti. Beberapa petunjuk lain juga disebutkannya dalam bukunya. Inti tuduhannya jelas : FDR telah mengetahui adanya sekelompok kapal Jepang yang sedang menuju Oahu sebelum tanggal 7 Desember. Tetapi ia sengaja menyembunyikannya dari Kimmel dan Short.
Ini sungguh bukan tuduhan ringan. Apalagi yang dituduhkannya tak Cuma FDR, tetapi juga anggota “komplotan”nya : Kepala Staff Angkatan Darat Jenderal George C. Marshall, Kepala Operasi Angkatan Laut Laksamana Harold R. Stark, Menteri Peperangan Henry L. Stimson, Menteri Angkatan Laut Frank Knox, Kepala Divisi Perencanaan Perang Mayjen Leonard T. Gerow, Penasehat Pribadi Presiden Harry Hopkins, dan beberapa pajabat eselon satu.
Jika tuduhan ini benar, berarti Roosevelt dan komplotannya-lah yang bertanggung jawab atas terbunuhnya ribuan prajurit dan pelaut di Hawaii itu. Tindakan semacam ini, sekali lagi jika terbukti benar, cukup untuk dianggap pengkhianatan, dan pelakunya bisa dituntut karena telah melalaikan jabatan secara sengaja, lewat pengadilan. Bayangkan. Karena itu, banyak ahli-termasuk dari kalangan militer dan pemerintahan berusaha menjernihkan. Salah satu diantaranya adalah pensiunan panglima Angkatan Laut, I.G. Newman. Tokoh ini, yang bekerja untuk Satuan Komando Angkatan Laut, bahkan akhirnya mampu mengetahi identitas pelaut Z, dan mewawancarainya. Siapa pelaut Z? Ternyata, Robert D. Ogg, bekas usahawan yang tinggal di dekat San Francisco.
Wawancara itu, yang dilakukan Mei 1983, ditandatangani oleh Ogg bulan Agustus, dan diumumkan bulan Desember, segera menarik perhatian masyarakat. Beberapa media menganggap terungkapnya identitas Z justru memperkuat tuduhan Toland. Juga isi wawancaranya. Tidak demikian dengan Telford Taylor, profesor hukum dari New York. Taylor, yang ketika perang menjadi penasehat umum Komisi Telekomunikasi Federal, tak yakin FDR terlibat. Maka, berdasarkan wawancara Newman itu, dan dengan mewawancarai orang-orang yang dekat dengan FDR di masa perang, ia membuat sanggahan. Bantahan dini dibuat di The New York Times Magazine, April 1984.
Taylor pertaman kali mengutip transkip wawancara Newton-Ogg. Menurut transkip itu, Ogg berbicara kepada Toland atas permintaan anak Laksamana Kimmel, Thomas yang telah menikah dengan kerabat Ogg. Pada masa perang itu, tugas Ogg adalah menyadap pembicaraan melalui saluran telekomunikasi yang dilakukan orang-orang yang dicurigai, termasuk agen-agen Jepang. Selain itu juga memonitor pembicaraan telepon trans-pasifik.
Ogg ternyata mengaku sama sekali tak terlibat urusan penyadapan sinyal radio, juga  tidak meneliti laporan-laporan semacam itu. Dia pun sama sekali tak tahu menahu soal sinyal-sinyal misterius yang dideteksi perusahaan-perusahaan telekomunikasi swasta itu. Dia cuma diberitahu Letnan Hosmer bahwa sinyal-sinyal itu berasal dari armada Jepang. Tetapi dalam bayangannya, juga bisa dari kapal-kapal nelayan.
Taylor lalu mengutip sebagian wawancara itu.
Newman : Jadi, kau beranggapan bahwa sinyal itu datang dari armada Jepang karena Hosmer bilang begitu, betul?
Ogg : Betul, memang begitu, saya tidak punya alasan untuk meragukannya.
Newman : Bagaimana sinyal-sinyal itu bisa ditentukan dari armada Jepang?
Ogg : Saya pada waktu itu tidak menanyakannya. Mereka cuma bilang, itu berasal dari kapal Jepang karena bahasanya. Tapi saya juga tak begitu yakin.
Newman : Toland berkata,”Dengan menggunakan peta, Z mencoba menentukan asal sinyal itu. Lalu dia bilang, barangkali sinyal itu datang dari armada yang dicari itu …
Ogg : Saya tidak pernah membuat pernyataan semacam itu kepada Hosmer. Saya cuma tahu ada sejenis sinyal pada frekuensi yang tak semestinya, pada daerah sebelah timur garis penanggalan internasional. Jelas sekali, tak ada bukti bahwa sinyal itu berasal dari armada perang atau dari armada nelayan.
Jadi, begitu kesimplun Taylor, Ogg bukanlah orang yang menentukan posisi sumber sinyal itu : Letnan Hosmerlah yang menunjukkannya. Yang dilakukan Ogg cuma menggambar letak sumber itu disebuah peta. Ogg juga tidak tahu apakah pencari jejak Angkatan Laut sendiri bisa menemukan sumber itu atau tidak. Sebelum serangan terjadi, Ogg sama sekali tidak yakin akan sumber sinyal mereka; barulah setelah serangan terjadi, dia yakin, sumber itu memang dari armada Jepang.
Taylor beranggapan, dari wawancara itu tampak sekali bahwa Ogg sebenarnya bukan saksi penting. Dia bukan tangan pertama informasi. Dia juga cuma tahu sedikit, sebgai orang kedua yang menerima informasi itu dari Hosmer yang sudah meninggal. Siapa sebenarnya penentu posisi sumber sinyal?Seberapa akurat posisi itu?Kapan sajakah sinyal misterius itu terdeteksi, dan apa wujudnya?Apa dasar yang dipakai Hosmer untuk berkata kepada Ogg bahwa sinyal itu datang dari armada yang hilang?Langkah apa saja yang dilakukan untuk mengecek pengamatan ini dengan jaringan monitor radio Angkatan Laut yang luas?
Tak sebuah pun pertanyaan di atas dijawab Ogg. Apa yang dia laporkan paling-paling cuma berarti perlunya pengecekan lebih lanjut oleh para pejabat radio Angkatan Laut. Kapten McCullough, seorang perwira berpengalaman dan punya prestasi baik, sungguh tak mungkin meneruskan informasi setengah matang itu kepada Presiden.
Bahkan jika laporan itu memang diteruskan McCullough keatas, sedikit kemungkinan didengar Presiden atau siapapun di Gedung Putih. Memang bukan tidak mungkin  McCullough dan FDR teman akrab. FDR pernah menjadi asisten menteri Angkatan Laut selama delapan tahun (1913-1920), umurnya hampir sama dengan McCullough, jadi tak susah membayangkan bahwa mereka pernah bersahabat.
Toh tak berarti McCullough bisa dengan gampang menghubungi Presiden, baik langsung maupun melalui Harry Hopkins. Taylor segera mengecek kemungkinan ini. Ternyata, nama McCullough tak dikenal oleh James McGregor Burns, Joseph P. Lash, atau Arthur Schlesinger Jr., orang orang yang sangat akrab dengan dokumen-dokumen FDR. Juga tak diketahui Grace Truly, sekretaris pribadi FDR. Grace bahkan menyakinkan Taylor bahwa tak mungkin McCullough bisa berhubungan dengan Presiden di kantor tanpa dia tahu. William R. Emerson, direktur Perpustakaan Franklin Delano Roosevelt di Hyde Park, New York, yang mempunyai arsip-arsip FDR, Harry Hopkins, dan orang-orang dekat FDR lain, dan telah menyeleksinya dengan sabar dan teliti, juga sama sekali tak menemukan nama Kapten McCullough di situ.
Nah, jika demikian, mungkinkah tuduhan itu benar? Taylor menyangsikannya. Ada memang beberapa bukti lain yang disebutkan Toland. Untuk menunjukkan keterlibatan FDR, tetapi Taylor juga membantahnya. Misalnya kisah tentang sinyal radio yang didengar seorang operator di kapal Matson, Lurline, yang sedang mendekati Oahu dari timur. Sinyal ini tak dijelaskan Toland apa isinya, lalu dilaporkan kepada kantor kepada kantor inteligen Distrik Angkatan Laut XIV di Honolulu pada tanggal 3 Desember 1941. Tetapi tak ada bukti bahwa laporan itu diteruskan  ke Presiden.
Laporan Ogg dan Lurline masih memiliki satu kelemahan lagi : semua sumber Jepang yang diketemui Taylor yakin bahwa satuan penyerbu Pearl Harbor telah diinsruksikan untuk sama sekali tak menggunakan radio seperti yang diperintahkan Yamamoto selama mendekati Oahu. Ini sesuatu hal yang sangat masuk akal yang tak ada penjelasannya di buku Toland.
  Walau demikian, inti persoalannya sebenarnya bukan apakah sinyal itu berasal dari armada Jepang. Tetapi apakah Presiden dan orang-orangnya menganggapnya begitu. Dengan dasar ini sekalipun, tetap tak ada bukti bahwa FDR dan komplotannya pernah mendengar laporan Ogg dan Lurline.
Bukti lain lagi adalah memoar Frances Perkins, menteri tenaga kerja Kabinet Roosevelt. Memoar itu kini disimpan di Proyek Sejarah Lisan Universitas Columbia. Perkins, sorang wanita, bercerita tentang suatu pertemuan Kabinet di  pagi 7 Desember, ketika Presiden menerangkan serangan atas Pearl Harbor. Tulisannya :
“Aku punya perasaan sangat dalam bahwa ada sesuatu yang tak beres, bahwa keadaan ini bukanlah seperti yang tampak … jelas sekali dia-Presiden-memainkan peranan tertentu. Aku memang tak sampai berpikir bahwa peranan yang dimainkannya adalah peranan jahat. Tetapi keterkejutannya saat itu tak sebesar keterkejutan kami semua … dan jelas sekali ada sesuatu yang disembunyikan …”
Bagi Taylor, menghubungkan memoir seperti ini dengan keterlibatan FDR adalah sesuatu yang keterlaluan. Pada saat seperti itu,demikian katanya, pikiran FDR pasti kacau dan kompleks. Dia barangkali memang merasa lega dengan adanya pristiwa Pearl Harbour karena terpecahkan problem yang selama ini tak terselesaikan. Dia barangkali sangan gembira akan adanya kesempatan menghajar musuh yang tak tahu aturan.
Tetapi pasti pula kehancuran Pearl Harbour sangat membani hatinya, dan pasti jauh mengatasi segala perasaan gembira. Dia barangkali juga merasa kaget atas ketololannya dan anak buahnya selama itu, mesti sudah banyak tanda bahaya tampak. Karena semua itu, mesti sudah banyak tanda bahaya tampak. Karena semua itu, wajarlah jika dia merasa tak senang berada bersama banyak anggota kabinetnya yang bukan orang dekat dalam urusan seperti itu.
Hal-hal itu semuanya, atau beberapa diantaranya mestinya yang membuat Perkins berprasangka. Tetapi dia merasa terkejut jika mengetahui bahwa ucapan kesangsiannya dipakai untuk membuktikan teori persekongkolan.
Selain itu, seandainya tuduhan itu benar, dan FDR serta orang-orangnya terlibat dalam penghancuran Oahu, dosa seperti itu tidak hanya tak terbayangkan bagi Taylor, tapi juga buat Toland. Karena itulah Toland sendiri mencoba memperkecil arti dosa itu dengan suatu cerita. Presiden, kata dia, barangkali berpikir bahwa membiarkan Jepang menyerang Pearl Harbour tak akan terlalu berbahaya. Soalnya pada bulan Mei 1941 Jenderal Marshall mengirimkan sebuah memorandum kepadanya, yang isinya menunjukkan, “Oahu adalah benteng terkuat di dunia. Setiap angkatan laut asing yang mencoba menyerbuanya pasti hancur sebelum bisa mendekati Hawaii.”
Tapi alasan seperti ini bagi Taylor jelas tak masuk akal. Ucapan Jenderal Marshall itu didasarkan pada anggapan bahwa kedatangan armada Jepang bisa diketahui sebelumnya, sehingga bisa diserbu pada jarak 750 mil, “dan ditembaki dengan segala bentuk bom dengan semua peralatan paling modern kita pada jarak 200 mil. Oahu jelas tak bisa melakukan hal ini jika Laksamana Kimmel dan Jenderal Short tak diberitahu sebelumnya.
Sebuah kisah yang hampir sama barangkali bisa disimpulkan dari cerita pengeboman markas marinir Amerika di Libanon Oktober 1983. Yaitu Reagen, yang tahu akan datangnya serangan teroris, membujuk kepala stafnya untuk tak memberi tahu komandan marinir di Beirut, sehingga Amerika punya alasan untuk menyerbu atau melakukan intervensi militer yang lebih dalam di Libanon. Sesuatu yang juga sangat tak masuk akal.
Karena itu, Taylor beranggapan, apa yang terjadi d Pearl Harbour tak lebih dari suatu salah hitung. Memang itu kesalahan yang fatal, ditingkat atas dan bawah, seperti yang terjadi di Beirut pada tahun 1983 lalu itu. “Tapi tak ada bukti yang cukup kuat untuk membenarkan tuduhan semacam itu,” tulis Taylor mengutip Gordon W. Prange, seorang sejarawan penulis At Dawn We Slept : The Untold Story of Pearl Harbour. Dan ia menutup tulisannya.

Sumber : Majalah Tempo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar