Mengapa Amerika Serikat
bisa keok dalam pengeboman Jepang atas Pearl Harbor ? Bukan sekedar akibat
unsur dadakan maupun keteledoran, konon. John Toland dalam bukunya Infamy :
Pearl Harbor And Its Aftermath, membuka debat tentang kemungkinan dibiarkannya
penyerangan Jepang itu oleh pihak Amerika Serikat sendiri. Dengan alasan yang
berputar di sekitar diri Presiden Roosevelt dan orang-orangnya, Bantahan tentu
terdengar - Seperti dimuat dalam The New York Times Magazine. Ceritanya, konon
bermula pada suatu pagi 2 Desember 1941.
Berikut ini kisah
detailnya walaupun panjang tulisannya :
San Fransisco, 2
Desember 1941, pagi. Pelaut Z sedang asyik dengan peralatannya ketika tiba-tiba
Letnan Ellsworth Hosmer mendatanginnya. Atasannya itu berkata, beberapa perusahaan
telegraf swasta melaporkan telah menangkap sinyal-sinyal radio misterius dari
arah barat Hawaii. Z merasakan nada penting pada ucapan atasan itu. Ia sendiri
segera berpikir, jangan-jangan itulah yang selama ini mereka cari : satuan
kapal induk Jepang, yang sejak pertengahan November raib dari pengamatan.
Bersama Hosmer, dia memang ditugasi Divisi Intel Distrik Angkatan Laut XII di
San Fransisco untuk melacak satuan itu.
Z segera beranjak
menuju sebuah peta besar dan berdasarkan laporan tadi berusaha menentukan
lokasi sumber frekuensi-frekuensi radio misterius itu. Sementara itu, Hosmer
sendiri segera meneruskan laporan itu ke atasannya, kepala distrik inteligen
setempat, Kapten Richard P. Kapten ini di kantornya terkenal sebagai kawan baik
Presiden Amerika saat itu, Franklin Delano Roosevelt (FDR), dan diyakini bisa
mengubungi Presiden melalui telepon Harry Hopkins di Gedung Putih.
Pagi berikutnya,
setelah bekerja keras sepangjang hari, Letnan Hosmer dan Z berhasil menentukan
satuan kapal induk yang dimaksud. Yaitu daerah barat daya Hawaii. Tiga hari
kemudian, 6 Desember posisi yang lebih tepat bisa dipastikan : 400 mil sebelah
utara-barat laut Oahu. Hasil pelacakan ini, sekali lagi, dilaporkan kepada FDR.
Sampai disitu Z dan Hosmer merasa tugas sudah beres. Pesta kecil untuk
merayakannya segera dilakukan. Tak lama lagi Jepang akan menyerbu Hawaii, dan
mendapat kejutan besar – pikir mereka.
Seperti kita ketahui,
dugaan mereka ternyata keliru. Bukannya Jepang- Amerikalah yang mendapatkan
kejutan besar. Pagi 7 Desember 1941 itu, dalam sebuah serangan udara selama
satu jam 45 menit, Jepang meluluhlantakkan pangkalan militer Amerika di Pearl
Harbor, Hawaii. Amerika kehilangan 188 pesawat (tak termasuk 159 yang rusak
berat), 18 kapal (termasuk dua kapal induk), dan 2.403 serdadu (tak termasuk
1.178 yang luka). Sementara itu, Jepang Cuma kehilangan 29 pesawat tempur
beserta pilotnya dan enam kapal selam kecil dengan awaknya.
Lalu apa yang terjadi
dengan laporan Z dan Hosmer ? Bagaimana mungkin Pearl Harbor sama sekali tidak
tahu adanya serangan itu, jika Presiden telah mengetahui sebelumnya ? Itulah
yang menjadi pertanyaan John Toland, dan yang jawabannya dia coba berikan dalam
bukunya Infamy : Pearl Harbor And Its Aftermath. Dari buku itu pula cerita
tentang pelaut Z ini diambil.
Tetapi sesungguhnya tak
hanya Toland yang mencurigai adanya sesuatu dibalik kejadian yang memalukan AS
itu. Banyak ahli lain juga. Sudah sekitar tujuh puluh satu tahun telah berlalu,
sudah banyak pemeriksaan dilakukan Kongres atau badan eksekutif, tetapi
kontroversi tentang siapa yang salah tetap belum terpecahkan.
Semua orang memang
setuju bahwa serangan itu berhasil karena faktor dadakannya; dan bahwa dua penguasa
pangkalan Pearl Harbor, Laksamana Husband E. Kimmel dan Letnal Jenderal Walter
C Short, tak cukup siaga. Tetapi berbagai penyelidikan yang dilakukan kemudian
menunjukkan bahwa serangan itu seberanarnya bisa dideteksi sebelumnya bahkan
andai tak ada laporan dari pelaut Z tadi. Bukti-bukti yang dikumpulkan, serta
peristiwa-peristiwa yang terjadi dia akhir tahun tiga puluhan dan awal empat
puluhan, jelas mengarah ke satu hal : perang dengan Jepang adalah suatu hal
yang tak terelakkan. Dan, karena itu, keteledoran para pejabat tinggi di
Wangshintonlah yang menyebabkan Kimmel dan Short lalai.
Barangkali, sejak
Jepang mulai melancarkan ekspansinya, banyak pejabat Wangshinton sudah
memikirkan kemungkinan perang. Setelah Jepang menyerbu Cina, FDR segera melarang
penjualan pesawat terbang dan mesiu ke negara itu. Tak lama kemudian ia
melakukan tindakan militer pertama memerintahkan Armada Pasifik Angkatan Laut
AS memindahkan pangkalannya dari San Diego ke Pearl Harbor.
Tetapi Jepang ternyata
tidak takut dengan langkah-langkah ini. Ia meneruskan ekspansinya di Cina.
Selain itu, ia secara rahasia juga merencanakan penaklukan lain : Indocina,
jajahan Perancis yang menjadi tak terjaga setelah Perancis sendiri diduduki
Jerman.
Sayang sekali, tanpa diketahui Jepang,
rencana-rencana ini diketahui Amerika Serikat. Negara ini sudah beberapa waktu
berhasil memecahkan kode sandi Jepang serta berhasil menyadap sinyal komunikasi
mereka. Sinyal sadapan ini diberi nama Magic. Hasil sadapan paling penting
adalah kode sandi Purple, kode paling
rahasia Jepang untuk berhubungan dengan para diplomatnya di luar negeri. Dari
kode-kode itu para pejabat AS tahu : Jepang sedang bersiap untuk perang.
Tetapi sema itu belum
sampai menimbulkan konfrontasi langsung. Para diplomat kedua negara masih sibuk
berunding,bahkan setelah Jepang melancarkan serbuannya ke Indocina dan Amerika
telah memperketat embargonya. Embargo kali ini juga meliputi kapas, baja, dan
yang paling penting : minyak.
Hanya saja, agaknya
tingkah laku Jepang yang mendua itu – berunding sambil terus merencanakan
penaklukan membuat Menteri Luar Negeri AS, Cordell Hull, tak senang. Maka FDR
merencanakan sebuah usul lunak kepada Jepang, menjelang pertemuan dengan PM
Fumiko Konoye di Hawaii, ia segera menghalang-halangi. Bahkan ia bisa membujuk
FDR untuk mengganti usul itu dengan saran yang sangat keras : meminta Jepang
dari semua daerah yang didudukinya setelah 1931, dan mengundurkan diri dari
pakta pertahanan bersama Jerman dan Italia.
Hull berani mengajukan
usul sekasar ini karena ia tahu saat itu, 25 November 1941 malam, Jepang sudah
mengirimkan armadanya secara besar-besaran ke Asia Tenggara. Pikirnya, apa
gunanya perundingan, kalau sudah begitu? Dalam hal ini ia disokong para
penganut garis keras : Menteri AL Frank Knox, Menteri Perang Henry L. Stimson,
dan kepala seksi Asia Departemen Luar Negeri Stanley Hombeck. Orang-orang ini
yakin, jika terjadi perang melawan Jepang, AS akan berhasil menang dalam waktu
enam bulan.
Jepang akhirnya memang
menjadi marah oleh usul Hull. Mereka juga lalu merasa tak ada gunannya
berunding. Perang harus segera dilancarkan. Dan jika itu terjadi, tak ada
kemungkinan lain kecuali mendahului menyerang. Maka, dibawah Laksamana
Yamamoto, panglima Armada Gabungan, persiapan segera dilakukan. Tujuan : Hawaii
!
Tanda-tanda adanya persiapan penyerbuan ini
sebenarnya juga diketahui AS. Yakni dari kode sandi Purple Jepang yang bisa dipecahkan, dan lebih penting dari
penyadapan telepon di konsulat Jepangdi Honolulu oleh Dinas Intelijen AS.
Tindakan penyadapan seperti itu sebenarnya melanggar hokum, tetapi dinas itu dan
banyak dinas rahasia AS lain, juga FBI toh melakukannya.
Hasil penyadapan
telepon ini antara lain : AS tahu bahwa posisi-posisi militer AS telah
diketahui oleh agen rahasia Jepang di Honolulu, dan pembakaran-pembakaran
dokumen rahasia dilakukan di konsulat Jepang di Honolulu. FBI bahkan berhasil
menangkap suara seorang juru masak di konsulat Jepang itu, yang memberi tahu temanya
bahwa mereka membakar semua dokumen penting secara rahasia di dalam gedung,
tidak diluar seperti biasa.
Selain itu, AL juga
sudah tahu Jepang sering mengubah frekuensi komunikasi mereka. Dan, lebih
penting, AL juga melaporkan bahwa ada satuan kapal pengangkut pesawat Jepang
yang sejak 16 November tak bisa lagi diketahui posisinya, karena tak pernah
melakukan hubungan radio. Tetapi berita ini ternyata sama sekali tak menarik
Laksamana Kimmel. Ketika diberitahu, 2 Desember, ia cuma berkata, “Apa kamu mau
bilang bahwa mereka telah mengepung kita dan kita tidak tahu?”
Ketidakacuhan Kimmel
ini membuat orang-orang curiga. Jangan-jangan Wangshinton saat itu memang
merencanakan sesuatu? Gamblangnya: jangan-jangan Presiden Roosevelt dan
orang-orang dekatnya, yang mengehendaki keterlibatan AS dalam Perang Dunia,
sengaja membiarkan Pearl Harbor tak terjaga dengan tak memberitahu Laksamana
Kimmel dan agar Jepang tak takut melancarkan serangan. Soalnya, jika Jepang
tahu AS telah siaga belum tentu mereka berani melanjutkan rencana penyerbuan.
Dan jika mereka urung, akan susah Roosevelt untuk menyakinkan rakyat Amerika
bahwa perang dengan Jepang adalah perlu.
Dalam masa-masa itu
Amerika boleh dibilang memang agak mengambil jarak dari kekalutan politik di
luar negeri. Tanpa sebab yang jelas, tak mungkin Presiden bisa menyakinkan
Kongres bahwa perang merupaka suatu keharusan. Hanya jika Jepang menyerbu salah
satu daerah AS-lah Filipina misalnya, atau Hawaii, maka perang bisa diumumkan.
Tetapi Jepang agaknya
sengaja menghidarkan diri dari tindakan itu. Paling tidak, begitulah
kekhawatiran banyak pemimpin sekutu. Churchill sendiri, perdana menteri Inggris
itu, berkata, “Yang paling aku takuti adalah serangan Jepang atas koloni kita
atau koloni Belanda (Indonesia), dan AS tak
bisa ikut campur karena dibatasi oleh undang-undang. Kita tahu bahwa Presiden
Amerika dan orang-orangnya merasa, seperti kita juga, bahaya Jepang akan
menyerbu Timur jauh dengan melewati daerah AS, dan karena itu Kongres tak bisa
memberi sanksi berupa pernyataan perang.
FDR sendiri dihinggapi
pikiran yang sama. Dia mengungkapkan kekhawatirannya itu kepada angota
kabinetnya dalam suatu rapat. Sebagian besar setuju. Kepada James H. Rowe Jr.,
seorang kepercayaannya, dia lalu berkata, “Aku lebih suka ikut bertempur
bersama Inggris, tetapi aku tak yakin rakyat akan setuju.”
Bukti jelas keengganan
rakyat AS terlibat perang terlihat, misalnya, dari insiden berikut. Sebuah
kapal AS, Panay, dalam suatu
pelayaran di sungai Yang Tze, di bom Jepang. Mendengar peristiwa ini, Henrik
Shipstead, senatordari Missouri, Cuma berkomentar, “Ngapain itu kapal ngelayap
sampai disana, bukannya keluar?”.
Karena itulah, demikian
pendapat orang-orang yang percaya akan keterlibatan FDR, tak heran jika FDR
sengaja mengorbankan Hawaii. Dan, untuk membuktikan kecurigaan inilah Toland
lalu mewawancarai pelaut Z tadi. Bahkan tak hanya Z yang dijadikannya bukti.
Beberapa petunjuk lain juga disebutkannya dalam bukunya. Inti tuduhannya jelas
: FDR telah mengetahui adanya sekelompok kapal Jepang yang sedang menuju Oahu sebelum
tanggal 7 Desember. Tetapi ia sengaja menyembunyikannya dari Kimmel dan Short.
Ini sungguh bukan
tuduhan ringan. Apalagi yang dituduhkannya tak Cuma FDR, tetapi juga anggota
“komplotan”nya : Kepala Staff Angkatan Darat Jenderal George C. Marshall,
Kepala Operasi Angkatan Laut Laksamana Harold R. Stark, Menteri Peperangan
Henry L. Stimson, Menteri Angkatan Laut Frank Knox, Kepala Divisi Perencanaan
Perang Mayjen Leonard T. Gerow, Penasehat Pribadi Presiden Harry Hopkins, dan
beberapa pajabat eselon satu.
Jika tuduhan ini benar,
berarti Roosevelt dan komplotannya-lah yang bertanggung jawab atas terbunuhnya
ribuan prajurit dan pelaut di Hawaii itu. Tindakan semacam ini, sekali lagi
jika terbukti benar, cukup untuk dianggap pengkhianatan, dan pelakunya bisa
dituntut karena telah melalaikan jabatan secara sengaja, lewat pengadilan.
Bayangkan. Karena itu, banyak ahli-termasuk dari kalangan militer dan
pemerintahan berusaha menjernihkan. Salah satu diantaranya adalah pensiunan
panglima Angkatan Laut, I.G. Newman. Tokoh ini, yang bekerja untuk Satuan
Komando Angkatan Laut, bahkan akhirnya mampu mengetahi identitas pelaut Z, dan
mewawancarainya. Siapa pelaut Z? Ternyata, Robert D. Ogg, bekas usahawan yang
tinggal di dekat San Francisco.
Wawancara itu, yang
dilakukan Mei 1983, ditandatangani oleh Ogg bulan Agustus, dan diumumkan bulan
Desember, segera menarik perhatian masyarakat. Beberapa media menganggap
terungkapnya identitas Z justru memperkuat tuduhan Toland. Juga isi
wawancaranya. Tidak demikian dengan Telford Taylor, profesor hukum dari New
York. Taylor, yang ketika perang menjadi penasehat umum Komisi Telekomunikasi
Federal, tak yakin FDR terlibat. Maka, berdasarkan wawancara Newman itu, dan
dengan mewawancarai orang-orang yang dekat dengan FDR di masa perang, ia
membuat sanggahan. Bantahan dini dibuat di The New York Times Magazine, April
1984.
Taylor pertaman kali
mengutip transkip wawancara Newton-Ogg. Menurut transkip itu, Ogg berbicara
kepada Toland atas permintaan anak Laksamana Kimmel, Thomas yang telah menikah
dengan kerabat Ogg. Pada masa perang itu, tugas Ogg adalah menyadap pembicaraan
melalui saluran telekomunikasi yang dilakukan orang-orang yang dicurigai,
termasuk agen-agen Jepang. Selain itu juga memonitor pembicaraan telepon
trans-pasifik.
Ogg ternyata mengaku
sama sekali tak terlibat urusan penyadapan sinyal radio, juga tidak meneliti laporan-laporan semacam itu.
Dia pun sama sekali tak tahu menahu soal sinyal-sinyal misterius yang dideteksi
perusahaan-perusahaan telekomunikasi swasta itu. Dia cuma diberitahu Letnan
Hosmer bahwa sinyal-sinyal itu berasal dari armada Jepang. Tetapi dalam
bayangannya, juga bisa dari kapal-kapal nelayan.
Taylor lalu mengutip
sebagian wawancara itu.
Newman : Jadi, kau beranggapan
bahwa sinyal itu datang dari armada Jepang karena Hosmer bilang begitu, betul?
Ogg : Betul, memang
begitu, saya tidak punya alasan untuk meragukannya.
Newman : Bagaimana
sinyal-sinyal itu bisa ditentukan dari armada Jepang?
Ogg : Saya pada waktu
itu tidak menanyakannya. Mereka cuma bilang, itu berasal dari kapal Jepang
karena bahasanya. Tapi saya juga tak begitu yakin.
Newman : Toland
berkata,”Dengan menggunakan peta, Z mencoba menentukan asal sinyal itu. Lalu
dia bilang, barangkali sinyal itu datang dari armada yang dicari itu …
Ogg : Saya tidak pernah
membuat pernyataan semacam itu kepada Hosmer. Saya cuma tahu ada sejenis sinyal
pada frekuensi yang tak semestinya, pada daerah sebelah timur garis penanggalan
internasional. Jelas sekali, tak ada bukti bahwa sinyal itu berasal dari armada
perang atau dari armada nelayan.
Jadi, begitu kesimplun
Taylor, Ogg bukanlah orang yang menentukan posisi sumber sinyal itu : Letnan
Hosmerlah yang menunjukkannya. Yang dilakukan Ogg cuma menggambar letak sumber
itu disebuah peta. Ogg juga tidak tahu apakah pencari jejak Angkatan Laut
sendiri bisa menemukan sumber itu atau tidak. Sebelum serangan terjadi, Ogg
sama sekali tidak yakin akan sumber sinyal mereka; barulah setelah serangan
terjadi, dia yakin, sumber itu memang dari armada Jepang.
Taylor beranggapan,
dari wawancara itu tampak sekali bahwa Ogg sebenarnya bukan saksi penting. Dia
bukan tangan pertama informasi. Dia juga cuma tahu sedikit, sebgai orang kedua
yang menerima informasi itu dari Hosmer yang sudah meninggal. Siapa sebenarnya
penentu posisi sumber sinyal?Seberapa akurat posisi itu?Kapan sajakah sinyal
misterius itu terdeteksi, dan apa wujudnya?Apa dasar yang dipakai Hosmer untuk
berkata kepada Ogg bahwa sinyal itu datang dari armada yang hilang?Langkah apa
saja yang dilakukan untuk mengecek pengamatan ini dengan jaringan monitor radio
Angkatan Laut yang luas?
Tak sebuah pun
pertanyaan di atas dijawab Ogg. Apa yang dia laporkan paling-paling cuma
berarti perlunya pengecekan lebih lanjut oleh para pejabat radio Angkatan Laut.
Kapten McCullough, seorang perwira berpengalaman dan punya prestasi baik,
sungguh tak mungkin meneruskan informasi setengah matang itu kepada Presiden.
Bahkan jika laporan itu
memang diteruskan McCullough keatas, sedikit kemungkinan didengar Presiden atau
siapapun di Gedung Putih. Memang bukan tidak mungkin McCullough dan FDR teman akrab. FDR pernah
menjadi asisten menteri Angkatan Laut selama delapan tahun (1913-1920), umurnya
hampir sama dengan McCullough, jadi tak susah membayangkan bahwa mereka pernah bersahabat.
Toh tak berarti
McCullough bisa dengan gampang menghubungi Presiden, baik langsung maupun
melalui Harry Hopkins. Taylor segera mengecek kemungkinan ini. Ternyata, nama
McCullough tak dikenal oleh James McGregor Burns, Joseph P. Lash, atau Arthur
Schlesinger Jr., orang orang yang sangat akrab dengan dokumen-dokumen FDR. Juga
tak diketahui Grace Truly, sekretaris pribadi FDR. Grace bahkan menyakinkan
Taylor bahwa tak mungkin McCullough bisa berhubungan dengan Presiden di kantor
tanpa dia tahu. William R. Emerson, direktur Perpustakaan Franklin Delano
Roosevelt di Hyde Park, New York, yang mempunyai arsip-arsip FDR, Harry
Hopkins, dan orang-orang dekat FDR lain, dan telah menyeleksinya dengan sabar
dan teliti, juga sama sekali tak menemukan nama Kapten McCullough di situ.
Nah, jika demikian,
mungkinkah tuduhan itu benar? Taylor menyangsikannya. Ada memang beberapa bukti
lain yang disebutkan Toland. Untuk menunjukkan keterlibatan FDR, tetapi Taylor
juga membantahnya. Misalnya kisah tentang sinyal radio yang didengar seorang
operator di kapal Matson, Lurline,
yang sedang mendekati Oahu dari timur. Sinyal ini tak dijelaskan Toland apa
isinya, lalu dilaporkan kepada kantor kepada kantor inteligen Distrik Angkatan
Laut XIV di Honolulu pada tanggal 3 Desember 1941. Tetapi tak ada bukti bahwa
laporan itu diteruskan ke Presiden.
Laporan Ogg dan Lurline
masih memiliki satu kelemahan lagi : semua sumber Jepang yang diketemui Taylor
yakin bahwa satuan penyerbu Pearl Harbor telah diinsruksikan untuk sama sekali
tak menggunakan radio seperti yang diperintahkan Yamamoto selama mendekati
Oahu. Ini sesuatu hal yang sangat masuk akal yang tak ada penjelasannya di buku
Toland.
Walau demikian, inti persoalannya sebenarnya
bukan apakah sinyal itu berasal dari armada Jepang. Tetapi apakah Presiden dan orang-orangnya
menganggapnya begitu. Dengan dasar ini sekalipun, tetap tak ada bukti bahwa FDR
dan komplotannya pernah mendengar laporan Ogg dan Lurline.
Bukti lain lagi adalah
memoar Frances Perkins, menteri tenaga kerja Kabinet Roosevelt. Memoar itu kini
disimpan di Proyek Sejarah Lisan Universitas Columbia. Perkins, sorang wanita,
bercerita tentang suatu pertemuan Kabinet di
pagi 7 Desember, ketika Presiden menerangkan serangan atas Pearl Harbor.
Tulisannya :
“Aku punya perasaan
sangat dalam bahwa ada sesuatu yang tak beres, bahwa keadaan ini bukanlah seperti
yang tampak … jelas sekali dia-Presiden-memainkan peranan tertentu. Aku memang
tak sampai berpikir bahwa peranan yang dimainkannya adalah peranan jahat.
Tetapi keterkejutannya saat itu tak sebesar keterkejutan kami semua … dan jelas
sekali ada sesuatu yang disembunyikan …”
Bagi Taylor,
menghubungkan memoir seperti ini dengan keterlibatan FDR adalah sesuatu yang
keterlaluan. Pada saat seperti itu,demikian katanya, pikiran FDR pasti kacau
dan kompleks. Dia barangkali memang merasa lega dengan adanya pristiwa Pearl
Harbour karena terpecahkan problem yang selama ini tak terselesaikan. Dia
barangkali sangan gembira akan adanya kesempatan menghajar musuh yang tak tahu
aturan.
Tetapi pasti pula
kehancuran Pearl Harbour sangat membani hatinya, dan pasti jauh mengatasi
segala perasaan gembira. Dia barangkali juga merasa kaget atas ketololannya dan
anak buahnya selama itu, mesti sudah banyak tanda bahaya tampak. Karena semua
itu, mesti sudah banyak tanda bahaya tampak. Karena semua itu, wajarlah jika
dia merasa tak senang berada bersama banyak anggota kabinetnya yang bukan orang
dekat dalam urusan seperti itu.
Hal-hal itu semuanya,
atau beberapa diantaranya mestinya yang membuat Perkins berprasangka. Tetapi
dia merasa terkejut jika mengetahui bahwa ucapan kesangsiannya dipakai untuk
membuktikan teori persekongkolan.
Selain itu, seandainya
tuduhan itu benar, dan FDR serta orang-orangnya terlibat dalam penghancuran
Oahu, dosa seperti itu tidak hanya tak terbayangkan bagi Taylor, tapi juga buat
Toland. Karena itulah Toland sendiri mencoba memperkecil arti dosa itu dengan
suatu cerita. Presiden, kata dia, barangkali berpikir bahwa membiarkan Jepang
menyerang Pearl Harbour tak akan terlalu berbahaya. Soalnya pada bulan Mei 1941
Jenderal Marshall mengirimkan sebuah memorandum kepadanya, yang isinya
menunjukkan, “Oahu adalah benteng terkuat di dunia. Setiap angkatan laut asing
yang mencoba menyerbuanya pasti hancur sebelum bisa mendekati Hawaii.”
Tapi alasan seperti ini
bagi Taylor jelas tak masuk akal. Ucapan Jenderal Marshall itu didasarkan pada
anggapan bahwa kedatangan armada Jepang bisa diketahui sebelumnya, sehingga
bisa diserbu pada jarak 750 mil, “dan ditembaki dengan segala bentuk bom dengan
semua peralatan paling modern kita pada jarak 200 mil. Oahu jelas tak bisa
melakukan hal ini jika Laksamana Kimmel dan Jenderal Short tak diberitahu
sebelumnya.
Sebuah kisah yang hampir
sama barangkali bisa disimpulkan dari cerita pengeboman markas marinir Amerika
di Libanon Oktober 1983. Yaitu Reagen, yang tahu akan datangnya serangan
teroris, membujuk kepala stafnya untuk tak memberi tahu komandan marinir di
Beirut, sehingga Amerika punya alasan untuk menyerbu atau melakukan intervensi
militer yang lebih dalam di Libanon. Sesuatu yang juga sangat tak masuk akal.
Karena itu, Taylor beranggapan,
apa yang terjadi d Pearl Harbour tak lebih dari suatu salah hitung. Memang itu
kesalahan yang fatal, ditingkat atas dan bawah, seperti yang terjadi di Beirut
pada tahun 1983 lalu itu. “Tapi tak ada bukti yang cukup kuat untuk membenarkan
tuduhan semacam itu,” tulis Taylor mengutip Gordon W. Prange, seorang sejarawan
penulis At Dawn We Slept : The Untold Story of Pearl Harbour. Dan ia menutup
tulisannya.
Sumber : Majalah Tempo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar