Harun Ar-Rasyid lahir di Rayy pada tahun 766 dan wafat pada tanggal 24 Maret 809, di Thus, Khurasan. Harun Ar-Rasyid adalah kalifah kelima
dari kekalifahan
Abbasiyah dan memerintah
antara tahun 786 hingga 803. Ayahnya bernama Muhammad Al-Mahdi, khalifah yang
ketiga dan kakaknya, Musa Al-Hadi adalah kalifah
yang keempat.Ibunya Jurasyiyah dijuluki Khayzuran berasal dari
Yaman.
Meski berasal dari dinasti Abbasiyah, Harun Ar-Rasyid dikenal dekat dengan keluarga Barmaki
dari Persia (Iran). Di masa mudanya, Harun banyak
belajar dari Yahya ibn Khalid Al-Barmak.
Era pemerintahan Harun, yang dilanjutkan oleh Ma'mun Ar-Rasyid, dikenal
sebagai masa keemasan Islam (The Golden Age of Islam), di mana saat itu
Baghdad menjadi salah satu pusat ilmu pengetahuan dunia.
Di masa pemerintahannya beliau :
- Mewujudkan keamanan, kedamaian serta kesejahteraan rakyat.
- Membangun kota Baghdad yang terletak di antara sungai eufrat dan tigris dengan bangunan-bangunan megah.
- Membangun tempat-tempat peribadatan.
- Membangun sarana pendidikan, kesenian, kesehatan, dan perdagangan.
- Mendirikan Baitul Hikmah, sebagai lembaga penerjemah yang berfungsi sebagai perguruan tinggi, perpustakaan, dan penelitian.
- Membangun majelis Al-Muzakarah, yakni lembaga pengkajian masalah-masalah keagamaan yang diselenggarakan di rumah-rumah, mesjid-mesjid, dan istana.
Daulah Bani Abbasiyah: Harun
Ar-Rasyid, Sang Pembangun Peradaban
Harun Ar-Rasyid (786-809 M) adalah
khalifah kelima Daulah Abbasiyah. Ia dilahirkan pada Februari 763 M. Ayahnya
bernama Al-Mahdi, khalifah ketiga Bani Abbasiyah, dan ibunya bernama Khaizuran.
Masa kanak-kanaknya dilewati dengan mempelajari ilmu-ilmu agama dan ilmu pemerintahan. Guru agamanya yang terkenal pada masa itu adalah Yahya bin Khalid Al-Barmaki.
Harun Ar-Rasyid diangkat menjadi khalifah pada September 786 M, pada usianya yang sangat muda, 23 tahun. Jabatan khalifah itu dipegangnya setelah saudaranya yang menjabat khalifah, Musa Al-Hadi wafat. Dalam menjalankan roda pemerintahan, Harun Ar-Rasyid didampingi Yahya bin Khalid dan empat putranya.
Daulah Abbasiyah mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid, seorang khalifah yang taat beragama, shalih, dermawan, hampir bisa disamakan dengan Khalifah Umar bin Abdul Azis dari Bani Umayyah. Jabatan khalifah tidak membuatnya terhalang untuk turun ke jalan-jalan pada malam hari, tujuannya untuk melihat keadaan rakyat yang sebenarnya. Ia ingin melihat apa yang terjadi dan menimpa kaum lemah dengan mata kepalanya sendiri untuk kemudian memberikan bantuan.
Pada masa itu, Baghdad menjadi mercusuar kota impian 1.001 malam yang tidak ada tandingannya di dunia pada abad pertengahan. Daulah Abbasiyah pada masa itu, mempunyai wilayah kekuasaan yang luas, membentang dari Afrika Utara sampai ke Hindukush, India. Kekuatan militer yang dimilikinya juga sangat luar biasa.
Khalifah Harun Ar-Rasyid mempunyai perhatian yang sangat baik terhadap ilmuwan dan budayawan. Ia mengumpulkan mereka semua dan melibatkannya dalam setiap kebijakan yang akan diambil pemerintah. Perdana menterinya adalah seorang ulama besar di zamannya, Yahya Al-Barmaki juga merupakan guru Khalifah Harun Ar-Rasyid, sehingga banyak nasihat dan anjuran kebaikan mengalir dari Yahya. Hal ini semua membentengi Khalifah Harun Ar-Rasyid dari perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari ajaran-ajaran Islam.
Pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyid, hidup juga seorang cerdik pandai yang sering memberikan nasihat-nasihat kebaikan pada Khalifah, yaitu Abu Nawas. Nasihat-nasihat kebaikan dari Abu Nawas disertai dengan gayanya yang lucu, menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan Khalifah Harun Ar-Rasyid.
Suasana negara yang aman dan damai membuat rakyat menjadi tenteram. Bahkan pada masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid sangat sulit mencari orang yang akan diberikan zakat, infak dan sedekah, karena tingkat kemakmuran penduduknya merata. Di samping itu, banyak pedagang dan saudagar yang menanamkan investasinya pada berbagai bidang usaha di wilayah Bani Abbasiyah pada masa itu.
Setiap orang merasa aman untuk keluar pada malam hari, karena tingkat kejahatan yang minim. Kaum terpelajar dan masyarakat umum dapat melakukan perjalanan dan penjelajahan di negeri yang luas itu dengan aman. Masjid-masjid, perguruan tinggi, madrasah-madrasah, rumah sakit, dan sarana kepentingan umum lainnya banyak dibangun pada masa itu.
Khalifah Harun Ar-Rasyid juga sangat giat dalam penerjemahan berbagai buku berbahasa asing ke dalam bahasa Arab. Dewan penerjemah juga dibentuk untuk keperluan penerjemahan dan penggalian informasi yang termuat dalam buku asing. Dewan penerjemah itu diketuai oleh seorang pakar bernama Yuhana bin Musawih.
Bahasa Arab ketika itu merupakan bahasa resmi negara dan bahasa pengantar di sekolah-sekolah, perguruan tinggi, dan bahkan menjadi alat komunikasi umum. Karena itu, dianggap tepat bila semua pengetahuan yang termuat dalam bahasa asing itu segera diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Khalifah Harun Ar-Rasyid meninggal dunia di Khurasan pada 3 atau 4 Jumadil Tsani 193 H/809 M setelah menjadi khalifah selama lebih kurang 23 tahun 6 bulan. Seperti ditulis Imam As-Suyuthi, ia meninggal saat memimpin Perang Thus, sebuah wilayah di Khurasan. Saat meninggal usianya 45 tahun, bertindak sebagai imam shalat jenazahnya adalah anaknya sendiri yang bernama Shalih.
Daulah Abbasiyah dan dunia Islam saat itu benar-benar kehilangan sosok pemimpin yang shalih dan adil, sehingga tak seorang pun yang teraniaya tanpa diketahui oleh Khalifah Harun Ar-Rasyid dan mendapatkan perlindungan hukum yang sesuai.
Kisah Harun Dari Negeri Seribusatu Malam
Kisah yang mengisahkan masa keemasan kekhalifahan Islam.
Mengurai sejarah hubungan Islam dengan barat.
SYAHDAN
pada suatu hari, Khalifah Muhammad Al-Mahdi bin Mansur pergi haji ke Mekkah. Di
tengah perjalanan, Mahdi, ditemani seorang pengawal, meninggalkan perkemahan
untuk berburu kijang. Tak terasa, khalifah dan pengawalnya tersesat jauh dari
perkemahannya dan kehabisan bekal. Namun beruntung mereka bertemu seorang Arab
miskin.
Kepada
orang Arab tersebut khalifah bertanya apakah dia punya makanan. Orang itu
menjawab kalau dia punya roti, mentega dan minyak zaitun. “Apakah kau mau minum
anggur,” kata sang khalifah. “Mau,” kata orang itu. Sambil menyantap makanan,
khalifah menuangkan anggur ke dalam gelas orang Arab tadi.
“Tahukah
kamu siapa saya sebenarnya,” tanya khalifah.
“Tidak
tahu dan saya tak perduli,” kata orang Arab itu.
“Aku
adalah pelayan khalifah”
“Oh
sungguh pekerjaan yang bagus.”
Mahdi
kembali menawarkan anggur kepada pria Arab itu. Lantas kembali bertanya,
“Tahukah kamu siapa saya sebenarnya?”
“Aku
sudah tahu, tadi kamu sudah mengatakannya,” jawab pria Arab itu.
“Akulah
panglima perang khalifah.”
Lelaki
Arab itu pun tertegun. Mahdi pun menuangkan anggur ke gelas si pria Arab dan
kembali bertanya.
“Kamu
tahu siapa saya sebenarnya? Sesungguhnya akulah khalifah,” kata Mahdi sembari
bersiap menuangkan anggur lagi ke gelas si lelaki tadi dan mengangkat gelasnya
untuk bersulang.
“Cukup..cukup...
jangan lagi. Kalau kamu beri aku anggur lagi, kamu akan mengaku sebagai nabi
utusan Allah,” kata lelaki Arab tadi sambil membereskan makanan yang disuguhkan
kepada Khalifah Mahdi.
Khalifah
Muhammad al-Mahdi bin Mansur lahir pada 745 dan menghabiskan maca kecilnya di
Suriah. Dia adalah khalifah ketiga dari dinasti Abbasiyah. Ayahnya, Jafar
Abdullah al-Mansur adalah adik dari khalifah pertama dinasti Abassiyah, Abbas
bin Abdul Munthalib. Khalifah Abbas adalah paman Rasulullah termuda yang
mengawali periode kekhalifahan dari dinasti Abbasiyah.
Ketika
Mahdi berkuasa, dia memutuskan untuk melepas semua tahanan politik. Dia juga
memperluas dan mempercantik mesjid di Mekkah dan Madinah, menyediakan tambahan
air bersih untuk kafilah haji yang berkemah di Mekkah dan memberikan jaminan
keamanan bagi jamaah haji.
Semenjak
jatuhnya dinasi Ummayah, dinasti Abbasiyah membangun sistem masyarakat dan
pemerintahan yang berbeda dengan dinasti sebelumnya. Apabila Ummayah
menjalankan kekuasaan dengan pola yang rasialis: hanya mereka yang berdarah
Arab yang bisa berkuasa dan memiliki jabatan. Dinasti Abbasiyah justru
sebaliknya, membongkar tatanan lama dengan memberikan kesempatan bagi mereka
yang hanya separuh Arab dan etnis Persia untuk bisa duduk di pemerintahan.
Buku
yang ditulis oleh Benson Bobrick ini tidak berpanjang-panjang bercerita tentang
Abbas, Mansur dan Mahdi. Ia mengisahkan Khalifah Harun Al-Rasyid dan
kekhalifahan Islam di Baghdad serta hubungan dunia muslim dengan peradaban
barat yang saat itu sedang mengalami kemunduran. Sementara peradaban Barat
mengalami kemunduran seiring kejatuhan kekaisaran Romawi, peradaban Arab
bergerak maju ke timur dan mencapai puncaknya di era kekalifahan Harun
Al-Rasyid di Baghdad.
Semasa
Harun berkuasa sejak 786 sampai dengan 809 Masehi, imperium Islam merentang
mulai Atlantik sampai ke India. Pada saat itulah kekhalifahan Islam berada di
puncak kejayaan sebagai kekaisaran terbesar dan terluas di bumi. Memulai masa
kekuasaannya pada usia 23 tahun, Harun bisa menghindari pertumpahan darah di
awal kekuasaannya. Sudah menjadi “takdir sejarah” jika setiap kali pergantian
khalifah diwarnai perebutan kekuasaan dan pertumpahan darah. Menurut Bobrick,
hal itu tak lepas dari peran sang ibu, Khaizuran, yang memberlakukan aturan
bahwa oposisi akan dihukum bila menentang penobatan Harun.
Bobrick
melihat pentingnya sosok Khaizuran, istri Khalifah Mahdi dan ibu kandung Harun
Al-Rasyid, dalam menentukan suksesi Harun sebagai khalifah. Menariknya,
Khaizuran bukan perempuan bangsawan. Dia adalah budak yang telah dimerdekakan
dan diambil sebagai istri oleh Mahdi. Kelak, ketika Mahdi naik tahta, pengaruh
Khaizuran dalam politik lebih luas lagi.
Ketika
di masa Mahdi berkuasa, Khaizuran memegang peran penting dan cukup berpengaruh.
Diceritakan bahwa suatu malam, datanglah seorang perempuan yang belakangan diketahuinya
adalah istri dari khalifah terakhir bani Ummayah. Perempuan itu hidup menderita
setelah kejatuhan dinasti Ummayah. Karena iba hati, Khaizuran menceritakan
perihal itu kepada Mahdi. Mahdi kemudian mengangkat derajat perempuan tersebut
dan memberikan fasilitas kerajaan untuk kehidupannya sehari-hari.
Harun
Al-Rasyid kemudian bertahta sebagai khalifah. Bobrick dalam buku ini
menjulukinya sebagai “raja diraja”, “king of king” karena kemahirannya memimpin
dan kesuksesannya meluaskan pengaruh kekhalifahan Abbasiyah. Tak hanya itu,
Harun menata sistem pajak, melakukan standarisasi mata uang, membangun jaringan
irigasi di Asia Tengah dan di gurun Suriah, membangun pelaburan di Teluk Arab,
membangun kanal yang menghubungkan Nil ke Suez dan membenahi sistem peradilan.
Menurut
Bobrick, semua langkah yang dilakukan semasa pemerintahan Harun terinspirasi
dari Kaisar Darius, penguasa Persia yang diidolakan oleh Harun. Harun mengubah
pula tata kelola pemerintahan. Memberikan wewenang kepada pajabat sipil setingkat
perdana menteri untuk menjalankan pemerintahan sementara tugas dan wewenang
khalifah hanya menjadi hakim dan penentu keputusan untuk seluruh keputusan
pemerintahannya.
Beberapa
industri penting, seperti galangan kapal, industri senjata dan tekstil juga
dikembangkan semasa kekhalifahan Harun. Industri tersebut sepenuhnya berada di
bawah kekuasaan pemerintah. Sementara itu industri kristal, pandai besi,
keramik, perak, peralatan rumah tangga dan barang-barang penting lainnya juga
dikembangkan di masa itu. Menurut Bobrick, kerajinan kacapatri yang banyak
digunakan di berbagai gereja di Eropa diperkenalkan dari Suriah dan berkembang
pesat pada masa Harun memerintah.
Kehidupan
intelektual mendapat tempat terbaik di masa kekhalifahan Harun. Penelitian di
bidang botani, matematika, kimia, arsitektur, geografi, astronomi, dan sastra
berkembang pesat. Penerjemahan karya-karya pemikir Yunani, mulai Aristoteles
sampai Plato, dilakukan secara masif. “Dengan cara ini, hampir semua khasanah
ilmu pengetahuan warisan Yunani dibawa ke dunia Islam,” tulis Bobrick di
halaman 81. Lewat ilmu pengetahuan yang diterjemahkan itulah terjadi dialog
antara Islam dan barat yang kemudian dari pertautan tersebut lahir banyak
pengetahuan dan penemuan baru.
Selain
soal kemajuan pesat dalam berbagai bidang, Bobrick juga mengungkapkan intrik
politik yang terjadi semasa kekhalifahan Harun. Beberapa orang terdekatnya
diam-diam melakukan perlawanan. Beberapa daerah taklukan berusaha memerdekakan
dirinya. Pada 792, Yazid Ibnu Mazyad As-Shaibani dikirim ke Armenia dan
Azerbaijan, namun gagal memadamkan pemberontakan.
Kendati
beberapa wilayah taklukan melakukan perlawanan, Harun terus meluaskan
pengaruhnya. Selain itu, Harun juga terus melancarkan perlawanan terhadap
saingan utamanya, kekaisaran Byzantium di bawah Charlemagne. Awal dari perang
salib yang panjang.
Yang
menarik adalah penyebaran Islam melalui jalan aneksasi seperti yang dilakukan
oleh Harun Al-Rasyid. Harun berasal dari dinasti Abbasiyah yang berarti
berafinitas pada mazhab sunni. Namun ada teori lain yang mengatakan bahwa Islam
yang datang ke wilayah Timur, khususnya Asia tengah dan lantas ke Asia Tenggara
adalah syiah.
Semestinya,
apabila Islam yang menyebar hingga ke Asia itu terjadi semasa Harus berkuasa di
Baghdad, maka Islam yang dianut oleh sebagian warga India dan kemudian Asia
Tenggara adalah sunni. Namun versi lain menyebutkan bahwa Islam syiahlah yang
terlebih dahulu masuk ke Asia. Kemungkinan terbesar, syiah masuk saat dinasti
Fatimiyah kalah oleh Ummayah. Pelarian-pelarian politik syiah dari dinasti
Fatimiyah itu yang kemudian menyebarkan agama Islam ke wilayah timur.
Apabila
memang demikian, lantas versi manakah yang memperkuat argumen Bobrick bahwa
kekhalifahan Harun berhasil membentangkan pengaruh Islam (sunni) ke Asia? Sayang
ihwal ini tidak pula turun dibahas oleh Bobrick, kendati penting untuk memahami
seberapa kuat kekhalifahan Harun di masa itu. Lepas dari itu semua, buku ini
mudah dimengerti karena penulis mengisahkan kekhalifahan Harun, dan sedikit
ulasan mengenai sejarah Islam, dengan cara yang populer. Seperti dongeng seribu
satu malam dari Baghdad.
Sumber : www.wikipedia.org,
www.republika.co.id, www.historia.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar