Salahuddin Ayyubi atau Saladin atau Salah ad-Din
(Bahasa Arab: صلاح الدين الأيوبي, Kurdi: صلاح
الدین ایوبی) (Sho-lah-huud-din al-ay-yu-bi) (c. 1138 - 4 Maret 1193) adalah seorang jendral dan pejuang
muslim Kurdi dari Tikrit (daerah utara Irak saat ini). Ia mendirikan Dinasti
Ayyubiyyah di Mesir, Suriah, sebagian Yaman, Irak, Mekkah Hejaz dan Diyar Bakr. Salahuddin
terkenal di dunia Muslim dan Kristen karena kepemimpinan, kekuatan militer, dan sifatnya yang
ksatria dan pengampun pada saat ia berperang
melawan tentara salib. Sultan
Salahuddin Al Ayyubi juga adalah seorang ulama. Ia memberikan catatan kaki dan
berbagai macam penjelasan dalam kitab hadits Abu Dawud.
Latar Belakang
Shalahuddin Al-Ayyubi berasal dari bangsa Kurdi. Ayahnya Najmuddin Ayyub dan pamannya Asaduddin Syirkuh hijrah
(migrasi) meninggalkan kampung halamannya dekat
Danau Fan dan pindah ke daerah Tikrit (Irak). Shalahuddin lahir di benteng Tikrit,
Irak tahun 532 H/1137 M, ketika ayahnya menjadi penguasa
Seljuk di Tikrit. Saat itu, baik ayah maupun pamannya mengabdi kepada Imaduddin Zanky, gubernur Seljuk untuk kota Mousul, Irak. Ketika
Imaduddin berhasil merebut wilayah Balbek, Lebanon tahun 534 H/1139 M, Najmuddin Ayyub (ayah Shalahuddin)
diangkat menjadi gubernur Balbek dan menjadi pembantu dekat Raja Suriah Nuruddin Mahmud. Selama di Balbek inilah, Shalahuddin mengisi masa
mudanya dengan menekuni teknik perang, strategi, maupun politik. Setelah itu,
Shalahuddin melanjutkan pendidikannya di Damaskus untuk mempelajari teologi Sunni selama sepuluh tahun, dalam lingkungan istana Nuruddin.
Pada tahun 1169, Shalahudin diangkat menjadi seorang wazir (konselor).
Di sana, dia mewarisi peranan sulit mempertahankan Mesir
melawan penyerbuan dari Kerajaan Latin Jerusalem di bawah pimpinan Amalrik I.
Posisi ia awalnya menegangkan. Tidak ada seorangpun menyangka dia bisa bertahan
lama di Mesir yang pada saat itu banyak mengalami perubahan pemerintahan di
beberapa tahun belakangan oleh karena silsilah panjang anak khalifah mendapat
perlawanan dari wazirnya. Sebagai pemimpin dari prajurit asing Syria, dia juga
tidak memiliki kontrol dari Prajurit Shiah Mesir, yang dipimpin oleh seseorang
yang tidak diketahui atau seorang Khalifah yang lemah bernama Al-Adid. Ketika
sang Khalifah meninggal bulan September 1171, Saladin mendapat pengumuman Imam
dengan nama Al-Mustadi, kaum Sunni, dan yang paling penting, Abbasid Khalifah
di Baghdad, ketika upacara sebelum Salat Jumat, dan kekuatan kewenangan dengan
mudah memecat garis keturunan lama. Sekarang Saladin menguasai Mesir, tapi
secara resmi bertindak sebagai wakil dari Nuruddin, yang sesuai dengan adat
kebiasaan mengenal Khalifah dari Abbasid. Saladin merevitalisasi perekonomian
Mesir, mengorganisir ulang kekuatan militer, dan mengikuti nasihat ayahnya,
menghindari konflik apapun dengan Nuruddin, tuannya yang resmi, sesudah dia
menjadi pemimpin asli Mesir. Dia menunggu sampai kematian Nuruddin sebelum
memulai beberapa tindakan militer yang serius: Pertama melawan wilayah Muslim
yang lebih kecil, lalu mengarahkan mereka melawan para prajurit salib.
Timur Tengah (1190 M.). Wilayah kekuasaan Shalahuddin
(warna merah); Wilayah yang direbut kembali dari pasukan salib 1187-1189 (warna
merah muda). Warna hijau terang menandakan wilayah pasukan salib yang masih
bertahan sampai meninggalnya Shalahuddin
Dengan kematian Nuruddin (1174) dia menerima gelar Sultan
di Mesir. Disana dia memproklamasikan kemerdekaan dari kaum Seljuk, dan dia
terbukti sebagai penemu dari dinasti Ayyubid dan mengembalikan ajaran Sunni ke
Mesir. Dia memperlebar wilayah dia ke sebelah barat di maghreb, dan ketika
paman dia pergi ke Nil untuk mendamaikan beberapa pemberontakan dari bekas
pendukung Fatimid, dia lalu melanjutkan ke Laut Merah untuk menaklukan Yaman.
Dia juga disebut Waliullah yang artinya teman Allah bagi kaum muslim Sunni.
Aun 559-564 H/ 1164-1168 M. Sejak itu Asaduddin, pamannya
diangkat menjadi Perdana Menteri Khilafah Fathimiyah. Setelah pamnnya
meninggal, jabatan Perdana Menteri dipercayakan Khalifah kepada Shalahuddin
Al-Ayyubi.
Shalahuddin Al-Ayyubi berhasil mematahkan serangan
Tentara Salib dan pasukan Romawi Bizantium yang melancarkan Perang Salib kedua
terhadap Mesir. Sultan Nuruddin memerintahkan Shalahuddin mengambil kekuasaan
dari tangan Khilafah Fathimiyah dan mengembalikan kepada Khilafah Abbasiyah di
Baghdad mulai tahun 567 H/1171 M (September). Setelah Khalifah Al-'Adid,
khalifah Fathimiyah terakhir meninggal maka kekuasaan sepenuhnya di tangan
Shalahuddin Al-Ayyubi.
Sultan Nuruddin meninggal tahun 659 H/1174 M, Damaskus
diserahkan kepada puteranya yang masih kecil Sultan Salih Ismail didampingi
seorang wali. Dibawah seorang wali terjadi perebutan kekuasaan di antara
putera-putera Nuruddin dan wilayah kekuasaan Nurruddin menjadi terpecah-pecah.
Shalahuddin Al-Ayyubi pergi ke Damaskus untuk membereskan keadaan, tetapi ia
mendapat perlawanan dari pengikut Nuruddin yang tidak menginginkan persatuan.
Akhirnya Shalahuddin Al-Ayyubi melawannya dan menyatakan diri sebagai raja
untuk wilayah Mesir dan Syam pada tahun 571 H/1176 M dan berhasil memperluas
wilayahnya hingga Mousul, Irak bagian utara.
Naik Ke Kekuasaan
Di kemudian hari Saladin menjadi wazir pada 1169, dan menerima tugas sulit mempertahankan Mesir
dari serangan Raja Latin Yerusalem, khususnya Amalric
I. Kedudukannya
cukup sulit pada awalnya, sedikit orang yang beranggapan ia akan berada cukup
lama di Mesir mengingat sebelumnya telah banyak
terjadi pergantian pergantian kekuasaan dalam beberapa tahun terakhir
disebabkan bentrok yang terjadi antar anak-anak Kalifah untuk posisi wazir. Sebagai pemimpin dari pasukan asing Suriah, dia juga tidak memiliki kekuasaan atas pasukan Syi'ah Mesir yang masih berada di bawah Khalifah yang lemah, Al-Adid.
Siapakah
Salahudin Al-Ayyubi Itu? Bagaimana Kisahnya Ia Menjadi Seorang Pahlawan?
Silsilah Nasabnya Merunut Kemana? Mengapa Dia Menghancurkan Pemerintahan Bani
Fatimiyah?
Salahuddin
Yusuf bin Ayyub bin Syadzi yang kemudian setelah itu terkenal sebagai
Salahuddin al-Ayyubi (orang-orang Eropa menyebutnya sebagai Saladin), merupakan
salah seorang adalah salah seorang panglima perang dan jenderal dalam sejarah
Islam. Ia banyak melakukan penaklukan untuk kaum Muslimin dan menjaga tapal
batas wilayah-wilayah Islam di hadapan agresi orang-orang Kristen Eropa yang
akan kita bahas bersama pada kesempatan ini.
Najmuddin
Ayyub adalah ayah raja-raja Ayyub yang hidup di Tikrit dan Salahuddin Ayyubi
juga lahir di kota tersebut. Ia tinggal di kota ini suku Kurdi ini dan keluarga
Ayyubi adalah termasuk sebagai salah satu kaum pada suku Kurdi.
Namun
karena dominasi bangsa Arab pada masa itu sehingga mereka kurang dikenal
sebagai suku Kurdi. Hal ini disebabkan oleh karena pada masa itu bangsa-bangsa
selain Arab sebagai bangsa khusus yang memiliki kekuasaan.
Najmuddin
Ayyub hidup pada masa Imaduddin Zanggi penguasa kota Balbak (Ba'labak, Libanon
Selatan). Salahuddin semenjak kecil sangat gemar mempelajari strategi dan
teknik berperang, khususnya bermain pedang dan berperang dengan pisau. Pada
akhirnya Salahuddin menguasai seni berperang ini. Kemungkinan besar, Salahuddin
telah mengenal fikih Syaf'i semenjak masa kecilnya; mazhab fikih yang kelak ia
usahakan penyebarannya.
Salahuddin
tentulah seorang Sunni fanatik dan bermazhab Syafi'i. Tatkala berhasil
merebut kekuasaan di Mesir, Salahuddin berusaha keras untuk menyebarkan mazhab
ini dan menjadikanya sebagai mazhab resmi menggantikan mazhab Syiah yang akan
kami jelaskan nantinya.
Masuknya
Salahuddin ke Mesir dan Akhir Pemerintahan Bani Fatimiyyah
Orang-orang
Kristen pada awal-awal tahun perang Salib mampu menaklukkan banyak daerah yang
didiami oleh masyarakat Muslim dan penaklukan ini telah banyak memompa semangat
mereka sehingga tertanam keinginan untuk menaklukkan Kairo, ibu kota
pemerintahan Bani Fatimiyyah.
Pasukan
besar orang-orang Kristen bergerak ke arah kota Kairo dan merebut, merampas dan
membunuh orang-orang yang tinggal daerah-daerah yang terdapat dalam lintasan
perjalanan menuju Kairo di antaranya kota besar Belbeis (Mesir). Pada akhirnya
mereka sampai di Kairo dan mengepung kota Kairo. Namun warga kota Kairo yang
merasa takut jangan-jangan Faranggi memperlakukan orang-orang di Kairo
sebagaimana apa mereka lakukan di Bilibis bangkit mengusung perlawanan membela
kota mereka.
Al-'Adhid
yang merupakan Khalifah Bani Fatimiyyah memerintah di tempat itu meminta bantuan
dari pemerintahan Bani Abbasiyah. Ia meminta kepada pemerintahan Abbasiyah
untuk mengirim bala tentara untuk berperang dengan pasukan orang-orang Kristen.
Al-'Adhid mengetahui dengan baik bahwa tanpa bantuan, ia tidak memiliki
kekuatan untuk menghadapi orang-orang Barat. Karena itu ia memutuskan supaya
Asaduddin Syirkuh panglima besar dan paman Salahuddin untuk memimpin pasukannya
menuju Kairo.
"Asaduddin
dengan enam ribu bala tentara bergerak menuju Mesir dan sebelum bergerak, ia
memenuhi segala kebutuhan bala tentaranya. Ia memberikan dua puluh Dinar kepada
setiap prajuritnya. Terdapat sekelompok orang juga yang berkhidmat kepadanya
dan Salahuddin Yusuf bin Ayyub bersama ayahnya Ayyub saudara Syirkah ikut serta
bersamanya. Setelah bala tentara tersebut mendekat ke Kairo, Eropa menarik
pasukannya dan kembali ke kotanya. Syirkuh pada pertengahan tahun tersebut
memasuki kota Kairo. Al-'Adhid Lidinillah Khalifah Bani Fatimiyyah
memberikan penghargaan kepadanya dan ia dan bala tentaranya ditempatkan pada
satu tempat yang khusus."
Asaduddin
setelah beberapa memasuki Kairo mampu membunuh Perdana Menteri Khalifah, Syawar
dibantu oleh para jenderalnya dan sesuai dengan permintaan al-'Adhid sendiri.
Syawar sebelumnya adalah panglima yang berkuasa dan memerintah pada batasan
tertentu di Mesir."
Dengan
kematian Syawar, Asaduddin telah menjadi orang yang sangat penting di Kairo.
Praktis, dengan pengaruh ini, Al-'Adhid hanya mengemban nama sebagai khalifah
saja. Namun setelah menaklukkan Kairo, Asaduddin tidak berumur panjang dan ia
meninggal dunia dua bulan setelah itu.
Setelah
Asaduddin, orang-orang berbeda pendapat tentang siapa yang layak
menggantikannya sebagai panglima, hingga sesuai dengan permintaan Khalifah Bani
Fatimiyyah dan sebagian jenderal, mengangkat Salahuddin Yusuf bin Ayyub sebagai
penggantinya dan demikianlah pemerintahan Salahuddin bermula di Mesir.
Setelah
Salahuddin naik takhta, tidak tersisa bagin Al-'Adhid kekuasaan kecuali nama
saja sebagai khalifah. Ia sama sekali tidak memiliki peran dalam urusan
pemerintahan hingga ia jatuh sakit dan ditarik dari pemerintahan yang akan kita
bahas pada bagian pemerintahan Bani Fatimiyyah.
Pemerintahan
Bani Fatimiyyah
Pemerintahan
Bani Fatimiyyah dapat disebut sebagai pemerintahan Alawi; sebuah pemerintahan
yang memiliki wilayah kekuasaan yang luas dan masa pemerintahan yang panjang.
Pemerintahan Bani Fatimiyyah bermula semenjak tahun 296 H dan berakhir pada
tahun 567. Khalifah Pertama Bani Fatimiyyah bernama al-Mahdi Billah. Ia adalah
Abu Muhammad Ubaidillah bin Ahmad bin Ismail Ketiga (Tsalits) bin Ahmad bin
Ismail Tsalits (Kedua) bin Ismail A'raj bin Ja'far al-Shadiq As.
Adapun
terkait nasab-nasab yang dinukil bagi penguasa Bani Fatimiyyah yang lain
terdapat perbedaan. Namun apa yang pasti dari perbedaan nasab ini adalah bahwa
mereka adalah Alawi dan Ismaili, sambungan nasabnya hingga Ali."
Para
Khalifah Bani Fatimiyyah banyak membantu penyebaran Syiah di Mesir yang
tentunya bukan tempatnya di sini untuk membahas masalah itu. Namun demikian
kita akan mencukupkan tulisan ini bahwa Bani Fatimiyyah mengibarkan bendera
Syiah dan menyatakan Syiah sebagai mazhab resmi orang-orang Mesir.
Kejatuhan
Bani Fatimiyyah disebabkan dua hal yang mereka miliki pada akhir-akhir
pemerintahannya:
Para menteri Bani Fatimiyyah
memperoleh kekuasaan besar sehingga memperlemah kekuasaan para khalifah Bani
Fatimiyyah. Rapuhnya fondasi-fondasi pemerintahan; para menteri memperoleh
kekuasaan dan mereka saling memperbutkan kekuasaan satu sama lain.
Perebutan kekuasaan internal ini telah melemahkan internal pemerintahan.
Al-'Adhid,
Khalifah Terakhir Bani Fatimiyyah tidak terlalu panjang berkuasa karena
kebanyakan urusan pemerintahan berada di tangan para menteri. Salah satu
menteri yang paling berpengaruh dan paling berkuasa adalah Syawar yang kemudian
terbunuh di tangan Asaduddin Syirkuh.
Setelah
kematian Syawar, Asaduddin mengambil alih urusan pemerintahan Mesir. Asaduddin
yang bermazhab Sunni dan merupakan salah seorang mitra koalisi Khalifah
Baghdad, mengambil alih urusan pemerintahan yang merupakan penyebar Syiah.
Pemerintahan Bani Fatimiyyah memandangnya dirinya sebagai musuh pemerintahan
Baghdad menujukkan pemerintahan Bani Fatimiyyah berada alam kondisi yang sangat
terjepit. Pengurusan pemerintahan yang berada di tangan Asaduddin disertai
dengan penguasa yang lemah, telah menjadi cikal-bakal runtuhnya pemerintahan
Bani Fatimiyyah.
Setelah
Asaduddin, Salahuddin naik takhta kekuasaan dan memberikan beberapa potong
tanah yang sangat berharga kepada sanak saudaranya yang datang kepadanya. Ia
mempersempit ruang gerak para pendukung Adhid dan ia sendiri yang langsung
mengatur urusan pemerintahan. Setelah beberapa lama, Adhid jatuh sakit dan
akhirnya meninggal dunia, pada tahun 567.
Pada
masa ini, masyarakat menunjukkan sikap acuh-tak-acuh terkait dengan seseorang
yang namanya harus disampaikan pada mimbar-mimbar sebagai khalifah, hingga hari
Jum'at dan seseorang naik ke atas mimbar menyampaikan khutbah dan menyebut nama
al-Mustadhi (Khalifah Abbasiyah) dan tiada seorang pun yang protes atas penyebutan
nama itu. Di Mesir, setelah itu dan seterusnya, khutbah yang menyebut
nama Bani Abbasiyah disampaikan dan Mesir pada saat itu lepas dari pemerintahan
Bani Fatimiyyah dan Salahuddin Yusuf bin Ayyub tanpa adanya saingan dan
penentang pemerintah di Mesir."
Demikianlah
pemerintahan Bani Fatimiyyah berakhir dan Salahuddin Ayyub menjadi penguasa
tanpa penentang.
Salahuddin
Ayyubi dan Orang-orang Syiah
Pemerintahan-pemerintahan
Sunni pada umumnya tidak memiliki hubungan baik dengan orang-orang Syiah. Umumnya
mereka berusaha melenyapkan Syiah yang hidup di sekeliling mereka. Bahkan pada
kebanyakan hal, para penguasa Sunni berlaku baik dan hormat terhadap pemeluk
agama lainnya seperti Yahudi dan Nasrani. Bahkan mereka memberikan
jabatan-jabatan kepada mereka. Namun mereka tidak berlaku seperti ini terhadap
Syiah. Mereka akan memerangi Syiah dalam bentuk yang terburuk.
Atas
hal itu, kita dapat menyebutkan dalil-dalil dan bukti-bukti atas perlakuan ini
yang memerlukan pembahasan lain dan akan kita bahas pada kesempatan yang lain.
Pemerintahan
Dinasti Ayyubi yang puncaknya diduduki oleh Salahuddin berdasarkan sirah ini,
berusaha keras untuk memberantas ajaran Syiah di Mesir. Usaha ini boleh jadi
ditopang oleh selaksa dalil. Dan satu hal yang pasti dari dalil tersebut adalah
dalil-dalil mazhab. Salahuddin Ayyub adalah seorang pemeluk mazhab Syafi'i yang
sangat fanatik dan tidak kuasa membendung keberadaan kaum minoritas seperti
Syiah. Salahuddin sedemikian memerangi orang-orang Syiah sehingga seolah-olah
menjadi taklif syar'i.
Di
samping itu, ia juga memiliki dalil-dalil politik; karena pemerintahan Bani
Fatimiyyah adalah pemerintahan Syiah dan Salahuddin mengambil alih pemerintahan
dari mereka dan sebagai ikutannya ia menganggap orang-orang Syiah sebagai rival
yang besar kemungkinan suatu hari orang-orang Syiah akan bangkit melawannnya.
Dengan demikian Salahuddin menyatakan perang dan perlawanan melawan Syiah.
Namun
dengan dua dalil, pelbagai peperangan yang terjadi di luar Mesir, ia berusaha
untuk tidak banyak mempekerjakan prajurit di Mesir. Karena itu, ia berusaha
menjadikan perang melawan orang-orang Eropa sebagai prioritas pekerjaannya.
Pada kesempatan ini kita akan membahas secara ringkas beberapa perlawanan dan
terkadang sikap tidak ksatria Salahuddin terkait dengan Syiah.
Berperang melawan ajaran-ajaran dan
simbol-simbol mazhab Syiah: Salahuddin mengisolir ulama Syiah dan merusak
sekolah-sekolah mereka atau merubahnya menjadi sekolah-sekolah Sunni. Ia juga
memerintahkan untuk membakar perpustakaan besar Bani Fatimiyyah. Dan yang
paling penting adalah syiar-syiar Syiah harus dihentikan. Di antara syiar
tersebut adalah Asyura. Salahudin mengumunmkan hari Asyura sebagai hari gembira
dan berpesta nasional. Tindakannya ini telah menjadi penghalang besar pelaksanaan
acara Asyura di Mesir bagi orang-orang Syiah. Demikian juga, ungkapan
"Hayya 'ala Khair al-'Amal" yang merupakan salah satu syiar mazhab
Syiah dihapus dari azan. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 10 Dzulhijjah 565.
Ia menginstruksikan supaya nama-nama para khalifah rasyidun yang merupakan
simbol Ahlisunnah disebutkan pada setiap khutbah. Pergantian para hakim Syiah
adalah salah satu tindakan Salahuddin dalam melenyapkan Syiah. Dengan
menempatkan hakim Syafi'i sebagai ganti hakim Syi'ah berusaha supaya fikih
Syiah dihapuskan dan fikih Syafi'i dijalankan di tengah masyarakat Mesir
sehingga masyarakat akrab dengan jenis fikih ini. Pada sebagian waktu berujung
pada adanya pemberontakan-pemberontakan Syiah di beberapa daerah namun
Shaluhuddin lebih memilih melakukan kegiatan-kegiatan kultural dan ideologikal,
namun ia tetap saja melakukan perlawanan militer melawan Syiah. Menjatuhkan dan
mengejar orang-orang Syiah merupakan salah satu pekerjaan serius para menteri
di bawah pemerintahan Salahuddin. Pada masa Salahuddin menjadi Syiah adalah
sebuah tindak pidana dan orang-orang Syiah akan ditindak secara hukum dan
diseret ke hadapan pengadilan yang hakimnya dipilih oleh Salahuddin hanya
karena mereka Syiah. Mengatur urusan ekonomi dengan melibatkan pihak pemerintah
secara aktif: Pada akhir-akhir pemerintahan Bani Fatimiyyah, kondisi ekonomi
masyarakat sangat susah dan dua ratus ribu Dinar yang harus dibayar oleh rakyat
setiap tahunnnya. Namun pada masa Salahuddin, ia memberikan kelonggaran kepada
rakyat untuk membayar sekali saja pajak mereka.Hal ini dilakukan supaya rakyat
akan senantiasa bergantung kepada pemerintahan Salahuddin dan melupakan
pemerintahan Syiah dan pemikiran Syiah. Mendirikan sekolah-sekolah Syafi'i:
Salahuddin yang berusaha menyebarkan mazhab Syafi'i mendirikan sekolah Syafi'i
di Mesir dan melalui madrasah ini kebanyakan alim dan pendakwah Syafi'Ii akan
memasuki kehidupan masyarakat sehingga dapat membantu penyebaran mazhab Syafi'i
di Mesir.
Perang-Perang
Salib dan Salahuddin
Perang-perang
Salib (I, II, III, dan IV) adalah perang yang dikobarkan oleh kaum Krisetn
melawan kaum Muslimin. Perang Salib ini bermula semenjak tahun 1096 M dan
berlanjut hingga dua abad kemudian. Peperangan ini berkecamuk dalam beberapa
tingkatan.
Peristiwa
bersejarah ini dikaji secara detil oleh para sejarawan dan salah satu literatur
yang menulis peperangan ini secara detil adalah buku al-Kâmil fi al-Târikh
karya Ibnu Atsir yang kira-kira bermula semenjak pertengahan jilid 22 hingga
pertengahan jilid 24. Buku ini kurang lebih tujuh puluh persen yang berkaitan
dengan perang-perang Salib dan Salahuddin.
Pada
masa-masa perang ini, Salahuddin memerintahkan orang-orang kuat di pelbagai
kota dan menguatkan fondasi-fondasi kota-kota supaya orang-orang Eropa tidak
mampu mendekati daerah itu. Dari sisi lain, pasukan Salahuddin menyerang
kota-kota di Suriah (Syam) yang jatuh di tangan orang-orang Eropa dan
menaklukkannya kemudian menangkap orang-orang Eropa. Salahuddin dalam masa
kurang dari lima tahun banyak menguasai kota-kota, namun yang lebih penting
dari semua itu adalah penaklukkan Baitul Muqaddas.
Kota
Baitul Muqaddas merupakan salah satu tempat strategis dan sangat penting dari
sudut pandang keagamaan. Baitul Muqaddas adalah tempat strategis dan ideologis.
Kota ini pada perang Salib I jatuh di tangan orang-orang Kristen dan Salahuddin
mampu mengambil alih kota tersebut dari tangan orang-orang Kristen.
Shalahudin
dengan menaklukkan Baitul Muqaddas dan membebaskannya dari tangan orang-orang
Kristen, mampu membuat namanya terkenal dan terpatri di seantero penjuru kota
Islam.
Kiprah
Salahuddin khususnya dalam peperangan Salib, menjadi sebab ia dikenal dan
dihormati di kalangan kaum Muslimin khususnya Sunni dan kebanyakan ulama dan
sejarawan Sunni menyebutnya namanya dengan harum.
Akan
tetapi keterkenalan dan kiprahnya tidak dapat menjadi dalih bahwa seluruh
perbuatannya dapat dibenarkan. Ia juga melakukan tindakan-tindakan yang secara
moral dan syariat tidak benar dan bahkan dapat dipandang sebagai perbuatan
tercela. Salah satu dari perbuatan tercelanya adalah sikapnya terhadap
orang-orang Syiah yang telah disebutkan sebelumnya.
Di
samping itu, supaya tidak membiarkan orang-orang Kristen begitu saja tanpa
balasan, ia juga melakukan tindakan serupa. Membunuh dan merampas, banyak menyiksa
rakyat sipil sebagaimana yang dilakukan orang-orang Kristen setelah menaklukkan
kota-kota. Ia juga melakukan hal yang sama setelah menaklukkan kota-kota.
Perbuatan-perbuatan ini meski pada masa tersebut dinilai sebagai perbuatan
biasa, namun sekali-kali kita tidak dapat memandangnya sebagai perbuatan
islami.
Pada
kesempatan ini, kami akan mencukupkan dengan menyebutkan beberapa contoh dari
perbuatannya:
"…Salahuddin
singgah di tepi pada Nahr al-Aswad. Di tempat itu ia membunuh dan menjarah
harta orang-orang di kota itu."
"…Salahuddin
pergi ke Ra's al-'Ain dan mengusir orang-orang di tempat itu. Kemudian ia
membawa lasykar ke Mardin (sekarang bagian tenggara Turki) dan ditempat itu ia
menjarah dan memunuh orang-orang di tempat itu. "
"…Salahuddin
menjarah kota Tabariyah (Tiberia, Suriah) dan membakarnya.
Wafat
Salahuddin
Pada
bulan Shafar tahun 589, Salahuddin Yusuf bin Ayyub bin Syadzi panglima Mesir,
Suriah, al-Jazirah dan kota-kota lainnya, tutup usia di Damaskus. Ia menjadi
penguasa di Mesir pada tahun 564 H. Ia sakit disebabkan karena ia pergi untuk
menemui jama`ah haji. Ia pulang dan jatuh sakit. Sakitnya sangat keras. Ia
bertahan selama 8 hari dari saat ia jatuh sakit, lalu meninggal dunia.
Shalahuddin
Al-Ayyubi: Macan Perang Salib
Shalahuddin Al-Ayyubi sebenarnya
hanya nama julukan dari Yusuf bin Najmuddin. Shalahuddin merupakan nama
gelarnya, sedangkan al-Ayyubi nisbah keluarganya. Beliau sendiri dilahirkan
pada tahun 532 H/ 1138 M di Tikrit, sebuah wilayah Kurdi di utara Iraq.
Sejak kecil Shalahuddin
sudah mengenal kerasnya kehidupan. Pada usia 14 tahun, Shalahuddin ikut kaum
kerabatnya ke Damaskus, menjadi tentara Sultan Nuruddin, penguasa Suriah waktu
itu. Karenan memang pemberani, pangkatnya naik setelah tentara Zangi yang dipimpin
oleh pamannya sendiri, Shirkuh, berhasil memukul mundur pasukan Salib
(crusaders) dari perbatasan Mesir dalam serangkaian pertempuran.
Pada tahun 1169,
Shalahuddin diangkat menjadi panglima dan gubernur (wazir) menggantikan
pamannya yang wafat. Setelah berhasil mengadakan pemulihan dan penataan kembali
sistem perekonomian dan pertahanan Mesir, Shalahuddin mulai menyusun
strateginya untuk membebaskan Baitul Maqdis dari cengkeraman tentara Salib.
Shalahuddin terkenal
sebagai penguasayang menunaikan kebenaran—bahkan memberantas korupsi, kolusi
dan nepotisme. Tepat pada bulan September 1174, Shalahuddin menekan penguasa
Dinasti Fatimiyyah supaya tunduk dan patuh pada Khalifah Daulat Abbasiyyah di
Baghdad. Belom cukup sampai di situ, tiga tahun kemudian, sesudah kematian
Sultan Nuruddin, Shalahuddin melebarkan sayap kekuasaannya ke Suriah dan utara
Mesopotamia. Satu persatu wilayah penting berhasil dikuasinya: Damaskus (pada
tahun 1174), Aleppo atau Halb (1138) dan Mosul (1186).
Sebagaimana diketahui,
berkat perjanjian yang ditandatangani oleh Khalifah Umar bin Khattab dan Uskup
Sophronius menyusul jatuhnya Antioch, Damaskus, dan Yerusalem pada tahun 636 M,
orang-orang Islam, Yahudi dan Nasrani hidup rukun dan damai di Suriah dan
Palestina. Mereka bebas dan aman menjalankan ajaran agama masing-masing di kota
suci tersebut.
Perang Salib
Namun kerukunan yang
telah berlangsung selama lebih 460 tahun itu kemudian porak-poranda akibat
berbagai hasutan dan fitnah yang digembar-gemborkan oleh seorang patriarch
bernama Ermite. Provokator ini berhasil mengobarkan semangat Paus Urbanus yang
lantas mengirim ratusan ribu orang ke Yerusalem untuk Perang Salib Pertama.
Kota suci ini berhasil mereka rebut pada tahun 1099. Ratusan ribu orang Islam
dibunuh dengan kejam dan biadab, sebagaimana mereka akui sendiri: “In Solomon’s
Porch and in his temple, our men rode in the blood of the Saracens up to the
knees of their horses.”
Menyadari betapa
pentingnya kedudukan Baitul Maqdis bagi ummat Islam dan mendengar kezaliman
orang-orang Kristen di sana, maka pada tahun 1187 Shalahuddin memimpin serangan
ke Yerusalem. Orang Kristen mencatatnya sebagai Perang Salib ke-2. Pasukan
Shalahuddin berhasil mengalahkan tentara Kristen dalam sebuah pertempuran
sengit di Hittin, Galilee pada 4 July 1187. Dua bulan kemudian (Oktober tahun
yang sama), Baitul Maqdis berhasil direbut kembali.
Berita jatuhnya
Yerusalem menggegerkan seluruh dunia Kristen dan Eropa khususnya. Pada tahun
1189 tentara Kristen melancarkan serangan balik (Perang Salib ke-3), dipimpin
langsung oleh Kaisar Jerman Frederick Barbarossa, Raja Prancis Philip Augustus
dan Raja Inggris Richard ‘the Lion Heart’.
Perang berlangsung
cukup lama. Baitul Maqdis berhasil dipertahankan, dan gencatan senjata akhirnya
disepakati oleh kedua-belah pihak. Pada tahun 1192 Shalahuddin dan Raja Richard
menandatangani perjanjian damai yang isinya membagi wilayah Palestina menjadi
dua: daerah pesisir Laut Tengah bagi orang Kristen, sedangkan daerah perkotaan
untuk orang Islam; namun demikian kedua-belah pihak boleh berkunjung ke daerah
lain dengan aman.
Setahun kemudian,
tepatnya pada 4 Maret 1193, Shalahuddin menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Ketika meninggal dunia di Damaskus, Shalahuddin tidak memiliki harta benda yang
berarti. Padahal beliau adalah seorang pemimpin. Tapi hal baik yang
ditinggalkan oleh orang baik selalu akan menjadi bagian kehidupan selamanya.
Kontribusinya buat Islam sungguh tidak pernah bisa diukur dengan apapun di
dunia ini.
Parcel Untuk Musuh
Banyak kisah-kisah unik
dan menarik seputar Shalahuddin al-Ayyubi yang layak dijadikan teladan,
terutama sikap ksatria dan kemuliaan hatinya. Di tengah suasana perang, ia
berkali-kali mengirimkan es dan buah-buahan untuk Raja Richard yang saat itu
jatuh sakit.
Ketika menaklukkan
Kairo, ia tidak serta-merta mengusir keluarga Dinasti Fatimiyyah dari
istana-istana mereka. Ia menunggu sampai raja mereka wafat, baru kemudian
anggota keluarganya diantar ke tempat pengasingan mereka. Gerbang kota tempat
benteng istana dibuka untuk umum. Rakyat dibolehkan tinggal di kawasan yang
dahulunya khusus untuk para bangsawan Bani Fatimiyyah. Di Kairo, ia bukan hanya
membangun masjid dan benteng, tapi juga sekolah, rumah-sakit dan bahkan gereja.
Shalahuddin juga
dikenal sebagai orang yang saleh dan wara‘. Ia tidak pernah meninggalkan salat
fardu dan gemar salat berjamaah. Bahkan ketika sakit keras pun ia tetap
berpuasa, walaupun dokter menasihatinya supaya berbuka. “Aku tidak tahu bila
ajal akan menemuiku,” katanya.
Shalahuddin amat dekat
dan sangat dicintai oleh rakyatnya. Ia menetapkan hari Senin dan Selasa sebagai
waktu tatap muka dan menerima siapa saja yang memerlukan bantuannya. Ia tidka
nepotis atau pilih kasih. Pernah seorang lelaki mengadukan perihal
keponakannya, Taqiyyuddin. Shalahuddin langsung memanggil anak saudaranya itu
untuk dimintai keterangan.
Pernah juga suatu kali
ada yang membuat tuduhan kepadanya. Walaupun tuduhan tersebut terbukti tidak
berdasar sama sekali, Shalahuddin tidak marah. Ia bahkan menghadiahkan orang
yang menuduhnya itu sehelai jubah dan beberapa pemberian lain. Ia memang gemar
menyedekahkan apa saja yang dimilikinya dan memberikan hadiah kepada orang
lain, khususnya tamu-tamunya.
Ia juga dikenal sangat
lembut hati, bahkan kepada pelayannya sekalipun. Pernah ketika ia sangat kehausan
dan minta dibawakan segelas air, pembantunya menyuguhkan air yang agak panas.
Tanpa menunjukkan kemarahan ia terus meminumnya. Kezuhudan Shalahuddin tertuang
dalam ucapannya yang selalu dikenang: “Ada orang yang baginya uang dan debu
sama saja.”
Sumber : www.wikipedia.org, www.islamquest.net, www.eramuslim.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar