Senin, 15 April 2013

Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo



Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (lahir di Cepu, Jawa Tengah, 7 Januari 1905 – meninggal 5 September 1962 pada umur 57 tahun) adalah seorang ulama karismatik yang memproklamirkan Negara Islam Indonesia (NII) di Tasikmalaya pada tahun 1949.

Sejarah Hidup

Pada tahun 1901, Belanda menetapkan politik etis (politik balas budi). Penerapan politik etis ini menyebabkan banyak sekolah modern yang dibuka untuk penduduk pribumi. Kartosoewirjo adalah salah seorang anak negeri yang berkesempatan mengenyam pendidikan modern ini. Hal ini disebabkan karena ayahnya memiliki kedudukan yang cukup penting sebagai seorang pribumi saat itu.
Pada umur 8 tahun, Kartosoewirjo masuk ke sekolah Inlandsche School der Tweede Klasse (ISTK). Sekolah ini menjadi sekolah nomor dua bagi kalangan bumiputera. Empat tahun kemudian, ia masuk ELS di Bojonegoro (sekolah untuk orang Eropa). Orang Indonesia yang berhasil masuk ELS adalah orang yang memiliki kecerdasan yang tinggi. Di Bojonegoro, Kartosoewirjo mengenal guru rohaninya yang bernama Notodiharjo, seorang tokoh Islam modern yang mengikuti alur pemikiran Muhammadiyah. Ia menanamkan pemikiran Islam modern ke dalam alam pemikiran Kartosoewirjo. Pemikiran Notodiharjo ini sangat memengaruhi sikap Kartosoewirjo dalam meresponi ajaran-ajaran Islam.
Setelah lulus dari ELS pada tahun 1923, Kartosoewirjo melanjutkan studinya di Perguruan Tinggi Kedokteran Nederlands Indische Artsen School.Pada masa ini, ia mengenal dan bergabung dengan organisasi Syarikat Islam yang dipimpin oleh H. O. S. Tjokroaminoto. Ia sempat tinggal di rumah Tjokroaminoto. Ia menjadi murid sekaligus sekretaris pribadi H. O. S. Tjokroaminoto. Tjokroaminoto sangat memengaruhi perkembangan pemikiran dan aksi politik Kartosoewirjo. Ketertarikan Kartosoewirjo untuk mempelajari dunia politik semakin dirangsang oleh pamannya yang semakin memengaruhinya untuk semakin mendalami ilmu politik. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila nanti Kartosoewirjo tumbuh sebagai orang yang memiliki integritas keIslaman yang kuat dan kesadaran politik yang tinggi. Tahun 1927, Kartosoewirjo dikeluarkan dari Nederlands Indische Artsen School karena ia dianggap menjadi aktivis politik serta memiliki buku sosialis dan komunis.

Karier

S. M. Kartosoewirjo juga bekerja sebagai Pemimpin Redaksi Koran harian Fadjar Asia. Ia membuat tulisan-tulisan yang berisi penentangan terhadap bangsawan Jawa (termasuk Sultan Solo) yang bekerjasama dengan Belanda. Dalam artikelnya nampak pandangan politiknya yang radikal. Ia juga menyerukan agar kaum buruh bangkit untuk memperbaiki kondisi kehidupan mereka, tanpa memelas. Ia juga sering mengkritik pihak nasionalis lewat artikelnya.
Kariernya kemudian melejit saat ia menjadi sekretaris jenderal Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). PSII merupakan kelanjutan dari Sarekat Islam. Kartosoewirjo kemudian bercita-cita untuk mendirikan negara Islam (Daulah Islamiyah). Di PSII ia menemukan jodohnya. Ia menikah dengan Umi Kalsum, anak seorang tokoh PSII di Malangbong. Ia kemudian keluar dari PSII dan mendirikan Komite Pembela Kebenaran Partai Sarekat Islam Indonesia (KPKPSII).
Menurut Kartosoewirjo, PSII adalah partai yang berdiri di luar lembaga yang didirikan oleh Belanda. Oleh karena itu, ia menuntut suatu penerapan politik hijrah yang tidak mengenal kompromi. Menurutnya, PSII harus menolak segala bentuk kerjasama dengan Belanda tanpa mengenal kompromi dengan cara jihad. Ia mendasarkan segala tindakkan politiknya saat itu berdasarkan pembedahan dan tafsirannya sendiri terhadap Al-Qur’an. Ia tetap istiqomah pada pendiriannya, walaupun berbagai rintangan menghadang, baik itu rintangan dari tubuh partai itu sendiri, rintangan dari tokoh nasionalis, maupun rintangan dari tekanan pemerintah Kolonial.

Masa Perang Kemerdekaan

Pada masa perang kemerdekaan 1945-1949, Kartosoewirjo terlibat aktif tetapi sikap kerasnya membuatnya sering bertolak belakang dengan pemerintah, termasuk ketika ia menolak pemerintah pusat agar seluruh Divisi Siliwangi melakukan long march ke Jawa Tengah. Perintah long march itu merupakan konsekuensi dari Perjanjian Renville yang sangat mempersempit wilayah kedaulatan Republik Indonesia. Kartosoewirjo juga menolak posisi menteri yang ditawarkan Amir Sjarifuddin yang saat itu menjabat Perdana Menteri.

Negara Islam Indonesia

Kekecewaannya terhadap pemerintah pusat semakin membulatkan tekadnya untuk membentuk Negara Islam Indonesia. Kartosoewirjo kemudian memproklamirkan NII pada 7 Agustus 1949. Tercatat beberapa daerah menyatakan menjadi bagian dari NII terutama Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Aceh. Pemerintah Indonesia kemudian bereaksi dengan menjalankan operasi untuk menangkap Kartosoewirjo. Gerilya NII melawan pemerintah berlangsung lama. Perjuangan Kartosoewirjo berakhir ketika aparat keamanan menangkapnya setelah melalui perburuan panjang di wilayah Gunung Rakutak di Jawa Barat pada 4 Juni 1962. Pemerintah Indonesia kemudian menghukum mati Kartosoewirjo pada 12 September 1962 di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu, Jakarta.

SM KARTOSOEWIRJO

Akhir Hidup Sang Imam

DELAPAN puluh satu foto terpampang berurutan di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. Foto-foto itu memperlihatkan adegan demi adegan saat-saat terakhir hidup imam DI/TII SM Kartosoewirjo. Dalam salah satu foto, Kartosoewirjo enggan menyantap makanan terakhirnya sebelum dia dieksekusi. “Makan terakhirnya nasi rendang,” kata Fadli Zon, penyusun buku Hari Terakhir Kartosoewirjo: 81 Foto Eksekusi Imam DI/TII yang diluncurkan pada Rabu (5/9) tadi.
Foto-foto selanjutnya merekam tahap-tahap pelaksanaan eksekusi mati bagi pemimpin gerakan pendirian negara Islam Indonesia itu. Entah apa yang ada di benak tokoh Islam yang pernah sama-sama Sukarno dididik di rumah Tjokroaminoto itu. Dalam sebuah foto dia tampak termenung memikirkan apa pesan terakhirnya sebelum ajal menjemput.
“Bapak menyampaikan empat keinginan sebelum dia meninggal. Pertama, ingin bertemu perwira-perwira terdekatnya; kedua, ingin eksekusinya disaksikan keluarga; ketiga, jenazah minta dikembalikan kepada keluarga dan keempat, meminta bertemu terakhir kali dengan keluarga,” ujar Sardjono Kartosoewirjo, putra bungsu Kartosoewirjo yang saat eksekusi ayahnya terjadi berumur lima tahun.
Dari keempat permintaan Kartosoewirjo hanya permintaan bertemu keluarga yang dikabulkan. Tiga permintaan pertama tidak diluluskan oleh pihak militer dengan alasan yang tak diketahui. Eksekusi mati dilangsungkan di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu pada 12 September 1962 setelah vonis bersalah dijatuhkan oleh hakim pada 16 Agustus 1962.
Sukarno, teman Kartosoewirjo semasa indekos di rumah Tjokroaminoto di Surabaya pun tak sampai hati menggoreskan pena pada secarik surat keputusan hukuman mati. “Sungguhpun demikian, seorang pemimpin harus bertindak tanpa memikirkan betapa pun pahit kenyataan yang dihadapi,” ujar Sukarno dalam otobiografinya. Keputusan penolakan grasi yang diajukan oleh Kartosoewirjo itu memupus harapan pembatalan hukuman mati.
Foto-foto yang dikoleksi oleh Fadli Zon itu sebenarnya tersimpan pula di Arsip Nasional RI. “Tapi foto yang ada di arsip nasional tak dilengkapi keterangan dan belum dibuka untuk publik,” tandas Fadli yang kini menempuh pendidikan doktoral sejarah di Universitas Indonesia itu.
Dipamerkannya koleksi foto eksekusi itu mengakhiri kabar burung di seputar kematian Kartosoewirjo. “Foto-foto ini membuktikan ayah saya seorang manusia biasa, tembus peluru juga,” kata Sardjono Kartosoewirjo.
Selain itu, foto ini memungkas kabar tak sedap yang menyebutkan kalau Kartosoewirjo diperlakukan secara tak Islami ketika dieksekusi mati. “Ternyata dia diperlakukan secara Islami, disalatkan. Dengan foto ini, kontroversi dan imajinasi yang mengawang-awang tersingkap,” pungkas Mohammad Iskandar. 

Sumber : www.wikipedia.org, www.historia.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar