Panglima Besar Dengan Suara Terbanyak
Rapat di markas
Tinggi Tentara Keamanan Rakyat di Gondokusuman, Yogyakarta, 12 November 1945,
itu tiba-tiba memanas. Kolonel Holland Iskandar, mantan perwira Pembela Tanah
Air (PETA), menginterupsi sidang, Oerep Soemahardjo, meminta peserta rapat
memilih pemimpin tertinggi Tentara Keamanan Rakyat yang baru dibentuk seminggu
sebelumnya. Oerip Soemahardjo, yang kala itu kepala staf umum berpangkat letnan
jenderal, kehilangan kendali atas pertemuan tersebut. Hari itu juga Soedirman
yang berpangkat kolonel, terpilih menjadi Panglima Besar TKR.
Sayang, tak
banyak rekaman yang tertinggal dari pertemuan bersejarah yang sebagian
pesertanya panglima divisi dan komandan resimen itu. Nasution saat itu berumur
26 tahun, hadir sebagai Kepala Staff Komand resimen I Jawa Barat, yang
membawahkan tiga divisi, dengan pangkat kolonel. Menurut dia, sebenarnya hari
itu Oerip mengundang semua wakil tentara dan laskar untuk membicarakan
koordinasi dan strategi menghadapi kemungkinan Belanda yang mendompleng tentara
sekutu. Namun, Oerip terlihat tak bisa memimpin rapat. Dia susah menguasai
jalannya pembicaraan.
Didukung
sebagian besar peserta rapat yang berlatar belakang eks Peta, Holland mengambil
alih pimpinan sidang. Dia lalu menyakinkan peserta rapat bahwa TKR sangat
membutuhkan seorang pemimpin atau Panglima Besar. Sebenarnya, sejak TKR
dibentuk pemerintah pada 5 Oktober 1945, Presiden Soekarno telah menunjuk
Soepriyadi sebagai panglima. Soepriyadi adalah komandan peleton atau shodancho tentara Peta. Sebelumnya, dia
ditunjuk sebagai Menteri Keamanan Rakyat. Tapi Soepriyadi menghilang sejak
pemberontakan di Blitar pada Mei 1945. Sebagian pejuang yakin dia sudah tewas
terbunuh tentara Jepang.
Dalam bukunya, Genesis of Power, Professor Salim Said, mantan
wartawan dan peneliti militer, mengatakan penunjukan Soepriyadi sungguh
mengherankan. Sebaiknya Soekarno atas rekomendasi Perdana Menteri Sjahrir dan
Amir Sjarifoeddin menunjuk Oerip menjadi Kepala Staf Umum. Tugas Oerip
membenahi organisasi tentara yang masih semrawut. Ketika itu, para pejuang dari
beragam kelompok berjalan sendiri-sendiri. Pangkat dan jabatan pun diatur
sendiri. “Ada yang mengangkat diri menjadi jenderal hanya karena merebut jip
Belanda, “ kata Salim.
Nasution curiga
pembelokan agenda pertemuan Gondokusuman itu sudah diatur. “saya yakin mereka
telah membicarakannya sebelum sidang. Holland Iskandar hanya sedang akting,”
katanya sebagaimana dikutip Salim. Malah Didi Kartasasmita mendekripsikan
sidang berlangsung ala koboi. “Hampir semuanya pegang senjata. Gila, sebuat
pertemuan revolusioner,” ujarnya. Pendapat yang berbeda dengan suara mayoritas
yang menghendaki pemilihan Panglima Besar tak diindahkan. Pendapat Menteri
Keamanan Ad Interim Muhammad Sulyoadikusumo, yang mewakili pemerintah pusat,
pun tak diacuhkan.
Pemilihan
berlangsung secara sangat sederhana. Nama-nama calon, diantaranya Oerip,
Soedirman, Amir Sjarifoeddin, dan Moeljadi Djojomartono dari Barisan Banteng,
ditulis di papan tulis. Lalu panitia menyebutkan nama calon, dan pendukungnya
diminta mengacungkan tangan. Kalkulasi suara langsung ditulis di papan tulis.
Tjokropranolo
dalam buku Panglima Besar TNI Jenderal
Soedirman mengatakan pemilihan berlangsung dalam tiga tahap. Tahap pertama dan
kedua diberlakukan sistem gugur. Cerita mengenai metode pemilihan ini, kata
Tjokropranolo, yang pernah menjadi ajudan Soedirman, dia peroleh dari Komandan
Batalion Badan Keamanan Rakyat Surakarta, Djatikoesoemo.
Selain mendapat
dukungan luas dari tentara eks Peta, Soedirman, yang saat itu berusia 29 tahun,
dipilih utusan dari Sumatera, Kolonel Moh Noch. Nasution mengatakan suara Moh
Noch, yang mewakili enam divisi di Sumatera, turut menjadi penentu kemenangan
Soedirman dalam pemilihan. Sedangkan Oerip, yang mendapat suara terbanyak
kedua, dukungan untuknya datang dari para tentara eks Koninklijke
Nederlands(ch) Indische Leger (KNIL), diminta tetap sebagai Kepala Staff Umum. Dia dinilai mahir dalam strategi militer
menghadapi Belanda. Rapat juga memilih Sultan Hamengku Buwono IX sebagai
Menteri Pertahanan. Sultan hadir sebagai tamu istimewa bersama Pakubuwono XII,
Mangkunegoro, dan Paku Alam.
Dalam catatan
Nasution, Soedirman terpilih lantaran TKR kala itu didominasi bekas Peta selain
unsur KNIL, Heiho, dan pemuda. Dan di kalangan Peta, terutama beberapa daerah
di Jawa, Soedirman memang sudah cukup dikenal. Selain itu Soedirman yang mantan
Komandan Batalion atau Daidancho Kroya itu dikenal luas berkat keberhasilannya
menyakinkan Jepang agar menyerahkan senjata secara damai kepada tentara
Indonesia. Ketika menjadi Panglima Divisi BKR Purwekerto, Banyumas, Soedirman
bersama Raden Ishaq menjadikan Banyumas sumber pasokan senjata bagi wilayah
Jawa Barat dan Jawa Tengah. Dan Soedirman selalu diharapkan untuk memberikan
bantuan.
Sebaliknya,
Oerip diperkirakan kalah karena di kalangan tentara muncul sentimen negatif
terhadap serdadu didikan Belanda. “Semangat itu terpupuk dari didikan organisasi
tentara Jepang,” kata Salim Said. Tak aneh, Oerip yang mantan mayor KNIL yang
kala itu 52 tahun lebih dekat dengan pemerintah dibanding tentara. Yang juga
merugikan posisi Oerip, dia lebih lancar berbahasa Belanda dan Jawa dibanding
berbahasa Indonesia. Padahal para tentara TKR, yang mayoritas berusia 20-an
tahun, sedang bersemangat menggunakan bahasa Indonesia.
Dua hari setelah
pemilihan Soedirman, tepatnya pada 14 November 1945, Perdana Menteri Sutan
Sjahrir mengumumkan kabinet. Sjahrir menunjuk Amir Sjarifoeddin sebagai Menteri
Pertahanan. Penunjukan Amir ini bertentangan dengan kesepakatan Gondokusuman,
yang memilih Sultan sebagai Menteri Pertahanan. Ini antara lain karena Sjahrir
tak menyetujui peran Peta dan organisasi militer Jepang lainnya dalam TKR. Dia
mengharapkan tentara Indonesia bebas dari pengaruh fasisme Jepang. Pendapat
yang berbeda inilah yang membuat belakangan hubungan Soedirman dengan Amir dan
Sjahrir beberapa kali tegang.
Ketika rapat di
Gondokusuman berlangsung, situasi di Ambarawa dan Magelang memanas, menyusul
kedatangan tentara Inggris pada 20 Oktober-hampir sebulan sebelumnya. Tentara
Inggris yang dipimpin Brigadir Jenderal Bethel berniat membebaskan tawanan
perang. Bethel telah bersepakat dengan Gubernur Jawa Tengah Wongsonegoro
mengenai ini, tapi para pejuang mencurigai kehadiran tentara Ratu Elizabeth
itu.
Para pejuang
khawatir tentara Belanda membonceng Rehabilitation Allied Prisoners of Wars and
Internees yaitu badan yang didirikan oleh sekutu buat mengurus tawanan perang-untuk
menguasai Indonesia. Kecurigaan ini menyebabkan meletusnya petempuran melawan
tentara Inggris di berbagai daerah.
Pada 31Oktober
1945, Presiden Soekarno meminta perang terhadap Inggris atau Sekutu dihentikan.
“ Bukan saja di Surabaya, tapi Magelang,”kata Soekarno. Namun petempuran terus
terjadi. Dan pada November itu, konflik kembali tak terkendali setelah pemimpin
tentara Inggris di Surabaya, Brigader Jenderal Mallaby, terbunuh.
Soepardjo
Roestam, yang menjadi pengawal Soedirman, mencatat, seusai pemilihan yang
berakhir malam hari, Soedirman langsung mengajak para panglima divisi membahas
siasat perang. Dia memerintahkan tentara mempersiapkan perang Ambarawa.
Pimpinan menyadari bahwa betapa strategisnya Ambarawa, antara lain karena di
dalam kota Ambarawa terdapat benteng Banjoe Biroe, yang sejak jaman Belanda
telah digunakan sebagai markas tentara. Selain itu, Ambarawa, juga Magelang,
adalah tangsi sekaligus tempat latihan bagi KNIL.
Diputuskan saat
malam itu juga Ambarawa dijadikan Markas Pusat Koordinasi Pertempuran, agar
pertempuran berjalan di bawah satu komando. Markas akan menjadi pusat
pengaturan siasat dan pegerahan pasukan, bukan hanya TKR, tapi juga laskar.
Markas ini mengkoordinasi beberapa wilayah, diantaranya Banyumas, Kedu,
Yogyakarta, dan Solo.
Kematian
pemimpin pasukan Banyumas, Letkol Isdiman, memperburuk konflik di Ambarawa.
Isdiman tewas pada 26 November 1945 dalam perjalanan menuju Ambarawa, terkena
tembakan dari dari sebuah pesawat Mustang. Dan berita ini membuat Kolonel
Soedirman merasa terpukul, karena Isdiman merupakan salah satu prajurit
kepercayaannya yang saat mengikuti petempuran Ambarawa berusia 20 tahun.
Soedirman
memimpin sendiri markas Pimpinan Pertempuran di Magelang. Setelah kematian
Isdiman, dia sering terjun langsung ke front untuk memeriksa situasi. Dalam
rapat pada 11 Desember tahun itu, Soedirman dan Komandan Sektor memutuskan
menjalankan siasat Supit Udang. Ini merupakan strategi sergapan mendadak untuk
menguasai Jalan Raya Semarang-Yogyakarta.
Maka, tepat pada
pukul 04:30 esok paginya, serangan dimulai. Rentetan tembakan bersahutan dan
bergema di empat penjuru kota. Pada hari keempat atau 15 Desember 1945, pasukan
TKR dan laskar berhasil membentuk gerakan menjepit seperti Supit Udang, yang
ujung-ujungnya bertemu diluar kota sebelah utara Ambarawa. Pasukan Inggris
keluar menuju Semarang. Perang Ambarawa, dikenal sebagai Palagan Ambarawa,
dikenang sebagai salah satu kemenangan besar Soedirman.
Tapi menurut
Richard McMillan, pasukan Inggris mundur kerena tugas evakuasi tahanan sudah
berakhir pada 8 Desember,setelah semua tawanan dibawa ke Semarang, satu minggu
kemudian, garnisun Inggris ditarik dari Ambarawa. Richard McMillan mengutip
dokumen perang WO 203/6159, periode Oktober 1945-November 1946. Meski demikian,
McMillan mengakui terjadi perang hebat saat tentara Inggris membebaskan tawanan
di Semarang, Surabaya, Ambarawa, dan Magelang. Di Magelang, menurut dia,
pasukan Inggris diserang 5000-an personel pasukan Indonesia. Inggris kemudian
melakukan serangan balik dengan bantuan batalion Kido Butai dari Jepang.
Pertempuran dengan Kido Butai merupakan perang awal kemerdekaan yang paling
brutal.
Sejarawan Rushdy
Hoesein punya pendapat lain. Menurut dia, tentara Inggris mundur dari Indonesia
karena desakan Jawaharlal Nehru. Konon, pemimpin India itu tidak terima pasukan
Gurkha digunakan Inggris untuk bertempur melawan rakyat Indonesia. Soalnya,
Nehru berulang kali menyerukan mendukung kemerdekaan Indonesia.
Bertempat di
Markas Tinggi TKR, Gondokusuman, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta
akhirnyamelantik Soedirman sebagai Panglima Besar pada 18 Desember 1945.
Menurut Salim Said, pemerintah menunda pelantikan selama sebulan karena ada
kengganan melantik Soedirman yang dipilih para tentara. Para elite politik yang
mendapat pendidikan Barat berprinsip pembentukan tentara semestinya memenuhi
konsep supremasi sipil. Nyatanya, tentara sudah terbentuk sebelum pemerintah
membentuk tentara.
Tapi Nasution
menulis, model “bapak-isme-pemimpin yang dipilih anak buahnya justru lebih baik
karena memunculkan pemimpin yang umumnya dapat di taati. Panglima dengan anak
buah sangat dekat, biasa memanggil dengan sebutan “anak-anakku”. Dua hari
kemudian, berita pelantikan Soedirman muncul di Harian Merdeka dengan judul “Toean Soedirman Menjadi Panglima Besar
TKR.” Namun foto yang dicetak adalah tokoh Soedirman, pejuang Surabaya.
Bernapas Dalam Kemelut
Matahari belum
diatas ubun-ubun ketika tentara Komando Pertempuran Panembahan Senopati
berbaris keluar dari barak dengan senjata lengkap. Sedianya, pasukan yang
bermarkas di Solo itu hanya akan unjuk kekuatan memperingati Hari Kebangkitan
Nasional, 20 Mei 1948. Namun Laskar Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo),
Tentara Laut RI, dan TNI-masyarakat menyusup. Parade pun berubah menjadi aksi
penolakan kebijakan reorganisasi-rasionalisasi (rera) tentara.
Rera akan
memangkas personel dan kesatuan. Pasukan dari elemen rakyat khawatir tergusur.
Beredar kabar, hanya perwira berpendidikan di atas sekolah menengah yang akan
lolos. Demonstrasi besar-besaran merebak, melibatkan puluhan ribu tentara di
Madiun dan Malang, Jawa Timur. Sebab tentara paling banyak hanya sekolah ongko loro, tentu akan tersingkir.
Presiden
Soekarno mengeluarkan Penetapan Nomor 14 Tahun 1948 tentang pelaksanaan rera, 2
Januari 1948. Inisiatifnya datang dari Amir Sjarifoeddin ketika menjabat
perdana menteri. Niatnya mengefektifkan pasukan melawan Belanda. Pelaksanaan
dilakukan oleh Kabinet Muhammad Hatta,
melalui mayor Jenderal A.H. Nasution. Pemerintah berdalih tak mampu lagi
menggaji tentara yang jumlahnya mencapai 350 ribu orang, dan anggota laskar
sebanyak 470 ribu orang.
Tentara kian
meredang dengna adanya penurunan pangkat. Rera dianggap diskriminatif dan
menguntungkan para bekas anggota KNIL, tentara kerajaan Belanda. Eks KNIL
mendapat prioritas direkrut menjadi menjadi perwira dan mendapat kenaikan
pangkat. Divisi Siliwangi mayoritas mantan personel KNIL. Para bekas anggota
Pembela Tanah Air (PETA) tentara yang dibentuk Jepang, yang hanya mengenyam
pendidikan lokal, pun turun pangkat. Pangkat Oerip Soemohardjo, misalnya, dari
mayor jenderal naik jadi letnan jenderal . sebaliknya, pangkat Jenderal
Soedirman turun menjadi letnan jenderal. Tak kurang dari 60 jenderal dan
laksamana turun pangkat. Salah satu perwira, Kolonel Bambang Supeno,
mengundurkan diri dari jabatan Panglima Divisi I sebagai protes.
Soedirman
khawatir kebijakan ini menimbulkan perpecahan. Akhirnya, pemerintah mengalah.
Nasution kembali berpangkat kolonel, perwira sayap kiri pun tetap diberi
tempat. Soedirman mempertahankan semua divisi lama dan posisi komando
pertempuran diteruskan.
Sebelum rera, sudah
ada konflik internal akibat hasil perjanjian Renville. Benih perpecahan muncul
sejak awal perjanjian diteken. Masyumi dan PNI menarik menterinya dari kabinet
dari kabinet Amir Sjarifoeddin. Perjanjian itu dianggap merugikan Indonesia.
Akhirnya kabinet Amir jatuh, digantikan kabinet Hatta. Tantangan juga datang
dari kalangan militer. Jenderal Soedirman dan Letnan Jendral Oerip Soeohardjo
dikabarkan sakit karena menolak perjanjian itu. Salah satu hasilnya yang
menyakitkan : wilayah Indonesia tinggal sepertiga, Jawa Tengah. Selebihnya,
tentara Indonesia harus angkat kaki dari wilayah jajahan Belanda.
Divisi Siliwangi
melakukan long march ke Jawa Tengah.
Soedirman sebenarnya tak setuju poin ini. Sebenarnya Soedirman menginginkan
pasukan tak usah keluar dari wilayah teritorialnya. Kota-kota besar di Jawa,
Yogyakarta, Magelang, Solo dan Madiun penuh sesak. Sekitar 30 ribu tentara
berikut keluarga hijrah. Rumah-rumah padat penghuni, asrama sesak pendatang,
gedung sekolah dan gudang dijadikan hunian darurat. Malahan ada yang harus
menginap di gerbong-gerbong tua.
Situasi semakin
sulit ketika bahan makanan menipis. Daerah penghasilbahan kebutuhan pokok,
seperti Malang, Besuki, dan Jawa Barat, telah dikuasai Belanda. Nilai rupiah
anjlok. Di Solo, kondisi makin runyam ketika Panglima KPPS Kolonel Soetarto
ditembak orang tidak dikenal di depan rumahnya pada 2 Juli 1948. Sebelum
dibunuh, ia ditelpon, diminta pulang karena ibunya sakit. Mayor Omom
Abdoerachman menemukan lencana Siliwangi di samping korban.
Tuduhan
mengarahkan pada Brigade Siliwangi. Muwardi, tokoh Barisan Benteng Republik
Indonesia, hilang. Perwira-perwira bekas kesatuan laskar yang mendukung
kelompok kiri diculik. Mereka ditahan di
Markas Siliwangi, Srambatan. Saling curiga dan bentrokan antar pasukan meluas.
Panembahan Senopati mendesak semua Siliwangi agar angkat kaki. Soedirman
menengahinya dengan mengeluarkan perintah : Siliwangi wajib meninggalkan
Solo-Semarang. Namun Brigade II Siliwangi menolaknya.
Dokumen Front
Demokrasi Rakyat (FDR), gabungan kelompok kiri, menyebutkan Solo ditargetkan
menjadi wild west. FDR adalah
bentukan Amir Sjarifoeddin, yang kecewa. Tokoh komunis Indonesia Musso, pulang
dari Moskow pada 3 Agustus 1948 dan bergabung dengan FDR. “ Daerah Solo oleh
PKI sengaja dibuat sebagai pelebaran kekuasaan dengan kamuflase kekacauan dan
keonaran,” kata Letnan Jenderal Tjokropranolo dalam buku Jenderal Soedirman; Pemimpin, Pendobrak Terakhir Penjajahan di Indonesia.
Pada 18 Agustus
1948 malam, Soekarno mengumumkan Solo dalam kondisi bahaya melalui RRI
Yogyakarta. Ia meminta rakyat Solo mendukung pemerintah yang sah. Musso
membalas dengan menyiarkan Proklamasi Republik Demokrasi Rakyat Indonesia lewat
Radio Gelora Pemuda Madiun.
Partai Komunis
Indonesia mengklaim apa yang dilakukan di Madiun merupakan bagian dari membela
diri. Soemarsono menyebutkan pemerintah berencana menghabisi kaum kiri sesuai
dengan Red Devil Proposal. Pemerintahan Hatta membuat kesepakatan itu dengan
Amerika Serikat. Jaminannya : Indonesia akan didukung di forum Perserikatan
Bangsa-Bangsa. Alip Suhartojo, seorang intel, mengatakan Hatta sedang melakukan
pembersihan. Korbannya, Sekretaris FDR Solo Slamet dan Pardjo di jemput truk
dan tak pernah kembali. Banyak pemimpin
buruh diculik. “Kalau kami dinyatakan pemberontak, harus dibasmi, ya
bela diri,” ujar Soemarsono.
Soedirman tak
suka langkah PKI. Ia mengutus Letnan Kolonel Soeharto membjuk Musso. “Apakah
tidak baik kalau kita tinggalkan permusuhan dan bersatu menghadapi Belanda,”
kata Soeharto dalam buku Pikiran, Ucapan
dan Tindakan Saya. Musso menjawab, “ Kalau saya dihancurkan, saya pasti
melawan.”
Sebelum pulang,
Soeharto diajak berkeliling Madiun untuk menunjukkan kondisinya tak seperti
gambaran media. Tak ada kibaran bendera palu-arit menggantikan Merah Putih.
Soeharto kembali ke Yogyakarta, melapor kepada Soedirman, yang meneruskan
laporan itu kepada Soekarno dan Hatta. Namun perintah menumpas PKI lebih dulu
turun. Soedirman menilai pristiwan Madiun hanya keributan tentara, alias hanya
butuh dilerai. “Tapi, karena perintah Hatta menyerang Madiun, maka dia
menyerang,” ujar pakar politik dan pengamat militer, professor Salim Said.
Soedirman
mengunjungi lokasi pembantaian PKI pada November 1948. Pada pengujung November,
ia pulang. Setiba dirumah, ia mengeluh kepada istrinya tak bisa tidur selama
berada di Madiun. Soedirman syok menyaksikan genangan darah sedalam 5
sentimeter dan kondisi korban yang mengenaskan. “Pulang dari Madiun, Bapak tak
hanya kelelahan, tapi juga mengalami tekanan batin,” kata Muhammad Teguh
Bambang Tjahyadi, 63 tahun, anaknya.
Setelah
bercerita, Soedirman langsung mandi, tapi tak mau menggunakan air hangat.
Sehabis madi, ia merasa lemas, hingga sehari berikutnya tergolek saja. Atas
diagnosis tuberkolosis, Soedirman sempat menjalani perawatan di Rumah Sakit
Panti Rapih Yogyakarta.
Setelah Gagak Menyambar Yogyakarta
Mejelang
pergantian hari, kesibukan di pangkalan militer yang kini bernama Husein
Sastranegara itu meningkat. Sebanyak 18 pesawat angkut C-47 Dakota milik
Militaire Luchtvaart, Angkatan Udara Kerajaan Belanda, memanaskan mesin.
Suaranya bergemuruh. Belasan jip lalu-lalang mengangkut bermacam barang, dari
senjata hingga makanan perbekalan tentara.
Kegaduhan itu
tidak mengganggu taklimat Letnan Jenderal Simon Hendrik Spoor di salah satu
hanggar pangkalan udara tersebut. Spoor, Panglima Tentara Belanda di Indonesia,
memberi arahan kepada 432 personel para-compagnie
Korps Speciale Troepen (KST). Semua anggota pasukan khusus lintas udara itu
berdiri tegap dan menyandang peralatan tempur lengkap.
“Kalian terpilih
untuk aksi penentuan, diterjunkan di Maguwo sebelum fajar, membebaskan
Yogyakarta dari tangan ekstremis serta menangkap Soekarno,” kata Spoor, 46
tahun, seperti ditulis Julius Pour dalam buku
Doorstoot Naar Djogja.
Pidato Spoor
mengawali Operatie Kraai atau Operasi Burung Gagak, serangan militer Belanda
untuk merebut kota Yogyakarta, ibu kota sekaligus satu-satunya wilayah Republik
Indonesia pasca-Perjanjian Renville. Selain itu, Spoor berencana menghancurkan
Tentara Nasional Indonesia yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur dalam
satu pukulan. Ia melancarkan serangan mendadak yang berkekuatan 10 ribu tentara
yang disebar di lima group.
Penaklukan kota
Yogyakarta diserahkan kepada grup temput A pimpinan Kolonl D.R.A. Van Langen,
yang bermarkas di Kalibanteng, Semarang. Sedangkan grup B hingga E di sebar
untuk menghancurkan pertahanan TNI di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Sebagai ujung
tombak serangan, Spoor memilih KST yang bermarkas di Batujajar, Kabupaten
Bandung, lantaran memiliki kemampuan tempur terbaik. Pasukan baret merah itu
harus merebut Lapangan Udara Maguwo maksimal dalam tiga jam, dibantu serangan
pesawat tempur. Pangkalan yang berjarak 10 kilometer sebelah timur pusat Kota
Yogyakarta itu berguna sebagai tempat pendaratan grup A.
Tepat pukul
02.00, anggota KST mulai berbaris dan memasuki lambung Dakota. Pesawat pertama
yang meninggalkan Andir pada pukul 04:30, diikuti pesawat selanjutnya dengan selisih
waktu satu menit. Spoor menaiki pesawat komando, pengebom B-25 Mitchell, yang
terbang paling akhir. Gerombolan gagak maut itu, tebang menyusuri pesisir
selatan Jawa Barat hingga ke kota Yogyakarta.
Disaat yang
sama, tiga B-25 Mitchell, lima pesawat temput P-51 Mustang dan sembilan pesawat
penyergap P-40 Kittyhawk berangkat dari Pangkalan Udara Kalibanteng untuk
menyerang Maguwo. Bom pertama dijatuhkan pada pukul 05:15 dan merusak hanggar
berikut pesawat warisan Jepang milik TNI Angkatan Udara. Gelombang serangan
berikutnya dilakukan Mustang dan Kittyhawk, yang menembakkan kanon kearah
markas pasukan pertahanan pangkalan udara.
Mendapat
serangan mendadak, 30 orang anggota TNI di Maguwo kaget bukan kepalang. Mereka
hanya bisa membalas serangan tembakan senapan ringan. Ibarat menembak angin,
peluru pasukan Republik tak bisa menjangkau pesawat musuh. Sebaliknya, semua
penjaga pangkalan gugur terkena tembakan dari udara. Pertempuran itu pun
berakhir dalam setengah jam.
Pukul 06:45,
pesawat pengangkut anggota KST tiba diatas Maguwo. Setelah terjun dari
ketinggian yang cukup rendah, 120 meter, mereka langsung menyerbu sisa pasukan
TNI yang berada disekitar Maguwo hingga mendekati pusat Kota Yogyakarta. Dalam
pertempuran ini, 40 anggota TNI gugur dan tak ada korban dari kubu KST.
Spoor,yang
mengikuti jalannya pertempuran melalui radio di pesawat komando, meneruskan
penerbangan ke Semarang. Di Kalibanteng, ia menginspeksi 2000 anggota grup A
yang akan berangkat untuk merebut Yogyakarta dan menangkap pemimpin Indonesia.
Spoor, yang mengenakan jaket kulit, kacamata hitam dan topi pet, mengacungkan
salam dua jari-tanda kemenangan kepada Van Langen. “Victoria”
Serangan
mendadak Belanda ke Maguwo mengejutkan para pemimpin Indonesia. Pengumuman
perang baru disampaikan Komisaris Tinggi Belanda di Indonesia, Joseph Beel,
pada pukul 08:00, tepat setelah Maguwo direbut. Persis seperti Jepang terlambat
mengirim maklumat perang kepada Amerika Serikat setelah menyerang Pearl Harbor.
Beel juga
menyamarkan Operatie Kraai sebagai aksi polisional alias operasi keamanan untuk
menangkap tentara pemberontak yang mereka sebut kaum ekstrimis yang sering
menyusup ke wilayah pendudukan Belanda. “Kami mengerahkan seluruh kekuatan
untuk melakukan pembersihan,” katanya.
Agresi Belanda
itu memperparah sakit Soedirman. Putra bungsu Soedirman,Muhammad Teguh
BambangTjahjadi, menuturkan bahwa sang ayah, yang baru empat hari keluar dari
rumah sakit setelah operasi paru-paru, jadi mengalami stress. “Pada malam
sebelum serangan, Bapak muntah darah,” ujarnya. Teguh mengatakan, pada 19
Desember pagi, Soedirman memerintahkan ajudannya, Kapten Soepardjo Roestam,
mengumumkan Perintah Siasat Nomor 1, strategi gerilya yang harus dilakukan
anggota TNI jika Belanda menyerang. “Perintah itu diumumkan melalui Radio Republik Indonesia,” tuturnya.
Setelah dari
RRI, Soepardjo diperintahkan menemui Presiden Soekarno di Gedung Agung, Jalan
Malioboro, yang kala itu menjadi pusat pemerintahan Republik. Di harus
menyampaikan pesan Soedirman, yang meminta Soekarno meninggalkan Yogyakarta.
Namun Soepardjo tak kunjung memberi kabar. Teguh mengisahkan, lantaran tak
sabar, Soedirman meminta ajudannya yang lain, Kapten “Nolly” Tjokropranolo,
mengantarkannya dari rumah di Jalan Bintaran ke Gedung Agung. Dia ingin
mengingatkan langsung Presiden Soekarno akan janjinya untuk mengambil alih kepemimpinan TNI dan memegang komando perang
gerilya jika Belanda menyerang.
Sejarawan
militer Saleh Djamhari mengatakan Soedirman meminta Soekarno dan pejabat lain
meninggalkan Yogyakarta agar tidak ditangkap Belanda. Lantaran Soekarno menolak
pergi, Soedirman memutuskan bergerilya. “Soedirman paham, selaku pemimpin
militer, ia tak boleh ditangkap musuh, agar menjadi salah satu pemegang komando
negara,” katanya.
Perkiraan
Soedirman tak meleset. Keesokan harinya pukul 17.00, pasukan Belanda yang
dipimpin Kolonel Van Beek merangsek masuk Gedung Agung. Soekarno, Wakil
Presiden Muhammad Hatta, Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan beberapa anggota
kabinetnya menjadi tahanan rumah. Dua hari kemudian, mereka diasingkan ke luar
Jawa, yakni di prapat,Sumatera Utara dan di Pulau Bangka.
Namun Belanda
kecele. Dalam rapat di gedung Agung pada 19 Desember, Soekarno-Hatta sudah
membuat surat kuasa yang menunjuk Menteri Kemakmuran Sjahfruddin Prawiranegara
mendirikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia di Bukit Tinggi. Dwitunggal
juga membuat surat serupa untuk Duta Besar di India, Sudarsono, agar mendirikan
pemerintahan pengasingan (exile
government) di New Delhi jika Sjafruddin ditangkap Belanda.
Adapun TNI melanjutkan
perjuangan dengan senjata. Sesuai dengan Perintah Siasat Nomor 1, para pejuang
membentuk kantong-kantong gerilya serta melancarkan serangan dan sabotase
terhadap Belanda. Strategi yang disusun Soedirman bersama Kolonel Nasution itu
menekankan pada pelawanan pukul dan lari alias hit and run di setiap daerah untuk memecah kekuatan lawan yang
masih masif.
Dalam buku Yogyakarta 19 Desember 1948, mantan
Pangima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat Letnan Jenderal Himawan
Soetanto mengatakan Divisi Diponegoro menyusun pangkalan perlawanan (wehrkreise) di beberapa kota di Jawa
Tengah. Hal yang sama dilakukan Divisi Brawijaya di Jawa Timur. Sedangkan
brigade di bawah Divisi Siliwangi memulai long
march, meninggalkan Yogyakarta, untuk membangun kantong gerilya di Jawa
Barat. Dan sejarah membuktikan : tentara Spoor dan pasukan Soedirman kemudian
terlibat kontak senjata dalam front
yang luas.
Siasat Jitu Nomor Satu
Sepucuk surat
tiba di tangan Jenderal Soedirman awal Februari 1949. Saat itu, Panglima Besar
tengah bergerilya di Pacitan, Jawa Timur. Pengirimnya orang yang sangat ia
hormati : Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Seorang kurir membawa surat itu dengan
berjalan kaki dari Yogyakarta. Dalam surat itu, Sultan menyatakan dunia
internasional harus mengetahui bahwa Indonesia dan Tentara Nasional Indonesia
masih ada.
Raja Yogyakarta
itu member alasan. Dalam empat bulan terakhir, sudah tiga kali TNI menggelar
serangan umum ke tangsi-tangsi tentara Belanda di Yogyakarta. Namun pristiwa
itu tak kunjung menyedot perhatian internasional. Penyebabnya, kata Sultan,
serangan dilakukan saat malam hari sehingga radio di belahan dunia lain tidak
menerima kabar ada perlawanan ini lantaran perbedaan zona waktu. Panglima
Soedirman setuju dan langsung membalas surat itu. Kurir yang membawa surat dari
Sultan bernama Sukotjo Tjokroatmodjo yang berpangkat letnan dua dan bertugas di
Kesatuan Polisi Militer Kepresidenan Istana Negara Yogyakarta.
Belanda
melancarkan agresi militer ke dua pada 19 Desember 1948. Serangan ini dipimpin
Letnan Jenderal Simon Spoor, panglima KNIL, yang diperintahkan merebut kota
Yogyakarta dengan sandi Operatie Kraai, yang berarti Operasi Burung Gagak.
Tujuannya : menghabisi kekuatan Indonesia yang bertumpu di Yogyakarta sebagai
ibu kota Republik Indonesia Serikat (RIS). Indonesia berbentuk RIS setelah
perjanjian Renville pada 17 Januari
1948. Dwitunggal Soekarno dan Muhammad Hatta saat itu ada di Yogyakarta.
Sekitar 20 ribu prajurit TNI juga berkumpul di Yogyakarta dan Jawa Tengah.
“Yogyakarta harus kita taklukkan,” kata Spoor kala itu kepada pasukannya.
Serangan berpusat di lapangan terbang Maguwo dan hanya berjarak delapan
kilometer dari Yogyakarta. Soekarno-Hatta bahkan akhirnya ditawan.
TNI juga dipukul
mundur ke pinggir Yogyakarta. Serangan ini memaksa Jenderal Soedirman
mengeluarkan Perintah Siasat Nomor 1 Bulan November 1948, yang intinya
memerintahkan semua anggota pasukan mengungsi sambil membentuk kantong
pertahanan dan tidak menyerang pasukan Belanda secara frontal.
Strategi ini
dikenal dengan nama wehrkreise-taktik
yang pernah digunakan tentara Jerman. Wehr
artinya pertahanan, kreise artinya
wilayah. TNI mengadopsi istilah ini sebagai nama kesatuan wilayah. Strategi ini
diperkenalkan Kolonel T.B. Simatupang, yang kala itu menjabat Wakil Kepala Staf
Angkatan Perang. Letnan Kolonel Soeharto, yang kala itu menjabat Komandan
Brigade X Yogyakarta, menjadi Komandan Wehrkreise III.
Siasat Nomor 1
sebenarnya sudah dijalankan setelah penyerbuan Belanda ke Maguwo. Atas perintah
Soedirman, Soeharto memimpin pasukan ke Yogyakarta dan tiga kali melakukan
serangan umum dengan kekuatan ala kadarnya. Cara ini justru dinilai tepat,
dengan begitu, perlahan-lahan pasukan yang tersisa menyatu ke kantong
pertahanan hingga membentuk kompi sendiri. “Soeharto sendiri yang mengumpulkan
pasukan yang tercerai-berai dengan jalan kaki mengelilingi Yogyakarta,”kata
Sukotjo, yang juga ikut dalam serangan umum itu.
Menurut Sukotjo,
begitu menerima surat dari Sultan pada Februari 1949, Jenderal Soedirman lalu
mengirim balasan lewat kurir yang membawa surat tersebut. Sukotjo tahu soal ini
karena temannya melihat kurir itu keluar dari Keraton. Perihal surat tersebut juga
diceritakan Sultan dalam Biografinya, Tahta Untuk Rakyat. “Panglima sangat
setuju dan meminta Sultan berkoordinasi dengan komandan TNI setempat,” ujar
Sukotjo.
Kala itu
Jenderal Soedirman juga memanggil Letnan Kolonel Wiliater Hutagalung, yang
ketika itu berada di markas gerilyawan di Pacitan. Hutagalung adalah perwira
territorial yang bertugas di Jawa Tengah dan dokter. Ia ikut memeriksa
kesehatan Jenderal Soedirman, yang terkena sakit paru-paru. “Kamu kan orang pinter, kamu harus bantu bangun strategi
serangan,” demikian kata Soedirman kepada Hutagalung.
Sang Jendral
juga memanggil Panglima Divisi III, yang membawahkan Pulau Jawa, Kolonel
Bambang Sugeng, ke Pacitan. Soedirman berdiskusidengan Bambang dan Hutagalung.
Mereka akhirnya sepakat menunjuk Soeharto menjadi Komandan lapangan serangan
umum besar-besaran. Bambang menulis surat perintah kepada Soehartountuk memimpin
penyerangan, dan surat itu dibawanya ke Yogyakarta. Pada akhir Februari,
Soeharto, Bambang, dan Simatupang bertemu di sebuah pematang sawah di Desa
Brosot, Yogyakarta, membicarakan serangan tersebut.
Adapun Sultan,
yang sudah menerima surat balasan dari Soedirman, pada 14 Februari 1949 sekitar
pukul 23:00 memanggil Soeharto ke Keraton. Soeharto datang dengan cara
menyamar, memakai pakaian biasa. Dari kejauhan, sejumlah anak buahnya
mengawasi. Sultan dan Soeharto bertemu empat mata membahas strategi serangan
umum. Di wilayah Yogyakarta, Belanda kala itu menerapkan jam malam. Mereka yang
berkeliaran tak jelas ditangkap atau bahkan bisa ditembak.
Kepada Soeharto,
Sultan meneruskan pesan Soedirman agar ia memimpin serangan umum. Serangan akan
dilakukan pukul 06:00 saat sirene di samping Pasar Beringharjo berbunyi.
Seluruh prajurit akan memakai janur kuning yang diikat di leher, kepala, atau
tangan sebagai simbol keselamatan seperti yang diceritakan dalam cerita wayang Anoman Obong.
Soeharto
menyanggupi hal ini. “Sebelum berpisah, Sultan menegaskan kembali kepada
Soeharto bahwa serangan ini tak boleh gagal,” kata Marsoedi, yang kala itu
berpangkat letnan satu dan bertugas sebagai perwira intel yang mengawal
Soeharto menuju Keraton, dalam buku Warisan
(daripada) Soeharto.
Serangan umum 1
Maret memang berhasil dilakukan dengan gemilang. Sebenarnya serangan ini akan
dilakukan pada 28 Februari, tapi gagal karena informasinya bocor. Selama enam
jam TNI menguasai kota dan berhasil “mengunci” Yogyakarta dari pasukan bala
bantuan Belanda yang mencoba masuk dari
luar Yogyakarta. Jumlah korban yang jatuh di kedua belah pihak simpang siur.
Belanda menyebutkan pasukannya menghabisi 300 nyawa prajurit TNI dan hanya
kehilangan belasan nyawa tentaranya.
Keberhasilan TNI
ini disiarkan lewat RRI dan diteruskan ke pemancar Radio Rimba Raya, Aceh, yang kemudian menyebar ke seluruh dunia.
“Siaran radio ini ide Simatupang,” kata Sukotjo. Mata dunia kembali melihat
Indonesia. Dampak lainnya, delegasi Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa
semakin berapi-api mengobarkan keberadaan dan pejuangan bangsa Indonesia.
Bertahun-tahun
sejak serangan ini, sejarah mulai dibengkokkan. “Selama Orde Baru, buku-buku
dan film dibuat untuk mengkultuskan Soeharto dalam SU 1 Maret,” kata sejarawan
Asvi Warman Adam. Di buku Cuplikan
Sejarah Perjuangan TNI AD yang diterbitkan Dinas Sejarah Militer TNI
Angkatan Darat pada 1972, misalnya, ditulis Soeharto merupakan inisiator
serangan tersebut.
Soeharto bahkan
membantah pertemuan di Keraton pada 14 Februari atas permintaan Sultan. Julius
Pour dalam bukunya, Doorstoot Naar Djogja,
menulis, Soeharto menjelaskan pertemuan itu berdasarkan inisiatifnya yang
selama ini hanya berhubungan lewat kurir dengan Sultan. “Sri Sultan tak banyak
berhubungan langsung dengan saya, selalu lewat kurir,” ujar Soeharto. Dia
diceritakan memprakasai serangan itu setelah mendengar siaran radio luar negeri
yang tak lagi menganggap Indonesia masih ada. Soal ini juga dibantah Sukotjo.
“Pak harto itu enggak ngerti bahasa Inggris, apalagi Belanda,” katanya. Sukotjo
yakin “SU 1 Maret” merupakan inisiatif Sri Sultan.
Sukotjo juga
pernah menyatakan soal ini langsung kepada Soeharto. Ketika itu, pada 6 Maret
1999, saat itu Soeharto sudah lengser dari kursi kepresidenan, dia menemui
bekas komandannya tersebut di kediamannya di Jalan Cendana, Jakarta. “Saat saya
tanya siapa sebenarnya inisiator serangan umum itu, Pak Harto hanya tersenyum
dan tak menjawab sepatah katapun,” ujar Sukotjo, yang kini menjawab Wakil
Legiun Veteran RI.
Menurut Sukotjo,
apa pun kontroversi perihal “SU 1 Maret”, yang pasti kehebatan Soeharto dalam
memimpin serangan militer tersebut memang tak terbantahkan. Soeharto, kata dia,
mampu membangkitkan moral ribuan prajurit yang sudah tercerai berai dari
kesatuannya. Soedirman, ujar Sukotjo juga memuji ketangguhan Soeharto.
Soedirman, Hamengku Buwono IX, dan Soeharto, kata dia, memiliki satu kesamaan :
tak banyak bicara. “Sebab, bagi mereka, kala itu yang penting Indonesia bisa
merdeka.”
Sumber : Majalah Tempo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar