Senin, 15 April 2013

Dari Sebuah Sidang Revolusioner



Panglima Besar Dengan Suara Terbanyak

Rapat di markas Tinggi Tentara Keamanan Rakyat di Gondokusuman, Yogyakarta, 12 November 1945, itu tiba-tiba memanas. Kolonel Holland Iskandar, mantan perwira Pembela Tanah Air (PETA), menginterupsi sidang, Oerep Soemahardjo, meminta peserta rapat memilih pemimpin tertinggi Tentara Keamanan Rakyat yang baru dibentuk seminggu sebelumnya. Oerip Soemahardjo, yang kala itu kepala staf umum berpangkat letnan jenderal, kehilangan kendali atas pertemuan tersebut. Hari itu juga Soedirman yang berpangkat kolonel, terpilih menjadi Panglima Besar TKR. 
Sayang, tak banyak rekaman yang tertinggal dari pertemuan bersejarah yang sebagian pesertanya panglima divisi dan komandan resimen itu. Nasution saat itu berumur 26 tahun, hadir sebagai Kepala Staff Komand resimen I Jawa Barat, yang membawahkan tiga divisi, dengan pangkat kolonel. Menurut dia, sebenarnya hari itu Oerip mengundang semua wakil tentara dan laskar untuk membicarakan koordinasi dan strategi menghadapi kemungkinan Belanda yang mendompleng tentara sekutu. Namun, Oerip terlihat tak bisa memimpin rapat. Dia susah menguasai jalannya pembicaraan.
Didukung sebagian besar peserta rapat yang berlatar belakang eks Peta, Holland mengambil alih pimpinan sidang. Dia lalu menyakinkan peserta rapat bahwa TKR sangat membutuhkan seorang pemimpin atau Panglima Besar. Sebenarnya, sejak TKR dibentuk pemerintah pada 5 Oktober 1945, Presiden Soekarno telah menunjuk Soepriyadi sebagai panglima. Soepriyadi adalah komandan peleton atau shodancho tentara Peta. Sebelumnya, dia ditunjuk sebagai Menteri Keamanan Rakyat. Tapi Soepriyadi menghilang sejak pemberontakan di Blitar pada Mei 1945. Sebagian pejuang yakin dia sudah tewas terbunuh tentara Jepang.
Dalam bukunya, Genesis of  Power, Professor Salim Said, mantan wartawan dan peneliti militer, mengatakan penunjukan Soepriyadi sungguh mengherankan. Sebaiknya Soekarno atas rekomendasi Perdana Menteri Sjahrir dan Amir Sjarifoeddin menunjuk Oerip menjadi Kepala Staf Umum. Tugas Oerip membenahi organisasi tentara yang masih semrawut. Ketika itu, para pejuang dari beragam kelompok berjalan sendiri-sendiri. Pangkat dan jabatan pun diatur sendiri. “Ada yang mengangkat diri menjadi jenderal hanya karena merebut jip Belanda, “ kata Salim.
Nasution curiga pembelokan agenda pertemuan Gondokusuman itu sudah diatur. “saya yakin mereka telah membicarakannya sebelum sidang. Holland Iskandar hanya sedang akting,” katanya sebagaimana dikutip Salim. Malah Didi Kartasasmita mendekripsikan sidang berlangsung ala koboi. “Hampir semuanya pegang senjata. Gila, sebuat pertemuan revolusioner,” ujarnya. Pendapat yang berbeda dengan suara mayoritas yang menghendaki pemilihan Panglima Besar tak diindahkan. Pendapat Menteri Keamanan Ad Interim Muhammad Sulyoadikusumo, yang mewakili pemerintah pusat, pun tak diacuhkan.
Pemilihan berlangsung secara sangat sederhana. Nama-nama calon, diantaranya Oerip, Soedirman, Amir Sjarifoeddin, dan Moeljadi Djojomartono dari Barisan Banteng, ditulis di papan tulis. Lalu panitia menyebutkan nama calon, dan pendukungnya diminta mengacungkan tangan. Kalkulasi suara langsung ditulis di papan tulis.
Tjokropranolo dalam buku Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman mengatakan pemilihan berlangsung dalam tiga tahap. Tahap pertama dan kedua diberlakukan sistem gugur. Cerita mengenai metode pemilihan ini, kata Tjokropranolo, yang pernah menjadi ajudan Soedirman, dia peroleh dari Komandan Batalion Badan Keamanan Rakyat Surakarta, Djatikoesoemo.
Selain mendapat dukungan luas dari tentara eks Peta, Soedirman, yang saat itu berusia 29 tahun, dipilih utusan dari Sumatera, Kolonel Moh Noch. Nasution mengatakan suara Moh Noch, yang mewakili enam divisi di Sumatera, turut menjadi penentu kemenangan Soedirman dalam pemilihan. Sedangkan Oerip, yang mendapat suara terbanyak kedua, dukungan untuknya datang dari para tentara eks Koninklijke Nederlands(ch) Indische Leger (KNIL), diminta tetap sebagai Kepala Staff  Umum. Dia dinilai mahir dalam strategi militer menghadapi Belanda. Rapat juga memilih Sultan Hamengku Buwono IX sebagai Menteri Pertahanan. Sultan hadir sebagai tamu istimewa bersama Pakubuwono XII, Mangkunegoro, dan Paku Alam.
Dalam catatan Nasution, Soedirman terpilih lantaran TKR kala itu didominasi bekas Peta selain unsur KNIL, Heiho, dan pemuda. Dan di kalangan Peta, terutama beberapa daerah di Jawa, Soedirman memang sudah cukup dikenal. Selain itu Soedirman yang mantan Komandan Batalion atau Daidancho Kroya itu dikenal luas berkat keberhasilannya menyakinkan Jepang agar menyerahkan senjata secara damai kepada tentara Indonesia. Ketika menjadi Panglima Divisi BKR Purwekerto, Banyumas, Soedirman bersama Raden Ishaq menjadikan Banyumas sumber pasokan senjata bagi wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah. Dan Soedirman selalu diharapkan untuk memberikan bantuan.
Sebaliknya, Oerip diperkirakan kalah karena di kalangan tentara muncul sentimen negatif terhadap serdadu didikan Belanda. “Semangat itu terpupuk dari didikan organisasi tentara Jepang,” kata Salim Said. Tak aneh, Oerip yang mantan mayor KNIL yang kala itu 52 tahun lebih dekat dengan pemerintah dibanding tentara. Yang juga merugikan posisi Oerip, dia lebih lancar berbahasa Belanda dan Jawa dibanding berbahasa Indonesia. Padahal para tentara TKR, yang mayoritas berusia 20-an tahun, sedang bersemangat menggunakan bahasa Indonesia.
Dua hari setelah pemilihan Soedirman, tepatnya pada 14 November 1945, Perdana Menteri Sutan Sjahrir mengumumkan kabinet. Sjahrir menunjuk Amir Sjarifoeddin sebagai Menteri Pertahanan. Penunjukan Amir ini bertentangan dengan kesepakatan Gondokusuman, yang memilih Sultan sebagai Menteri Pertahanan. Ini antara lain karena Sjahrir tak menyetujui peran Peta dan organisasi militer Jepang lainnya dalam TKR. Dia mengharapkan tentara Indonesia bebas dari pengaruh fasisme Jepang. Pendapat yang berbeda inilah yang membuat belakangan hubungan Soedirman dengan Amir dan Sjahrir beberapa kali tegang.
Ketika rapat di Gondokusuman berlangsung, situasi di Ambarawa dan Magelang memanas, menyusul kedatangan tentara Inggris pada 20 Oktober-hampir sebulan sebelumnya. Tentara Inggris yang dipimpin Brigadir Jenderal Bethel berniat membebaskan tawanan perang. Bethel telah bersepakat dengan Gubernur Jawa Tengah Wongsonegoro mengenai ini, tapi para pejuang mencurigai kehadiran tentara Ratu Elizabeth itu.
Para pejuang khawatir tentara Belanda membonceng Rehabilitation Allied Prisoners of Wars and Internees yaitu badan yang didirikan oleh sekutu buat mengurus tawanan perang-untuk menguasai Indonesia. Kecurigaan ini menyebabkan meletusnya petempuran melawan tentara Inggris di berbagai daerah.
Pada 31Oktober 1945, Presiden Soekarno meminta perang terhadap Inggris atau Sekutu dihentikan. “ Bukan saja di Surabaya, tapi Magelang,”kata Soekarno. Namun petempuran terus terjadi. Dan pada November itu, konflik kembali tak terkendali setelah pemimpin tentara Inggris di Surabaya, Brigader Jenderal Mallaby, terbunuh.
Soepardjo Roestam, yang menjadi pengawal Soedirman, mencatat, seusai pemilihan yang berakhir malam hari, Soedirman langsung mengajak para panglima divisi membahas siasat perang. Dia memerintahkan tentara mempersiapkan perang Ambarawa. Pimpinan menyadari bahwa betapa strategisnya Ambarawa, antara lain karena di dalam kota Ambarawa terdapat benteng Banjoe Biroe, yang sejak jaman Belanda telah digunakan sebagai markas tentara. Selain itu, Ambarawa, juga Magelang, adalah tangsi sekaligus tempat latihan bagi KNIL.
Diputuskan saat malam itu juga Ambarawa dijadikan Markas Pusat Koordinasi Pertempuran, agar pertempuran berjalan di bawah satu komando. Markas akan menjadi pusat pengaturan siasat dan pegerahan pasukan, bukan hanya TKR, tapi juga laskar. Markas ini mengkoordinasi beberapa wilayah, diantaranya Banyumas, Kedu, Yogyakarta, dan Solo.
Kematian pemimpin pasukan Banyumas, Letkol Isdiman, memperburuk konflik di Ambarawa. Isdiman tewas pada 26 November 1945 dalam perjalanan menuju Ambarawa, terkena tembakan dari dari sebuah pesawat Mustang. Dan berita ini membuat Kolonel Soedirman merasa terpukul, karena Isdiman merupakan salah satu prajurit kepercayaannya yang saat mengikuti petempuran Ambarawa berusia 20 tahun.
Soedirman memimpin sendiri markas Pimpinan Pertempuran di Magelang. Setelah kematian Isdiman, dia sering terjun langsung ke front untuk memeriksa situasi. Dalam rapat pada 11 Desember tahun itu, Soedirman dan Komandan Sektor memutuskan menjalankan siasat Supit Udang. Ini merupakan strategi sergapan mendadak untuk menguasai Jalan Raya Semarang-Yogyakarta.
Maka, tepat pada pukul 04:30 esok paginya, serangan dimulai. Rentetan tembakan bersahutan dan bergema di empat penjuru kota. Pada hari keempat atau 15 Desember 1945, pasukan TKR dan laskar berhasil membentuk gerakan menjepit seperti Supit Udang, yang ujung-ujungnya bertemu diluar kota sebelah utara Ambarawa. Pasukan Inggris keluar menuju Semarang. Perang Ambarawa, dikenal sebagai Palagan Ambarawa, dikenang sebagai salah satu kemenangan besar Soedirman.
Tapi menurut Richard McMillan, pasukan Inggris mundur kerena tugas evakuasi tahanan sudah berakhir pada 8 Desember,setelah semua tawanan dibawa ke Semarang, satu minggu kemudian, garnisun Inggris ditarik dari Ambarawa. Richard McMillan mengutip dokumen perang WO 203/6159, periode Oktober 1945-November 1946. Meski demikian, McMillan mengakui terjadi perang hebat saat tentara Inggris membebaskan tawanan di Semarang, Surabaya, Ambarawa, dan Magelang. Di Magelang, menurut dia, pasukan Inggris diserang 5000-an personel pasukan Indonesia. Inggris kemudian melakukan serangan balik dengan bantuan batalion Kido Butai dari Jepang. Pertempuran dengan Kido Butai merupakan perang awal kemerdekaan yang paling brutal.
Sejarawan Rushdy Hoesein punya pendapat lain. Menurut dia, tentara Inggris mundur dari Indonesia karena desakan Jawaharlal Nehru. Konon, pemimpin India itu tidak terima pasukan Gurkha digunakan Inggris untuk bertempur melawan rakyat Indonesia. Soalnya, Nehru berulang kali menyerukan mendukung kemerdekaan Indonesia.
Bertempat di Markas Tinggi TKR, Gondokusuman, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta akhirnyamelantik Soedirman sebagai Panglima Besar pada 18 Desember 1945. Menurut Salim Said, pemerintah menunda pelantikan selama sebulan karena ada kengganan melantik Soedirman yang dipilih para tentara. Para elite politik yang mendapat pendidikan Barat berprinsip pembentukan tentara semestinya memenuhi konsep supremasi sipil. Nyatanya, tentara sudah terbentuk sebelum pemerintah membentuk tentara.
Tapi Nasution menulis, model “bapak-isme-pemimpin yang dipilih anak buahnya justru lebih baik karena memunculkan pemimpin yang umumnya dapat di taati. Panglima dengan anak buah sangat dekat, biasa memanggil dengan sebutan “anak-anakku”. Dua hari kemudian, berita pelantikan Soedirman muncul di Harian Merdeka dengan judul “Toean Soedirman Menjadi Panglima Besar TKR.” Namun foto yang dicetak adalah tokoh Soedirman, pejuang Surabaya.

Bernapas Dalam Kemelut
Matahari belum diatas ubun-ubun ketika tentara Komando Pertempuran Panembahan Senopati berbaris keluar dari barak dengan senjata lengkap. Sedianya, pasukan yang bermarkas di Solo itu hanya akan unjuk kekuatan memperingati Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 1948. Namun Laskar Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), Tentara Laut RI, dan TNI-masyarakat menyusup. Parade pun berubah menjadi aksi penolakan kebijakan reorganisasi-rasionalisasi (rera) tentara.
Rera akan memangkas personel dan kesatuan. Pasukan dari elemen rakyat khawatir tergusur. Beredar kabar, hanya perwira berpendidikan di atas sekolah menengah yang akan lolos. Demonstrasi besar-besaran merebak, melibatkan puluhan ribu tentara di Madiun dan Malang, Jawa Timur. Sebab tentara paling banyak hanya sekolah ongko loro, tentu akan tersingkir.
Presiden Soekarno mengeluarkan Penetapan Nomor 14 Tahun 1948 tentang pelaksanaan rera, 2 Januari 1948. Inisiatifnya datang dari Amir Sjarifoeddin ketika menjabat perdana menteri. Niatnya mengefektifkan pasukan melawan Belanda. Pelaksanaan dilakukan oleh Kabinet  Muhammad Hatta, melalui mayor Jenderal A.H. Nasution. Pemerintah berdalih tak mampu lagi menggaji tentara yang jumlahnya mencapai 350 ribu orang, dan anggota laskar sebanyak 470 ribu orang.
Tentara kian meredang dengna adanya penurunan pangkat. Rera dianggap diskriminatif dan menguntungkan para bekas anggota KNIL, tentara kerajaan Belanda. Eks KNIL mendapat prioritas direkrut menjadi menjadi perwira dan mendapat kenaikan pangkat. Divisi Siliwangi mayoritas mantan personel KNIL. Para bekas anggota Pembela Tanah Air (PETA) tentara yang dibentuk Jepang, yang hanya mengenyam pendidikan lokal, pun turun pangkat. Pangkat Oerip Soemohardjo, misalnya, dari mayor jenderal naik jadi letnan jenderal . sebaliknya, pangkat Jenderal Soedirman turun menjadi letnan jenderal. Tak kurang dari 60 jenderal dan laksamana turun pangkat. Salah satu perwira, Kolonel Bambang Supeno, mengundurkan diri dari jabatan Panglima Divisi I sebagai protes.
Soedirman khawatir kebijakan ini menimbulkan perpecahan. Akhirnya, pemerintah mengalah. Nasution kembali berpangkat kolonel, perwira sayap kiri pun tetap diberi tempat. Soedirman mempertahankan semua divisi lama dan posisi komando pertempuran diteruskan.
Sebelum rera, sudah ada konflik internal akibat hasil perjanjian Renville. Benih perpecahan muncul sejak awal perjanjian diteken. Masyumi dan PNI menarik menterinya dari kabinet dari kabinet Amir Sjarifoeddin. Perjanjian itu dianggap merugikan Indonesia. Akhirnya kabinet Amir jatuh, digantikan kabinet Hatta. Tantangan juga datang dari kalangan militer. Jenderal Soedirman dan Letnan Jendral Oerip Soeohardjo dikabarkan sakit karena menolak perjanjian itu. Salah satu hasilnya yang menyakitkan : wilayah Indonesia tinggal sepertiga, Jawa Tengah. Selebihnya, tentara Indonesia harus angkat kaki dari wilayah jajahan Belanda.
Divisi Siliwangi melakukan long march ke Jawa Tengah. Soedirman sebenarnya tak setuju poin ini. Sebenarnya Soedirman menginginkan pasukan tak usah keluar dari wilayah teritorialnya. Kota-kota besar di Jawa, Yogyakarta, Magelang, Solo dan Madiun penuh sesak. Sekitar 30 ribu tentara berikut keluarga hijrah. Rumah-rumah padat penghuni, asrama sesak pendatang, gedung sekolah dan gudang dijadikan hunian darurat. Malahan ada yang harus menginap di gerbong-gerbong tua.
Situasi semakin sulit ketika bahan makanan menipis. Daerah penghasilbahan kebutuhan pokok, seperti Malang, Besuki, dan Jawa Barat, telah dikuasai Belanda. Nilai rupiah anjlok. Di Solo, kondisi makin runyam ketika Panglima KPPS Kolonel Soetarto ditembak orang tidak dikenal di depan rumahnya pada 2 Juli 1948. Sebelum dibunuh, ia ditelpon, diminta pulang karena ibunya sakit. Mayor Omom Abdoerachman menemukan lencana Siliwangi di samping korban.
Tuduhan mengarahkan pada Brigade Siliwangi. Muwardi, tokoh Barisan Benteng Republik Indonesia, hilang. Perwira-perwira bekas kesatuan laskar yang mendukung kelompok kiri diculik. Mereka ditahan  di Markas Siliwangi, Srambatan. Saling curiga dan bentrokan antar pasukan meluas. Panembahan Senopati mendesak semua Siliwangi agar angkat kaki. Soedirman menengahinya dengan mengeluarkan perintah : Siliwangi wajib meninggalkan Solo-Semarang. Namun Brigade II Siliwangi menolaknya.
Dokumen Front Demokrasi Rakyat (FDR), gabungan kelompok kiri, menyebutkan Solo ditargetkan menjadi wild west. FDR adalah bentukan Amir Sjarifoeddin, yang kecewa. Tokoh komunis Indonesia Musso, pulang dari Moskow pada 3 Agustus 1948 dan bergabung dengan FDR. “ Daerah Solo oleh PKI sengaja dibuat sebagai pelebaran kekuasaan dengan kamuflase kekacauan dan keonaran,” kata Letnan Jenderal Tjokropranolo dalam buku Jenderal Soedirman; Pemimpin, Pendobrak Terakhir Penjajahan di Indonesia.
Pada 18 Agustus 1948 malam, Soekarno mengumumkan Solo dalam kondisi bahaya melalui RRI Yogyakarta. Ia meminta rakyat Solo mendukung pemerintah yang sah. Musso membalas dengan menyiarkan Proklamasi Republik Demokrasi Rakyat Indonesia lewat Radio Gelora Pemuda Madiun.
Partai Komunis Indonesia mengklaim apa yang dilakukan di Madiun merupakan bagian dari membela diri. Soemarsono menyebutkan pemerintah berencana menghabisi kaum kiri sesuai dengan Red Devil Proposal. Pemerintahan Hatta membuat kesepakatan itu dengan Amerika Serikat. Jaminannya : Indonesia akan didukung di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Alip Suhartojo, seorang intel, mengatakan Hatta sedang melakukan pembersihan. Korbannya, Sekretaris FDR Solo Slamet dan Pardjo di jemput truk dan tak pernah kembali. Banyak pemimpin  buruh diculik. “Kalau kami dinyatakan pemberontak, harus dibasmi, ya bela diri,” ujar Soemarsono.      
Soedirman tak suka langkah PKI. Ia mengutus Letnan Kolonel Soeharto membjuk Musso. “Apakah tidak baik kalau kita tinggalkan permusuhan dan bersatu menghadapi Belanda,” kata Soeharto dalam buku Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya. Musso menjawab, “ Kalau saya dihancurkan, saya pasti melawan.”
Sebelum pulang, Soeharto diajak berkeliling Madiun untuk menunjukkan kondisinya tak seperti gambaran media. Tak ada kibaran bendera palu-arit menggantikan Merah Putih. Soeharto kembali ke Yogyakarta, melapor kepada Soedirman, yang meneruskan laporan itu kepada Soekarno dan Hatta. Namun perintah menumpas PKI lebih dulu turun. Soedirman menilai pristiwan Madiun hanya keributan tentara, alias hanya butuh dilerai. “Tapi, karena perintah Hatta menyerang Madiun, maka dia menyerang,” ujar pakar politik dan pengamat militer, professor Salim Said.
Soedirman mengunjungi lokasi pembantaian PKI pada November 1948. Pada pengujung November, ia pulang. Setiba dirumah, ia mengeluh kepada istrinya tak bisa tidur selama berada di Madiun. Soedirman syok menyaksikan genangan darah sedalam 5 sentimeter dan kondisi korban yang mengenaskan. “Pulang dari Madiun, Bapak tak hanya kelelahan, tapi juga mengalami tekanan batin,” kata Muhammad Teguh Bambang Tjahyadi, 63 tahun, anaknya.
Setelah bercerita, Soedirman langsung mandi, tapi tak mau menggunakan air hangat. Sehabis madi, ia merasa lemas, hingga sehari berikutnya tergolek saja. Atas diagnosis tuberkolosis, Soedirman sempat menjalani perawatan di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta.

Setelah Gagak Menyambar Yogyakarta
Mejelang pergantian hari, kesibukan di pangkalan militer yang kini bernama Husein Sastranegara itu meningkat. Sebanyak 18 pesawat angkut C-47 Dakota milik Militaire Luchtvaart, Angkatan Udara Kerajaan Belanda, memanaskan mesin. Suaranya bergemuruh. Belasan jip lalu-lalang mengangkut bermacam barang, dari senjata hingga makanan perbekalan tentara.
Kegaduhan itu tidak mengganggu taklimat Letnan Jenderal Simon Hendrik Spoor di salah satu hanggar pangkalan udara tersebut. Spoor, Panglima Tentara Belanda di Indonesia, memberi arahan kepada 432 personel para-compagnie Korps Speciale Troepen (KST). Semua anggota pasukan khusus lintas udara itu berdiri tegap dan menyandang peralatan tempur lengkap.
“Kalian terpilih untuk aksi penentuan, diterjunkan di Maguwo sebelum fajar, membebaskan Yogyakarta dari tangan ekstremis serta menangkap Soekarno,” kata Spoor, 46 tahun, seperti ditulis Julius Pour dalam buku  Doorstoot Naar Djogja.
Pidato Spoor mengawali Operatie Kraai atau Operasi Burung Gagak, serangan militer Belanda untuk merebut kota Yogyakarta, ibu kota sekaligus satu-satunya wilayah Republik Indonesia pasca-Perjanjian Renville. Selain itu, Spoor berencana menghancurkan Tentara Nasional Indonesia yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur dalam satu pukulan. Ia melancarkan serangan mendadak yang berkekuatan 10 ribu tentara yang disebar di lima group.
Penaklukan kota Yogyakarta diserahkan kepada grup temput A pimpinan Kolonl D.R.A. Van Langen, yang bermarkas di Kalibanteng, Semarang. Sedangkan grup B hingga E di sebar untuk menghancurkan pertahanan TNI di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Sebagai ujung tombak serangan, Spoor memilih KST yang bermarkas di Batujajar, Kabupaten Bandung, lantaran memiliki kemampuan tempur terbaik. Pasukan baret merah itu harus merebut Lapangan Udara Maguwo maksimal dalam tiga jam, dibantu serangan pesawat tempur. Pangkalan yang berjarak 10 kilometer sebelah timur pusat Kota Yogyakarta itu berguna sebagai tempat pendaratan grup A.
Tepat pukul 02.00, anggota KST mulai berbaris dan memasuki lambung Dakota. Pesawat pertama yang meninggalkan Andir pada pukul 04:30, diikuti pesawat selanjutnya dengan selisih waktu satu menit. Spoor menaiki pesawat komando, pengebom B-25 Mitchell, yang terbang paling akhir. Gerombolan gagak maut itu, tebang menyusuri pesisir selatan Jawa Barat hingga ke kota Yogyakarta.
Disaat yang sama, tiga B-25 Mitchell, lima pesawat temput P-51 Mustang dan sembilan pesawat penyergap P-40 Kittyhawk berangkat dari Pangkalan Udara Kalibanteng untuk menyerang Maguwo. Bom pertama dijatuhkan pada pukul 05:15 dan merusak hanggar berikut pesawat warisan Jepang milik TNI Angkatan Udara. Gelombang serangan berikutnya dilakukan Mustang dan Kittyhawk, yang menembakkan kanon kearah markas pasukan pertahanan pangkalan udara.
Mendapat serangan mendadak, 30 orang anggota TNI di Maguwo kaget bukan kepalang. Mereka hanya bisa membalas serangan tembakan senapan ringan. Ibarat menembak angin, peluru pasukan Republik tak bisa menjangkau pesawat musuh. Sebaliknya, semua penjaga pangkalan gugur terkena tembakan dari udara. Pertempuran itu pun berakhir dalam setengah jam.
Pukul 06:45, pesawat pengangkut anggota KST tiba diatas Maguwo. Setelah terjun dari ketinggian yang cukup rendah, 120 meter, mereka langsung menyerbu sisa pasukan TNI yang berada disekitar Maguwo hingga mendekati pusat Kota Yogyakarta. Dalam pertempuran ini, 40 anggota TNI gugur dan tak ada korban dari kubu KST.
Spoor,yang mengikuti jalannya pertempuran melalui radio di pesawat komando, meneruskan penerbangan ke Semarang. Di Kalibanteng, ia menginspeksi 2000 anggota grup A yang akan berangkat untuk merebut Yogyakarta dan menangkap pemimpin Indonesia. Spoor, yang mengenakan jaket kulit, kacamata hitam dan topi pet, mengacungkan salam dua jari-tanda kemenangan kepada Van Langen. “Victoria”
Serangan mendadak Belanda ke Maguwo mengejutkan para pemimpin Indonesia. Pengumuman perang baru disampaikan Komisaris Tinggi Belanda di Indonesia, Joseph Beel, pada pukul 08:00, tepat setelah Maguwo direbut. Persis seperti Jepang terlambat mengirim maklumat perang kepada Amerika Serikat setelah menyerang Pearl Harbor.
Beel juga menyamarkan Operatie Kraai sebagai aksi polisional alias operasi keamanan untuk menangkap tentara pemberontak yang mereka sebut kaum ekstrimis yang sering menyusup ke wilayah pendudukan Belanda. “Kami mengerahkan seluruh kekuatan untuk melakukan pembersihan,” katanya.
Agresi Belanda itu memperparah sakit Soedirman. Putra bungsu Soedirman,Muhammad Teguh BambangTjahjadi, menuturkan bahwa sang ayah, yang baru empat hari keluar dari rumah sakit setelah operasi paru-paru, jadi mengalami stress. “Pada malam sebelum serangan, Bapak muntah darah,” ujarnya. Teguh mengatakan, pada 19 Desember pagi, Soedirman memerintahkan ajudannya, Kapten Soepardjo Roestam, mengumumkan Perintah Siasat Nomor 1, strategi gerilya yang harus dilakukan anggota TNI jika Belanda menyerang. “Perintah itu diumumkan melalui Radio Republik Indonesia,” tuturnya.
Setelah dari RRI, Soepardjo diperintahkan menemui Presiden Soekarno di Gedung Agung, Jalan Malioboro, yang kala itu menjadi pusat pemerintahan Republik. Di harus menyampaikan pesan Soedirman, yang meminta Soekarno meninggalkan Yogyakarta. Namun Soepardjo tak kunjung memberi kabar. Teguh mengisahkan, lantaran tak sabar, Soedirman meminta ajudannya yang lain, Kapten “Nolly” Tjokropranolo, mengantarkannya dari rumah di Jalan Bintaran ke Gedung Agung. Dia ingin mengingatkan langsung Presiden Soekarno akan janjinya untuk mengambil alih  kepemimpinan TNI dan memegang komando perang gerilya jika Belanda menyerang.
Sejarawan militer Saleh Djamhari mengatakan Soedirman meminta Soekarno dan pejabat lain meninggalkan Yogyakarta agar tidak ditangkap Belanda. Lantaran Soekarno menolak pergi, Soedirman memutuskan bergerilya. “Soedirman paham, selaku pemimpin militer, ia tak boleh ditangkap musuh, agar menjadi salah satu pemegang komando negara,” katanya.
Perkiraan Soedirman tak meleset. Keesokan harinya pukul 17.00, pasukan Belanda yang dipimpin Kolonel Van Beek merangsek masuk Gedung Agung. Soekarno, Wakil Presiden Muhammad Hatta, Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan beberapa anggota kabinetnya menjadi tahanan rumah. Dua hari kemudian, mereka diasingkan ke luar Jawa, yakni di prapat,Sumatera Utara dan di Pulau Bangka.
Namun Belanda kecele. Dalam rapat di gedung Agung pada 19 Desember, Soekarno-Hatta sudah membuat surat kuasa yang menunjuk Menteri Kemakmuran Sjahfruddin Prawiranegara mendirikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia di Bukit Tinggi. Dwitunggal juga membuat surat serupa untuk Duta Besar di India, Sudarsono, agar mendirikan pemerintahan pengasingan (exile government) di New Delhi jika Sjafruddin ditangkap Belanda.
Adapun TNI melanjutkan perjuangan dengan senjata. Sesuai dengan Perintah Siasat Nomor 1, para pejuang membentuk kantong-kantong gerilya serta melancarkan serangan dan sabotase terhadap Belanda. Strategi yang disusun Soedirman bersama Kolonel Nasution itu menekankan pada pelawanan pukul dan lari alias hit and run di setiap daerah untuk memecah kekuatan lawan yang masih masif.
Dalam buku Yogyakarta 19 Desember 1948, mantan Pangima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat Letnan Jenderal Himawan Soetanto mengatakan Divisi Diponegoro menyusun pangkalan perlawanan (wehrkreise) di beberapa kota di Jawa Tengah. Hal yang sama dilakukan Divisi Brawijaya di Jawa Timur. Sedangkan brigade di bawah Divisi Siliwangi memulai long march, meninggalkan Yogyakarta, untuk membangun kantong gerilya di Jawa Barat. Dan sejarah membuktikan : tentara Spoor dan pasukan Soedirman kemudian terlibat kontak senjata dalam front yang luas. 

Siasat Jitu Nomor Satu
Sepucuk surat tiba di tangan Jenderal Soedirman awal Februari 1949. Saat itu, Panglima Besar tengah bergerilya di Pacitan, Jawa Timur. Pengirimnya orang yang sangat ia hormati : Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Seorang kurir membawa surat itu dengan berjalan kaki dari Yogyakarta. Dalam surat itu, Sultan menyatakan dunia internasional harus mengetahui bahwa Indonesia dan Tentara Nasional Indonesia masih ada.
Raja Yogyakarta itu member alasan. Dalam empat bulan terakhir, sudah tiga kali TNI menggelar serangan umum ke tangsi-tangsi tentara Belanda di Yogyakarta. Namun pristiwa itu tak kunjung menyedot perhatian internasional. Penyebabnya, kata Sultan, serangan dilakukan saat malam hari sehingga radio di belahan dunia lain tidak menerima kabar ada perlawanan ini lantaran perbedaan zona waktu. Panglima Soedirman setuju dan langsung membalas surat itu. Kurir yang membawa surat dari Sultan bernama Sukotjo Tjokroatmodjo yang berpangkat letnan dua dan bertugas di Kesatuan Polisi Militer Kepresidenan Istana Negara Yogyakarta.
Belanda melancarkan agresi militer ke dua pada 19 Desember 1948. Serangan ini dipimpin Letnan Jenderal Simon Spoor, panglima KNIL, yang diperintahkan merebut kota Yogyakarta dengan sandi Operatie Kraai, yang berarti Operasi Burung Gagak. Tujuannya : menghabisi kekuatan Indonesia yang bertumpu di Yogyakarta sebagai ibu kota Republik Indonesia Serikat (RIS). Indonesia berbentuk RIS setelah perjanjian  Renville pada 17 Januari 1948. Dwitunggal Soekarno dan Muhammad Hatta saat itu ada di Yogyakarta. Sekitar 20 ribu prajurit TNI juga berkumpul di Yogyakarta dan Jawa Tengah. “Yogyakarta harus kita taklukkan,” kata Spoor kala itu kepada pasukannya. Serangan berpusat di lapangan terbang Maguwo dan hanya berjarak delapan kilometer dari Yogyakarta. Soekarno-Hatta bahkan akhirnya ditawan.
TNI juga dipukul mundur ke pinggir Yogyakarta. Serangan ini memaksa Jenderal Soedirman mengeluarkan Perintah Siasat Nomor 1 Bulan November 1948, yang intinya memerintahkan semua anggota pasukan mengungsi sambil membentuk kantong pertahanan dan tidak menyerang pasukan Belanda secara frontal.
Strategi ini dikenal dengan nama wehrkreise-taktik yang pernah digunakan tentara Jerman. Wehr artinya pertahanan, kreise artinya wilayah. TNI mengadopsi istilah ini sebagai nama kesatuan wilayah. Strategi ini diperkenalkan Kolonel T.B. Simatupang, yang kala itu menjabat Wakil Kepala Staf Angkatan Perang. Letnan Kolonel Soeharto, yang kala itu menjabat Komandan Brigade X Yogyakarta, menjadi Komandan Wehrkreise III.
Siasat Nomor 1 sebenarnya sudah dijalankan setelah penyerbuan Belanda ke Maguwo. Atas perintah Soedirman, Soeharto memimpin pasukan ke Yogyakarta dan tiga kali melakukan serangan umum dengan kekuatan ala kadarnya. Cara ini justru dinilai tepat, dengan begitu, perlahan-lahan pasukan yang tersisa menyatu ke kantong pertahanan hingga membentuk kompi sendiri. “Soeharto sendiri yang mengumpulkan pasukan yang tercerai-berai dengan jalan kaki mengelilingi Yogyakarta,”kata Sukotjo, yang juga ikut dalam serangan umum itu.
Menurut Sukotjo, begitu menerima surat dari Sultan pada Februari 1949, Jenderal Soedirman lalu mengirim balasan lewat kurir yang membawa surat tersebut. Sukotjo tahu soal ini karena temannya melihat kurir itu keluar dari Keraton. Perihal surat tersebut juga diceritakan Sultan dalam Biografinya,  Tahta Untuk Rakyat. “Panglima sangat setuju dan meminta Sultan berkoordinasi dengan komandan TNI setempat,” ujar Sukotjo.
Kala itu Jenderal Soedirman juga memanggil Letnan Kolonel Wiliater Hutagalung, yang ketika itu berada di markas gerilyawan di Pacitan. Hutagalung adalah perwira territorial yang bertugas di Jawa Tengah dan dokter. Ia ikut memeriksa kesehatan Jenderal Soedirman, yang terkena sakit paru-paru. “Kamu kan orang pinter, kamu harus bantu bangun strategi serangan,” demikian kata Soedirman kepada Hutagalung.
Sang Jendral juga memanggil Panglima Divisi III, yang membawahkan Pulau Jawa, Kolonel Bambang Sugeng, ke Pacitan. Soedirman berdiskusidengan Bambang dan Hutagalung. Mereka akhirnya sepakat menunjuk Soeharto menjadi Komandan lapangan serangan umum besar-besaran. Bambang menulis surat perintah kepada Soehartountuk memimpin penyerangan, dan surat itu dibawanya ke Yogyakarta. Pada akhir Februari, Soeharto, Bambang, dan Simatupang bertemu di sebuah pematang sawah di Desa Brosot, Yogyakarta, membicarakan serangan tersebut.
Adapun Sultan, yang sudah menerima surat balasan dari Soedirman, pada 14 Februari 1949 sekitar pukul 23:00 memanggil Soeharto ke Keraton. Soeharto datang dengan cara menyamar, memakai pakaian biasa. Dari kejauhan, sejumlah anak buahnya mengawasi. Sultan dan Soeharto bertemu empat mata membahas strategi serangan umum. Di wilayah Yogyakarta, Belanda kala itu menerapkan jam malam. Mereka yang berkeliaran tak jelas ditangkap atau bahkan bisa ditembak.
Kepada Soeharto, Sultan meneruskan pesan Soedirman agar ia memimpin serangan umum. Serangan akan dilakukan pukul 06:00 saat sirene di samping Pasar Beringharjo berbunyi. Seluruh prajurit akan memakai janur kuning yang diikat di leher, kepala, atau tangan sebagai simbol keselamatan seperti yang diceritakan dalam cerita wayang Anoman Obong.
Soeharto menyanggupi hal ini. “Sebelum berpisah, Sultan menegaskan kembali kepada Soeharto bahwa serangan ini tak boleh gagal,” kata Marsoedi, yang kala itu berpangkat letnan satu dan bertugas sebagai perwira intel yang mengawal Soeharto menuju Keraton, dalam buku Warisan (daripada) Soeharto.
Serangan umum 1 Maret memang berhasil dilakukan dengan gemilang. Sebenarnya serangan ini akan dilakukan pada 28 Februari, tapi gagal karena informasinya bocor. Selama enam jam TNI menguasai kota dan berhasil “mengunci” Yogyakarta dari pasukan bala bantuan Belanda yang  mencoba masuk dari luar Yogyakarta. Jumlah korban yang jatuh di kedua belah pihak simpang siur. Belanda menyebutkan pasukannya menghabisi 300 nyawa prajurit TNI dan hanya kehilangan belasan nyawa tentaranya.
Keberhasilan TNI ini disiarkan lewat RRI dan diteruskan ke pemancar Radio Rimba Raya, Aceh, yang kemudian menyebar ke seluruh dunia. “Siaran radio ini ide Simatupang,” kata Sukotjo. Mata dunia kembali melihat Indonesia. Dampak lainnya, delegasi Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa semakin berapi-api mengobarkan keberadaan dan pejuangan bangsa Indonesia.
Bertahun-tahun sejak serangan ini, sejarah mulai dibengkokkan. “Selama Orde Baru, buku-buku dan film dibuat untuk mengkultuskan Soeharto dalam SU 1 Maret,” kata sejarawan Asvi Warman Adam. Di buku Cuplikan Sejarah Perjuangan TNI AD yang diterbitkan Dinas Sejarah Militer TNI Angkatan Darat pada 1972, misalnya, ditulis Soeharto merupakan inisiator serangan tersebut.
Soeharto bahkan membantah pertemuan di Keraton pada 14 Februari atas permintaan Sultan. Julius Pour dalam bukunya, Doorstoot Naar Djogja, menulis, Soeharto menjelaskan pertemuan itu berdasarkan inisiatifnya yang selama ini hanya berhubungan lewat kurir dengan Sultan. “Sri Sultan tak banyak berhubungan langsung dengan saya, selalu lewat kurir,” ujar Soeharto. Dia diceritakan memprakasai serangan itu setelah mendengar siaran radio luar negeri yang tak lagi menganggap Indonesia masih ada. Soal ini juga dibantah Sukotjo. “Pak harto itu enggak ngerti bahasa Inggris, apalagi Belanda,” katanya. Sukotjo yakin “SU 1 Maret” merupakan inisiatif Sri Sultan.
Sukotjo juga pernah menyatakan soal ini langsung kepada Soeharto. Ketika itu, pada 6 Maret 1999, saat itu Soeharto sudah lengser dari kursi kepresidenan, dia menemui bekas komandannya tersebut di kediamannya di Jalan Cendana, Jakarta. “Saat saya tanya siapa sebenarnya inisiator serangan umum itu, Pak Harto hanya tersenyum dan tak menjawab sepatah katapun,” ujar Sukotjo, yang kini menjawab Wakil Legiun Veteran RI.
Menurut Sukotjo, apa pun kontroversi perihal “SU 1 Maret”, yang pasti kehebatan Soeharto dalam memimpin serangan militer tersebut memang tak terbantahkan. Soeharto, kata dia, mampu membangkitkan moral ribuan prajurit yang sudah tercerai berai dari kesatuannya. Soedirman, ujar Sukotjo juga memuji ketangguhan Soeharto. Soedirman, Hamengku Buwono IX, dan Soeharto, kata dia, memiliki satu kesamaan : tak banyak bicara. “Sebab, bagi mereka, kala itu yang penting Indonesia bisa merdeka.”

Sumber : Majalah Tempo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar