Senin, 15 April 2013

Garis Politik Sang Jenderal



Panglima Di Simpang Kudeta

Kedekatan dengan tan malaka dan tokoh antidiplomasi dengan penjajah sempat membuat Soedirmandituduh merancang kudeta.
Surat itu diterima pada siang hari, saat Soedirman bersiap meninggalkan Loji Gandrung, rumahnya di Solo, Jawa Tengah. Dibawa dengan pengawalan khusus dari Yogyakarta ke Solo oleh Brigade 29 pimpinan Kolonel Dahlan, surat itu diteken Menteri Pertahanan Amir Sjarifoeddin.
Kurir meminta Jenderal Soedirman menjawab segera, satu dari dua pilihan yang ditawarkan Menteri Amir :bersedia datang menghadap ke Istana Yogya sore itu juga, atau di “tangkap” di tempat. Jika pilih yang kedua, detasemen pengirim surat bersedia “menjemput”
Soedirman menahan marah. Ia meminta pasukan Dahlan kembali ke Yogyakarta. Soedirman, seperti ditulis sejarawan dari Universitas Indonesia S.I. Poeradisastra dalam hubungan Soedirman dengan Persatuan Perjuangan, bersedia datang dikawal pasukan Divisi Panembahan Senopati pimpinan Jenderal Mayor Soetarto, langsung ke Istana.
Perintah itu terkait dengan kegentingan situasi di Istana Kepresidenan Yogyakarta hari itu, 3 Juli 1946. Peristiwa yang dalam sejarah Indonesia dikenal sebagai kudeta pertama pada masa Republik Indonesia baru berumur kurang dari setahun itu masih kontroversial.
Yang jelas, menurut Mangil Martowidjo, ajdan presiden, di kalangan Istana sudah beredar desas-desus pasukan tentara yang mau menyerbu Istana untuk melakukan kudeta. Mangil menyebutnya susah membedakan siapa kawan, siapa lawan.
Masih menurut Mangil, belasan orang dalam satu truk tiba di pintu gerbang Istana pada 3 Juli 1946, sekitar pukul 06:30 pagi. Di atas truk, ada belasan tokoh yang dikenal aktif di Persatuan Perjuangan , organisasi perjuangan Tan Malaka. Organisasi ini dikenal segaris dengan Soedirman, juga Mayor Jenderal Soedarsono, Panglima Divisi Yogyakarta. Soedarsono berada di mobil lain yang ikut ke halaman Istana. Ia memimpin rombongan itu masuk kompleks Istana untuk bertemu Presiden Soekarno. Mereka yang ikut dalam rombongan adalah tokoh Persatuan Perjuangan dan Barisan Banteng seperti Chairul Saleh, Muwardi, Abikusno, M. Yamin, Sukarno, Iwa Koesoema Soemantri, dan Ahmad Soebardjo.
Kepada Presiden, Soedarsono menyerahkan maklumat dan diminta diumumkan segera. Ia juga menyebutkan maklumat itu atas persetujuan Panglima Besar Jenderal Soedirman. Namun Soekarno meminta Soedarsono menunjukkan dokumennya. Kepada Soekarno, Hatta, seperti dituturkan dalam biografinya, menyebutkan Soedirman tidak terlibat. Sebelumnya, diruang sebelah, Hatta berbicara dengan Jenderal Oerip Soemohardjo, yang mengatakan mustahil Soedirman menulis surat semacam itu kepada Presiden.
Hatta pun mengecek orang-orang yang datang bersama Soedarsono. Disitu ia bertemu dengan dr Sukiman, satu dari sejumlah anggoa staf penasihat Soedirman. Kepada Hatta, SUkiman mengaku tak tahu soal nota itu. Ia hanya diminta datang ke Istana karena Presiden dikabarkan akan menyampaikan sesuatu yang penting. Hatta kemudian berbicara dengan Soekarno. Soedarsono akhirnya ditahan.
Manever Soedarsono sudah bocor ke Istana. Sehari sebelumnya, Panglima Divisi Tentara itu menelepon Kanapi Tjitrodiningrat, Kepala Polisi Tentara Yogyakarta, yang memimpin pengamanan presiden. Kanapi diminta menetralkan semua petugas yang ada di Istana sebelum mereka tiba. Permintaan itu ditolak. Begitu tiba pada pagi itu, pasukan Kanapi yang justru melawan.
Menurut Ben Anderson dalam buku Revoloesi Pemoeda, Soedarsono kepada Overste Soeharto menyampaikan ia memperoleh kuasa dari Panglima Besar Soedirman untuk menghadap Presiden di Istana. Mereka akan menyampaikan maklumat yang isinya sedang diketik Yamin di markas Wiyono.
Soeharto dalam biografinya membenarkan peristiwa itu. Ia mengaku malam itu didatangi Ketua Pemuda Patuk, Sandjojo, yang membawa pesan dari Presiden untuk menangkap Soedarsono, atasan langsung Soeharto. Manuver 3 Juli 1946 itu sebenarnya puncak dari aksi berbalas perseteruan antar elite di pemerintahan saat itu. Hubungan tak sehat dan perselisihan timbul antara kubu Amir serta Perdana Menteri Sjahrir dan Markas Besar Tentara.
Perseteruan muncul karena Soedirman dianggap tak layak memimpin tentara. Kubu Sjahrir dan Amir menganggap tentara Indonesia harus baru, bebas dari fasisme dan militerisme, bukan didikan atau buatan Jepang. Sikap Sjahrir dan Amir dianggap tak realistis karena saat itu tentara yang siap justru dari hasil didikan Jepang, yang jumlahnya sekitar dua juta orang di Jawa dan Bali. Sikap lunak Soekarno-Hatta yang mengedepankan diplomasi dengan Belanda, seperti yang dirintis Sjahrir dan Amir, tak disetujui di kalangan tentara, terutama Soedirman. Kubu Soedirman menginginkan kemerdekaan adalah 100 persen, dan tentara tidak kenal menyerah.
Pertentangan sikap itu membuat Soedirman merapat ke Tan Malaka. Kehadiran Soedirman dalam kongres Persatuan Perjuangan pimpinan Tan Malaka di Purwekerto adalah bukti kesamaan sikap mereka. Tan Malaka mencatat ucapan Soedirman saat itu, “lebih baik kita diatom (bomg atom) daripada merdeka kurang dari 100 persen.” Ajudan Soedirman, Brigadir Jenderal Abimanyu, mengatakan kedekatan dengan Tan Malaka yang membuat Soedirman memindahkan markasnya ke Solo. Apalagi karibnya sejak Maret ditahan di Tawangmangu. Selama akhir pekan, Soedirman sering melewatkan  waktu berdiskusi dengan kawan-kawannya itu.
Soedirman tiba di Istana sehabis ashar. Di ruang tamu  Presiden Soekarno, Soedirman disambut Mangil Martowidjojo. Soedirman, yang tahu Mangil menemani Soedirman di ruang paviliun, berpesan, “Tolong, jaga gurumu. Ajak bicara.” Soedarsono adalah guru Mangil di sekolah polisi Sukabumi, pada masa penjajahan Jepang. Di ruang rapat, Soedirman ditunggu Soekarno, pemimpin kabinet, wakil partai dan beberapa organisasi politik besar. Mayoritas mereka tak setuju dengan gerakan Tan Malaka dan Yamin, sekondan Soedirman. Dalam rapat yang berlangsung lama itu, Soedirman mengemukakan pendiriannya. Sjahrir, Amir, dan Abdulmadjid Djojohadiningrat menyerang.
Tak ada perincian mngenai isi pembicaraan itu yang diumumkan resmi oleh sumber manapun. Namun Ben Anderson mengutip kesaksian Dayino, tentara yang dekat dengan Sjariri, bagaimana peserta rapat menekan Soedirman dalam soal kudeta. “Diantara kami ingin Soedirman dilikuidasi,” ujarnya. Belakangan di ketahui Soedirman setuju meneken surat perintah memberhentikan Soedarsono dri semua fungsi militer dan mengangkat Umar Djoy sebagai pengganti. Sebaliknya, lawanya juga setuju Soedirman tetap menjadi panglima. Kabinet Sjahrir berhenti. Soekarno mengambil alih pemerintahan dibantu Dewan Pertahanan Negara. Anggotanya berganti, minus Sjahrir.
“Kudeta” 3 Juli 1946 menjerat 27 orang. Mereka diadili di Mahkamah Agung Militer. Tujuh orang dibebaskan dan lima orang di hukum 2-3 tahun. Soedarsono dan Yamin dipenjara empat tahun. Semuannya bebas pada Agustus 1948, karena mendapat grasi dri Soekarno. Meski tuduhan kudeta tidak terbukti di Mahkamah Agung Militer, kesaksian Soedirman di Mahkamah tanpa membela Tan Malaka dan kawan-kawan menjadi tanda tanya. Namun, menurut sejarawan Asvi Warman Adam, ini tidak dapat ditafsirkan Soedirman meninggalkan teman-temannya. Ada kemungkinan Soedirman tunduk kepada sumpah prajurit, patuh kepada Panglima Tertingi Soekarno, dan pengaruh Hatta.  

Merangkul Kembali Bung Kecil
Jum’at pagi itu, 1 November 1946, ribuan warga Jakarta memadati stasiun kereta api Manggarai. Dengan sabar mereka menanti kedatangan kereta api dari Yogyakarta. Begitu kereta tiba, pekik kemerdekaan membahana di sekujur stasiun. Salat satu penumpangnya adalah Panglima Besar Soedirman. Inilah pertama kali Soedirman datang ke Jakarta. Salah satu penumpangnya adalah Panglima Besar Jenderal Soedirman. Imilah pertama kalinya Soedirman datang ke Jakarta.
Konvoi kendaraan yang mengangkut rombongan Soedirman melintasi Jalan Tambak, Matraman,Salemba, Senen, dan berhenti di Hotel Shutte Raff di depan stasiun Gambir. Jika saja kereta berhenti di Stasiun Gambir, tak perlu ada konvoi. Tapi Soedirman sengaja diarak agar warga Jakarta dapat melihatnya dari dekat, dan sambutan dari warga Jakarta begitu meriah. Perdana Menteri Sjahrir yang sengaja mengatur perjalanan itu. Ia ingin pemimpin tentara rakyat yang biasa bergerilya di Yogyakarta itu disambut massa Ibu Kota. Soedirman datang ke Jakarta untuk menandatangani perjanjian genjatan senjata antara tentara Indonesia dan Belanda.
Hubungan Soedirman dengan Sjahrir sempat menegang. Sjahrir bercita-cita tentara Indonesia bebas dari unsur fasisme Jepang. Dalam risalah politik Sjahrir, Perdjoeangan Kita, ia menggunakan kata “angjing-anjing yang berlari” kepada kaum yang bekerja sama dengan Jepang. Persatuan Perjuangan pimpinan Tan Malaka berhubungan dekat dengan Soedirman pada masa awal kepemimpinannya. Menurut S.I. Poeradisastra dalam Tingkah Laku Politik Panglima Besar Soedirman, orang-orang dekat Tan Malaka, yakni Ahmad Soebardjo dan Iwa Koesoema Soemantri, merupakan penasehat politik Soedirman.
Antara kubu Sjahrir dan Amir Sjarifoeddin dengan Persatuan Perjuangan terdapat perbedaan sudut pandang. Persatuan Perjuangan yang memilih jalan konfrontasi menganggap diplomasi Sjahrir merupakan strategi putus asa. Sebaliknya, kubu Amir dan Sjahrir menilai Tan Malaka dan kawan-kawannya merusak strategi perjuangan. Pemerintah menolak usul Pesatuan Perjuangan yang meminta Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia 100 persen. Agar tak mengganggu jalannya diplomasi, Tan Malaka dan kawan-kawannya ditangkap pada 17 Maret 1946. Pertentangan itu memuncak pada 25 Juni 1946, ketika Hatta berpidato mendukung konsesi dengan Belanda. Dia menyebutkan pemerintah menuntut pengakuan de facto atas Jawa, Madura, dan Sumatera.
Semua yang hadir kaget dan tak mengerti akan pidato itu. Panglima Soedirman tampak menunjukkan sikap tak setuju dan geleng-geleng kepala. Pidato pemerintah itu dinilai sebagai sikap menyerah terhadap Belanda. Akibatnya, pada 27 Juni, Perdana Menteri Sjahrir diculik Abdul Kadir Jusuf, perwira yang ditugasi Soedarsono. Mereka dibebaskan setelah Soekarno meminta Soedirman melepaskan Sjahrir. Suhu politik kedua kubu terus membara hingga peristiwa “kudeta” 3 Juli 1946. Setelah peristiwa ini, hubungan Soedirman dengan Sjahrir perlahan membaik.  Soedirman bersedia memenuhi undangan pertemuan dengan Sjahrir di Jalan Pegangsaan Timur 56, rumah dinas Sjahrir pada November1946. Dalam perbincangan 30 menit itu, Sjahrir menjelaskan soal jalur diplomasi yang lebih tepat sasaran ketimbang kontfrontasi.
Sjahrir menjelaskan, kekuatan tentara Indonesia saat itu tak cukup untuk melawan Belanda. Setelah mendengar penjelasan itu, Soedirman maklum. Dugaan selama ini bahwa Sjahrir bersekongkol dengan Sekutu ternyata tidak terbukti. Tokoh pers Indonesia, (Alm) Rosihan Anwar mengatakan Soedirman berbalik mengagumi Sjahrir setelah pertemuan di Jakarta itu. Ini diperkuat dengan dengan pernyataan Soedirman kepada Sultan Hamengku Buwono IX pada Januari 1950. Ia menyebut Sjahrir sebagai pemimpin besar yang pantas memimpin Republik . “Sjahrir adalah tokoh besar,” ujar Rosihan Anwar, menirukan kesaksian Sultan atas sikap Soedirman.  

Sahabat Diskusi Di Rumah Sakit
Hatta dan Soedirman dikenal sangat akrab, tapi juga sering tak sejalan. Hatta mempertanyakan soal sejarah revolusi yang terlalu dipusatkan pada Soedirman, seolah-olah Indonesia merdeka bermula dari dia.
Obat itu dibeli oleh Muhammad Hatta di negeri Belanda. Begitu tiba di Yogyakarta, ia segera mencari Jenderal Soedirman. Tapi, sayangnya, sang Jenderal sedang berada di Magelang, Jawa Tengah. Hatta kemudian menulis surat pendek kepada keluarga Soedirman. Ia mendoakan kesehatan kolegannya itu. Kisah bagaimana Muhammad Hatta mencarikan obat untuk Soedirman di Negeri Kincir Angin itu menandakan betapa ia memiliki perhatian tersendiri terhadap sang Jenderal.
Menurut sejarawan Anhar Gonggong, Hatta dan Soedirman memang sering terlibat diskusi intens. Ketika Soedirman dituduhterlibat kudeta 3 Juli 1946 di Yogyakarta, Hatta menjadi orang pertama yang tidak mempercayai hal itu. Hatta saat itu ragu terhadap Mayor Jenderal Soedarsono, Komandan Divisi Yogyakarta, yang mengatakan memberikan sepucuk surat atas nama Soedirman kepada Soekarno di Gedung Agung. Isi suratnya: meminta Kabinet Sjahrir dibubarkan dan digantikan kabinet baru yang didalamnya duduk beberapa orang yang namanya tercantum dalam surat (Baca:”Panglima di Simpang Kudeta”).
Walaupun yakin tidak terlibat makar, Hatta menilai Soedirman bukan militer yang berdisiplin buta. Menurut dia, Soedirman tidak segan mengeluarkan pendapatnya terhadap politik yang dijalankan pemerintah. Ia dikenal jenderal “lasting” alias rewel yang susah dikendalikan. Meski begitu, Hatta menilainya sosok yang taat kepada pemerintah, meski keras pendirian dan membela pendiriannya dengan semangat.
Betapapun akrab, keduanya tidak selalu sejalan. Hatta pernah menegur Soedirman karena memberi keterangan kepada pers tentang tentara yang harus bersikap ofensif. Keterangan tersebut dinilai Hatta mengkhawatirkan karena bisa dicap agresif oleh Komisi Tiga Negara, yakni Amerika Serikat, Belgia, dan Australia, yang sedang mengawasi gencatan senjata. Bagi Hatta, efek wawancara itu menyukarkan kedudukan pemerintah. Hatta mengingatkan Soedirman, sebelum memberikan keterangan keluar, ia harus lebih dahulu bermufakat dengannya agar sesuai dengan strategi politik, “Tentara adalah alat negara. Tentara tidak berpolitik. Politik tentara ialah politik negara,” kata Hatta, mengutip ucapan yang sering dilontarkan Soedirman sendiri.
 Ketidakserasian pemerintah dan militer memang mencolok saat itu. Soedirman dinilai lebih berperan sebagai bapak dari anak buahnya ketimbang menjadi pejabat pemerintahan di bidang pertahanan. Pada masa Kabinet Amir Sjarifoeddin pada 1947, Soedirman “disingkirkan” melalui proses reorganisasi dan rasionalisasi (rera) tentara. Pangkatnya diturunkan menjadi letnan jenderal. Ia cuma ditunjuk sebagai Panglima Besar Angkatan Perang Mobil. Posisinya berada di bawah Komodor Surjadarma, juniornya, yang ditunjuk Amir sebagai Kepala Staf Angkatan Perang.
Kebijakan rera Amir ditentang oleh tentara. Kabinet Amir runtuh. Lebih-lebih, tatkala serangan Belanda pada 19 Desember 1949, semua tentara bersatu kembali dalam perang gerilya di bawah pimpinan Soedirman. Rera kemudian dilanjutkan Kabinet Hatta pada 29 Januari 1949. Saat itu, Soedirman mendatangi Hatta di Istana Presiden hendak menanyakan kedudukannya karena dia merasa telah disingkirkan Amir. Menjawab pertanyaan itu, Hatta kemudian mengangkat kembali Soedirman sebagai Panglima Besar. “Di mataku, Saudara tetap Panglima Besar dan Saudara Oerip tetap menjadi penasihat Saudara,” ujar Hatta.
Ihwal rera, Soedirman berpesan kepada Simatupang, perwakilan militer Indonesia di Konferensi Meja Bundar (KMB), agar masalah itu diselesaikan di Yogyakarta, bukan di Den Haag. Bagi Simatupang, pesan Soedirman tersebut sulit dilaksanakan karena tekanan politikus dan pemerintah, termasuk Hatta, cenderung ingin mengubah wajah tentara, dari tentara revolusi menjadi professional. Mau tidak mau Hatta melaksanakan rera. Bukannya hendak berseberangan dengan Soedirman, tapi Hatta ingin segera menyelesaikan masalah tentara dengan cepat. Sebagai administrator, Hata cuma ingin berfikir bagaimana tentara bisa professional.
Hatta dikenal dengan pendapat yang menempatkan militer tunduk kepada pemerintah, seperti yang berlaku di Barat. Karena itu, dalam pemerintahan Orde Baru (ORBA), dia tidak diikutaktifkan. Saat Orde Baru, Hatta pernah menyatakan, “Sejak Jenderal Soeharto menjadi presiden, menjadi kebiasaan memusatkan segala-galanya pada Jenderal Soedirman, seolah-olah Indonesia merdeka bermula dari dia”. Menurut Hatta, Soedirman belum dikenal pada zaman Belandadan hanya diketahuisebagai guru. Sebelum ada tentara, kata dia, yang berjuang untuk kemerdekaan hanya orang pergerakan politik. Tentara baru dikenal sesudah Indonesia merdeka. “Dapatkah Indonesia merdeka kalau tidak ada perjuangan di United Nations (Perserikatan Bangsa-Bangsa) dan KMB ?” ujar Hatta.
Hatta mengucapkan hal itu pada 1970. Meski pandangan militernya seperti itu, dia di dalam memoarnya tetap memandang Soedirman sebagai tokoh militer muda yang cakap serta patut mendapat peran dan jabatan penting. Sesudah Soedirman wafat pada 29 Januari 1950, Hatta tidak memutus tali silaturahmi dengan keluarga sang Jenderal. Beberapa kali ia datang menjenguk istri dan anak Soedirman di Kota Baru Yogyakarta. Bahkan saat putri pertama dan ketiga Soedirman, Didi Praptiastuti dan Didi Sutjijati, melangsungkan pernikahan pada 1961 dan 1964, Hatta hadir. Dan Soekarno tidak jadi datang menghadiri pernikahan tersebut.  

Kecewa Adinda Di Perang Gerilya

Hubungan Soedirman dan Soekarno tidak mulus. Sempat berniat mengundurkan diri dari dunia militer.
Dengan mengenakan mantel hitam dan piama, Soedirman pergi meninggalkan rumah dinas di Jalan Bintaran Wetan, Yogyakarta. Tujuannya : Gedung Agung, Istana Presiden Yogyakarta, yang berjaraksatu kilometer dari Bintaran. Ditemani dokter Soewondo dan Kapten Tjokropranolo, Soedirman berikhtiar menemui Presiden Soekarno. Kesabaran Panglima Besar Jenderal Soedirman itu habis setelah Kapten Soepardjo Roestam, yang diutus menemui Soekarno, tak kunjung kembali. Situasi sedang genting. Pagi itu, 19 Desember 1948, pasukan Belanda menyerang Lapangan Terbang Maguwo.
Inilah pertama kalinya Soedirman meninggalkan rumah setelah tiga bulan beristirahat karena sakit yang diderita. Kemudian Soedirman seakan-akan memperoleh kekuatan setelah mendengar Belanda melancarkan serangan. Setiba di Gedung Agung, Soedirman diyakinkan Soekarno bahwa keadaan bisa diatasi. “Tidak ada sesuatu yang penting. Pulang saja, istirahat,” ujar Soekarno. Ia meminta dokter Soewondo merawat Soedirman. Dua kali Sokarno meminta Soedirman beristirahat, dua kali pula Soedirman menolak.Tawaran dokter Asikin Widjajakoesoemah agar Soedirman beristirahat di salah satu kamar di Gedung Agung juga ditampiknya.
Soedirman penasaran terhadap hasil sidang kabinet. Itu sebabnya, ia menunggu di luar ruangan. Ternyata sidang kabinet memutuskan tidak akan mempertahankan Yogyakarta. Pemimpin sipil tidak bergabung dengan Soedirman, yang memutuskan hendak berperang gerilya. Keputusan tersebut membuatnya kecewa. Itulah awal keretakan hubungan antara pemimpin sipil dan militer. Soalnya, Soekarno berjanji akam memimpin perang gerilya bila Belanda menyerbu Yogyakarta. Wakil Presiden Muhammad Hatta juga pernah mengucapkan hal yang sama. “Saya akan pergi ke hutan di Sumatra untuk memimpin perang bila Belanda menolak perdamaian,”kata Hatta saat diwawancarai Associated Press pada September 1947.
Soekarno membujuk Soedirman tetap tinggal di Yogyakarta. Ia berjanji mengontak komandan Belanda agar Soedirman dirawat di rumah sakit. Tawaran itu ditolak mentah-mentah karena dia punya sumpah tidka kenal menyerah. Soedirman memilih msuk hutan. Sebelum meninggalkan Gedung Agung,ia meminta anak buahnya mewartakan pesan melalui siaran radio agar seluruh tentara republik berjuang melawan Belanda. Sedangkan Soekarno dan Hatta bertahan di Yogyakarta. Keduanya lalu ditahan oleh pasukan Belanda dan dibuang ke Pulau Bangka.
Selama bergerilya, Soedirman konsisten menentang perundingan dengan Belanda. Sikap ini ditunukkannya dalam radiogram yang dikirim kepada Sjafruddin prawiranegara, Kepala Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumetera Barat. Dalam radiogram itu ia sempat mempertanyakan legitimasi Soekarno-Hatta. “Apakah pantas orang-orang yang berada di dalam pengawasan tentara Belanda berhak melakukan perundingan dan mengambil keputusan politik buat menentukan nasib republik ?” katanya. Pendapat ini disampaikan pula oleh Soedirman melalui surat kepada Kolonel Hidayat, komandan tentara di Sumatera, pada 25 April 1949.
Kritik Soedirman tak mempan. Perundingan Roem-Royen tetap berlangsung di Jakarta pada 7 Mei 1949. Hasil perundingan itu sulit dipahaminya. Buat mencairkan ketegangan antara pemimpn sipil dan militer, Soekarno-Hatta menulis surat kepada Soedirman dua pekan setelah perundingan Roem-Royen ditandatangani. Soekarno membujuk Soedirman pindah ke Yogyakarta agar pemimpin sipil mudah berkomunikasi dengan militer saat kedaulatan pemerintah Indonesia dipulihkan.
Soekarno-Hatta tiba di Yogyakarta pada 6 Juli  1949. Sri Sultan Hamengku Buwono IX menulis surat kepada Soedirman, membujuk sang Panglima Besar kembali ke Yogyakarta. Surat itu dibawa oleh Letnan Kolonel Soeharto keesokan harinnya. Rosihan Anwar, saat itu bekerja buat harian Pedoman di Jakarta,dan fotografer IPPHOS, Frans Sumardjo Mendur, ikut menemani. “Soedirman harus kembali ke Yogyakarta agar tidak ada kesan terjadi perpecahan diantara pucuk pimpinan Republik,” tulis Rosihan.
Tiga hari kemudian, Soedirman bersedia turun gunung. Tiba di Yogyakarta, Soedirman ingin menemui pasukan di alun-alun kota. Parade militer telah disiapkan. Tapi Simatupang, ketika itu menjabat Wakil Kepala Staf Angkatan Perang, menyarankan dia terlebih dahulu menemui Sokarno-Hatta. Sore hari, Soedirman datang ke Gedung Agung, Soekarno dan Hatta menunggu di beranda. Setiba disana, Soedirman berdiri kaku di depan beranda. Dengan tangan kiri menggenggam tongkat, ia tidak mau masuk. Suasana tegang karena Soedirman masih marah terhadap Soekarno-Hatta. Soekarno akhirnya mengalah dan merangkul tubuh sang Jenderal yang ringkih.
Tapi, dibalik itu, tensi ketegangan antara militer dan pimpinan sipil tetap tinggi. Karena Sodirman berkukuh agar gencatan senjata dilakukan setelah proses negoisasi selesai. Sebaliknya, Soekarno berpendapat gencatan senjata dibutuhkan agar Konfrensi Meja Bundar bisa berlangsung di Den Haag, Belanda. Pada 1 Agustus 1949, Soedirman mengirimkan memo buat Soekarno. Menurut dia, kedatangannya ke Yogyakarta membawa amanat semua tentara yang masih berjuang di luar Yogyakarta. Intinya, mereka menolak gencatan senjata.
Besoknya, Soekarno bertemu dengan Soedirman dan Kolonel A.H. Nasution di Istana Negara, Yogyakarta. Soedirman mengatakan ia tidak bisa lagi mengikuti kebijakan politik pemerintah. Dia lalu minta dibebastugaskan dari posisinya sebagai panglima besar. Soekarno menjawab, “Bila pemimpin TNI mengundurkan diri, Soekarno-Hatta akan lebih dulu mengundurkan diri.” Suasana hening. Mata Soekarno, Soedirman, dan Nasution berkaca-kaca. Mereka berpisah tanpa ada satu pun kesepakatan,
Sore harinya, Nasution diundang ke kediaman Soedirman. Kapten Soepardjo menunjukkan surat pengunduran diri yang sudah ditandatangani Soedirman, tap belum diberi tanggal. Nasution menemui  Soedirman, yang berbaring di tempat tidur. “Saya sampaikan bahwa persatuan antara TNI dan Soekarno-Hatta lebih penting ketimbang strategi perjuagan,” kata Nasution. Soedirman menyetujui pemikiran tersebut. Dia batal mengundurkan diri. Besoknya, Soekarno mengumumkan gencatan senjata dan meminta pasukan gerilya mematuhi perintah tersebut.
Roeslan Abdulgani melukiskan hubungan Soekarno-Soedirman sebenarnya bak adik dan kakak. Usia Soedirman terpaut 15 tahun lebih muda daripada Soekarno. “Itu sebabnya, Soekarno menggunakan istilah kanda dan adinda dalam suratnya kepada Soedirman,” ujar Roeslan. Satu hari, sebelum pindah ke Jakarta, Soekarno mengirim surat kepada Soedirman, yang terbaring sakit di tempat tidur. Tertanggal 27 Desember 1949, presiden pertama Indonesia itu berharap Soedirman tetap memberi bantuan dan pikiran demi meneruskan perjuangan. Soekarno juga minta maaf atas segala kesalahan dan berharap Soedirman lekas sembuh.

Barisan Di Belakang Pak Dirman
Peran strategis Soedirman ditopang oleh kecakapan perwira seperti Nasution dan Simatupang. Sebagian besar eks KNIL.
Mobil tua itu meluncur dari jalan Merapi, Yogyakarta, membawa Tahi Bonar Simatupang. Wakil Kepala Staf Angkatan Perang Indonesia itu hendak menemui Panglima Besar Soedirman di kediamannya di Bintaran. Pagi itu, 18 Desember 1948, Soedirman masih terbaring sakit di ranjang kamarnya. Di hadapan Soedirman yang gering, Simatupang melaporkan situasi genting Republik. Kerajaan Belanda terus mendesak posisi Indonesia muda yang baru berusia tiga tahun. Intesitas lobi internasional meningkat. Walau dalam masa gencatan senjata, tersebar kabar santer Belanda hendak melancarkan aksi militer lagi.
Mendengar laporan Simatupang, SOedirman menyatakan siap memegang kembali komando tertingi militer Indonesia. “Tapi tentu ini tindakan psikologis. Sebab saat itu Pak Dirman msih jauh dari sembuh,” demikian Simatupang mengisahkan pertemuan tersebut. Malamnya, T.B. Simatupang menghadiri sebuah pertemuan informal dengan sejumlah anggota staf Komisi Tiga Negara di Hotel Kaliurang. Mereka mempersiapkan perundingan lanjutan setelah Perjanjian Renville berantakan. Di sela makan malam, siaran radio Jakarta mengabarkan bahwa esok pagi Wakil Tinggi Mahkota Belanda Dr L.J.M. Beel akan menyampaikan pidato penting.
Keesokan harinya, 19 Desember 1948, Simatupang tak sempat mendengar pidato Beel. Dia sibuk mengatur pertahanan Yogyakarta. Hari itu Belanda menyerbu. Setelah dibombardir selama tujuh jam, Ibu Kota jatuh. Soekarno-Hatta dan sejumlah pemimpin lainnya di tawan. Sejak itulah perang gerilya dimulai. Bersamaan dengan gerak mundur Pak Dirman, semua satuan tentara nasional menyusup ke kantog-kantong gerilya atau wehrkreise. Ini  strategi yang sudah disiapkan lama. Simatupang telah menetapkan sejumlah tempat di luar kota sebagai wehrkreise. Misalnya Desa Dekso di barat daya Yogyakarta. Di tempat-tempat itu, pasukan induk akan berkumpul untuk menggelar serangan balasan.
Simatupang adalah bagian penting dari kisah kepahlawanan Soedirman. Kebesaran Soedirman, sebagai panglima militer Indonesia pada masa-masa genting Republik muda, sedikit banyak ditopang oleh kecakapan orang-orang dibelakangnya. Selain Simatupang, di jajaran senior ada Oerip Soemahardjo. Di level menengah ada M.T. Haryono dan Gatot Soebroto. Mereka didukung oleh Panglima Tentara dan Teritorium Jawa. Mengenai masalah teknis-teknis militer maka itu diserahkan ke Nasution. Dia adalah pemikir utama tentara Indonesia.
Bukan kebetulan kalau Simatupang dan Nasution berangkat dari pendidikan militer yang sama, Koninklijke Militaire Academie. Ini sekolah calon perwira cadangan tentara KNIL di Bandung. Simatupang mengatakan bahwa pelajaran di akademi itu sama persis dengan akademi serupa di Negeri Belanda. Buku-buku tentang pokok-pokok ilmu perang, strategi, dan taktiknya disajikan dalam bahasa Belanda. Dan Simatupang termasuk termasuk taruna yang terbaik diantara orang-orang Indonesia dan Belanda.
Diluar kelas, dua pemuda itu kerap membuat diskusi kecil. Temanya bukan sekedar mengenai kemiliteran. Kedekatan mereka dengan sejumlah tokoh pergerakan membuat mereka paham terhadap gambaran peta politik saat itu. “Sementara yang lain bicara tentang ketentaraan saja, saya dan Simatupang sudah bicara tentang perjuangan bangsa,” kata Nasution.ketika Jepang menyerang pada Maret 1942, mereka diberhentikan dari sekolah dan menjadi bagian dari pasukan Belanda. Nasution ditempatkan di Jawa Timur, sementara SImatupang menjadi anggota staf Resimen Pertama di Jakarta.
Pada saat itu, Simatupang sempat berkeliling Jawa untuk melihat situasi. Agar tak dicurigai, dia menyamar menjadi penjual bukupelajaran Jepang. Di ujung perjalanan, dia menyimpulkan : Belanda sudah habis dan Jepang tak dicintai rakyat. Kesimpulan ini didiskusikan dengan banyak tokoh pergerakan. Di Jakarta, Simatupang banyak berbicara dengan Sutan Sjahrir, yang saat itu sedang menggerakkan organisasi bawah tanah menentang Jepang. Semua itu membentuk cara berfikir Simatupang tentang peran militer dan negara demokrasi. “Percakapan dengan Sjahrir mengubah hidup saya, membuka pandangan tentang perjuangan antara demokrasi dan fasisme,” kata Simatupang.     
Pada 17 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia. Rakyat bersorak-sorai. Para perwira eks KNIL pun bergabung dalam Tentara Keamanan Rakyat, cikal bakal Tentara Nasional Indonesia. Pada hari-hari itu, Nasution dan Simatupang merintis karier sebagai perwira militer Republik yang kelak akan amat berperan membantu Panglima Soedirman. Setelah proklamasi, Simatupang ditarik oleh Kepala Staf Umum Tentara Keamanan Rakyat Oerep Soemohardjo untuk membantunya di Yogyakarta. Di sana posisinya terus menanjak. Kecakapan Simatupang membuat dia dijuluki “kamus kemiliteran”.
Ketika dia ditunjuk menjadi Kepala Bagian Organisasi Markas Tertinggi dan anggota Dewan Pertahanan Negara, Simatupang sudah dalam posisi strategis di barisan elite militer. Sedangkan A.H. Nasution ditempatkan di Komandemen Jawa Barat di bawah pimpinan Jenderal Mayor Didi Kartasasmita. Kepemimpinannya diuji ketika sebagai Kepala Divisi III Nasution harus berada di garis terdepan menghadapi pasukan Sekutu yang merangsek ke Bandung, pertengahan Maret 1946.
Ketika itu Nasution mengambil keputusan untuk bertahan sambil mundur. Kepada semua tentara di Bandung, dia mengumumkan sebuah maklumat. Isinya, semua pegawai dan rakyat harus keluar dari kota sebelum pukul 24:00 hari itu. Tentra Indonesia akan membakar semua bangunan. Buni hangus. Malam itu Paris Van Java jadi kota lautan api. Banyak perwira militer dan tokoh pergerakan kala itu terkejut dengan strategi Nasution ini. Tak sedikit yang mempertanyakan sikapnya yang tidak berusaha mempertahankan sikapnya yang tidak berusaha mempertahankan Bandung sampai titik darah terakhir.
Pada Mei 1946, dua bulan setelah peristiwa pembakaran Bandung itu, pembelaan datang dari Oerip Soemahardjo. Dia memuji keputusan Nasution sebagai langkah terbaik. Walhasil, tatkala divisi militer di Jawa Barat dilebur jadi satu, Nasution dipercaya menjadi Panglima Divisi Siliwangi. Pada Juli 1947, dia kembali berada dalam situasi pelik, ketika harus memimpin pasukan Indonesia menghadapi agresi militer Belanda pertama.
Berbekal pengalaman badung Lautan Api setahun sebelumnya, kali ini Nasution mengambil strategi serupa, tapi dalam skala lebih masif. Dia menggerakkan rakyat untuk jadi pejuang di garis depan, membuat kantong-kantong gerilya seraya menerapkan taktik bumi hangus. Sebuah taktik perang rakyat semesta. Pengalaman militer Nsution dalam kecamuk pertempuran inilah yang menjadi embrio strategi perang gerilya yang dilancarkan Soedirman di Yogyakarta, setahun kemudian.
Menurut Simatupang, Nasution punya catatan detail atas apa yang terjadi selama agresi militer pertama itu. Dia merangkumnya dalam buku Pokok-pokok Gerilya, yang kelak menjadi pegangan tentara Amerika Serikat dalam Perang Vietnam. Analisis ini juga yang menjadi dasar persiapan tentara menghadapi agresi militer Belanda kedua pada Desember 1948. Ketika itu Belanda memang berhasil merebut kota Yogyakarta. Tapi Soedirman dan para perwiranya sudah siap menyerang balik.

Sumber : Majalah Tempo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar