Panglima
Di Simpang Kudeta
Kedekatan dengan tan malaka dan tokoh antidiplomasi
dengan penjajah sempat membuat Soedirmandituduh merancang kudeta.
Surat itu
diterima pada siang hari, saat Soedirman bersiap meninggalkan Loji Gandrung,
rumahnya di Solo, Jawa Tengah. Dibawa dengan pengawalan khusus dari Yogyakarta
ke Solo oleh Brigade 29 pimpinan Kolonel Dahlan, surat itu diteken Menteri
Pertahanan Amir Sjarifoeddin.
Kurir meminta
Jenderal Soedirman menjawab segera, satu dari dua pilihan yang ditawarkan
Menteri Amir :bersedia datang menghadap ke Istana Yogya sore itu juga, atau di
“tangkap” di tempat. Jika pilih yang kedua, detasemen pengirim surat bersedia
“menjemput”
Soedirman
menahan marah. Ia meminta pasukan Dahlan kembali ke Yogyakarta. Soedirman,
seperti ditulis sejarawan dari Universitas Indonesia S.I. Poeradisastra dalam hubungan Soedirman dengan Persatuan
Perjuangan, bersedia datang dikawal pasukan Divisi Panembahan Senopati
pimpinan Jenderal Mayor Soetarto, langsung ke Istana.
Perintah itu terkait
dengan kegentingan situasi di Istana Kepresidenan Yogyakarta hari itu, 3 Juli
1946. Peristiwa yang dalam sejarah Indonesia dikenal sebagai kudeta pertama
pada masa Republik Indonesia baru berumur kurang dari setahun itu masih
kontroversial.
Yang jelas,
menurut Mangil Martowidjo, ajdan presiden, di kalangan Istana sudah beredar
desas-desus pasukan tentara yang mau menyerbu Istana untuk melakukan kudeta.
Mangil menyebutnya susah membedakan siapa kawan, siapa lawan.
Masih menurut
Mangil, belasan orang dalam satu truk tiba di pintu gerbang Istana pada 3 Juli
1946, sekitar pukul 06:30 pagi. Di atas truk, ada belasan tokoh yang dikenal
aktif di Persatuan Perjuangan , organisasi perjuangan Tan Malaka. Organisasi
ini dikenal segaris dengan Soedirman, juga Mayor Jenderal Soedarsono, Panglima
Divisi Yogyakarta. Soedarsono berada di mobil lain yang ikut ke halaman Istana.
Ia memimpin rombongan itu masuk kompleks Istana untuk bertemu Presiden Soekarno.
Mereka yang ikut dalam rombongan adalah tokoh Persatuan Perjuangan dan Barisan
Banteng seperti Chairul Saleh, Muwardi, Abikusno, M. Yamin, Sukarno, Iwa
Koesoema Soemantri, dan Ahmad Soebardjo.
Kepada Presiden,
Soedarsono menyerahkan maklumat dan diminta diumumkan segera. Ia juga
menyebutkan maklumat itu atas persetujuan Panglima Besar Jenderal Soedirman. Namun
Soekarno meminta Soedarsono menunjukkan dokumennya. Kepada Soekarno, Hatta,
seperti dituturkan dalam biografinya, menyebutkan Soedirman tidak terlibat.
Sebelumnya, diruang sebelah, Hatta berbicara dengan Jenderal Oerip Soemohardjo,
yang mengatakan mustahil Soedirman menulis surat semacam itu kepada Presiden.
Hatta pun
mengecek orang-orang yang datang bersama Soedarsono. Disitu ia bertemu dengan
dr Sukiman, satu dari sejumlah anggoa staf penasihat Soedirman. Kepada Hatta,
SUkiman mengaku tak tahu soal nota itu. Ia hanya diminta datang ke Istana
karena Presiden dikabarkan akan menyampaikan sesuatu yang penting. Hatta kemudian
berbicara dengan Soekarno. Soedarsono akhirnya ditahan.
Manever
Soedarsono sudah bocor ke Istana. Sehari sebelumnya, Panglima Divisi Tentara
itu menelepon Kanapi Tjitrodiningrat, Kepala Polisi Tentara Yogyakarta, yang
memimpin pengamanan presiden. Kanapi diminta menetralkan semua petugas yang ada
di Istana sebelum mereka tiba. Permintaan itu ditolak. Begitu tiba pada pagi
itu, pasukan Kanapi yang justru melawan.
Menurut Ben
Anderson dalam buku Revoloesi Pemoeda,
Soedarsono kepada Overste Soeharto
menyampaikan ia memperoleh kuasa dari Panglima Besar Soedirman untuk menghadap
Presiden di Istana. Mereka akan menyampaikan maklumat yang isinya sedang
diketik Yamin di markas Wiyono.
Soeharto dalam
biografinya membenarkan peristiwa itu. Ia mengaku malam itu didatangi Ketua
Pemuda Patuk, Sandjojo, yang membawa pesan dari Presiden untuk menangkap
Soedarsono, atasan langsung Soeharto. Manuver 3 Juli 1946 itu sebenarnya puncak
dari aksi berbalas perseteruan antar elite di pemerintahan saat itu. Hubungan
tak sehat dan perselisihan timbul antara kubu Amir serta Perdana Menteri
Sjahrir dan Markas Besar Tentara.
Perseteruan
muncul karena Soedirman dianggap tak layak memimpin tentara. Kubu Sjahrir dan
Amir menganggap tentara Indonesia harus baru, bebas dari fasisme dan
militerisme, bukan didikan atau buatan Jepang. Sikap Sjahrir dan Amir dianggap
tak realistis karena saat itu tentara yang siap justru dari hasil didikan
Jepang, yang jumlahnya sekitar dua juta orang di Jawa dan Bali. Sikap lunak
Soekarno-Hatta yang mengedepankan diplomasi dengan Belanda, seperti yang
dirintis Sjahrir dan Amir, tak disetujui di kalangan tentara, terutama
Soedirman. Kubu Soedirman menginginkan kemerdekaan adalah 100 persen, dan
tentara tidak kenal menyerah.
Pertentangan
sikap itu membuat Soedirman merapat ke Tan Malaka. Kehadiran Soedirman dalam
kongres Persatuan Perjuangan pimpinan Tan Malaka di Purwekerto adalah bukti
kesamaan sikap mereka. Tan Malaka mencatat ucapan Soedirman saat itu, “lebih
baik kita diatom (bomg atom) daripada merdeka kurang dari 100 persen.” Ajudan
Soedirman, Brigadir Jenderal Abimanyu, mengatakan kedekatan dengan Tan Malaka
yang membuat Soedirman memindahkan markasnya ke Solo. Apalagi karibnya sejak
Maret ditahan di Tawangmangu. Selama akhir pekan, Soedirman sering
melewatkan waktu berdiskusi dengan
kawan-kawannya itu.
Soedirman tiba
di Istana sehabis ashar. Di ruang tamu
Presiden Soekarno, Soedirman disambut Mangil Martowidjojo. Soedirman,
yang tahu Mangil menemani Soedirman di ruang paviliun, berpesan, “Tolong, jaga
gurumu. Ajak bicara.” Soedarsono adalah guru Mangil di sekolah polisi Sukabumi,
pada masa penjajahan Jepang. Di ruang rapat, Soedirman ditunggu Soekarno,
pemimpin kabinet, wakil partai dan beberapa organisasi politik besar. Mayoritas
mereka tak setuju dengan gerakan Tan Malaka dan Yamin, sekondan Soedirman.
Dalam rapat yang berlangsung lama itu, Soedirman mengemukakan pendiriannya.
Sjahrir, Amir, dan Abdulmadjid Djojohadiningrat menyerang.
Tak ada
perincian mngenai isi pembicaraan itu yang diumumkan resmi oleh sumber manapun.
Namun Ben Anderson mengutip kesaksian Dayino, tentara yang dekat dengan Sjariri,
bagaimana peserta rapat menekan Soedirman dalam soal kudeta. “Diantara kami
ingin Soedirman dilikuidasi,” ujarnya. Belakangan di ketahui Soedirman setuju
meneken surat perintah memberhentikan Soedarsono dri semua fungsi militer dan
mengangkat Umar Djoy sebagai pengganti. Sebaliknya, lawanya juga setuju Soedirman
tetap menjadi panglima. Kabinet Sjahrir berhenti. Soekarno mengambil alih
pemerintahan dibantu Dewan Pertahanan Negara. Anggotanya berganti, minus
Sjahrir.
“Kudeta” 3 Juli
1946 menjerat 27 orang. Mereka diadili di Mahkamah Agung Militer. Tujuh orang
dibebaskan dan lima orang di hukum 2-3 tahun. Soedarsono dan Yamin dipenjara
empat tahun. Semuannya bebas pada Agustus 1948, karena mendapat grasi dri
Soekarno. Meski tuduhan kudeta tidak terbukti di Mahkamah Agung Militer,
kesaksian Soedirman di Mahkamah tanpa membela Tan Malaka dan kawan-kawan
menjadi tanda tanya. Namun, menurut sejarawan Asvi Warman Adam, ini tidak dapat
ditafsirkan Soedirman meninggalkan teman-temannya. Ada kemungkinan Soedirman tunduk
kepada sumpah prajurit, patuh kepada Panglima Tertingi Soekarno, dan pengaruh
Hatta.
Merangkul Kembali Bung Kecil
Jum’at pagi itu,
1 November 1946, ribuan warga Jakarta memadati stasiun kereta api Manggarai.
Dengan sabar mereka menanti kedatangan kereta api dari Yogyakarta. Begitu
kereta tiba, pekik kemerdekaan membahana di sekujur stasiun. Salat satu
penumpangnya adalah Panglima Besar Soedirman. Inilah pertama kali Soedirman
datang ke Jakarta. Salah satu penumpangnya adalah Panglima Besar Jenderal Soedirman.
Imilah pertama kalinya Soedirman datang ke Jakarta.
Konvoi kendaraan
yang mengangkut rombongan Soedirman melintasi Jalan Tambak, Matraman,Salemba,
Senen, dan berhenti di Hotel Shutte Raff di depan stasiun Gambir. Jika saja
kereta berhenti di Stasiun Gambir, tak perlu ada konvoi. Tapi Soedirman sengaja
diarak agar warga Jakarta dapat melihatnya dari dekat, dan sambutan dari warga
Jakarta begitu meriah. Perdana Menteri Sjahrir yang sengaja mengatur perjalanan
itu. Ia ingin pemimpin tentara rakyat yang biasa bergerilya di Yogyakarta itu
disambut massa Ibu Kota. Soedirman datang ke Jakarta untuk menandatangani
perjanjian genjatan senjata antara tentara Indonesia dan Belanda.
Hubungan
Soedirman dengan Sjahrir sempat menegang. Sjahrir bercita-cita tentara
Indonesia bebas dari unsur fasisme Jepang. Dalam risalah politik Sjahrir, Perdjoeangan Kita, ia menggunakan kata “angjing-anjing yang berlari” kepada
kaum yang bekerja sama dengan Jepang. Persatuan Perjuangan pimpinan Tan Malaka
berhubungan dekat dengan Soedirman pada masa awal kepemimpinannya. Menurut S.I.
Poeradisastra dalam Tingkah Laku Politik
Panglima Besar Soedirman, orang-orang dekat Tan Malaka, yakni Ahmad
Soebardjo dan Iwa Koesoema Soemantri, merupakan penasehat politik Soedirman.
Antara kubu Sjahrir
dan Amir Sjarifoeddin dengan Persatuan Perjuangan terdapat perbedaan sudut
pandang. Persatuan Perjuangan yang memilih jalan konfrontasi menganggap
diplomasi Sjahrir merupakan strategi putus asa. Sebaliknya, kubu Amir dan
Sjahrir menilai Tan Malaka dan kawan-kawannya merusak strategi perjuangan.
Pemerintah menolak usul Pesatuan Perjuangan yang meminta Belanda mengakui
kemerdekaan Indonesia 100 persen. Agar tak mengganggu jalannya diplomasi, Tan
Malaka dan kawan-kawannya ditangkap pada 17 Maret 1946. Pertentangan itu
memuncak pada 25 Juni 1946, ketika Hatta berpidato mendukung konsesi dengan
Belanda. Dia menyebutkan pemerintah menuntut pengakuan de facto atas Jawa, Madura, dan Sumatera.
Semua yang hadir
kaget dan tak mengerti akan pidato itu. Panglima Soedirman tampak menunjukkan
sikap tak setuju dan geleng-geleng kepala. Pidato pemerintah itu dinilai
sebagai sikap menyerah terhadap Belanda. Akibatnya, pada 27 Juni, Perdana
Menteri Sjahrir diculik Abdul Kadir Jusuf, perwira yang ditugasi Soedarsono.
Mereka dibebaskan setelah Soekarno meminta Soedirman melepaskan Sjahrir. Suhu
politik kedua kubu terus membara hingga peristiwa “kudeta” 3 Juli 1946. Setelah
peristiwa ini, hubungan Soedirman dengan Sjahrir perlahan membaik. Soedirman bersedia memenuhi undangan
pertemuan dengan Sjahrir di Jalan Pegangsaan Timur 56, rumah dinas Sjahrir pada
November1946. Dalam perbincangan 30 menit itu, Sjahrir menjelaskan soal jalur
diplomasi yang lebih tepat sasaran ketimbang kontfrontasi.
Sjahrir
menjelaskan, kekuatan tentara Indonesia saat itu tak cukup untuk melawan
Belanda. Setelah mendengar penjelasan itu, Soedirman maklum. Dugaan selama ini
bahwa Sjahrir bersekongkol dengan Sekutu ternyata tidak terbukti. Tokoh pers Indonesia,
(Alm) Rosihan Anwar mengatakan Soedirman berbalik mengagumi Sjahrir setelah
pertemuan di Jakarta itu. Ini diperkuat dengan dengan pernyataan Soedirman
kepada Sultan Hamengku Buwono IX pada Januari 1950. Ia menyebut Sjahrir sebagai
pemimpin besar yang pantas memimpin Republik . “Sjahrir adalah tokoh besar,”
ujar Rosihan Anwar, menirukan kesaksian Sultan atas sikap Soedirman.
Sahabat Diskusi Di Rumah Sakit
Hatta dan Soedirman dikenal sangat akrab, tapi juga
sering tak sejalan. Hatta mempertanyakan soal sejarah revolusi yang terlalu
dipusatkan pada Soedirman, seolah-olah Indonesia merdeka bermula dari dia.
Obat itu dibeli
oleh Muhammad Hatta di negeri Belanda. Begitu tiba di Yogyakarta, ia segera
mencari Jenderal Soedirman. Tapi, sayangnya, sang Jenderal sedang berada di
Magelang, Jawa Tengah. Hatta kemudian menulis surat pendek kepada keluarga
Soedirman. Ia mendoakan kesehatan kolegannya itu. Kisah bagaimana Muhammad
Hatta mencarikan obat untuk Soedirman di Negeri Kincir Angin itu menandakan
betapa ia memiliki perhatian tersendiri terhadap sang Jenderal.
Menurut
sejarawan Anhar Gonggong, Hatta dan Soedirman memang sering terlibat diskusi
intens. Ketika Soedirman dituduhterlibat kudeta 3 Juli 1946 di Yogyakarta,
Hatta menjadi orang pertama yang tidak mempercayai hal itu. Hatta saat itu ragu
terhadap Mayor Jenderal Soedarsono, Komandan Divisi Yogyakarta, yang mengatakan
memberikan sepucuk surat atas nama Soedirman kepada Soekarno di Gedung Agung.
Isi suratnya: meminta Kabinet Sjahrir dibubarkan dan digantikan kabinet baru
yang didalamnya duduk beberapa orang yang namanya tercantum dalam surat (Baca:”Panglima
di Simpang Kudeta”).
Walaupun yakin
tidak terlibat makar, Hatta menilai Soedirman bukan militer yang berdisiplin
buta. Menurut dia, Soedirman tidak segan mengeluarkan pendapatnya terhadap
politik yang dijalankan pemerintah. Ia dikenal jenderal “lasting” alias rewel
yang susah dikendalikan. Meski begitu, Hatta menilainya sosok yang taat kepada
pemerintah, meski keras pendirian dan membela pendiriannya dengan semangat.
Betapapun akrab,
keduanya tidak selalu sejalan. Hatta pernah menegur Soedirman karena memberi
keterangan kepada pers tentang tentara yang harus bersikap ofensif. Keterangan
tersebut dinilai Hatta mengkhawatirkan karena bisa dicap agresif oleh Komisi
Tiga Negara, yakni Amerika Serikat, Belgia, dan Australia, yang sedang
mengawasi gencatan senjata. Bagi Hatta, efek wawancara itu menyukarkan
kedudukan pemerintah. Hatta mengingatkan Soedirman, sebelum memberikan
keterangan keluar, ia harus lebih dahulu bermufakat dengannya agar sesuai
dengan strategi politik, “Tentara adalah alat negara. Tentara tidak berpolitik.
Politik tentara ialah politik negara,” kata Hatta, mengutip ucapan yang sering
dilontarkan Soedirman sendiri.
Ketidakserasian pemerintah dan militer memang
mencolok saat itu. Soedirman dinilai lebih berperan sebagai bapak dari anak
buahnya ketimbang menjadi pejabat pemerintahan di bidang pertahanan. Pada masa Kabinet
Amir Sjarifoeddin pada 1947, Soedirman “disingkirkan” melalui proses
reorganisasi dan rasionalisasi (rera) tentara. Pangkatnya diturunkan menjadi
letnan jenderal. Ia cuma ditunjuk sebagai Panglima Besar Angkatan Perang Mobil.
Posisinya berada di bawah Komodor Surjadarma, juniornya, yang ditunjuk Amir
sebagai Kepala Staf Angkatan Perang.
Kebijakan rera
Amir ditentang oleh tentara. Kabinet Amir runtuh. Lebih-lebih, tatkala serangan
Belanda pada 19 Desember 1949, semua tentara bersatu kembali dalam perang
gerilya di bawah pimpinan Soedirman. Rera kemudian dilanjutkan Kabinet Hatta
pada 29 Januari 1949. Saat itu, Soedirman mendatangi Hatta di Istana Presiden
hendak menanyakan kedudukannya karena dia merasa telah disingkirkan Amir.
Menjawab pertanyaan itu, Hatta kemudian mengangkat kembali Soedirman sebagai
Panglima Besar. “Di mataku, Saudara tetap Panglima Besar dan Saudara Oerip tetap
menjadi penasihat Saudara,” ujar Hatta.
Ihwal rera,
Soedirman berpesan kepada Simatupang, perwakilan militer Indonesia di
Konferensi Meja Bundar (KMB), agar masalah itu diselesaikan di Yogyakarta,
bukan di Den Haag. Bagi Simatupang, pesan Soedirman tersebut sulit dilaksanakan
karena tekanan politikus dan pemerintah, termasuk Hatta, cenderung ingin
mengubah wajah tentara, dari tentara revolusi menjadi professional. Mau tidak
mau Hatta melaksanakan rera. Bukannya hendak berseberangan dengan Soedirman,
tapi Hatta ingin segera menyelesaikan masalah tentara dengan cepat. Sebagai
administrator, Hata cuma ingin berfikir bagaimana tentara bisa professional.
Hatta dikenal
dengan pendapat yang menempatkan militer tunduk kepada pemerintah, seperti yang
berlaku di Barat. Karena itu, dalam pemerintahan Orde Baru (ORBA), dia tidak
diikutaktifkan. Saat Orde Baru, Hatta pernah menyatakan, “Sejak Jenderal
Soeharto menjadi presiden, menjadi kebiasaan memusatkan segala-galanya pada
Jenderal Soedirman, seolah-olah Indonesia merdeka bermula dari dia”. Menurut
Hatta, Soedirman belum dikenal pada zaman Belandadan hanya diketahuisebagai
guru. Sebelum ada tentara, kata dia, yang berjuang untuk kemerdekaan hanya
orang pergerakan politik. Tentara baru dikenal sesudah Indonesia merdeka.
“Dapatkah Indonesia merdeka kalau tidak ada perjuangan di United Nations
(Perserikatan Bangsa-Bangsa) dan KMB ?” ujar Hatta.
Hatta
mengucapkan hal itu pada 1970. Meski pandangan militernya seperti itu, dia di dalam
memoarnya tetap memandang Soedirman sebagai tokoh militer muda yang cakap serta
patut mendapat peran dan jabatan penting. Sesudah Soedirman wafat pada 29
Januari 1950, Hatta tidak memutus tali silaturahmi dengan keluarga sang
Jenderal. Beberapa kali ia datang menjenguk istri dan anak Soedirman di Kota
Baru Yogyakarta. Bahkan saat putri pertama dan ketiga Soedirman, Didi
Praptiastuti dan Didi Sutjijati, melangsungkan pernikahan pada 1961 dan 1964,
Hatta hadir. Dan Soekarno tidak jadi datang menghadiri pernikahan tersebut.
Kecewa Adinda Di Perang Gerilya
Hubungan
Soedirman dan Soekarno tidak mulus. Sempat berniat mengundurkan diri dari dunia
militer.
Dengan
mengenakan mantel hitam dan piama, Soedirman pergi meninggalkan rumah dinas di
Jalan Bintaran Wetan, Yogyakarta. Tujuannya : Gedung Agung, Istana Presiden
Yogyakarta, yang berjaraksatu kilometer dari Bintaran. Ditemani dokter Soewondo
dan Kapten Tjokropranolo, Soedirman berikhtiar menemui Presiden Soekarno.
Kesabaran Panglima Besar Jenderal Soedirman itu habis setelah Kapten Soepardjo
Roestam, yang diutus menemui Soekarno, tak kunjung kembali. Situasi sedang
genting. Pagi itu, 19 Desember 1948, pasukan Belanda menyerang Lapangan Terbang
Maguwo.
Inilah pertama
kalinya Soedirman meninggalkan rumah setelah tiga bulan beristirahat karena
sakit yang diderita. Kemudian Soedirman seakan-akan memperoleh kekuatan setelah
mendengar Belanda melancarkan serangan. Setiba di Gedung Agung, Soedirman
diyakinkan Soekarno bahwa keadaan bisa diatasi. “Tidak ada sesuatu yang
penting. Pulang saja, istirahat,” ujar Soekarno. Ia meminta dokter Soewondo
merawat Soedirman. Dua kali Sokarno meminta Soedirman beristirahat, dua kali
pula Soedirman menolak.Tawaran dokter Asikin Widjajakoesoemah agar Soedirman
beristirahat di salah satu kamar di Gedung Agung juga ditampiknya.
Soedirman
penasaran terhadap hasil sidang kabinet. Itu sebabnya, ia menunggu di luar
ruangan. Ternyata sidang kabinet memutuskan tidak akan mempertahankan
Yogyakarta. Pemimpin sipil tidak bergabung dengan Soedirman, yang memutuskan
hendak berperang gerilya. Keputusan tersebut membuatnya kecewa. Itulah awal
keretakan hubungan antara pemimpin sipil dan militer. Soalnya, Soekarno
berjanji akam memimpin perang gerilya bila Belanda menyerbu Yogyakarta. Wakil
Presiden Muhammad Hatta juga pernah mengucapkan hal yang sama. “Saya akan pergi
ke hutan di Sumatra untuk memimpin perang bila Belanda menolak perdamaian,”kata
Hatta saat diwawancarai Associated Press
pada September 1947.
Soekarno
membujuk Soedirman tetap tinggal di Yogyakarta. Ia berjanji mengontak komandan
Belanda agar Soedirman dirawat di rumah sakit. Tawaran itu ditolak
mentah-mentah karena dia punya sumpah tidka kenal menyerah. Soedirman memilih
msuk hutan. Sebelum meninggalkan Gedung Agung,ia meminta anak buahnya
mewartakan pesan melalui siaran radio agar seluruh tentara republik berjuang
melawan Belanda. Sedangkan Soekarno dan Hatta bertahan di Yogyakarta. Keduanya
lalu ditahan oleh pasukan Belanda dan dibuang ke Pulau Bangka.
Selama
bergerilya, Soedirman konsisten menentang perundingan dengan Belanda. Sikap ini
ditunukkannya dalam radiogram yang dikirim kepada Sjafruddin prawiranegara,
Kepala Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumetera Barat. Dalam radiogram
itu ia sempat mempertanyakan legitimasi Soekarno-Hatta. “Apakah pantas
orang-orang yang berada di dalam pengawasan tentara Belanda berhak melakukan
perundingan dan mengambil keputusan politik buat menentukan nasib republik ?”
katanya. Pendapat ini disampaikan pula oleh Soedirman melalui surat kepada
Kolonel Hidayat, komandan tentara di Sumatera, pada 25 April 1949.
Kritik Soedirman
tak mempan. Perundingan Roem-Royen tetap berlangsung di Jakarta pada 7 Mei
1949. Hasil perundingan itu sulit dipahaminya. Buat mencairkan ketegangan
antara pemimpn sipil dan militer, Soekarno-Hatta menulis surat kepada Soedirman
dua pekan setelah perundingan Roem-Royen ditandatangani. Soekarno membujuk
Soedirman pindah ke Yogyakarta agar pemimpin sipil mudah berkomunikasi dengan
militer saat kedaulatan pemerintah Indonesia dipulihkan.
Soekarno-Hatta
tiba di Yogyakarta pada 6 Juli 1949. Sri
Sultan Hamengku Buwono IX menulis surat kepada Soedirman, membujuk sang
Panglima Besar kembali ke Yogyakarta. Surat itu dibawa oleh Letnan Kolonel
Soeharto keesokan harinnya. Rosihan Anwar, saat itu bekerja buat harian Pedoman di Jakarta,dan fotografer
IPPHOS, Frans Sumardjo Mendur, ikut menemani. “Soedirman harus kembali ke
Yogyakarta agar tidak ada kesan terjadi perpecahan diantara pucuk pimpinan
Republik,” tulis Rosihan.
Tiga hari
kemudian, Soedirman bersedia turun gunung. Tiba di Yogyakarta, Soedirman ingin
menemui pasukan di alun-alun kota. Parade militer telah disiapkan. Tapi
Simatupang, ketika itu menjabat Wakil Kepala Staf Angkatan Perang, menyarankan
dia terlebih dahulu menemui Sokarno-Hatta. Sore hari, Soedirman datang ke
Gedung Agung, Soekarno dan Hatta menunggu di beranda. Setiba disana, Soedirman
berdiri kaku di depan beranda. Dengan tangan kiri menggenggam tongkat, ia tidak
mau masuk. Suasana tegang karena Soedirman masih marah terhadap Soekarno-Hatta.
Soekarno akhirnya mengalah dan merangkul tubuh sang Jenderal yang ringkih.
Tapi, dibalik
itu, tensi ketegangan antara militer dan pimpinan sipil tetap tinggi. Karena
Sodirman berkukuh agar gencatan senjata dilakukan setelah proses negoisasi
selesai. Sebaliknya, Soekarno berpendapat gencatan senjata dibutuhkan agar
Konfrensi Meja Bundar bisa berlangsung di Den Haag, Belanda. Pada 1 Agustus
1949, Soedirman mengirimkan memo buat Soekarno. Menurut dia, kedatangannya ke
Yogyakarta membawa amanat semua tentara yang masih berjuang di luar Yogyakarta.
Intinya, mereka menolak gencatan senjata.
Besoknya,
Soekarno bertemu dengan Soedirman dan Kolonel A.H. Nasution di Istana Negara,
Yogyakarta. Soedirman mengatakan ia tidak bisa lagi mengikuti kebijakan politik
pemerintah. Dia lalu minta dibebastugaskan dari posisinya sebagai panglima
besar. Soekarno menjawab, “Bila pemimpin TNI mengundurkan diri, Soekarno-Hatta
akan lebih dulu mengundurkan diri.” Suasana hening. Mata Soekarno, Soedirman,
dan Nasution berkaca-kaca. Mereka berpisah tanpa ada satu pun kesepakatan,
Sore harinya,
Nasution diundang ke kediaman Soedirman. Kapten Soepardjo menunjukkan surat
pengunduran diri yang sudah ditandatangani Soedirman, tap belum diberi tanggal.
Nasution menemui Soedirman, yang
berbaring di tempat tidur. “Saya sampaikan bahwa persatuan antara TNI dan
Soekarno-Hatta lebih penting ketimbang strategi perjuagan,” kata Nasution.
Soedirman menyetujui pemikiran tersebut. Dia batal mengundurkan diri. Besoknya,
Soekarno mengumumkan gencatan senjata dan meminta pasukan gerilya mematuhi
perintah tersebut.
Roeslan
Abdulgani melukiskan hubungan Soekarno-Soedirman sebenarnya bak adik dan kakak.
Usia Soedirman terpaut 15 tahun lebih muda daripada Soekarno. “Itu sebabnya,
Soekarno menggunakan istilah kanda dan adinda dalam suratnya kepada Soedirman,”
ujar Roeslan. Satu hari, sebelum pindah ke Jakarta, Soekarno mengirim surat
kepada Soedirman, yang terbaring sakit di tempat tidur. Tertanggal 27 Desember
1949, presiden pertama Indonesia itu berharap Soedirman tetap memberi bantuan
dan pikiran demi meneruskan perjuangan. Soekarno juga minta maaf atas segala
kesalahan dan berharap Soedirman lekas sembuh.
Barisan Di Belakang Pak Dirman
Peran strategis Soedirman ditopang oleh kecakapan
perwira seperti Nasution dan Simatupang. Sebagian besar eks KNIL.
Mobil tua itu
meluncur dari jalan Merapi, Yogyakarta, membawa Tahi Bonar Simatupang. Wakil
Kepala Staf Angkatan Perang Indonesia itu hendak menemui Panglima Besar
Soedirman di kediamannya di Bintaran. Pagi itu, 18 Desember 1948, Soedirman
masih terbaring sakit di ranjang kamarnya. Di hadapan Soedirman yang gering,
Simatupang melaporkan situasi genting Republik. Kerajaan Belanda terus mendesak
posisi Indonesia muda yang baru berusia tiga tahun. Intesitas lobi
internasional meningkat. Walau dalam masa gencatan senjata, tersebar kabar
santer Belanda hendak melancarkan aksi militer lagi.
Mendengar
laporan Simatupang, SOedirman menyatakan siap memegang kembali komando tertingi
militer Indonesia. “Tapi tentu ini tindakan psikologis. Sebab saat itu Pak
Dirman msih jauh dari sembuh,” demikian Simatupang mengisahkan pertemuan
tersebut. Malamnya, T.B. Simatupang menghadiri sebuah pertemuan informal dengan
sejumlah anggota staf Komisi Tiga Negara di Hotel Kaliurang. Mereka
mempersiapkan perundingan lanjutan setelah Perjanjian Renville berantakan. Di
sela makan malam, siaran radio Jakarta mengabarkan bahwa esok pagi Wakil Tinggi
Mahkota Belanda Dr L.J.M. Beel akan menyampaikan pidato penting.
Keesokan
harinya, 19 Desember 1948, Simatupang tak sempat mendengar pidato Beel. Dia
sibuk mengatur pertahanan Yogyakarta. Hari itu Belanda menyerbu. Setelah
dibombardir selama tujuh jam, Ibu Kota jatuh. Soekarno-Hatta dan sejumlah
pemimpin lainnya di tawan. Sejak itulah perang gerilya dimulai. Bersamaan dengan
gerak mundur Pak Dirman, semua satuan tentara nasional menyusup ke
kantog-kantong gerilya atau wehrkreise.
Ini strategi yang sudah disiapkan lama.
Simatupang telah menetapkan sejumlah tempat di luar kota sebagai wehrkreise. Misalnya Desa Dekso di barat
daya Yogyakarta. Di tempat-tempat itu, pasukan induk akan berkumpul untuk
menggelar serangan balasan.
Simatupang
adalah bagian penting dari kisah kepahlawanan Soedirman. Kebesaran Soedirman,
sebagai panglima militer Indonesia pada masa-masa genting Republik muda,
sedikit banyak ditopang oleh kecakapan orang-orang dibelakangnya. Selain
Simatupang, di jajaran senior ada Oerip Soemahardjo. Di level menengah ada M.T.
Haryono dan Gatot Soebroto. Mereka didukung oleh Panglima Tentara dan
Teritorium Jawa. Mengenai masalah teknis-teknis militer maka itu diserahkan ke
Nasution. Dia adalah pemikir utama tentara Indonesia.
Bukan kebetulan
kalau Simatupang dan Nasution berangkat dari pendidikan militer yang sama,
Koninklijke Militaire Academie. Ini sekolah calon perwira cadangan tentara KNIL
di Bandung. Simatupang mengatakan bahwa pelajaran di akademi itu sama persis
dengan akademi serupa di Negeri Belanda. Buku-buku tentang pokok-pokok ilmu
perang, strategi, dan taktiknya disajikan dalam bahasa Belanda. Dan Simatupang
termasuk termasuk taruna yang terbaik diantara orang-orang Indonesia dan
Belanda.
Diluar kelas,
dua pemuda itu kerap membuat diskusi kecil. Temanya bukan sekedar mengenai
kemiliteran. Kedekatan mereka dengan sejumlah tokoh pergerakan membuat mereka
paham terhadap gambaran peta politik saat itu. “Sementara yang lain bicara
tentang ketentaraan saja, saya dan Simatupang sudah bicara tentang perjuangan
bangsa,” kata Nasution.ketika Jepang menyerang pada Maret 1942, mereka
diberhentikan dari sekolah dan menjadi bagian dari pasukan Belanda. Nasution
ditempatkan di Jawa Timur, sementara SImatupang menjadi anggota staf Resimen
Pertama di Jakarta.
Pada saat itu,
Simatupang sempat berkeliling Jawa untuk melihat situasi. Agar tak dicurigai,
dia menyamar menjadi penjual bukupelajaran Jepang. Di ujung perjalanan, dia
menyimpulkan : Belanda sudah habis dan Jepang tak dicintai rakyat. Kesimpulan
ini didiskusikan dengan banyak tokoh pergerakan. Di Jakarta, Simatupang banyak
berbicara dengan Sutan Sjahrir, yang saat itu sedang menggerakkan organisasi
bawah tanah menentang Jepang. Semua itu membentuk cara berfikir Simatupang
tentang peran militer dan negara demokrasi. “Percakapan dengan Sjahrir mengubah
hidup saya, membuka pandangan tentang perjuangan antara demokrasi dan fasisme,”
kata Simatupang.
Pada 17 Agustus
1945, Soekarno dan Hatta mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia. Rakyat
bersorak-sorai. Para perwira eks KNIL pun bergabung dalam Tentara Keamanan
Rakyat, cikal bakal Tentara Nasional Indonesia. Pada hari-hari itu, Nasution
dan Simatupang merintis karier sebagai perwira militer Republik yang kelak akan
amat berperan membantu Panglima Soedirman. Setelah proklamasi, Simatupang
ditarik oleh Kepala Staf Umum Tentara Keamanan Rakyat Oerep Soemohardjo untuk
membantunya di Yogyakarta. Di sana posisinya terus menanjak. Kecakapan
Simatupang membuat dia dijuluki “kamus kemiliteran”.
Ketika dia
ditunjuk menjadi Kepala Bagian Organisasi Markas Tertinggi dan anggota Dewan
Pertahanan Negara, Simatupang sudah dalam posisi strategis di barisan elite
militer. Sedangkan A.H. Nasution ditempatkan di Komandemen Jawa Barat di bawah
pimpinan Jenderal Mayor Didi Kartasasmita. Kepemimpinannya diuji ketika sebagai
Kepala Divisi III Nasution harus berada di garis terdepan menghadapi pasukan
Sekutu yang merangsek ke Bandung, pertengahan Maret 1946.
Ketika itu
Nasution mengambil keputusan untuk bertahan sambil mundur. Kepada semua tentara
di Bandung, dia mengumumkan sebuah maklumat. Isinya, semua pegawai dan rakyat
harus keluar dari kota sebelum pukul 24:00 hari itu. Tentra Indonesia akan
membakar semua bangunan. Buni hangus. Malam itu Paris Van Java jadi kota lautan
api. Banyak perwira militer dan tokoh pergerakan kala itu terkejut dengan
strategi Nasution ini. Tak sedikit yang mempertanyakan sikapnya yang tidak
berusaha mempertahankan sikapnya yang tidak berusaha mempertahankan Bandung
sampai titik darah terakhir.
Pada Mei 1946,
dua bulan setelah peristiwa pembakaran Bandung itu, pembelaan datang dari Oerip
Soemahardjo. Dia memuji keputusan Nasution sebagai langkah terbaik. Walhasil,
tatkala divisi militer di Jawa Barat dilebur jadi satu, Nasution dipercaya
menjadi Panglima Divisi Siliwangi. Pada Juli 1947, dia kembali berada dalam
situasi pelik, ketika harus memimpin pasukan Indonesia menghadapi agresi
militer Belanda pertama.
Berbekal
pengalaman badung Lautan Api setahun sebelumnya, kali ini Nasution mengambil
strategi serupa, tapi dalam skala lebih masif. Dia menggerakkan rakyat untuk
jadi pejuang di garis depan, membuat kantong-kantong gerilya seraya menerapkan
taktik bumi hangus. Sebuah taktik perang rakyat semesta. Pengalaman militer
Nsution dalam kecamuk pertempuran inilah yang menjadi embrio strategi perang
gerilya yang dilancarkan Soedirman di Yogyakarta, setahun kemudian.
Menurut
Simatupang, Nasution punya catatan detail atas apa yang terjadi selama agresi
militer pertama itu. Dia merangkumnya dalam buku Pokok-pokok Gerilya, yang kelak menjadi pegangan tentara Amerika
Serikat dalam Perang Vietnam. Analisis ini juga yang menjadi dasar persiapan
tentara menghadapi agresi militer Belanda kedua pada Desember 1948. Ketika itu
Belanda memang berhasil merebut kota Yogyakarta. Tapi Soedirman dan para
perwiranya sudah siap menyerang balik.
Sumber : Majalah Tempo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar