Pertempuran Surabaya merupakan peristiwa sejarah perang antara pihak tentara Indonesia dan pasukan Belanda. Peristiwa besar ini terjadi pada tanggal 10 November 1945 di Kota Surabaya, Jawa Timur. Pertempuran ini adalah perang pertama pasukan
Indonesia dengan pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan satu pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme.
Kronologi Penyebab Peristiwa
Kedatangan Tentara Jepang ke
Indonesia
Tanggal
1 Maret 1942, tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa, dan tujuh hari kemudian tanggal 8 Maret 1942, pemerintah kolonial Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang berdasarkan Perjanjian Kalijati. Setelah penyerahan tanpa syarat tesebut,
Indonesia secara resmi diduduki oleh Jepang.
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Tiga
tahun kemudian, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu setelah
dijatuhkannya bom atom (oleh Amerika Serikat) di Hiroshima dan Nagasaki. Peristiwa itu terjadi pada bulan Agustus 1945. Dalam kekosongan kekuasaan asing tersebut, Soekarno kemudian memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Kedatangan Tentara Inggris &
Belanda
Setelah
kekalahan pihak Jepang, rakyat dan pejuang Indonesia berupaya melucuti senjata
para tentara Jepang. Maka timbullah pertempuran-pertempuran yang memakan korban
di banyak daerah. Ketika gerakan untuk melucuti pasukan Jepang sedang berkobar,
tanggal 15 September 1945, tentara Inggris mendarat di Jakarta, kemudian mendarat di Surabaya pada
tanggal 25 Oktober 1945. Tentara Inggris datang ke Indonesia tergabung dalam AFNEI (Allied
Forces Netherlands East Indies) atas keputusan dan atas nama Blok Sekutu, dengan
tugas untuk melucuti tentara Jepang, membebaskan para tawanan perang yang
ditahan Jepang, serta memulangkan tentara Jepang ke negerinya. Namun selain itu
tentara Inggris yang datang juga membawa misi mengembalikan Indonesia kepada
administrasi pemerintahan Belanda sebagai negeri jajahan Hindia Belanda. NICA (Netherlands Indies Civil Administration) ikut membonceng bersama
rombongan tentara Inggris untuk tujuan tersebut. Hal ini memicu gejolak rakyat
Indonesia dan memunculkan pergerakan perlawanan rakyat Indonesia di mana-mana
melawan tentara AFNEI dan pemerintahan NICA.
Insiden di Hotel Yamato,
Tunjungan, Surabaya
Setelah
munculnya maklumat pemerintah Indonesia tanggal 31 Agustus 1945 yang menetapkan bahwa mulai 1 September 1945 bendera nasional Sang
Saka Merah Putih
dikibarkan terus di seluruh wilayah Indonesia, gerakan pengibaran bendera
tersebut makin meluas ke segenap pelosok kota Surabaya. Klimaks gerakan
pengibaran bendera di Surabaya terjadi pada insiden perobekan bendera di Yamato Hoteru / Hotel Yamato (bernama Oranje Hotel atau Hotel Oranye pada zaman kolonial, sekarang bernama Hotel Majapahit) di Jl. Tunjungan no. 65 Surabaya.
Sekelompok
orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch. Ploegman pada sore hari tanggal 18 September 1945, tepatnya pukul 21.00, mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru), tanpa persetujuan Pemerintah
RI Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat teratas Hotel Yamato, sisi sebelah
utara. Keesokan harinya para pemuda Surabaya melihatnya dan menjadi marah
karena mereka menganggap Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia, hendak
mengembalikan kekuasan kembali di Indonesia, dan melecehkan gerakan pengibaran
bendera Merah Putih yang sedang berlangsung di Surabaya.
Tak
lama setelah mengumpulnya massa di Hotel Yamato, Residen Soedirman, pejuang dan diplomat yang saat itu menjabat sebagai Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan)
yang masih diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu, sekaligus sebagai Residen Daerah Surabaya
Pemerintah RI, datang melewati kerumunan massa lalu masuk ke hotel Yamato
dikawal Sidik dan Hariyono. Sebagai perwakilan RI dia berunding dengan Mr.
Ploegman dan kawan-kawannya dan meminta agar bendera Belanda segera diturunkan
dari gedung Hotel Yamato. Dalam perundingan ini Ploegman menolak untuk
menurunkan bendera Belanda dan menolak untuk mengakui kedaulatan Indonesia.
Perundingan berlangsung memanas, Ploegman mengeluarkan pistol, dan terjadilah perkelahian dalam ruang perundingan. Ploegman tewas
dicekik oleh Sidik, yang kemudian juga tewas oleh tentara Belanda yang
berjaga-jaga dan mendengar letusan pistol Ploegman, sementara Soedirman dan
Hariyono melarikan diri ke luar Hotel Yamato. Sebagian pemuda berebut naik ke
atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda. Hariyono yang semula bersama
Soedirman kembali ke dalam hotel dan terlibat dalam pemanjatan tiang bendera
dan bersama Koesno Wibowo
berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek bagian birunya, dan mengereknya ke puncak tiang bendera kembali
sebagai bendera Merah Putih.
Setelah
insiden di Hotel Yamato tersebut, pada tanggal 27 Oktober 1945 meletuslah pertempuran pertama antara
Indonesia melawan tentara Inggris. Serangan-serangan kecil tersebut di
kemudian hari berubah menjadi serangan umum yang banyak memakan korban jiwa di
kedua belah pihak Indonesia dan Inggris, sebelum akhirnya Jenderal D.C. Hawthorn meminta
bantuan Presiden Sukarno untuk meredakan situasi.
Kematian Brigadir Jenderal
Mallaby
Setelah
gencatan
senjata antara pihak
Indonesia dan pihak tentara Inggris ditandatangani tanggal 29 Oktober 1945, keadaan berangsur-angsur mereda.
Walaupun begitu tetap saja terjadi bentrokan-bentrokan bersenjata antara rakyat
dan tentara Inggris di Surabaya. Bentrokan-bentrokan bersenjata di Surabaya
tersebut memuncak dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, (pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur), pada 30 Oktober 1945 sekitar pukul 20.30. Mobil Buick yang ditumpangi Brigadir Jenderal Mallaby berpapasan dengan sekelompok
milisi Indonesia ketika akan melewati Jembatan Merah. Kesalahpahaman menyebabkan terjadinya tembak
menembak yang berakhir dengan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby oleh tembakan pistol seorang pemuda Indonesia yang sampai sekarang tak diketahui identitasnya,
dan terbakarnya mobil tersebut terkena ledakan granat yang menyebabkan jenazah Mallaby sulit dikenali. Kematian Mallaby
ini menyebabkan pihak Inggris marah kepada pihak Indonesia dan berakibat pada
keputusan pengganti Mallaby, Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh untuk mengeluarkan ultimatum 10 November 1945 untuk meminta pihak Indonesia menyerahkan
persenjataan dan menghentikan perlawanan pada tentara AFNEI dan administrasi
NICA.
Perdebatan Tentang Pihak Penyebab Baku Tembak
Tom Driberg, seorang
Anggota Parlemen
Inggris dari Partai
Buruh Inggris (Labour
Party). Pada 20 Februari 1946, dalam perdebatan di Parlemen Inggris (House of Commons) meragukan bahwa baku
tembak ini dimulai oleh pasukan pihak Indonesia. Dia menyampaikan bahwa
peristiwa baku tembak ini disinyalir kuat timbul karena kesalahpahaman 20
anggota pasukan India pimpinan Mallaby yang memulai baku tembak tersebut tidak
mengetahui bahwa gencatan senjata sedang berlaku karena mereka terputus dari
kontak dan telekomunikasi. Berikut kutipan dari Tom Driberg:
"... Sekitar 20 orang (serdadu) India (milik
Inggris), di sebuah bangunan di sisi lain alun-alun, telah terputus dari
komunikasi lewat telepon dan tidak tahu tentang gencatan senjata. Mereka
menembak secara sporadis pada massa (Indonesia). Brigadir Mallaby keluar dari
diskusi (gencatan senjata), berjalan lurus ke arah kerumunan, dengan keberanian
besar, dan berteriak kepada serdadu India untuk menghentikan tembakan. Mereka
patuh kepadanya. Mungkin setengah jam kemudian, massa di alun-alun menjadi
bergolak lagi. Brigadir Mallaby, pada titik tertentu dalam diskusi,
memerintahkan serdadu India untuk menembak lagi. Mereka melepaskan tembakan
dengan dua senapan Bren dan massa bubar dan lari untuk
berlindung; kemudian pecah pertempuran lagi dengan sungguh gencar. Jelas bahwa
ketika Brigadir Mallaby memberi perintah untuk membuka tembakan lagi,
perundingan gencatan senjata sebenarnya telah pecah, setidaknya secara lokal.
Dua puluh menit sampai setengah jam setelah itu, ia (Mallaby) sayangnya tewas
dalam mobilnya-meskipun (kita) tidak benar-benar yakin apakah ia dibunuh oleh
orang Indonesia yang mendekati mobilnya; yang meledak bersamaan dengan serangan
terhadap dirinya (Mallaby). Saya pikir ini tidak dapat dituduh sebagai
pembunuhan licik... karena informasi saya dapat secepatnya dari saksi mata, yaitu
seorang perwira Inggris yang benar-benar ada di tempat kejadian pada saat itu,
yang niat jujurnya saya tak punya alasan untuk pertanyakan ... "
10 NOVEMBER 1945
10 NOVEMBER 1945
Setelah
terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, penggantinya, Mayor Jenderal Robert
Mansergh mengeluarkan ultimatum yang menyebutkan bahwa semua pimpinan dan orang
Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat
yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas. Batas
ultimatum adalah jam 6.00 pagi tanggal 10 November 1945.
Ultimatum
tersebut kemudian dianggap sebagai penghinaan bagi para pejuang dan rakyat yang
telah membentuk banyak badan-badan perjuangan / milisi. Ultimatum tersebut
ditolak oleh pihak Indonesia dengan alasan bahwa Republik Indonesia waktu itu
sudah berdiri, dan Tentara Keamanan Rakyat TKR juga telah dibentuk sebagai
pasukan negara. Selain itu, banyak organisasi perjuangan bersenjata yang telah dibentuk
masyarakat, termasuk di kalangan pemuda, mahasiswa dan pelajar yang menentang
masuknya kembali pemerintahan Belanda yang memboncengi kehadiran tentara
Inggris di Indonesia.
Pada
10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan berskala besar,
yang diawali dengan pengeboman udara ke gedung-gedung pemerintahan Surabaya,
dan kemudian mengerahkan sekitar 30.000 infanteri, sejumlah pesawat terbang,
tank, dan kapal perang.
Inggris
kemudian membombardir kota Surabaya dengan meriam dari laut dan darat. Perlawanan
pasukan dan milisi Indonesia kemudian berkobar di seluruh kota, dengan bantuan
yang aktif dari penduduk. Terlibatnya penduduk dalam pertempuran ini
mengakibatkan ribuan penduduk sipil jatuh menjadi korban dalam serangan
tersebut, baik meninggal maupun terluka.
Di
luar dugaan pihak Inggris yang menduga bahwa perlawanan di Surabaya bisa
ditaklukkan dalam tempo tiga hari, para tokoh masyarakat seperti pelopor muda Bung Tomo yang berpengaruh besar di masyarakat terus
menggerakkan semangat perlawanan pemuda-pemuda Surabaya sehingga perlawanan
terus berlanjut di tengah serangan skala besar Inggris.
Tokoh-tokoh
agama yang terdiri dari kalangan ulama serta kyai-kyai pondok Jawa seperti KH. Hasyim Asy'ari, KH. Wahab Hasbullah serta kyai-kyai pesantren lainnya juga mengerahkan santri-santri mereka dan masyarakat sipil sebagai milisi perlawanan (pada waktu
itu masyarakat tidak begitu patuh kepada pemerintahan tetapi mereka lebih patuh
dan taat kepada para kyai) sehingga perlawanan pihak Indonesia berlangsung lama,
dari hari ke hari, hingga dari minggu ke minggu lainnya. Perlawanan rakyat yang
pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak terkoordinasi, makin hari makin
teratur. Pertempuran skala besar ini mencapai waktu sampai tiga minggu, sebelum
seluruh kota Surabaya akhirnya jatuh di tangan pihak Inggris.
Setidaknya
6,000 - 16,000 pejuang dari pihak Indonesia tewas dan 200,000 rakyat sipil
mengungsi dari Surabaya. Korban dari pasukan Inggris dan India kira-kira
sejumlah 600 - 2000 tentara. Pertempuran berdarah di Surabaya yang memakan
ribuan korban jiwa tersebut telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh
Indonesia untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan. Banyaknya
pejuang yang gugur dan rakyat sipil yang menjadi korban pada hari 10 November
ini kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan oleh Republik
Indonesia hingga sekarang.
Bintang Perang Surabaya
Perang terdahsyat yang pernah dihadapi Inggris selepas
Perang Dunia Kedua. Banyak tokohnya yang dilupakan.
Sabtu
dua pekan lalu (30/10) saya diundang Soemarsono, tokoh pemuda dalam pertempuran
10 November 1945 di Surabaya, untuk hadir dalam perayaan hari lahirnya yang
ke-90 tahun. Pada usia yang sudah senja itu Soemarsono masih terlihat bugar,
selalu tersenyum menerima tamu. Tamunya datang dari beragam kalangan, sebagian
besar kawan-kawan semasa perjuangannya. Dalam kesempatan itu saya berjumpa
dengan Utomo Darmadi, adik kandung Supriyadi, pemimpin pemberontakan di Blitar yang
kemudian hilang tak tentu rimbanya.
Utomo
menolak mentah-mentah pengakuan Andaryoko Wisnuprabu dari Semarang yang mengaku
sebagai kakaknya. “Kakak saya langsung dieksekusi Jepang setelah memimpin
pemberontakan itu. Saya tahu siapa yang berkhianat. Dia jadi petinggi di zaman
Orde Baru,” kata Utomo. Sejarah memang tak identik dengan pahlawan saja, selalu
ada kisah tentang penghianatan.
Di
sudut lain pada ruangan dan acara yang sama, seorang lelaki tua duduk,
menopangkan dagunya pada sebatang tongkat. Dia Abdul Syukur, pendiri Tentara
Pelajar dan sempat menjadi komandan dari kesatuan yang terdiri dari para
pelajar itu. Abdul Syukur, seperti juga Soemarsono, turut bertempur di
Surabaya. Peluru sekutu sempat bersarang pada kaki kanannya.
Pertempuran
10 November 1945 di Surabaya membuat sekutu kalang-kabut. Satu jenderal mereka,
A.W.S. Mallaby tewas. Hampir dua ribu tentara sekutu, baik yang berkebangsaan
Inggris maupun dari divisi India, terbunuh. Pasukan Inggris mengakui
pertempuran Surabaya sebagai pertempuran terdahsyat yang pernah mereka alami
seusai Perang Dunia Kedua. Sebaliknya di pihak Indonesia kurang lebih enam ribu
pemuda gugur. “Perjuangan kami tekén mati. Kalau sudah keluar rumah sudah pasti
cuma punya dua kemungkinan, pulang hidup atau mati,” kata Soemarsono.
Sejarah
peristiwa pertempuran Surabaya selalu menyebut nama Bung Tomo. Bahkan hampir
dipastikan Bung Tomo identik dengan peristiwa tersebut. Padahal foto pidato
yang disebut-sebut membakar semangat pemuda Surabaya untuk berperang itu pun bukan
diambil saat peristiwa terjadi. Foto itu diambil ketika Bung Tomo berpidato di
Mojokerto, Juli 1945. “Foto itu kemudian digunakan untuk propaganda melawan
sekutu. Padahal bukan dibuat di Surabaya, tapi sukses juga propagandanya,” kata
Oscar Motuloh, kurator Galery Foto Jurnalistik Antara.
Ada
sederet nama yang juga harus disebut dalam sejarah pertempuran di Surabaya.
Tentu Soemarsono salah satunya, kendati wartawan senior Rosihan Anwar (alm.)
sempat membuat polemik di media massa bahwa dia tak melihat pemuda Soemarsono
bertempur di front. Nama lain yang patut dicatat adalah Hario Kecik. Hario
terkenal tangkas menembak dan lepar pisau. Semasa pemerintahan Sukarno, Hario
sempat jadi Pangdam Mulawarman di Balikpapan, Kalimantan Timur. Pascapergolakan
politik 1965, atas perintah Presiden Sukarno dia bertugas ke Moskow, Uni
Soviet. Pulang kembali ke Jakarta pada 1977 dan langsung menjadi tahanan Orde
Baru.
Dalam
suatu wawancara dengan Heru Atmodjo (alm) dia pernah menyebut nama Sudarto atau
lebih dikenal dengan julukan Darto Perang. Darto Perang kata Heru sempat pula
jadi pengawal Sukarno. Darto adalah legenda pertempuran Surabaya. “Ketika
pertempuran Surabaya, Mas Darto belum mau menembak musuh kalau jaraknya masih
lebih dari 10 meter. Kalau sudah dekat baru nembak. Satu peluru untuk satu
musuh,” kata Heru Atmodjo ketika saya wawancarai 2006 lampau. Pembawaannya
berangasan, di luar maupun di dalam suasana perang. Kenapa dijuluki Darto
Perang? Menurut Soemarsono, julukan itu datang karena Darto selalu hadir di
dalam baku tembak dengan pihak sekutu. “Dia memang pemberani, bandel orangnya
dan selalu ada setiap pertempuran. Makanya disebut Darto Perang,” kata
Soemarsono.
Mungkin
kita perlu juga memberi penghargaan kepada beberapa orang Jepang yang berada di
pihak Republik. Bukan saja kepada Maeda yang menyokong penyusunan draft
proklamasi kemerdekaan, tapi juga kepada Laksamana Shibata Yaichiro yang telah
bermurah hati membukakan gudang senjata milik Jepang dan menyerahkannya kepada
arek-arek Surabaya. Pasukan Jepang memang tak punya taring lagi. Kaisar telah
menyatakan takluk kepada sekutu. Tak ada lagi yang bisa dilakukan pasukan
Jepang di Indonesia kecuali menjaga status quo dan mengembalikan kendali atas
Indonesia ke tangan sekutu sebagai pemenang perang.
Menurut
catatan sejarawan M.C. Ricklefs Shibata menyerahkan diri pada 3 Oktober kepada
seorang kapten Angkatan Laut Belanda yang datang sebagai wakil sekutu yang
pertama. Saat menyerahkan diri dia mengakui perintah menyerahkan senjata milik
Jepang kepada para pemuda Indonesia datang darinya dan mengatakan bahwa rakyat
Indonesia akan bertanggungjawab atas senjata-senjata itu kepada sekutu. Sebuah
hal yang mustahil dilakukan oleh para pemuda. Terbukti ketika sekutu
menyebarkan pamflet ultimatum penyerahan senjata, para pemuda malah membalasnya
dengan serangan ke pos-pos militer sekutu di Surabaya.
Orang
asing lain yang juga berperan di dalam peristiwa pertempuran di Surabaya adalah
Muriel Pearson (terlahir: Muriel Stuart Walker) alias Ktut Tantri alias Surabaya
Sue. Muriel perempuan Amerika yang berpetualang ke Bali dan terlibat di dalam
perjuangan semasa revolusi. Dalam peristiwa pertempuran di Surabaya, Muriel
berperan menjadi penyiar berbahasa Inggris untuk radio bawah tanah yang
menyiarkan kepada dunia tentang keadaan di Indonesia. Atas jasanya banyak
negara lain mengetahui bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia merupakan
keinginan seluruh rakyat, bukan bikinan “kaum ekstrimis” sebagaimana yang
dikampanyekan oleh Belanda. Muriel sempat menulis kisahnya dalam memoar Revolusi
di Nusa Damai.
Pertempuran
Surabaya juga menarik perhatian Sutan Sjahrir dan Tan Malaka. Mereka berdua
punya cara pandang dan kesan berbeda terhadap pertempuran heroik itu. Bagi
Sjahrir mencela penggunaan cara-cara kekerasan di dalam perjuangan. Dia rupanya
mencemaskan fasisme Jepang yang terbawa-bawa oleh para pemuda dalam perjuangan
mempertahankan kemerdekaan. Sementara itu Tan Malaka punya cara pandang yang
lain. Tan Malaka melihat heroisme pemuda di Surabaya sebagai modal besar perjuangan
merebut kemerdekaan 100%.
Dalam
brosur Moeslihat yang ditulis selang beberapa pekan setelah Sjahrir
menulis Perdjoangan Kita, Tan Malaka menganjurkan pentingnya membentuk
“volksfront” (front rakyat). Front tersebut berjuang dalam tiga sektor,
militer, politik dan ekonomi. Front ini bukanlah sebuah pemerintahan, melainkan
sebuah organisasi yang dikerahkan untuk memenangkan pertempuran. Berbeda dengan
Sjahrir, Tan Malaka tak sepakat dengan kemerdekaan Indonesia dicapai dengan
jalan diplomasi.
Menurut
Soemarsono, pertempuran di Surabaya itu cerminan kekuatan rakyat Indonesia yang
sesungguhnya. Soemarsono berpendapat para pemuda yang kelak akan tergabung di
dalam beberapa organisasi kelaskaran itulah yang semestinya menjadi tentara
rakyat. “Mereka bersih dari beban masa lalu. Mereka bukan KNIL, KL atau PETA.
Mereka terdiri dari tukang becak, buruh, petani, pedagang yang mau berjuang
untuk kemerdekaan,” kata Soemarsono.
Lantas
bagaimana nasib para bintang perang di Surabaya itu? Semasa hidupnya Bung Tomo,
khususnya di masa Orde Baru, sempat dipenjara karena menentang pemerintahan
Soeharto. Bung Tomo wafat di Padang Arafah saat dia beribadah haji. Pada 10
November 2008 Bung Tomo dianugerahi gelar pahlawan. Hario Kecik kini dikenal
sebagai penulis yang produktif, tak hanya menulis memoar, dia juga pernah
menulis novel dan melukis. Soemarsono semasa Orde Baru sempat dipenjara di
Salemba dan karena represi Orde Baru dia memilih menjadi warga negara
Australia. Muriel Pearson wafat dalam kesepian di Sydney, Australia pada 27
Juli 1997. Sementara itu Darto Perang, ketika saya cek ke laman google,
namanya disebut sebagai salah satu pendiri ormas Kosgoro.
Kisah
kepahlawanan dalam pertempuran di Surabaya memang tak sepenuhnya berakhir
manis. Tidak seperti dalam film laga, di mana setiap episode cerita selalu
berakhir dengan kemenangan jagoan, sejarah selalu menampilkan ironi. Hari
pahlawan selalu diramaikan oleh berita pemberian gelar pahlawan kepada mereka
yang dianggap berjasa bagi Republik ini, yang acapkali bersandar pada soal suka
atau tidak suka dari para pemberi gelar itu. Tapi mereka yang turut bertempur
dan menyabung nyawa saat pertempuran terjadi, dilupakan dan sepi dari
publikasi.
Rahasia di Balik Perang Surabaya
Rahasia di Balik Perang Surabaya
Perang Surabaya November 1945, bisa dikatakan merupakan
pertemuan antara : Keberanian rakyat Indonesia, kegagalan Intel Inggris,
cerobohnya Belanda dan naifnya pemimpin Republik di Jakarta dalam memahami
keadaan.
Perang ini amat massif sifatnya dan merupakan perang
pertama di dunia setelah Hitler dikalahkan pada Mei 1945. Perang ini juga
merupakan sebuah kejutan besar bagi Inggris dan menjadi inspirasi bagi negara
Asia lainnya untuk mengobarkan perlawanan anti kolonial. Bisa dikatakan “Perang
Surabaya adalah titik balik terpenting bagi negara-negara jajahan di Asia untuk
memulai revolusinya”.
Di tahun 1942, ketika Jepang berhasil menginvasi Jawa dan
mendaratkan banyak pasukan di Pulau paling kaya di Asia, pasukan Belanda mundur
ke belakang. Beberapa pasukan Belanda di garis terdepan ditangkap dan diinternir,
namun para penggede militer Belanda terutama bagian intelnya berhasil mengungsi
ke tepi-tepi pantai atau di bandara kecil kota diterbangkan ke Australia dengan
terburu-buru. Disana para penggede militer Belanda terus menjalin hubungan
dengan Inggris, dan memeloti setiap berita yang masuk tentang Hindia Belanda.
Dikabarkan pula Belanda telah menanam ribuan senjata ringan dan beberapa
senjata berat yang siap digunakan sebagai perlawanan bawah tanah terhadap
Jepang bila kemudian hari Jepang sudah melemah daya tempurnya maka pasukan
bawah tanah bersenjata siap mengepung Jepang. Sampai detik ini belum bisa
dibuktikan adanya penemuan senjata-senjata baru, tapi dari banyak kesaksian di
masa perang Revolusi 1945 banyak dari pasukan laskar bersenjata memiliki alat
persenjataan yang amat baik dan bukan peninggalan Jepang.
Sementara di Eropa, Churchill dan Franklin Delano
Roosevelt terus melakukan koordinasi, mereka berdua memanfaatkan Stalin untuk
menghadapi Hitler di front timur dan juga memutuskan sebuah persetujuan baru
untuk bersiap bila sekutu kalah oleh Hitler di Eropa maka pertempuran akan
dilanjutkan di Asia. Churchill dan Roosevelt pun menuliskan perjanjian Atlantic
Charter 1940 yang isinya antara lain : “Hak bangsa-bangsa untuk menentukan
nasibnya sendiri” isi perjanjian ini jika dilihat kemudian waktu adalah hanya
sebagai bom waktu agar bangsa Asia bisa dimanfaatkan oleh Inggris dan Amerika
Serikat dalam melawan Hitler. Bukti bahwa Inggris-Amerika akan menjadikan semua
dunia adalah wilayah jajahan mereka terjadi tahun 1945, dalam perjanjian Yalta,
Inggris-Amerika Serikat dan Sovjet Uni sepakat bahwa geopolitik akan dibelah
menjadi blok barat dan blok timur. Setelah Stalin tertawa-tawa menandatangani
perjanjian ini di depan Roosevelt dan Churchill, lalu Roosevelt dan Churchill
bertemu di ruangan lain dan membicarakan tentang nasib jajahan Asia. Churchill
bersikeras “Biarlah jajahan di Asia akan tetap seperti masa sebelum Jepang
mengobrak-abrik Asia” ini artinya : Inggris, Perancis dan Belanda akan menerima
keuntungan besar. Roosevelt diam saja karena mau-nya Churchill ini jelas
merugikan Amerika Serikat. Roosevelt melihat keadaan dan kemudian pelan-pelan
menarik diri dari agresifitas Inggris di Asia. Bagi Roosevelt belum waktunya
Amerika masuk ke Asia, sebuah wilayah yang belum begitu dikenalnya kecuali
Filipina.
Ketika kemenangan sekutu mulai terasa di Asia, setelah
MacArthur secara lompat kodok berhasil satu persatu mencaplok pulau-pulau di
Asia, berawal dari kemenangannya menguasai pulau-pulau kecil di Pasifik
selatan, kemudian menguasai Biak dan membunuhi ribuan serdadu Jepang. Lalu
menerbangkan pesawat-pesawatnya ke Filipina, disana MacArthur memenuhi janjinya
kepada rakyat Filipina “I shall return”. Sampai pada titik ini, MacArthur dan
Amerika Serikat masih bercitra menjadi pembebas negeri, apalagi di Asia, Jepang
amat kalap demi kemenangan perang ia memperbudak penduduk negeri-negeri
jajahan.
Namun dibalik kemenangan MacArthur ini, Belanda dengan
licik memanfaatkan Amerika Serikat, seperti kebiasaan orang Belanda yang selalu
ambil manfaat sebanyak-banyaknya dan berjuang sekecil-kecilnya, maka Belanda
mulai mendompleng kemenangan MacArthur demi menguasai kepulauan paling kaya di
dunia : Hindia Belanda. Pada tahun 1943, ketika Filipina sudah dikuasai
MacArthur, Belanda langsung menerbangkan Van Mook dari Australia untuk ikut
menandatangani perjanjian di Tacloban, Filipina tentang wilayah perang. Saat
itu wilayah perang dibagi dua : Wilayah Tenggara (South East) dan South West
(Pasifik Barat Daya) kebanyakan wilayah Indonesia masuk ke dalam South West.
Baik wilayah perang Asia Tenggara dan Pasifik Barat Daya semuanya dibawah
komando MacArthur sebagai Supreme Commander. Setelah Jepang menyerah kalah,
dengan gentleman Amerika Serikat menyerahkan wilayah perang itu kepada Inggris.
Inggris saat itu menunjuk Lord Louis Mountbatten, Raja Muda India untuk menjadi
penguasa di Asia eks jajahan Jepang. Mountbatten sendiri berkedudukan di
Saigon.
Van Mook, Van Der Plas dan Spoor adalah tiga serangkai
dari Belanda yang paling banyak melobi pihak Inggris untuk mengembalikan Hindia
Belanda ke tangan Belanda. Van Der Plas menganggap remeh situasi di Hindia
Belanda. Inilah kesalahan terpenting intel-intel Belanda di Indonesia yang
masih melihat pergerakan pemuda di Jawa atau Sumatera adalah pergerakan anak
bawang. Karena sikap meremehkan Van Der Plas ini membuat Van Mook bersama Spoor
hanya merekrut 5000 serdadu Belanda dari Suriname dan Curicao untuk disiapkan
mengamankan kedatangan mereka di Jawa.
Saat sarapan pagi di markasnya Australia, Van Mook kaget
mendengar berita Proklamasi dari Jakarta. Van Mook mulai memiliki insting akan
ada situasi berat, tapi ketika Van Mook menyampaikan ini ke Van Der Plas, Van
Der Plas hanya tersenyum kecil dan berkata singkat “Apa bisa sekelompok manusia
penakut melawan Brigade tempur veteran perang dunia?”
Sekelompok orang pengecut ternyata sudah berubah. Van
Mook mati-matian mempertahankan pendapat bahwa Belanda harus mengirimkan banyak
pasukan. Van Der Plas menolak, karena dengan mengirimkan banyak pasukan akan
membuat kecurigaan Inggris tentang begitu menggebunya Belanda mencaplok Hindia
Belanda “Santai saja jangan membuat Inggris atau Amerika memperhatikan kita” .
Gagal meyakinkan Van Der Plas, akhirnya Van Mook menghubungi jaringannya di
London agar segera melobi Perdana Menteri Inggris. Utusan Van Mook mengejar PM
Inggris ke Downing Street, tapi ternyata Churchill sedang beristirahat di
Chequers, pinggiran kota London disana diadakan pertemuan dadakan. Churchill
akhirnya menyarankan agar dibentuk sebuah tentara pengambil alihan sipil, pihak
Belanda setuju lantas disana dibentuklah NICA (Nederlaands India Civil Affair),
NICA ini akan jadi semacam pengawal pemerintahan peralihan untuk kemudian
menegakkan kekuasaan Belanda di Inggris, dalam nota Chequers yang tertanggal 24
Agustus 1945 ini pula termuat komitmen Inggris untuk siap membantu apabila NICA
mengalami kesulitan dalam menegakkan kembali kekuasaannya di Indonesia.
Nota Chequers ini amat rahasia, bahkan Van Mook sendiri
sampai beberapa saat merahasiakannya di depan teman-temannya, karena apabila
ini bocor maka pendaratan Inggris sebagai pasukan pembuka akan gagal. Inggris
kemudian membentuk RAPWI, sebuah organ pembebasan tawanan perang sekutu oleh
Jepang dan pasukan Inggris mendarat di Jawa atas nama AFNEI. Barulah beberapa
hari kemudian setelah berpikir panjang Van Mook menunjukkan surat nota Chequers
ke Van Der Plas, sambil marah-marah Van der Plas bilang ke Van Mook, kenapa
tidak langsung diberikan kepada dirinya info itu, karena Van Der Plas bisa tau
posisi Inggris saat ini. Van Der Plas langsung memutuskan untuk membawa Van
Mook ke Kandy, Srilanka untuk menemui Lord Louis Mountbatten.
Disini kemudian Van Mook dan Van Der Plas ditemui di
teras belakang dengan santai di rumah dinas Mountbatten. “Kita akan melanjutkan
hasil pertemuan di Yalta 1945 dan melanjutkan keputusan tuan Perdana Menteri
tentang ini” kata Van Mook sambil menyerahkan surat nota Chequers kepada
Mountbatten. Raja Muda India itu membaca dengan seksama surat itu, lalu
mengonfirmasi dengan ajudannya atas keabsahan surat itu lewat jalur rahasia,
setengah jam kemudian ada pesan dari London bahwa surat itu absah. Tanpa pikir
panjang Mountbatten berkata “Akan saya perintah ke seluruh divisi pasukan saya
untuk membantu pasukan Belanda. Tapi ini jangan terlalu berlebihan biarlah
Inggris membereskan seluruh persoalan sipil dengan baik”
“Kami tak ingin kedahuluan Komunis” kata Van Mook
menakut-nakuti Inggris. Mountbatten tersenyum “Saya tau watak Stalin, ia sudah
terikat dengan perjanjian Yalta 1945. Stalin tidak akan masuk ke wilayah yang
dikuasai sekutu, asal kita jangan pancing dia”. Mountbatten langsung
melanjutkan “Saya punya intelijen disana namanya Kolonel Van Der Post, biarlah
dia jadi perwira penghubung nanti kita akan terima banyak laporan dari dia”.
Van Mook setuju, begitu juga dengan Van Der Plas mereka
bersalaman dengan Mountbatten lalu balik ke Australia dan menyiapkan pasukan
serta para perwira stafnya. Di Australia pemimpin pasukan diputuskan perwira
KNIL orang Jawa bernama Abdulkadir Wijoyoatmodjo dan Mayor KNIL Santoso.Abdulkadir
dan Santoso diperintahkan Van Mook untuk ke Djakarta untuk mengadakan
pengembangan kontak-kontak jaringan dengan eks perwira KNIL yang masih memiliki
pasukan. Abdulkadir dan Santoso langsung berangkat ke Jakarta dan menemui
beberapa perwira KNIL di Jakarta untuk bersiap melakukan perang dengan pihak
Indonesia apabila pasukan NICA nanti mendarat dan menerima perlawanan.
Setelah Abdulkadir bertemu dengan pasukannya, lalu Van
Mook dan Van Der Plas datang ke Jakarta disana ia berjumpa dengan Kolonel Van
Der Post, kontak terpenting Van Der Post dengan banyak pemimpin-pemimpin baru
Republik. Van Mook agak nggak suka dengan Van Der Post yang secara eksplisit
mendukung kemerdekaan Indonesia. Van Der Post sempat menertawai Belanda ketika
pasukan Belanda akan datang kembali. “Kamu akan berhadapan dengan banyak orang
nekat” kata Van Der Post di satu sore depan stadion Vios, Menteng.
Karena sudah memegang Nota Chequers itu Van Mook amat
yakin bisa menguasai kembali Republik.
Sementara di Djakarta sendiri, kedatangan sekutu disambut
baik. Sukarno amat takut apabila dirinya akan ditangkap karena tuduhan
kolaborator, sementara Hatta dan Sjahrir sudah berhitung untuk menghindari
perang terhadap sekutu. Kelemahan Sukarno yang kadang-kadang menyebalkan adalah
“Ia tidak memperhitungkan kekuatannya sendiri” padahal seluruh bangsa ini mau
merdeka secara sukarela karena mereka melihat figur Sukarno.
Hatta dan Sjahrir amat bergantung dengan figur Sukarno.
Sementara kekuatan lain belum bermunculan, Tan Malaka masih bersembunyi di
rumah Achmad Subardjo dan masih bingung harus kontak siapa lagi yang bisa
dipercaya, karena Sukarni menghilang setelah Tan Malaka bertemu dengan Sukarni
di rumahnya. Sukarni, Maruto Nitimihardjo, Chaerul Saleh, dan banyak tokoh
pemuda berkali-kali meyakinkan Sukarno akan perang total dengan sekutu. Sukarno
marah-marah karena perbuatan amat gila berperang dengan pasukan sekutu.
Para pemuda tidak tau akan nota Chequers 24 Agustus 1945,
tapi para pemuda liwat insting politiknya yakin Belanda bermain di belakang
sekutu, kejadian ini seperti 120 tahun yang lampau saat pasukan Inggris
menyerahkan Jawa ke tangan Belanda setelah kekalahan Napoleon.
Sukarno, Hatta dan Sjahrir tidak mau berspekulasi dan
memutuskan untuk menganut garis “menghindarkan perang dan menyelamatkan nyawa
orang banyak dari peperangan”.
Lalu sekutu datang ke Tanjung Priok. Kedatangan sekutu
disana mendapatkan banyak perhatian dari orang-orang Priok termasuk Hadji
Tjitra (mertuanya Lagoa, jagoan Priok) dan Hadji Tjitra melaporkan kedatangan
sekutu yang bersenjata lengkap juga beberapa orang berbicara bahasa Belanda
kepada pemimpin pemuda Maruto Nitimihardjo. Kedatangan orang Belanda ini
menjadi alasan bagi Pemuda untuk menembaki sekutu di Jalan-Jalan Djakarta, lalu
Sukarno marah-marah dan membentak Maruto juga Pandu Kartawiguna “Hentikan
Perang, Tolol!!”…………
Maruto marah begitu juga dengan Pandu. Tapi di tempat
lain sudah mulai muncul tokoh baru Tan Malaka, yang ternyata mereka kenal
sebagai Ilyas Hussein seorang utusan pemuda dari Bayah, Banten.
Di Tanjung Mas, Surabaya Pasukan sekutu mendarat dan
membebaskan banyak interniran perang Belanda. Banyak eks orang kaya Belanda
langsung lupa diri, mereka kemudian berpesta. Di Hotel Yamato, para orang kaya
Belanda menyiapkan pesta untuk mengganti nama Hotel Yamato ke nama semula yaitu
: Hotel Oranje. Proses penggantian nama ini kemudian diikuti oleh pengerekan
Bendera Belanda di atas hotal Yamato. Perintah pengerekan ini dilakukan oleh
Ploegman salah seorang advokat Surabaya di jaman sebelum Jepang. Pengibaran itu
dilakukan jam 9 malam.
Paginya pengibaran bendera Belanda bikin perhatian banyak
orang yang sedang berjalan kaki. Pemuda-pemuda yang dilapori rakyat bahwa
Belanda mengibarkan bendera langsung ngasah bambu runcing, beberapa pemuda
melapor ke Residen Surabaya : Sudirman. “Lha, kan sudah ada perintah dari
Jakarta untuk mengibarkan bendera merah putih” Sudirman memegang surat perintah
1 September 1945 tentang bendera merah putih lalu membawanya ke Hotel Yamato.
Disana Sudirman dikawal Sidik dan Haryono. Sampai di depan kerumunan massa,
Sudirman ditemui beberapa orang pemuda yang kalap “Kita bakar saja hotel ini”
Sudirman menahan ide pemuda itu, lalu ia segera masuk ke ruang lobi Hotel.
Disana Sudirman disoraki orang-orang Belanda yang sedang menyiapkan acara
dansa.
“Mana Pemimpin Belanda disini..!!” kata Sudirman sambil
kedua tangannya memegang pinggang. “Saya kamu mau apa?” kata Ploegman dengan
pandangan menghina. Lalu Sudirman menunjukkan surat perintah Djakarta tentang
pengibaran bendera “Kamu bisa baca ini?”
Ploegman mengibaskan tangannya dan mengenai surat itu
langsung terjatuh ke lantai. Sidik yang melihat kelakuan kurang ajar Ploegman
langsung memegangi leher Ploegman, lalu Ploegman mengeluarkan pistol dan
mengarahkan ke Sudirman. Tak lama kemudian dari belakang pistol meletus dan
mengenai punggung Sidik. Sidik langsung jatuh dan mati, lalu beberapa orang
Belanda mau mengeroyok Sudirman dan Haryono. Para pemuda menerobos masuk dan
terjadilah perkelahian seperti di bar-bar, beberapa orang Belanda digebuki
sampai mati.
Di luar keadaan semakin memanas, beberapa orang pemuda
naik ke atas dan merobek warna biru Belanda, lalu mengibarkan sisa bendera
robekan itu : Merah Putih, sekejap rakyat Surabaya terdiam lalu menangis,
beberapa diantara dengan semangat menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan suara
gemetar. Hari itu rakyat Surabaya memiliki keIndonesiaannya.
Sejak Insiden Yamato itu kemudian pemuda menyerang
pos-pos militer sekutu. Perang kecil-kecilan terjadi, barulah pada akhir
Oktober 1945 terjadi perang besar. Inggris mengirimkan Hawthorn untuk melobi
Sukarno di Djakarta. Sukarno langsung berangkat ke Surabaya, ditengah tembakan
mendesing Sukarno menemui beberapa pemuda dan memerintahkan menghentikan tembakan
“Musuh kita bukan sekutu, mereka hanya membebaskan tawanan perang..” kata
Sukarno. Para pemuda menuruti apa kata Sukarno.
Lalu Gencatan
Senjata Terjadi.
Van Mook menganjurkan pada Mountbatten agar mengirimkan
Jenderal administrasi saja, semacam Jenderal Salon yang tak pernah pegang
pasukan. Bagi para Jenderal amat senang dan merupakan reputasi menarik apabila
diperintahkan memegang pasukan. Begitu juga yang terjadi pada Mallaby, selama
perang dunia kedua Mallaby hanya duduk di belakang meja merapihkan administrasi
markas dan mengatur alat-alat peraga Atlas untuk presentasi para Jenderal yang
mengatur pasukan di lapangan.
Mallaby yang saat itu berpangkat Mayor Jenderal dengan
senang hati menerima perintah memimpin pasukan Brigade 49 yang terkenal nekat
dan berhasil menghajar Jepang pada perang Burma 1944. Pangkat Mayor Jenderal
pun diturunkan menjadi Brigadir Jenderal, karena pangkat seorang komandan
Brigade Inggris adalah Brigjen.
Mallaby yang saat itu menjadi saksi atas gencatan senjata
memerintahkan pasukannya untuk menarik diri dari semua pertempuran. Keputusan
itu ditandatangani 29 Oktober 1945. Namun informasi gencatan senjata ternyata
tidak sampai ke seluruh pasukan. Ada pasukan kecil India (Gurkha) yang
membangun benteng pasir di bawah Jembatan Merah Surabaya. Mereka menembaki
segerombolan pemuda. Para Pemuda membalas berondongan senjata dengan serbuan
bambu runcing, naas bagi Mallaby yang dikiranya kota sudah aman dia berjalan-jalan
malam untuk mencari restoran yang masih buka, ia lapar. Dengan naik mobil Buick
ia bersama pengawalnya berkeliling Surabaya, di dekat jembatan merah ia malah
masuk ke wilayah Republik, kemudian ada pistol menyalak ke dada Mallaby.
Seketika Mallaby mati kemudian ada granat masuk ke dalam mobil Mallaby, mobil
Mallaby meledak hebat. Mayatnya terpanggang di dalam.
Sampai sekarang siapa yang nembak Mallaby, siapa yang
melempar granat tidak diketahui, apakah ini mainan intelijen Belanda, NEFIS
atau memang sebuah aksi spontan pemuda. Namun yang jelas dari sinilah Perang
Surabaya bermula.
Dalam perang lima tahun dengan NAZI, Inggris tidak pernah
kehilangan satu Jenderal pun. Tapi di Surabaya baru lima hari mendarat seorang
Jenderal terbunuh. Inilah yang membuat marah Inggris. Lalu dengan cepat
Mountbatten menunjuk Mayor Jenderal Mansergh sebagai kepala pasukan Inggris di
Surabaya untuk membereskan kota Surabaya. Mayjen Mansergh yang jago perang
dunia itu langsung mengambil keputusan untuk melucuti semua orang Surabaya.
“Hak apa orang Inggris memerintahkan orang Surabaya
sebuah bagian dari negara berdaulat” teriak Bung Tomo sambil menggebrak meja
setelah mendapatkan laporan bahwa ada ultimatum bahwa orang Surabaya harus
menyerahkan senjata sampai tanggal 10 November 1945.
“Wah perang ini” kata Bung Tomo di depan banyak temannya.
Beberapa jam kemudian Bung Tomo memerintahkan anak buahnya untuk menyiapkan
mobil lalu pergi ke Tebu Ireng, Jombang. Disana ia berjumpa dengan Hadratus
Sjaikh Hasjim As’ary (kakek Gus Dur) untuk meminta pertimbangan. “Perang ini
akan jadi perang sahid, perang suci karena membela tanah air, tapi sebelum saya
putuskan bantu kamu baiknya kamu dzikir dulu, saya menunggu seorang Kyai dari
Cirebon”
Esoknya Hadratus Sjaikh berkata lagi pada Bung Tomo “Kamu
perang saja, ulama membantu, santri-santri membantu”.
Mendapat jaminan dan restu dari tokoh ulama, Bung Tomo
langsung ke Surabaya dan meneriakkan di corong “Radio Pemberontak”
…Saudara-saudara Allahu Akbar!!… Semboyan
kita tetap: MERDEKA ATAU MATI.
Dan
kita yakin, saudara-saudara, pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke
tangan kita
sebab Allah selalu berada di pihak yang benar
sebab Allah selalu berada di pihak yang benar
percayalah
saudara-saudara,
Tuhan akan melindungi kita sekalian.
Tuhan akan melindungi kita sekalian.
Allahu
Akbar…!! Allahu Akbar…! Allahu Akbar…!!!
MERDEKA!!!
Mendengar pidato Bung Tomo, orang Surabaya paham itu
isyarat perang. Mayjen Mansergh juga ambil kesimpulan bakal ada perang beneran.
Akhirnya tanggal 10 November tiba, sirene pagi berbunyi keras dan tak satupun
rakyat Surabaya yang datang ke pos militer sekutu untuk menyerahkan senjata.
Para pemuda membangun benteng-benteng pasir, menjalin
kawat berduri, bersembunyi di jendela-jendela toko sudah perseneleng siap
tempur.
Pagi hari Gubernur Surjo mendatangi beberapa tokoh
pemuda. Gubernur Soerjo bilang “ini sudah keterlaluan Inggris, sudah tidak
menganggap Pemerintahan Djakarta itu ada, tidak ada Republik Indonesia” lalu
Gubernur Soerjo dengan blangkonnya berpidato “kita tidak mau dijajah kembali,
Merdeka….!!”
Jam 6 pagi dari arah pelabuhan di Surabaya Utara,
kanon-kanon kapal perang Inggris sudah mengarah ke kota. Tembakan pertama
meletus jam 6.10 dari sebuah kapal kemudian meletus lagi dari semua kapal
berikutnya seluruh wilayah kota yang dekat dengan pelabuhan jadi korbannya.
Wilayah Surabaya Utara dihuni oleh banyak orang-orang
Cina, Arab, India dan beberapa pedagang dari Bugis. Rata-rata dari mereka
adalah pedagang. Rumah-rumah mereka hancur dengan tanah, tembakan kanon terus
menerus menghancurkan Pasar Turi, Kramat Gantung dan Pasar Besar. Beberapa
tempat sudah tak berbekas. Jam 7 pagi pasukan Inggris mulai masuk ke Surabaya.
Mereka masuk ke kampung-kampung dan menembaki rakyat
dengan membabi buta, ada orang tembak, ada pemuda tembak mati. Sekutu
menendangi rumah penduduk dan mencari senjata, bila ada yang melawan tembak
mati.
Rakyat Surabaya belum melawan, mereka masih siaga di
posisinya masing-masing, belum ada perintah tembak dari Djakarta. Para penggede
militer TKR di Djakarta dilapori situasi Surabaya terutama penembakan kanon di
Surabaya Utara. Amir Sjafruddin yang saat itu mengurusi pertahanan langsung
memerintahkan “Lawan!!” lalu datanglah perintah dari Djakarta agar rakyat
Surabaya melawan.
Jam 9.15 milisi Surabaya sudah dapat kabar bahwa Jakarta
menyetujui perang, lalu tembakan pertama kali terjadi di Pasar Turi dari pihak
Republik. Di batas-batas kota rakyat mulai berdatangan memasuki kota, ratusan
ribu orang memasuki kota Surabaya mempertahankan kedaulatan bangsanya yang
sedang dihina Inggris dan Belanda.
Pasukan resmi tentara juga mulai mengoordinasi, semuanya
ikut dalam barisan milisi, pertahanan Republik langsung dibangun dari arah
barat ke Timur, wilayah Asem Jajar dijadikan wilayah perang pertama antara
sekutu dan Republik. Di wilayah ini pasukan sekutu berhasil dipukul mundur,
beberapa dari mereka tewas ketika pasukan bambu runcing nekat maju dan masuk ke
lobang pasir dimana mitraliyur ditaruh. Di selatan Pasar Turi pasukan Inggris
menerobos masuk tapi ditembaki dari gedung-gedung oleh pasukan rakyat.
Jam 10.12 di langit Surabaya suara pesawat menderu-deru
kencang. Rupanya Inggris mengerahkan pasukan Royal Air Force (RAF) langsung
dari pangkalan militernya di Burma. Pasukan RAF yang dikerahkan ini adalah
veteran perang dari Perang Dunia kedua yang mengebom Berlin.
Tapi sekarang bukan Berlin yang dibom tapi Kota Surabaya,
mereka mengebom kantor-kantor pemerintahan, gedung-gedung sekolah. Bila tahun
1940 Inggris dibombardir Jerman, maka Inggris mengulangi kejahatan Jerman
dengan memborbardir kota Surabaya, banyak orang tertembak mati kena runtuh
gedung, dan orang yang tertembak mitraliyur pesawat, Inggris seperti pasukan
gila yang mengamuk habis-habisan.
Tapi Inggris belum kenal watak orang Surabaya yang panas.
Pasukan rakyat kemudian mengambil beberapa mitralyur anti pesawat buatan Jepang
dan menembaki skuadron pasukan RAF. Dua pesawat kena tembak salah satunya
adalah seorang jenderal yang bernama Brigjen Robert
Guy Loder Symonds seorang komandan pasukan Artileri yang sedang melakukan
survey udara. Jenderal ini
kemudian dibawa ke Jakarta dan dimakamkan di Kramat Pulo, Menteng.
Pertempuran makin meluas, sampai ke Kali Mas. Di pinggir
Kali Mas pasukan sekutu langsung menggempur pasukan rakyat. Jam 12 siang hari
pertama, pasukan infanteri mulai mendarat sekitar 20.000 orang, inilah pasukan
terbesar Inggris setelah perang dunia selesai, dan merupakan perang paling
brutal sepanjang sejarah pertempuran pasukan Inggris.
Dari Radio hampir seluruh rakyat Indonesia menunggu
laporan-laporan dari perkembangan perang, mereka menunggu pidato Bung Tomo.
Semua mendekatkan telinga mereka di radio. Pada hari itu juga banyak dari
orang-orang Indonesia di tempat lainnya menyiapkan diri untuk perang ke
Surabaya. Sekitar 20.000 orang Bali sudah siap masuk ke Surabaya, beberapa bisa
menyusup dan langsung menggempur sekutu. Dari Aceh sudah disiapkan ribuan orang
pengiriman, di Medan ribuan orang berkumpul untuk bersiap diberangkatkan ke
Surabaya, di Lombok Mataram di depan para Ulama, rakyat Lombok siap mati dan
akan berangkat ke Surabaya. Di Yogyakarta sudah mulai ada pengiriman pasukan,
Malang sudah kirim pasukan sementara Djakarta masih menunggu perkembangan,
penggede-penggede Djakarta masih berharap perang bisa diselesaikan dengan
cepat.
Di wilayah lain di luar Surabaya, Jenderal Sudirman dan
para staf-nya memutuskan untuk memotong rantai logistik sekutu. Jadi 20 ribu
pasukan infanteri bakalan terlokalisir dan digebuki rakyat Surabaya. Taktik ini
berhasil, laskar-laskar rakyat di Jawa Barat menghadang pasukan logistik sekutu
yang mau masuk dari arah barat, di Malang gudang logistik pasukan sekutu
dihancurkan, otomatis selama 5 hari pasukan sekutu terkunci dari semua pintu
masuk kota, sementara ribuan orang Indonesia terus mengalir memasuki kota
dengan senjata apa adanya berperang melawan sekutu.
Pasukan sekutu mulai stress, karena logistik tidak ada,
bantuan tempur logistik yang diterjunkan dari pesawat kemakan orang-orang
Republik, bahkan nyaris tidak ada logistik yang berhasil didapatkan pasukan
Inggris. Mereka sudah terkunci dan terkepung oleh seluruh orang Indonesia yang
mengitari mereka, keberadaan pasukan Inggris dari Brigade 49 tinggal menghitung
waktu.
Tempat-tempat dimana pos pasukan Inggris berada di
blokade total, tak ada listrik, tak ada makanan, mereka harus berjaga 24 jam
agar jangan sampai ditembaki Republik yang terus menerus nggan berhenti. Di
hari kelima pertempuran mulai jarang tembakan dari pasukan sekutu, pasukan
Inggris mulai kehabisan amunisi, beberapa orang Surabaya nekat masuk ke pos-pos
Inggris dan meledakkan granat, inilah yang mereka takutkan. Dalam kondisi rusak
mental inilah, pasukan Brigade 49 mulai teriak-teriak ke markas mereka di
Djakarta bahwa mereka sudah terdesak.
Rahasia kekalahan Inggris ini disimpan rapi-rapi, jangan
sampai Penggede Republik Indonesia tau, mereka berlagak ja’im dan masih
mencitrakan diri sebagai pemenang perang di Surabaya. Begitu juga dengan
pemimpin di Jakarta yang tidak begitu mengetahui perkembangan perang di
Surabaya, mereka sudah ‘underestimate’ bahwa perang akan dimenangkan oleh Inggris.
Di Singapura para panglima Inggris berkumpul. “Kita sudah
kalah di Surabaya” kata seorang Panglima. “Pasukan kita sudah kelaparan, tidak
ada lagi pasokan” memang saat itu pasukan sekutu sudah amat kelaparan. Mereka
tidak dapat pasokan logistik, sementara para pejuang Republik dapat pasokan
terus menerus nasi bungkus, pisang, dan banyak bahan makanan dari rakyat yang
sukarela membuatkan masakan di dapur umum. Bahkan beberapa pasukan Inggris
seperti anjing kelaparan saat melihat sisa nasi bungkus bahkan yang udah basi,
mereka ambil dan makan.
“Keadaan ini harus dirahasiakan” Bagaimanapun pasukan
Brigade 49 dari Divisi V adalah pasukan kebanggaan Inggris, mereka dijuluki
“Fighting Cock” pada Perang Burma 1944, merekalah yang merebut satu persatu
wilayah Burma dengan sistem gerilya hutan, kini Brigade itu perlahan-lahan mati
kelaparan, digebukin dan ditembakin.
Lalu para Panglima itu mengutus Admiral Heifrich menemui
Presiden Sukarno. Heifrich mengakui sendiri dalam buku biografinya, ‘Keputusan
untuk menghentikan perang, satu-satunya hanya pada Presiden Sukarno” apa yang
dilakukan Heifrich ini bila diperhatikan sangat aneh untuk watak Inggris yang
amat ksatria. Karena saat ultimatum, Inggris sempat menganggap Pemerintahan
Republik Indonesia tidak ada, lantas setelah pasukan Brigade 49 sudah kalah dan
terjepit ia minta tolong pada Sukarno.
Disinilah kesalahan Sukarno paling fatal, ia masih
termakan halusinasi bahwa sekutu adalah pihak yang menang perang dan merupakan
alat yang baik untuk berdiplomasi dengan Belanda. Sukarno nggak paham kekuatan
bangsa sendiri, ia tidak langsung melihat pertempuran, jalan diplomatiknya yang
dipilih merupakan blunder besar dalam perang Kemerdekaan 1945-1949.
Perang Surabaya yang berlangsung selama tiga minggu, di
minggu pertama dimenangkan oleh pihak Republikein, tapi karena keputusan
Sukarno yang memerintahkan penghentian perang, sehingga Jenderal Sudirman
membuka blokade lalu pasukan Divisi V yang awalnya sudah diputuskan tidak akan
masuk Surabaya karena takut dihabisi, jadi masuk. Logistik yang tadinya
terputus mengalir kembali.
Dan kemudian Inggris mampu menghajar pasukan Republik.
Lalu nggak berapa lama Inggris menguasai kota Surabaya, karena sudah dapat
suplai logistik dari Jakarta.
Apakah yang terjadi bila Sukarno tau kebohongan Inggris,
mulai dari Nota Chequers 24 Agustus 1945 sampai pada rahasia pasukan Brigade 49
yang kocar-kacir. Sukarno saat itu berada pada persimpangan politik yang amat
tragis. Di satu sisi hanya dia-lah yang dipercaya rakyatnya, di sisi lain dia tidak
mau perang dengan sekutu, karena nama Sukarno sudah tercatat sebagai
kolaborator. Bila Sukarno diambil pihak sekutu, Sukarno kuatir Indonesia akan
kehilangan pemimpin.
Kesalahan besar Sukarno yang menghentikan perang ini juga
sama fatalnya dengan perintah Sukarno agar melarang pasukan KKO pimpinan Mayjen
Hartono masuk ke Djakarta di tahun 1966 untuk memberikan pelajaran bagi
Suharto. Sukarno memang pribadi yang menarik tapi ketika ia harus masuk ke
dalam situasi perang nampaknya ia lebih memilih menghindar.
Padahal perang Surabaya adalah sebuah drama besar yang
bisa dijadikan landasan untuk merdeka sepenuhnya, Perang Surabaya juga
dikabarkan lewat radio-radio dan didengarkan oleh para pejuang di banyak negara
terjajah seperti Vietnam dan Burma, dari perang inilah kemudian membangkitkan
semangat mereka melawan Kolonialisme.
Pelajaran dari sejarah ini adalah ketika kita sudah pada
situasi perang, janganlah kita hentikan dengan diplomasi, janganlah kita
memberikan tempat pada lawan. Reformasi 1998 terlalu memberikan tempat pada
orang Orde Baru sehingga perjalanan demokrasi menjadi rusak, begitu juga dengan
sikap lemah kita pada IMF atau Bank Dunia. Kita harus percaya atas kemampuan
diri sendiri.
Di Surabaya 1945 menjadi pengetahuan bagi kita bahwa kita
bangsa berani………………
Tidak ada komentar:
Posting Komentar