Kiai Sadrach (lahir tahun 1835 – meninggal di Purworejo, 14 November 1924) adalah salah seorang yang menjadi penyebar agama Kristen di tanah Jawa. Ia dilahirkan sekitar tahun 1835, di daerah Karesidenan
Jepara. Sumber lain ada yang mengatakan di
lahir di karesidenan Demak.
Mengenal Kristen
Nama kelahirannya adalah Radin, dan saat dia berguru di pesantren daerah Jombang namanya bertambah menjadi Radin Abas. Akan tetapi,
setelah belajar di Jombang ia pun hijrah ke Semarang dan bertemu dengan seorang penginjil yang bernama Hoezoo dan kemudian Radin Abas pun ikut
kelas Katekisasi yang diajar
oleh Hoezoo tersebut.
Di dalam proses Kelas Katekisasi tersebut, ia berkenalan
dengan seseorang yang sudah sepuh (tua) bernama Kiai
Ibrahim Tunggul Wulung yang asalnya sedaerah dengan Radin, yaitu dari daerah Bondo, Karesidenan
Jepara. Semenjak perkenalan tersebut, Radin menyatakan kehendaknya menjadi
murid Tunggul Wulung.
Dibaptis
Setelah menjadi murid Tunggul Wulung, mereka berdua pun
sempat bepergian ke Batavia. Di Batavia inilah Radin dibaptis pada
tanggal 14 April 1867 dan menjadi anggota gereja Zion Batavia yang beraliran
Hervormd. Saat dibaptis beliau berusia 26 tahun dan memiliki nama baptisan Sadrach. Semenjak saat itu beliau
tidak lagi dipanggil Radin Abas, akan tetapi Sadrach Radin yang lambat laun
hanya dipanggil Sadrach saja. Sejak saat dibaptis itulah dia bertugas untuk
menyebarkan brosur dan buku-buku tentang agama Kristen, dari rumah ke rumah di
seputar Batavia.
Setelah dibaptis dan menyebarkan brosur-brosur
kekristenan, Sadrach pun kembali ke Semarang. Di sana Kiai Tunggul Wulung telah
mendirikan beberapa desa Kristen, yaitu Banyuwoto, Tegalombo, dan yang paling
terkenal adalah desa Bondo di Utara Jepara.
Setelah sempat menjadi pemimpin jemaah Bondo, karena
Tunggul Wulung berkeliling untuk menarik orang-orang untuk tinggal di Bondo.
Setelah Tunggul Wulung kembali ke Bondo, Sadrach pun keluar dari Bondo dan
keliling menuju Kediri saat berusia 35 tahun dan pergi ke Purworejo.
Di Purworejo-lah Sadrach diangkat anak oleh Pendeta
Stevens-Philips. Sadrach tinggal di Purworejo pada tahun 1869 selama setahun dan pindah ke Karangjasa sekitar 25
kilometer sebelah Selatan Purworejo.
Keputusan Sadrach untuk meninggalkan Steven-Philips
merupakan keputusan khas dari kiai-kiai Jawa pada saat itu, yaitu motif
kepercayaan diri dan semangat untuk mandiri dan merdeka. Untuk itu pun, Sadrach
lebih bebas berkarya tanpa di bawah pengawasan Philips lagi.
Kiai Ibrahim yang tinggal di Sruwoh, desa
tetangga, adalah orang pertama yang dikristenkan oleh Sadrach dengan metode
debat umum. Orang kedua yang dikristenkan adalah Kiai Kasanmetaram yang
terkenal pada zaman itu. Metode yang dipergunakan oleh Sadrach adalah debat
yang berlangsung hingga beberapa hari lamanya.
Semenjak itu kiai-kiai yang berdebat dan akhirnya tidak
lagi ikut katekisasi dengan Steven-Philips, akan tetapi menerima ajaran
katekisasi dari Sadrach. Namun demikian hubungan Sadrach dengan Stevens-Philips
tetap berlanjut. Sadrach menganggap Philips sebagai pelidungnya secara formal
yang menjembatani dengan para penguasa Belanda. Semua murid Sadrach dibaptis oleh Pendeta dari Pekabar
Injil Belanda.
Ditangkap Belanda
Sadrach menjadi guru yang sangat berpengaruh, karena
kemampuannya tidak hanya berdebat umum, akan tetapi juga di dalam menguasai
roh-roh kekuatan gelap. Akan tetapi Sadrach sempat ditangkap dan dipenjara oleh
Pemerintah Belanda karena dianggap sebagai ancaman politik yang potensial
karena memiliki pengaruh yang kuat di kalangan pribumi.
Namun demikian Sadrach dibebaskan setelah dipenjara
selama hampir 3 bulan, oleh karena Pemerinta Belanda tidak dapat menemukan
bukti yang cukup kuat. Setelah keluar penjara, ia kembali dapat bekerja tanpa
rintangan. Di dalam metode berikutnya, Sadrach lebih memilih menggunakan
simbol. Sadrach tertarik menggunakan simbol yang merupakan aspek yang penting
di dalam kebudayaan Jawa. Simbol yang dipilihnya adalah sapu,
yang dibagikannya kepada 80 kelompok jemaat setempat. Ia memberikan sapu dengan pesan bahwa jemaat harus bersatu dan kuat,
terikat satu sama lain bagaikan sapu yang diibaratkan sebagai Yesus.
Meninggal Dunia
Pada tanggal 14 November 1924 di dalam usianya yang mendekati 90 tahun, tokoh besar
Radin Abas Sadrach Supranata meninggal dunia. Beliau meninggal dunia di dalam
tidurnya dengan tenang. Saat pemakamannya hadir kerabat-kerabatnya seperti
Bupati Kutoarjo dan Kulon Progo. Sehingga
tampak jelas bahwa Sadrach telah dikenal luas pada zaman itu.
Berkaca dari Kiai
Sadrach
Para
misionaris dan orientalis berupaya memisahkan identitas Islam dari Jawa untuk
melancarkan misi kristenisasi
Islam pada abad XIX menjadi inspirasi utama
perlawanan rakyat Indonesia terhadap pemerintah kolonial Belanda. Baik yang
berskala besar seperti Perang Diponegoro, Perang Padri, Perang Aceh sampai
perlawanan yang berskala kecil dalam pemberontakan petani di Cilegon. Kejadian
ini menyebabkan Belanda mengubah gaya politik kolonialnya, dengan melakukan
politik etis yang meliputi educatie, emigratie dan irrigatie (pendidikan,
perpindahan dan pengairan).
Kerstening politiek (politik pengkristenan)
merupakan bagian tidak terpisahkan dari politik etis. Sehingga kaum etisi
mendapat sokongan penuh dari partai-partai agama di Belanda. Pengkristenan
Nusantara tetap merupakan panggilan rakyat Kristen Eropa (Belanda).
Kisah
Sadrach Yang Gagal
Setidaknya, ada dua macam penetrasi Kristen ke
dalam masyarakat Jawa, yakni penerjemahan Alkitab dan pemakaian kebudayaan
Jawa. Penerjemahan pertama kali dilakukan oleh Johannes Emde pada 1811.
Sedangkan yang mempelopori pemakaian budaya Jawa dalam penginjilan adalah
Coenraad Laurens Colen. Konsep Colen inilah yang kemudian berkembang dan
disebut inkulturasi. Nama-nama seperti Paulus Tosari, Matius Niep, Kiai
Sadrach, Ngibrahim Tunggul.
Wulung Adalah
Buah Dari Inkulturasi Dalam Penginjilan.
Dari deretan nama tadi, Kiai Sadrach merupakan
sosok yang paling populer. Ia seorang guru ngelmu (pinisepuh). Dalam
mengenalkan kristen kepada masyarakat, Sadrach menyebut gerejanya dengan
masjid. Dan memang gereja itu gaya bangunannya mirip masjid pada umumnya.
Sebelum upacara peribadatan dimulai, sebuah bedhug dipukul dan diakhiri dengan
ritual slametan.
Bagi Kiai Sadrach, Bible adalah norma hidup yang mirip dengan pitutur (nasehat) dan wewaler (larangan, pantangan) orang Jawa dan syariat dalam pandangan Islam. Sadrach bukan fenomena tunggal, sebab di Jawa Timur juga ada Ngibrahim Tunggul Wulung, yang memaknai kekristenannya menyerupai Muslim dan akhirnya dikafirkan oleh para pendeta.
Calvinis Yang
Membaptisnya.
Kegagalan Kristen versi Sadrach dan Tunggul
Wulung yang dianggap berkepercayaan ganda, separo kristen dan separo Islam,
disebabkan integrasi yang sangat kaut pandangan metafisika Islam ke dalam
masyarakat Jawa. Selain itu, menjadi kristen saat itu, bagi orang Jawa adalah
aib terbesar dalam hidup. Di masyarakat, ia akan menyandang gelar wong jawa
ilang jawane (orang jawa hilang jawanya), atau jawa wurung landa durung (hilang
jawanya, tapi Belanda juga belum). Karena itu, apa yang dilakukan Sadrach
maupun Ngabdullah Tunggul Wulung, bisa jadi untuk menghindari resistensi sosial
masyarakat sekitar.
Inkulturasi
dan Kudeta Kebudayaan
Sepertinya, Van Lith, misionaris Katolik ordo
Yesuit, belajar dari kasus Sadrach. Setelah korespondensi panjang dengan
Sadrach, dan pengamatan mendalam di lapangan, Van Lith mengubah pola
penginjilannya. Dari individu menjadi penginjilan kolektif dalam bentuk
sekolah. Dengan mendidik anak-anak Jawa sejak kecil, diharapkan akan
menghasilkan kekatolikan/kekristenan yang murni. Seiring dicanangkannya politik
etis di bidang educatie (pendidikan) di kalangan pribumi, Van Lith lalu
mendirikan sekolah calon guru.
Dalam mencari murid yang berkualitas, Van Lith aktif melakukan kunjungan kepada para bangsawan kraton dan priyayi, agar menyekolahkan anaknya di Kolese Xaverius (sekolah yang didirikan Van Lith itu). Semua murid yang masuk awalnya adalah Muslim, lalu menjadi Katolik ketika lulus. Tidak cukup menjadi guru, beberapa murid Kolese Xaverius melanjutkan pendidikannya ke jenjang imamat. Sehingga bila dilihat dari banyaknya jumlah imam pribumi yang dihasilkan, menurut Steenbrink, usaha Van Lith ini paling sukses di dunia untuk kegiatan serupa.
Dalam mencari murid yang berkualitas, Van Lith aktif melakukan kunjungan kepada para bangsawan kraton dan priyayi, agar menyekolahkan anaknya di Kolese Xaverius (sekolah yang didirikan Van Lith itu). Semua murid yang masuk awalnya adalah Muslim, lalu menjadi Katolik ketika lulus. Tidak cukup menjadi guru, beberapa murid Kolese Xaverius melanjutkan pendidikannya ke jenjang imamat. Sehingga bila dilihat dari banyaknya jumlah imam pribumi yang dihasilkan, menurut Steenbrink, usaha Van Lith ini paling sukses di dunia untuk kegiatan serupa.
Dalam Kolese Xaverius, identitas kejawaan sangat
ditekankan, sedangkan segala hal yang berbau Islam dihilangkan. Bahasa Melayu,
yang dianggap identik dengan Islam tidak diajarkan, cukup dua bahasa: bahasa
Jawa dan bahasa Belanda. Dengan demikian diharapkan proses integrasi
kekatolikan dan kejawaan dapat berjalan sempurna. Van Lith juga mendidik para
muridnya untuk serius mengkaji budaya Jawa. Hasil kajian dari para muridnya itu
diterbitkan dalam jurnal St Claverbond, yang diterbitkan di Belanda.
Satu karya tulis dari pastur Jesuit yang dianggap
mampu menangkap inti dari kebudayaan Jawa adalah disertasi dari Petrus Joshepus
Zoetmulder yang terbit pada 1935. Dalam disertasinya yang berjudul Pantheisme
en Monisme In de Javaansche Soeloek-Litteratuur, Zoetmulder dianggap mampu
mengungkap inti pandangan ketuhanan masyarakat Jawa, melalui telaahnya terhadap
Serat Centhini dan pelbagai karya sastra suluk Jawa. Menurut Dick Hartoko,
meskipun penelitian ilmiah (mengenai kebudayaan Jawa) tidak pernah berhenti,
tetapi itu tidak menggoyahkan patokan-patokan yang ditancapkan oleh Dr.
Zoetmulder setengah abad yang lalu.
Dalam pandangan Zoetmoelder, doktrin manunggaling kawula gusti sama sekali tidak terkait dengan konsep wihdatul wujud yang menjadi diskursus kontroversial kalangan ahli tasawuf Islam. Menurutnya, manunggaling kawula gusti dalam budaya Jawa adalah suatu bentuk pandangan monistis yang berasal dari ajaran Atman Hindu. Bahkan pada karya sastra yang eksplisit, corak ke Islamannya pun akan dianggap sebagai Islam yang telah terpengaruh alam religius India maupun lewat alam religius Hindu Jawa.
Dalam pandangan Zoetmoelder, doktrin manunggaling kawula gusti sama sekali tidak terkait dengan konsep wihdatul wujud yang menjadi diskursus kontroversial kalangan ahli tasawuf Islam. Menurutnya, manunggaling kawula gusti dalam budaya Jawa adalah suatu bentuk pandangan monistis yang berasal dari ajaran Atman Hindu. Bahkan pada karya sastra yang eksplisit, corak ke Islamannya pun akan dianggap sebagai Islam yang telah terpengaruh alam religius India maupun lewat alam religius Hindu Jawa.
Tetap
Berlangsung Hingga Kini
Inkulturasi, pada perkembangannya tidak hanya
untuk kalangan internal, tapi juga untuk membentuk konsep tentang Jawa.
Sehingga dapat dilihat, saat ini pandangan Zoetmulder menjadi mainstream dalam
banyak penelitian mengenai agama Jawa atau kebudayaan Jawa. Beberapa buku
tentang Jawa pada periode berikutnya, masih mengacu pada kerangka berpikir
Zoetmulder, bahkan lebih menspesifikkan lagi tentang apa yang disebut sebagai
agama Jawa. Dan keseriusan ini terbukti mampu menghasilkan nama-nama besar yang
dalam berbagai sisi kebudayaan Jawa, seperti Bagong Kusudiharjo di bidang tari
Jawa, SH Mintarja dengan novelnya, Api di Bukit Menoreh, YB Mangunwijaya di
bidang arsitektur dan pemberdayaan masyarakat. Dikalangan antropolog ada nama
Niels Mulder, penulis buku Mistisisme Jawa; Frans Magnis Suseno, Etika Jawa,
Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Juga ada Sindhunata,
Anak Bajang Menggiring Angin. Di tingkat nasional kita mengenal Prof.
Drijarkara, yang terkenal dengan konsep ’Indonesia bukan negara agama tapi juga
bukan negara sekular,’ WJS Poerwadarminto dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Karena itu, jika wajah sinkretik menjadi wajah
utama Muslim Jawa, Walisanga ”tertutupi” Syekh Siti Jenar dan munculnya
anggapan bahwa aqidah kejawen Manunggaling Kawulo Gusti versi kebatinan
dianggap sebagai wakil resmi Muslim Jawa, tidak lain dan tidak bukan adalah
buah dari gerakan jangka panjang orientalisme dan misionarisme di Jawa.
Setidaknya, bila masyarakat tidak berhasil terkristenkan, paling tidak mereka
akan jauh dari agamanya, sebuah wasiat suci Samuel Zwemmer untuk para
penginjil.
Ibrah dari Pembantaian 6000 Ulama &
Pemurtadan Kyai Sadrach
Ketika zaman penjajahan Belanda yang beragama
Kristen, umat Islam di negeri ini pernah mengalami masa yang amat kelam. Masa
di mana ribuan ulama pernah dibantai oleh seorang raja zhalim yang telah
diperalat penjajah Kristen Belanda.
Dalam kuliah umum Majelis Ilmi Ar Royan dengan
tema “Sejarah Kristenisasi di Indonesia dan Modus Penyebarannya” pada Ahad pagi
(8/1/2012), ustadz Hartono Ahmad Jaiz salah satu pembicara acara tersebut
menuturkan selain menjadi sasaran penindasan penjajah Kristen Belanda umat
Islam juga diperalat menjadi pelakunya. Hal ini bisa dilihat dalam sejarah
–sayangnya sejarah ini berusaha ditutupi- di mana Raja Amangkurat I adalah
orang yang paling bertanggung jawab atas pembantaian kurang lebih 5000
sampai 6000 ulama yang dikumpulkan di seluruh tanah Jawa.
“Pembantaian terhadap umat Islam kadang bukan
hanya menimpa umat secara umum, namun justru inti umat yang dibantai, yaitu
para ulama. Pembantaian yang diarahkan kepada ulama itu di antaranya oleh
Amangkurat I, penerus Sultan Agung, raja Mataram Islam di Jawa, tahun 1646,”
ungkapnya di hadapan ratusan jama’ah yang hadir.
Mengutip tulisan dalam buku “Penyebaran dan
Perkembangan Islam- Katolik- Protestan di Indonesia” yang ditulis Sjamsudduha,
ustadz Hartono menambahkan; “Penyebaran Islam menjadi benar-benar terhambat dan
sekaligus merupakan sejarah paling hitam tatkala Amangkurat I mengumpulkan 5000
sampai 6000 orang ulama seluruh Jawa dan membunuhnya seluruhnya secara
serentak,” imbuhnya.
Ironisnya sejarah kelam ini justru ditutup-tutupi
oleh penulis sejarah dari kalangan Islam sendiri, tentu saja menurut ustadz
Hartono usaha menutup-nutupi sejarah ini menjadi praktik pembodohan yang
dilakukan umat Islam sendiri.
Selain modus pembantaian oleh Raja yang telah
diperalat, untuk melancarkan Kristenisasi penjajah Belanda juga menggunakan
orang-orang yang menjadi figur ditengah masyarakat yang berlabel “Kyai.”
Seolah meniru taktik penjajah Kristen Belanda
saat ini begitu banyak Kyai liberal diciptakan untuk mendukung dan memudahkan
aksi kristenisasi.
Ustadz Hartono bercerita tentang seorang Kyai
murtad asal Jepara dan menjadi misionaris di tanah Jawa yang bernama Kyai
Sadrach.
“kalau sekarang ada orang-orang yang membela
pemurtadan, maka bukan hanya sekarang, di zaman Belanda sudah ada. Kyai Sadrach
Bagi sebagian masyarakat yang terlanjur mempersepsikan sebutan kyai dengan
ulama agama Islam, boleh jadi akan kecele. Sebab, kyai yang satu ini adalah
murtadin (orang murtad bahkan penginjil, keluar dari Islam) yang aktif
menyebarkan agama Kristen sembari membiarkan tradisi Jawa larut dalam ajaran
Kristen. Diperkirakan, ia lahir di Jepara pada tahun 1835, dan meninggal dunia
pada 14 November 1924 dalam usia 89 tahun,” jelas pemimpin redaksi
nahimunkar.com ini.
Kyai Sadrach bernama asli Radin, berasal dari
keluarga miskin dan bahkan pernah menjadi pengemis, usai menimba ilmu dari
sebuah Ponpes di Jombang Jawa Timur, ia berkelana sampai akhirnya bertemu
seorang penginjil bernama Hoezoo dan murtad.
Di Semarang ternyata Radin bertemu dengan seorang
Kyai sepuh bernama Tunggul Wulung yang lebih dulu murtad dan Radin pun menjadi
muridnya.
Radin dibawa ke Batavia oleh Kyai Ibrahim Tunggul
Wulung, dibaptis dengan nama Sadrach pada tanggal 14 April 1867, ketika usianya
menginjak angka 32 tahun. Sejak saat itu, Radin alias Sadrach menjadi anggota
gereja Zion Batavia yang beraliran Hervormd. Tugas pertamanya, menyebarkan
brosur dan buku-buku tentang agama Kristen dari rumah ke rumah di seputar
Batavia.
Meski sudah Kristen Sadrach tetap menyematkan
label Kyai dan tentu ini bukan tanpa sebab, ia semakin giat melakukan
kristenisasi hingga berhasil memurtadkan banyak orang dan memurtadkan para Kyai
lainnya yaitu Kyai Ibrahim yang tinggal di Sruwoh, tak jauh dari Karangjasa,
dan Kyai Kasanmetaram.
Lebih lanjut ustadz Hartono menceritakan Sadrach
menjadi anak angkat Pendeta Stevens Philips dan giat melakukan kristenisasi
dengan mencampurkan budaya Jawa termasuk kejawen di dalamnya sehingga ia
mendapat banyak pengikut. Namun demikian para misionaris asal Belanda justru
melihat Sadrach yang sangat berpengaruh di kalangan pribumi ini dianggap
ambisius, gila hormat, mencampur adukkan sinkretisme dengan Kristen hingga
ancaman potensial untuk memberontak pada Belanda. Bahkan misionaris Belanda
pernah menyatakan pemisahan diri dari jemaat Sadrach. Sadrach pun pernah
dipenjara oleh Belanda meski akhirnya dibebaskan.
Begitulah nasib Kyai murtad yang kemudian bernama
lengkap Radin Abas Sadrach Supranata. Meski sudah murtad dan aktif
mengkristenkan kalangan pribumi, ia tetap dipandang sebagai orang Jawa yang
kedudukannya lebih rendah dari orang Belanda.
Menurut ustadz Hartono inilah ‘ibrah yang harus
diambil, bahwa orang-orang yang menyengsarakan Islam di dunia ini, selain umat
sudah tidak percaya, pihak sponsor pun belum tentu percaya bahkan tidak
dianggap, sehingga mereka pada akhirnya mendapat celaka di dunia dan adzab yang
besar di akhirat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar