Senin, 15 April 2013

Si Kaji Menjadi Bintang Lima



Asal Usul Si Bintang Lapangan  

Senin Pon, 18 Maulud 1846 dalam almanak Jawa atau 24 Januari 1916. Seorang bayi lahir di dukuh Rembang, Desa Bantar Barang, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, sekitar 30 kilometer. Ia lahir dari rahim Siyem, wanita asal Purwokerto istri Karsid Kartoworidji, seorang pekerja pabrik gula. Bayi laki-laki itu diberi nama Soedirman. Nama itu diberikan ayah angkatnya, Raden Tjokrosoenarjo, asisten wedana di Rembang, Purbalingga. Sejak lahir, ia memang langsung diurus dan tinggal di rumah pasangan Tjokrosoenarjo dan Toeridowati.
Menurut data Pusat Sejarah Tentara Nasional Indonesia, istri Tjokrosoenarjo adalah kakak kandung ibunda Soedirman. Sejak Soedirman masih di dalam kandungan, Tjokrosoenarjo sudah meminta izin Siyem agar kelak bisa merawat kemenakannya itu.
Setelah Soedirman berusia delapan bulan, Tjokrosoenarjo pensiun dari jabatannya. Berbekal duit pensiun 62,35 gulden, ia memboyong keluargannya, termasuk Soedirman dan orang tuannya, pindah kesebuah rumah sederhana di Kampung Kemanggisan, Kelurahan Tambakreja, sebelah selatan pusat Cilacap, Jawa Tengah. Soedirman memasuki masa sekolah pada 1923. Kala itu, berkat status Raden Tjokrosoenarjo yang bekas pejabat, Soedirman kecil bisa memperoleh pendidikan formal di Hollandsch-Inlandsche School (HIS, setingkat sekolah dasar) pada usia tujuh tahun. Di sekolah milik pemerintah ini, ia dikenal sebagai murid yang sangat rajin, berdisiplin, dan pandai.
Di sekolah inilah bintang Soedirman mulai bersinar terang. Salah satunya lewat olah raga kegemarannya yaitu sepak bola, saking piawainya memainkan si kulit bundar, Soedirman, yang biasa berposisi sebagai penyerang, dijuluki si bintang lapangan. Selain jago bemain sepak bola, Soedirman juga menguasai betul aturan dan tata cara permainan sepak bola. Lantaran dikenal sebagai sosok yang jujur, Soedirman kemudian kerap didaulat menjadi wasit.
Soedirman lulus HIS pada 1930. Ia baru masuk ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO, setara dengan sekolah menengah pertama) Parama Wiworotomo, Cilacap, dua tahun setelahnya dan lulus pada 1935. Bersekolah di Mulo merupakan tahapan penting bagi Soedirman. Di sekolah itulah ia mendapatkan pendidikan nasionalisme dari para guru yang kebanyakan aktif di organisasi Boedi Oetomo, seperti Raden Soemojo dan Soewardjo Tirtosoepono, lulusan Akademi Mliter Breda di Belanda.
Di kelas, Soedirman dikenal sebagai sosok yang tak segan membantu teman-temannya dalam hal apapun, termasuk pelajaran. Ia sangat antusias mengikuti pelajaran bahasa inggris, ilmu tata negara, sejarah dunia, sejarah kebangsaan, dan agama islam. Saking tekunnya pada pelajaran agama, Soedirman diberi julukan Kaji atau Haji.
Cara bergaul Soedirman pun luwes, ia bisa berkawan dan menempatkan diri diantara senior maupun juniornya. Soedirman biasa berada ditengah banyak orang dan sangat piawai berpidato. Terutama begitu getol mengurusi organisasi intrasekolah Putra-Putri Wiworotomo. Keluwesannya dalam bergaul membawa Soedirman giat dalam berorganisasi kepanduan  di bawah bendera Muhammadiyah, Hiszbul Wathan (HW). Di organisasi ini, ia menjelma menjadi seorang pandu yang berdisiplin dan penuh tangung jawab.
Itu dia buktikan ketika HW mengadakan perkemahan di lereng Gunung Slamet. Dalam gigitan udara dingin malam hari, banyak kawan seorganisasinya tak tahan tidur di tenda. Mereka memilih lari menumpang tidur di rumah-rumah penduduk. Namun tidak demikian dengan Soedirman. Ia tetap tinggal di dalam tendadan meresapi dinginnya malam hingga rasa itu berganti denganhangatnya pagi.
Di Hizbul Wathan, Soedirman meraih pencapaian tertingginya sebagai seorang pandu daerah, dari pemimpin Hizbul Wathan cabang Cilacap hingga didapuk menjadi Menteri Daerah (setara dengan ketua Kwartir Daerah) Banyumas. Watak disiplin dan tangung jawab yang Soedirman miliki hingga menjadi Panglima Besar awalnya di pupuk di Hizbul Wathan.
Soal asal-usul keluarga sang Panglima Besar, Soedirman merupakan anak kandung Tjokrosoenarjo, Asisten Wedana Rembang, bukan anak angkat seperti yang selama ini tertulis di berbagai buku sejarah dan belum ada satu pun buku yang menulis soal ini (versi keluarga). Tjokrosoenarjo wafat saat Soedirman menempuh sekolah guru di Cilacap pada sekitar 1936. Ia mewariskan seluruh hartanya kepada anak tunggalnya itu.
Siti Alfiah, istri Soedirman, beberapa kali berusaha meluruskan soal data sejarah ini, tapi selalu kandas. Janda Soedirman itu pernah berupaya meluruskannya pada 1960-1970-an. Namun pihak pusat sejarah ABRI kala itu malah mengesahkan secara resmi sejarah orang tua Soedirman yang masih kontroversial tersebut lewat pengadilan dan tidak ada satu pun anggota keluarga yang diundang.
Bagi Teguh Bambang, ibundanya adalah satu-satunya orang yang tahu persis soal riwayat Jenderal Besar. Sebab, semua dokumen yang berkaitan dengan Soedirman telah dilenyapkan demi kepentingan keamanan sebelum ia berangkat bergerilya. Menurut Teguh Bambang, sejarawan Anhar Gonggong pernah memberinya saran agar ia menuliskan semua riwayat Soedirman dari sudut pandang dan pengkuan keluarga. Namun hingga kini dia belum pernah mencoba melaksanakan saran Anhar itu. “Yang jelas, Bapak itu pahlawan nasional. Jasanya banyak, perlu jadi teladan bangsa ini. Itu saja cukup,” ucap Teguh Bambang.

Sebelum Mas Pamit Jadi Tentara
Dulu Soedirman sempat ragu masuk dunia militer dikarenakan ada cacat sehingga menganggap tak layak masuk tentara. Bukan tanpa alasan jika Soedirman tak percaya diri menjadi tentara. Kakinya pernah terkilir pada saat main sepak bola, yang membuat sambungan tulang lutut kiringya bergeser. Siti Alfiah juga menyatakan sangant khawatir terhadap kondisi suaminya.
Sempat ada dialog antara pasangan suami-istri ini pada saat Soedirman ingin menjadi tentara. Menjelang tengah malam satu hari pada 1944, Soedirman menyampaikan rencana bergabung dengan pasukan Pembela Tanah Air (Peta) dihadapan istrinya. “Jadi Mas mau jadi tentara ?” kata Siti Alfian. Soedirman mengangguk, seolah-olah meminta pengertian dari sang istri.
Tak langsung mengiyakan, Alfian mencerca Soedirman. Dia menanyakan soal mata kiri Soedirman yang kurang terang. “Lalu, kaki Mas yang terkilir sewaktu main bola itu …”. “Tidak apa-apa , Bu, semua pengalaman ada gunanya,” katanya. “Saya harap Ibu berhati mantap.” Soedirman lalu pergi mengambil wudhu, dan berjalan ke kamar untuk shalat tahajjud.
Pilihan menjadi prajurit diambil setelah sekolah Muhammadiyah, tempat Soedirman mengajar, ditutup tentara Jepang. Sekolah itu dianggap bentukan kolonial Belanda. Achmad Dimyati, rekan sesama guru, menyampaikan ketertarikan penguasa militer Kabupaten Cilacap merekrut Soedirman. Dimyati berusaha menyakinkan bahwa Soedirman bisa menjadi penghubung antara Jepang dan penduduk Karesidenan Banyumas. Dia berpendapat Jepang lebih baik dari pada Belanda.
Nyatanya Soedirman tak langsung tertarik. Dia menilai Belanda dan Jepang sama-sama orang asing yang menjajah. Jepang dinilainya memerlukan tenaga pribumi hanya karena beberapa jabatan penting kosong ditinggal orang-orang Belanda. Toh, Soedirman diterima di kesatuan militer. Ia mendapat jabatan sangikai, yang bertugas mendampingi tentara Jepang mengambil hati penduduk agar mau menyerahkan padi. Namun, dengan bahasa Jawa, Soedirman meminta rakyat agar mendahulukan kebutuhan mereka sebelum menyetorkan padi ke tentara Jepang.
Pada 3 Oktobe 1943, pemerintah Jepang mengeluarkan Osamu Seirei Nomor 44 Tahun 2603 (1944) tentang Pembentukan Pasukan Sukarela untuk Membela Tanah Jawa. Penguasa Karesidenan Banyumas mengusulkan Sodirman ikut berabung. Nugroho Notosusanto  dalam buku Tentara PETA  pada jaman Pendudukan Jepang di Indonesia, mengatakan hampir semua daidancho dan chudancho dubujuk secara pribadi oleh Beppan.
Daidancho kebanyakan direkrut dari tokoh masyarakat, seperti guru, tokoh agama Islam, dan pegawai pemerintah. Karena umurnya tidak muda lagi. Soedirman kemudian masuk Peta angkatan kedua sebagai calon daidancho. Tentara Jepang sebenarnya tidak suka dengan masuknya Soedirman. Sebab, ketika menjadi anggota Badan Pengurus Makanan Rakyat, ia sering menentang instruksi tentara Jepang. Namun saat itu Jepang berkepentingan membentuk pasukan bersenjata untuk menghadapi serangan tentara sekutu.
Sebelum membentuk Peta, Jepang telah mengeluarkan peraturan tentang pembentukan pasukan pribumi Heiho pada 22 April 1943. Pasukan Heiho terutama bertugas di satuan artileri pertahanan udara, tank, artileri medan, mortir parit, dan sebagai pengemudi angkutan perang. Namun Heiho ternyata tak memuaskan Jepang, yang ingin pasukan sepenuhnya terdiri atas orang pribumi, terpisah dari tentara Jepang. Pemuda Heiho hanya menjadi pembantu prajurit Jepang, tak satu pun diantara mereka menjadi perwira. Tangerang Seinen Dojo (pusat latihan pemuda Tangerang), yang mulai belatih sejak Januari 1943, malah dianggap berhasil.
Pemisahan tentara pribumi dengan tentara Jepang kemudian dilaksanakan di Kalimantan, Sumatera, dan Jawa dengan nama Giyu-gun. Pengerahan rakyat pribumi untuk masuk tentara sukarela akhirnya terlaksana dengan pembentukan Peta. Untuk menjadi calon perwira tentara Peta, Jepang mensyaratkan bakat kepemimpinan, jiwa, dan fisik sehat, serta stabilitas mental. Seleksi dilakukan di ibu kota (ken) atau kotamadya (shi), yang kemudian di lanjutkan di ibu kota karesidenan (shu) untuk pemeriksaan kesehatan. Seleksi dilakukan pada awal Oktober 1943 dan hasilnya diumumkan dua minggu kemudian.
Angkatan kedua pendidikan Peta dimulai pada April 1944. Pendidikan untuk daidancho hanya dua bulan. Sedangkan untuk chudancho dan shudancho latihannya 3-4 bulan. Mereka berlatih di kompleks militer eks Belanda, 700 meter dari istana presiden di Bogor. Pusat latihan itu diberi nama Jawa Bogei Giyugyun Kanbau Rensteitai, dibuka resmi pada 15 Oktober 1943.
Tempat Soedirman berlatih itu kini menjadi monument dan Museum Peta di Kompleks Pusat Pendidikan Zeni TNI Angkatan Darat. Menurut Kepala Museum Peta, Letnan Satu Suroso, kompleks peningalan Belanda itu dibangun pada 1745, usianya kini sudah 276 tahun. Patung Soedirman berdiri tegak di depan museum terdiri atas dua ruangan, yang memiliki 14 diorama dengan adegan sejarah perjuangan Peta menuju kemerdekan itu. Diorama menceritakan adegan pemberontakan Peta, Pendidikan Peta, rengas Dengklok, Proklamasi RI, pembentukan TNI, dan pemilihan Soedirman sebagai Panglima Tentara Keamanan Rakyat, serta diorama peperangan Ambarawayang dipimpin Soedirman.
Angkatan kedua pendidikan perwira Peta dilantik pada 10 Agustus 1944. Mereka diberi pedang samurai dan disebar ke 55 daidan di daerah pantai selatan Jawa. Sebagai daidancho, Soedirman ditempatkan di Kroya, Jawa Tengah, didampingi shoko shidokan, perwira Jepang yang bertugas sebagai pengawas dan penasihat teknis kemiliteran, Letnan Fujita. Setelah diangkat menjadi daidancho pada usia 26 tahun, Soedirman pulang kerumah dan menceritakan kepada Alfiah ihwal penempatannya di Kroya.
Ujian pertama Soedirman di lalui 21 April 1945, saat pasukan Peta di bawah komando Bundancho Kusaeri memberontak di Desa Gumilir, Cilacap. Peristiwa itu berlangsung lima hari setelah vonis tentara Jepang terhadap pemberontakan Peta Blitar. Soedirman diperintahkan memadamkan pemberontakan Gumilir. Sebenarnya Soedirman mengetahui gerakan Kusaeri. Sebab, beberapa hari sebelum bergerak, Kusaeri menemuinya di Cilacap. Soedirman meminta koleganya itu menunda pergerakan dan harus bergerak pada waktu yang tepat.
Sumber : Majalah Tempo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar