Asal Usul Si Bintang Lapangan
Senin Pon, 18
Maulud 1846 dalam almanak Jawa atau 24 Januari 1916. Seorang bayi lahir di
dukuh Rembang, Desa Bantar Barang, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga,
Jawa Tengah, sekitar 30 kilometer. Ia lahir dari rahim Siyem, wanita asal
Purwokerto istri Karsid Kartoworidji, seorang pekerja pabrik gula. Bayi
laki-laki itu diberi nama Soedirman. Nama itu diberikan ayah angkatnya, Raden
Tjokrosoenarjo, asisten wedana di Rembang, Purbalingga. Sejak lahir, ia memang
langsung diurus dan tinggal di rumah pasangan Tjokrosoenarjo dan Toeridowati.
Menurut data
Pusat Sejarah Tentara Nasional Indonesia, istri Tjokrosoenarjo adalah kakak
kandung ibunda Soedirman. Sejak Soedirman masih di dalam kandungan,
Tjokrosoenarjo sudah meminta izin Siyem agar kelak bisa merawat kemenakannya
itu.
Setelah
Soedirman berusia delapan bulan, Tjokrosoenarjo pensiun dari jabatannya.
Berbekal duit pensiun 62,35 gulden, ia memboyong keluargannya, termasuk
Soedirman dan orang tuannya, pindah kesebuah rumah sederhana di Kampung
Kemanggisan, Kelurahan Tambakreja, sebelah selatan pusat Cilacap, Jawa Tengah. Soedirman
memasuki masa sekolah pada 1923. Kala itu, berkat status Raden Tjokrosoenarjo
yang bekas pejabat, Soedirman kecil bisa memperoleh pendidikan formal di
Hollandsch-Inlandsche School (HIS, setingkat sekolah dasar) pada usia tujuh
tahun. Di sekolah milik pemerintah ini, ia dikenal sebagai murid yang sangat
rajin, berdisiplin, dan pandai.
Di sekolah
inilah bintang Soedirman mulai bersinar terang. Salah satunya lewat olah raga
kegemarannya yaitu sepak bola, saking piawainya memainkan si kulit bundar,
Soedirman, yang biasa berposisi sebagai penyerang, dijuluki si bintang
lapangan. Selain jago bemain sepak bola, Soedirman juga menguasai betul aturan
dan tata cara permainan sepak bola. Lantaran dikenal sebagai sosok yang jujur,
Soedirman kemudian kerap didaulat menjadi wasit.
Soedirman lulus
HIS pada 1930. Ia baru masuk ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO, setara
dengan sekolah menengah pertama) Parama Wiworotomo, Cilacap, dua tahun
setelahnya dan lulus pada 1935. Bersekolah di Mulo merupakan tahapan penting
bagi Soedirman. Di sekolah itulah ia mendapatkan pendidikan nasionalisme dari
para guru yang kebanyakan aktif di organisasi Boedi Oetomo, seperti Raden
Soemojo dan Soewardjo Tirtosoepono, lulusan Akademi Mliter Breda di Belanda.
Di kelas,
Soedirman dikenal sebagai sosok yang tak segan membantu teman-temannya dalam
hal apapun, termasuk pelajaran. Ia sangat antusias mengikuti pelajaran bahasa
inggris, ilmu tata negara, sejarah dunia, sejarah kebangsaan, dan agama islam.
Saking tekunnya pada pelajaran agama, Soedirman diberi julukan Kaji atau Haji.
Cara bergaul
Soedirman pun luwes, ia bisa berkawan dan menempatkan diri diantara senior
maupun juniornya. Soedirman biasa berada ditengah banyak orang dan sangat
piawai berpidato. Terutama begitu getol mengurusi organisasi intrasekolah
Putra-Putri Wiworotomo. Keluwesannya dalam bergaul membawa Soedirman giat dalam
berorganisasi kepanduan di bawah bendera
Muhammadiyah, Hiszbul Wathan (HW). Di organisasi ini, ia menjelma menjadi
seorang pandu yang berdisiplin dan penuh tangung jawab.
Itu dia buktikan
ketika HW mengadakan perkemahan di lereng Gunung Slamet. Dalam gigitan udara
dingin malam hari, banyak kawan seorganisasinya tak tahan tidur di tenda.
Mereka memilih lari menumpang tidur di rumah-rumah penduduk. Namun tidak
demikian dengan Soedirman. Ia tetap tinggal di dalam tendadan meresapi
dinginnya malam hingga rasa itu berganti denganhangatnya pagi.
Di Hizbul
Wathan, Soedirman meraih pencapaian tertingginya sebagai seorang pandu daerah,
dari pemimpin Hizbul Wathan cabang Cilacap hingga didapuk menjadi Menteri
Daerah (setara dengan ketua Kwartir Daerah) Banyumas. Watak disiplin dan tangung
jawab yang Soedirman miliki hingga menjadi Panglima Besar awalnya di pupuk di
Hizbul Wathan.
Soal asal-usul
keluarga sang Panglima Besar, Soedirman merupakan anak kandung Tjokrosoenarjo,
Asisten Wedana Rembang, bukan anak angkat seperti yang selama ini tertulis di
berbagai buku sejarah dan belum ada satu pun buku yang menulis soal ini (versi
keluarga). Tjokrosoenarjo wafat saat Soedirman menempuh sekolah guru di Cilacap
pada sekitar 1936. Ia mewariskan seluruh hartanya kepada anak tunggalnya itu.
Siti Alfiah,
istri Soedirman, beberapa kali berusaha meluruskan soal data sejarah ini, tapi
selalu kandas. Janda Soedirman itu pernah berupaya meluruskannya pada
1960-1970-an. Namun pihak pusat sejarah ABRI kala itu malah mengesahkan secara
resmi sejarah orang tua Soedirman yang masih kontroversial tersebut lewat
pengadilan dan tidak ada satu pun anggota keluarga yang diundang.
Bagi Teguh
Bambang, ibundanya adalah satu-satunya orang yang tahu persis soal riwayat
Jenderal Besar. Sebab, semua dokumen yang berkaitan dengan Soedirman telah
dilenyapkan demi kepentingan keamanan sebelum ia berangkat bergerilya. Menurut Teguh
Bambang, sejarawan Anhar Gonggong pernah memberinya saran agar ia menuliskan
semua riwayat Soedirman dari sudut pandang dan pengkuan keluarga. Namun hingga
kini dia belum pernah mencoba melaksanakan saran Anhar itu. “Yang jelas, Bapak
itu pahlawan nasional. Jasanya banyak, perlu jadi teladan bangsa ini. Itu saja
cukup,” ucap Teguh Bambang.
Sebelum Mas Pamit Jadi Tentara
Dulu Soedirman
sempat ragu masuk dunia militer dikarenakan ada cacat sehingga menganggap tak
layak masuk tentara. Bukan tanpa alasan jika Soedirman tak percaya diri menjadi
tentara. Kakinya pernah terkilir pada saat main sepak bola, yang membuat
sambungan tulang lutut kiringya bergeser. Siti Alfiah juga menyatakan sangant
khawatir terhadap kondisi suaminya.
Sempat ada
dialog antara pasangan suami-istri ini pada saat Soedirman ingin menjadi
tentara. Menjelang tengah malam satu hari pada 1944, Soedirman menyampaikan
rencana bergabung dengan pasukan Pembela Tanah Air (Peta) dihadapan istrinya. “Jadi
Mas mau jadi tentara ?” kata Siti Alfian. Soedirman mengangguk, seolah-olah
meminta pengertian dari sang istri.
Tak langsung
mengiyakan, Alfian mencerca Soedirman. Dia menanyakan soal mata kiri Soedirman
yang kurang terang. “Lalu, kaki Mas yang terkilir sewaktu main bola itu …”.
“Tidak apa-apa , Bu, semua pengalaman ada gunanya,” katanya. “Saya harap Ibu
berhati mantap.” Soedirman lalu pergi mengambil wudhu, dan berjalan ke kamar
untuk shalat tahajjud.
Pilihan menjadi
prajurit diambil setelah sekolah Muhammadiyah, tempat Soedirman mengajar,
ditutup tentara Jepang. Sekolah itu dianggap bentukan kolonial Belanda. Achmad
Dimyati, rekan sesama guru, menyampaikan ketertarikan penguasa militer Kabupaten
Cilacap merekrut Soedirman. Dimyati berusaha menyakinkan bahwa Soedirman bisa
menjadi penghubung antara Jepang dan penduduk Karesidenan Banyumas. Dia
berpendapat Jepang lebih baik dari pada Belanda.
Nyatanya
Soedirman tak langsung tertarik. Dia menilai Belanda dan Jepang sama-sama orang
asing yang menjajah. Jepang dinilainya memerlukan tenaga pribumi hanya karena
beberapa jabatan penting kosong ditinggal orang-orang Belanda. Toh, Soedirman
diterima di kesatuan militer. Ia mendapat jabatan sangikai, yang bertugas mendampingi tentara Jepang mengambil hati
penduduk agar mau menyerahkan padi. Namun, dengan bahasa Jawa, Soedirman
meminta rakyat agar mendahulukan kebutuhan mereka sebelum menyetorkan padi ke
tentara Jepang.
Pada 3 Oktobe
1943, pemerintah Jepang mengeluarkan Osamu Seirei Nomor 44 Tahun 2603 (1944)
tentang Pembentukan Pasukan Sukarela untuk Membela Tanah Jawa. Penguasa
Karesidenan Banyumas mengusulkan Sodirman ikut berabung. Nugroho Notosusanto dalam buku Tentara
PETA pada jaman Pendudukan Jepang di
Indonesia, mengatakan hampir semua daidancho
dan chudancho dubujuk secara pribadi
oleh Beppan.
Daidancho kebanyakan direkrut dari tokoh
masyarakat, seperti guru, tokoh agama Islam, dan pegawai pemerintah. Karena
umurnya tidak muda lagi. Soedirman kemudian masuk Peta angkatan kedua sebagai
calon daidancho. Tentara Jepang
sebenarnya tidak suka dengan masuknya Soedirman. Sebab, ketika menjadi anggota
Badan Pengurus Makanan Rakyat, ia sering menentang instruksi tentara Jepang.
Namun saat itu Jepang berkepentingan membentuk pasukan bersenjata untuk
menghadapi serangan tentara sekutu.
Sebelum
membentuk Peta, Jepang telah mengeluarkan peraturan tentang pembentukan pasukan
pribumi Heiho pada 22 April 1943. Pasukan Heiho terutama bertugas di satuan
artileri pertahanan udara, tank, artileri medan, mortir parit, dan sebagai
pengemudi angkutan perang. Namun Heiho ternyata tak memuaskan Jepang, yang
ingin pasukan sepenuhnya terdiri atas orang pribumi, terpisah dari tentara
Jepang. Pemuda Heiho hanya menjadi pembantu prajurit Jepang, tak satu pun
diantara mereka menjadi perwira. Tangerang Seinen Dojo (pusat latihan pemuda
Tangerang), yang mulai belatih sejak Januari 1943, malah dianggap berhasil.
Pemisahan
tentara pribumi dengan tentara Jepang kemudian dilaksanakan di Kalimantan,
Sumatera, dan Jawa dengan nama Giyu-gun. Pengerahan rakyat pribumi untuk masuk
tentara sukarela akhirnya terlaksana dengan pembentukan Peta. Untuk menjadi
calon perwira tentara Peta, Jepang mensyaratkan bakat kepemimpinan, jiwa, dan
fisik sehat, serta stabilitas mental. Seleksi dilakukan di ibu kota (ken) atau kotamadya (shi), yang kemudian di lanjutkan di ibu
kota karesidenan (shu) untuk
pemeriksaan kesehatan. Seleksi dilakukan pada awal Oktober 1943 dan hasilnya
diumumkan dua minggu kemudian.
Angkatan kedua
pendidikan Peta dimulai pada April 1944. Pendidikan untuk daidancho hanya dua bulan. Sedangkan untuk chudancho dan shudancho
latihannya 3-4 bulan. Mereka berlatih di kompleks militer eks Belanda, 700
meter dari istana presiden di Bogor. Pusat latihan itu diberi nama Jawa Bogei
Giyugyun Kanbau Rensteitai, dibuka resmi pada 15 Oktober 1943.
Tempat Soedirman
berlatih itu kini menjadi monument dan Museum Peta di Kompleks Pusat Pendidikan
Zeni TNI Angkatan Darat. Menurut Kepala Museum Peta, Letnan Satu Suroso,
kompleks peningalan Belanda itu dibangun pada 1745, usianya kini sudah 276
tahun. Patung Soedirman berdiri tegak di depan museum terdiri atas dua ruangan,
yang memiliki 14 diorama dengan adegan sejarah perjuangan Peta menuju
kemerdekan itu. Diorama menceritakan adegan pemberontakan Peta, Pendidikan
Peta, rengas Dengklok, Proklamasi RI, pembentukan TNI, dan pemilihan Soedirman
sebagai Panglima Tentara Keamanan Rakyat, serta diorama peperangan Ambarawayang
dipimpin Soedirman.
Angkatan kedua
pendidikan perwira Peta dilantik pada 10 Agustus 1944. Mereka diberi pedang
samurai dan disebar ke 55 daidan di
daerah pantai selatan Jawa. Sebagai daidancho,
Soedirman ditempatkan di Kroya, Jawa Tengah, didampingi shoko shidokan, perwira Jepang yang bertugas sebagai pengawas dan
penasihat teknis kemiliteran, Letnan Fujita. Setelah diangkat menjadi daidancho pada usia 26 tahun, Soedirman
pulang kerumah dan menceritakan kepada Alfiah ihwal penempatannya di Kroya.
Ujian pertama
Soedirman di lalui 21 April 1945, saat pasukan Peta di bawah komando Bundancho
Kusaeri memberontak di Desa Gumilir, Cilacap. Peristiwa itu berlangsung lima
hari setelah vonis tentara Jepang terhadap pemberontakan Peta Blitar. Soedirman
diperintahkan memadamkan pemberontakan Gumilir. Sebenarnya Soedirman mengetahui
gerakan Kusaeri. Sebab, beberapa hari sebelum bergerak, Kusaeri menemuinya di
Cilacap. Soedirman meminta koleganya itu menunda pergerakan dan harus bergerak
pada waktu yang tepat.
Sumber : Majalah Tempo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar