Senin, 15 April 2013

Kisah Pahlawan Nasional Douwes Dekker



Eduard Douwes Dekker
Artikel ini adalah tentang penulis Belanda yang dikenal pula dengan nama pena Multatuli. Untuk tokoh pergerakan nasional Indonesia E.F.E. Douwes Dekker yang dikenal pula dengan nama Danudirja Setiabudi, lihat Ernest Douwes Dekker.
Untuk kegunaan lain dari Douwes Dekker, lihat Douwes Dekker.
Eduard Douwes Dekker (lahir di Amsterdam, Belanda, 2 Maret 1820 – meninggal di Ingelheim am Rhein, Jerman, 19 Februari 1887 pada umur 66 tahun), atau yang dikenal pula dengan nama pena Multatuli (dari bahasa Latin multa tuli "banyak yang aku sudah derita") , adalah penulis Belanda yang terkenal dengan Max Havelaar (1860), novel satirisnya yang berisi kritik atas perlakuan buruk para penjajah terhadap orang-orang pribumi di Hindia-Belanda.
Eduard memiliki saudara bernama Jan yang adalah kakek dari tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia, Ernest Douwes Dekker yang dikenal pula dengan nama Danudirja Setiabudi.

Masa Kecil
Eduard dilahirkan di Amsterdam. Ayahnya adalah seorang kapten kapal yang cukup besar dengan penghasilan cukup sehingga keluarganya termasuk keluarga mapan dan berpendidikan.
Eduard kemudian disekolahkan di sekolah Latin yang nantinya bisa meneruskan jenjang pendidikan ke universitas. Pada awalnya Eduard menempuh pendidikan dengan lancar karena Eduard merupakan murid yang berprestasi dan cukup pandai. Namun lama kelamaan Eduard merasa bosan sehingga prestasinya merosot. Hal ini membuat ayahnya langsung mengeluarkannya dari sekolah dan ia ditempatkan di sebuah kantor dagang.

Menjadi Pegawai Kecil
Bagi Eduard, penempatannya di sebuah kantor dagang membuatnya merasa dijauhkan dari pergaulan dengan kawan-kawannya sesama keluarga berkecukupan; ia bahkan ditempatkan di posisi yang dianggapnya hina sebagai pembantu di sebuah kantor kecil perusahaan tekstil. Di sanalah dirinya merasa bagaimana menjadi seorang miskin dan berada di kalangan bawah masyarakat. Pekerjaan ini dilakukannya selama empat tahun dan meninggalkan kesan yang tidak dilupakannya selama hidupnya. "Dari hidup di kalangan yang memiliki pengaruh kemudian hidup di kalangan bawah masyarakat membuatnya mengetahui bahwa banyak kalangan masyarakat yang tidak memiliki pengaruh dan perlindungan apa-apa", seperti yang diucapkan Paul van 't Veer dalam biografi Multatuli.

Ke Hindia Belanda
Ketika ayahnya pulang dari perjalanannya, dilihatnya perubahan kehidupan dan keadaan dalam diri Eduard. Hal ini melahirkan niat pada diri ayahnya untuk membawanya dalam sebuah perjalanan. Pada saat itu, di Hindia Belanda terdapat kesempatan untuk mencari kekayaan dan jabatan, juga bagi kalangan orang-orang Belanda yang tidak berpendidikan atau berpendidikan rendah. Karena itu, pada tahun 1838 Eduard pergi ke pulau Jawa dan pada 1839 tiba di Batavia sebagai seorang kelasi yang belum berpengalaman di kapal ayahnya. Dengan bantuan dari relasi-relasi ayahnya, tidak berapa lama Eduard memiliki pekerjaan sebagai pegawai negeri (ambtenaar) di kantor Pengawasan Keuangan Batavia. Tiga tahun kemudian dia melamar pekerjaan sebagai ambtenaar pamong praja di Sumatera Barat dan oleh Gubernur Jendral Andreas Victor Michiels ia dikirim ke kota Natal yang saat itu terpencil sebagai seorang kontrolir.

Diberhentikan
Kehidupan di kota yang terpencil tersebut, bagi Eduard justru lebih menyenangkan. Sebagai ambtenaar pemerintahan sipil yang cukup tinggi di sana, ditambah usianya yang masih cukup muda, ia merasa memiliki kekuasaan yang tinggi. Dalam jabatannya ia mengemban tugas pemerintahan dan pengadilan, dan juga memiliki tugas keuangan dan administrasi. Namun ternyata ia tidak menyukai tugas-tugasnya sehingga kemudian ia meninggalkannya. Atasannya yang kemudian mengadakan pemeriksaan, menemukan kerugian yang besar dalam kas pemerintahannya.
Karena sikapnya yang mengabaikan peringatan-peringatan dari atasannya, serta adanya kerugian kas pemerintahan Eduard pun diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Gubernur Sumatera Barat Jendral Michiels. Setahun lamanya ia tinggal di Padang tanpa penghasilan apa-apa. Baru pada September 1844 ia mendapatkan izin untuk pulang ke Batavia. Di sana ia direhabilitasi oleh pemerintah dan mendapatkan "uang tunggu".

Menikah
Sambil menunggu penempatan tugas, Eduard menjalin asmara dengan Everdine van Wijnbergen, gadis turunan bangsawan yang jatuh miskin. Pada bulan April 1846, Eduard yang saat itu telah menjabat sebagai ambtenaar sementara di kantor asisten residen Purwakarta, menikah dengan Everdine.

Bekerja Kembali
Belajar dari pengalamannya yang buruk saat bertugas sebelumnya di Natal, Eduard bekerja cukup baik sebagai ambtenaar pemerintah sehingga pada 1846 ia diangkat menjadi pegawai tetap. Pangkatnya kemudian dinaikkan menjadi komis di kantor residen Purworejo. Prestasinya membuatnya diangkat oleh residen Johan George Otto Stuart von Schmidt auf Altenstadt menjadi sekretaris residen menggantikan pejabat sebelumnya. Namun karena Eduard tidak memiliki diploma sebagai syarat ditempatkannya sebagai pejabat tinggi pemerintahan, Eduard tidak mendapatkan kenaikan pangkat yang sesungguhnya. Namun Gubernur Jenderal dapat memberikan pengakuan diploma dalam hal-hal yang dianggap istimewa dengan syarat mampu melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. Eduard mengajukan permohonan kepada Gubernur Jenderal dan akhirnya berhasil memperolehnya karena prestasi kerjanya. Keputusan ini diterima dari atasannya, Residen Purworejo. Kegagalan saat bertugas di Natal dianggap sebagai kesalahan pegawai muda yang dapat dimaafkan.
Dalam perjalanan karier selanjutnya, Eduard diangkat menjadi sekretaris residen di Manado akhir April 1849 yang merupakan masa-masa karier terbaiknya. Eduard merasa cocok dengan residen Scherius yang menjadi atasannya sehingga ia mendapat perhatian para pejabat di Bogor di antaranya karena pendapatnya yang progresif mengenai rancangan peraturan guna perubahan dalam sistem hukum kolonial. Karirnya meningkat menjadi asisten residen, yang merupakan karier nomor dua paling tinggi di kalangan ambtenaar Hindia Belanda. Eduard menerima jabatan ini dan ditugasi di Ambon pada Februari 1851.

Benturan Dengan Gubernur
Namun, meskipun telah mendapatkan jabatan yang cukup tinggi di kalangan ambtenaar Hindia Belanda, Eduard merasa tidak cocok dengan Gubernur Maluku yang memiliki kekuasaan tersendiri sehingga membuat ambtenaar-ambtenaar bawahannya tidak dapat menunjukkan inisiatifnya. Eduard akhirnya mengajukan cuti dengan alasan kesehatan sehingga mendapatkan izin cuti ke negeri Belanda. Dan pada hari Natal 1852, dia bersama istrinya tiba di pelabuhan Hellevoetsluis dekat Rotterdam.

Pindah ke Lebak
Selama cuti di Belanda, Eduard ternyata tidak dapat mengatur keuangannya dengan baik; hutang menumpuk di sana-sini bahkan ia sering mengalami kekalahan di meja judi. Meskipun telah mengajukan perpanjangan cuti di Belanda, dia dan istrinya akhirnya kembali ke Batavia pada tanggal 10 September 1855. Tidak lama kemudian, Eduard diangkat menjadi asisten residen Lebak di sebelah selatan karesidenan Banten yang bertempat di Rangkasbitung pada Januari 1856. Eduard melaksanakan tugasnya dengan cukup baik dan bertanggung jawab. Namun ternyata, dia menjumpai keadaan di Lebak yang sesungguhnya sangat buruk bahkan lebih buruk daripada berita-berita yang didapatnya.

Pemerasan di Lebak
Bupati Lebak yang pada saat itu menurut sistem kolonial Hindia Belanda diangkat menjadi kepala pemerintahan bumiputra dengan sistem hak waris telah memegang kekuasaan selama 30 tahun, ternyata dalam keadaaan kesulitan keuangan yang cukup parah lantaran pengeluaran rumah tangganya lebih besar dari penghasilan yang diperoleh dari jabatannya. Dengan demikian, bupati Lebak hanya bisa mengandalkan pemasukan dari kerja rodi yang diwajibkan kepada penduduk distriknya berdasarkan kebiasaan.
Edwuard Douwes Dekker menemukan fakta bahwa kerja rodi yang dibebankan pada rakyat distrik telah melampaui batas bahkan menjumpai praktik-praktik pemerasan yang dilakukan oleh Bupati Lebak dan para pejabatnya dengan meminta hasil bumi dan ternak kepada rakyatnya. Kalaupun membelinya, itupun dengan harga yang terlalu murah.
Belum saja satu bulan Eduard Douwes Dekker ditempatkan di Lebak, dia menulis surat kepada atasannya, residen C.P. Brest van Kempen dengan penuh emosi atas kejadian-kejadian di wilayahnya. Eduard meminta agar bupati dan putra-putranya ditahan serta situasi yang tidak beres tersebut diselidiki. Dengan adanya desakan dari Eduard tersebut, timbullah desas-desus bahwa pejabat sebelumnya yang digantikannya meninggal karena diracun. Hal ini membuat Eduard merasa dirinya dan keluarganya terancam. Sebab lainnya adalah adanya berita kunjungan bupati Cianjur ke Lebak, yang ternyata masih keponakan bupati Lebak, yang kemudian membuat Eduard mengambil kesimpulan akan menimbulkan banyak pemerasan kepada rakyat.
Atasannya, Brest van Kempen sangat terkejut dengan berita yang dikirimkan Eduard sehingga mengadakan pemeriksaan di tempat, namun menolak permintaan Eduard. Dengan demikian Eduard meminta agar perkara tersebut diteruskan kepada Gubernur Jendral A.J. Duymaer van Twist yang terkenal beraliran liberal. Namun, meskipun maksudnya terlaksana, Eduard justru mendapatkan peringatan yang cukup keras. Karena kecewa, Eduard mengajukan permintaan pengunduran diri dan permohonannya dikabulkan oleh atasannya.

Kembali Ke Eropa
Sekali lagi, Eduard kehilangan pekerjaan akibat bentrok dengan atasannya. Usahanya untuk mencari pekerjaan yang lain menemui kegagalan. Bahkan saudaranya yang sukses berbisnis tembakau malah meminjamkan uang untuk pulang ke Eropa untuk bekerja di sana. Istri dan anaknya sementara ditinggalkan di Batavia.
Di Eropa, Eduard bekerja sebagai redaktur sebuah surat kabar di Brusel, Belgia namun tidak lama kemudian dia keluar. Kemudian usahanya untuk mendapatkan pekerjaan sebagai juru bahasa di Konsulat Perancis di Nagasaki juga menemui kegagalan. Usahanya untuk menjadi kaya di meja judi justru membuatnya menjadi semakin melarat.

Mulai Menulis
Namun cita-cita Eduard yang lain, yaitu menjadi pengarang, berhasil diwujudkannya. Ketika kembali dari Hindia Belanda, dia membawa berbagai manuskrip di antaranya sebuah tulisan naskah sandiwara dan salinan surat-surat ketika dia menjabat sebagai asisten residen di Lebak. Pada bulan September 1859, ketika istrinya didesak untuk mengajukan cerai, Eduard mengurung diri di sebuah kamar hotel di Brussel dan menulis buku Max Havelaar yang kemudian menjadi terkenal.
Buku tersebut diterbitkan pada tahun 1860 dalam versi yang diedit oleh penerbit tanpa sepengetahuannya namun tetap menimbulkan kegemparan di kalangan masyarakat khususnya di kawasan negerinya sendiri. Pada tahun 1875, terbit kembali dengan teks hasil revisinya. Namanya sebagai pengarang telah mendapatkan pengakuan, yang berarti lambat laun Eduard dapat mengharapkan penghasilan dari penerbitan karyanya.
Ketika menerbitkan novel Max Havelaar, ia menggunakan nama samaran 'Multatuli'. Nama ini berasal dari bahasa Latin dan berarti "'Aku sudah menderita cukup banyak'" atau "'Aku sudah banyak menderita'"; di sini, aku dapat berarti Eduard Douwes Dekker sendiri atau rakyat yang terjajah. Setelah buku ini terjual di seluruh Eropa, terbukalah semua kenyataan kelam di Hindia Belanda, walaupun beberapa kalangan menyebut penggambaran Dekker sebagai berlebih-lebihan.
Antara tahun 1862 dan 1877, Eduard menerbitkan Ideën (Gagasan-gagasan) yang isinya berupa kumpulan uraian pendapat-pendapatnya mengenai politik, etika dan filsafat, karangan-karangan satir dan impian-impiannya. Sandiwara yang ditulisnya, di antaranya Vorstenschool (Sekolah para Raja), dipentaskan dengan sukses.
Walaupun kualitas literatur Multatuli diperdebatkan, ia disukai oleh Carel Vosmaer, penyair terkenal Belanda. Ia terus menulis dan menerbitkan buku-buku berjudul Ideen yang terdiri dari tujuh bagian antara tahun 1862 dan 1877, dan juga mengandung novelnya Woutertje Pieterse serta Minnebrieven pada tahun 1861 yang walaupun judulnya tampak tidak berbahaya, isinya adalah satir keras.

Akhir Hayat
Akhirnya Eduard Douwes Dekker merasa bosan tinggal di Belanda. Pada akhir hayatnya, dia tinggal di Jerman bersama seorang anak Jerman yang sudah dianggapnya sebagai anaknya sendiri. Eduard Douwes Dekker tinggal di Wiesbaden, Jerman, di mana ia mencoba untuk menulis naskah drama. Salah satu dramanya, Vorstenschool (diterbitkan di 1875 dalam volume Ideën keempat) menyatakan sikapnya yang tidak berpegang pada satu aliran politik, masyarakat atau agama. Selama dua belas tahun akhir hidupnya, Eduard tidaklah mengarang melainkan hanya menulis berbagai surat-surat.
Eduard Douwes Dekker kemudian pindah ke Ingelheim am Rhein dekat Sungai Rhein sampai akhirnya meninggal 19 Februari 1887.

Pengaruh Dalam Sastra Hindia Belanda dan Indonesia
Multatuli telah mengilhami bukan saja karya sastra di Indonesia, misalnya kelompok Angkatan Pujangga Baru, namun ia telah menggubah semangat kebangsaan di Indonesia. Semangat kebangsaan ini bukan saja pemberontakan terhadap sistem kolonialisme dan eksploitasi ekonomi Hindia Belanda (misal tanam paksa) melainkan juga kepada adat, kekuasaan dan feodalisme yang tak ada habisnya menghisap rakyat jelata. Bila Multatuli dalam Max Havelaar dapat dikatakan telah mempersonifikasikan dirinya sebagai Max yang idealis dan akhirnya frustrasi, Muhammad Yamin lebih berfokus pada si kaum terjajah, misalnya dalam puisinya yang berjudul Hikajat Saidjah dan Adinda Dalam sisi filosofis frustrasi yang dihadapi Max serta Saidjah dan Adinda adalah sama pada hakekatnya; keduanya putus asa dan terbelenggu dalam rantai sistem yang hanya bisa terputuskan melalui revolusi.

Dalam Budaya Populer
  • Max Havelaar ISBN 0-14-044516-1 – buku ini telah diangkat menjadi film tahun 1988 dengan judul yang sama, disutradarai oleh Alphonse Marie Rademaker dan melibatkan beberapa artis Indonesia, misalnya Rima Melati. Film ini tidak populer di Indonesia, bahkan sempat dilarang beredar oleh pemerintahan Orde Baru setelah beberapa saat diputar di gedung bioskop.
Indo Yang Jadi Menteri
Seorang Indo yang mengkritik bangsanya dan memunculkan gagasan pemerintahan sendiri.
MULTATULI punya seorang cucu, yang kelak meneruskan semangatnya, bernama Ernest Douwes Dekker –lebih dikenal dengan nama Setiabudi. Persisnya cucu dari Jan, kakak kandungnya. Nama Setiabudi diabadikan sebagai nama jalan di sejumlah kota penting di Indonesia.
Setiabudi bernama asli Ernest François Eugène (EFE) Douwes Dekker. Ia lahir di Pasuruan, Jawa Timur, 8 Oktober 1879. Ia anak ketiga dari pasangan Auguste Henri Edouard Douwes Dekker dan Louisa Margaretha Neumann. Auguste Henri seorang broker bursa efek dan agen bank, sedangkan Louisa Margaretha putri seorang Jerman yang kawin dengan perempuan Jawa. Oleh orang-orang terdekatnya, ia biasa dipanggil Nes.
Nes menempuh pendidikan dasar di Pasuruan, HBS di Surabaya, lalu sekolah elit Gymnasium Willem III di Batavia. Setelah lulus, ia bekerja di perkebunan kopi Soember Doeren di lereng selatan Gunung Semeru, Malang, Jawa Timur. Karena konflik dengan sang manajer, ia dimutasi ke perkebunan gula Padjarakan di Kraksaan dekat Probolinggo. Pada masa itu di Jawa selalu terjadi sengketa pembagian air irigasi antara pabrik gula dan para petani. Sikap Nes: Padjarakan telah merebut hak petani. Ia lalu mengundurkan diri.
Karena menganggur, juga kematian ibunya, DD memutuskan jadi sukarelawan dalam Perang Boer II di Afrika Selatan, melawan Inggris. DD tertangkap lalu dipenjara di kamp Ceylon, Sri Lanka. Ia dipulangkan ke Hindia Belanda pada 1902.
Sikap kritisnya menonjol ketika bekerja sebagai wartawan. “Cara Bagaimana Belanda Paling Cepat Bisa Kehilangan Tanah Jajahannya?”, yang dimuat di suratkabar Belanda Nieuwe Arnhemsche Courant, menyentil penguasa. Kebijakan politis etis tak luput dari sasaran kritiknya. Menurut DD, yang diperlukan adalah pemerintahan sendiri, karena merekalah yang lebih tahu dan mengerti. “Di sini untuk pertama kalinya disuarakan gagasan untuk memerintah diri sendiri,” tulis Adrian B. Lapian dalam “Danudirdja Setiabuddhi 1879-1950”.
DD –sebutan akrab rekan-rekannya seperjuangannya– juga terjun ke kancah politik. Rumahnya di dekat Stovia jadi markas pertemuan para tokoh pergerakan seperti Sutomo dan Tjipto Mangunkusumo. Budi Utomo (BO), organisasi yang diklaim sebagai organisasi nasional pertama, lahir atas bantuan DD. Pada 1912, ia bersama Cipto Mangunkusumo dan Suwandi Suryaningrat mendirikan Indische Partij (Partai Hindia). Tapi setahun kemudian partai itu dibubarkan pemerintah.
Belum berhenti sampai di sini. Akibat tulisan Suwardi di De Expres, “Als ik eens Nederlander was”, ketiganya diasingkan ke Belanda. Alasannya, karena DD dan Cipto mendukung Suwardi. DD memanfaatkan pengasingan ini untuk mengambil program doktor di Universitas Zurich, Swiss, dalam bidang ekonomi. Di Swis DD terlibat konspirasi dengan kelompok revolusioner India, sehingga ditahan di Singapura. Setelah dua tahun di penjara, DD pulang ke Hindia Belanda.
Ia tak kapok. Kini, ia mengkritik Indisch Europeesch Verbond (IEV), organisasi kaum Indo. Dalam tulisan “Njo Indrik” (Sinyo Hendrik), ia mencap IEV sebagai “liga yang konyol dan kekanak-kanakan.” Sejumlah pamflet juga ditulisnya, seperti “Een Natie in de maak” (Suatu bangsa tengah terbentuk) dan “Ons volk en het buitlandsche kapitaal” (Bangsa kita dan modal asing).
Pada 1919, DD terlibat dalam peristiwa protes dan kerusuhan buruh tani di perkebunan tembakau Polanharjo, Klaten. Ia dianggap mengompori para petani sehingga diadili. Hakim memutuskan bebas. Tapi kasus lain menghampirinya: ia dituduh menulis hasutan di suratkabar yang dipimpinnya. Sebagai redaktur De Beweging, ia harus melindungi seorang yang menulis komentar “Membebaskan negeri ini adalah keharusan! Turunkan penguasa asing!” Setelah melalui pembelaan panjang, ia divonis bebas.
Di Bandung, DD mendirikan sekolah Ksatrian Instituut. Ia membuat materi pelajaran. Materi pelajaran sejarah bermuatan anti-kolonial dan pro-Jepang –yang mulai mengembangkan kekuatan militer dan politik di Asia Timur dengan mengekspansi Korea dan Tiongkok. Pada 1933 buku-bukunya dibakar oleh Karesidenan Bandung. Ia juga dilarang mengajar. Ia lantas bekerja di kantor Kamar Dagang Jepang di Jakarta.
Pada 1947, DD menuju Yogyakarta, ibu kota Republik Indonesia –saat itulah ia menanggalkan nama Belandanya jadi Setiabudi dan nama Douwes Dekker diganti Danurdirdja. DD menempati posisi penting di Republik Indonesia. Ia menjabat menteri negara tanpa portofolio dalam Kabinet Sjahrir III yang berusia pendek. Lalu anggota delegasi negosiasi dengan Belanda, konsultan dalam komite bidang keuangan dan ekonomi di delegasi itu, anggota DPA, pengajar di Akademi Ilmu Politik, dan terakhir kepala seksi penulisan sejarah di bawah Kementerian Penerangan.
Ia menghabiskan sisa hidupnya di Bandung, mengurus Ksatrian Institiut. Ia juga menulis autobiografi, 70 Jaar Konsekwent dan merevisi buku sejarah yang pernah dibuatnya. Ia wafat dini hari, 29 Agustus 1950 –di batu nisannya tertulis 28 Agustus 1950– dan dikebumikan di Taman Makan Pahlawan Cikutra, Bandung. Dengan mati ia abadi.

 Multatuli dan Setiabudi
Mencermati kecintaan DD (Douwes Dekker) terhadap Indonesia sungguh membuat penasaran. Dia yang nyaris kaukasian tulen—hanya terciprat darah Jawa dari nenek (dari pihak ibu), selebihnya berdarah Prancis, Jerman, dan Belanda—mengapa bisa begitu mencintai negeri ini.
Dan yang lebih mengherankan, dia tetap teguh pada perjuangannya untuk Indonesia di saat seluruh sanak saudaranya termasuk istri dan anak-anaknya memilih pergi ke Belanda saat negeri ini dikuasai Jepang. Padahal DD pernah berkata pada kakaknya, bahwa perjuangannya untuk Hindia Belanda (nama Indonesia saat masih dijajah Belanda) adalah juga untuk memberi masa depan yang baik kepada anak-anaknya di Hindia Belanda kelak setelah merdeka (DD menjadi salah seorang tokoh yang menggagas nama “Nusantara” untuk Hindia Belanda yang merdeka).
Setiabudi Danudirdja masih memiliki hubungan darah dengan Multatuli, nama pena dari Eduard Douwes Dekker yang novel “Max Havelaar”-nya sempat menggemparkan Eropa. Novel ini berisi kritik atas perlakuan buruk para penjajah terhadap orang-orang pribumi di Hindia Belanda. Multatuli adalah adik dari kakek DD. Kendati tidak memilik sejarah berjuang bersama meski sama-sama pernah menginjakkan kaki di Hindia Belanda, namun karakter mereka yang mudah terrenyuh melihat penderitaan rakyat kecil, serupa benar (keserupaan ini sempat membuat banyak orang menduga bahwa Multatuli dan Setiabudi adalah Douwes Dekker yang sama).
Ketika bekerja di perkebunan kopi di Malang selepas menyelesaikan sekolah di Gymnasium Willem III, satu sekolah elit di Batavia, DD seringkali membela para pekerja kebun yang diperlakukan semena-mena oleh mandor-mandor kebun. Hal ini membuat dia akhirnya dipecat dari perkebunan tersebut. Karakter DD yang mudah terenyuh pada penderitaan rakyat kecil ini semakin “terasah” ketika dia mulai bergiat di dunia jurnalistik. 

Sepak Terjang Bersama Cipto dan Suwardi
Sebagai wartawan dan memiliki koran, dia cukup leluasa mengritik kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial yang tidak berperikemanusiaan. Seiring dengan itu, dia juga aktif dalam bidang politik antara lain dengan mendirikan Indische Partij (IP) pada 1912 di Bandung bersama Dr Cipto Mangunkusumo dan Dr Suwardi Suryaningrat (ketiganya kemudian dikenal dalam sejarah Indonesia sebagai Tiga Serangkai). IP saat itu menjadi partai politik pertama di Hindia Belanda yang terang-terangan menuntut kemerdekaan Hindia Belanda selain juga aktif membela kesetaraan bagi bumi putera dan kaum indo yang terdiskriminasi oleh sistem yang diterapkan pemerintahan kolonial.
Namun kiprahnya yang revolusioner bersama Cipto dan Suwardi ini harus dibayar dengan berkali-kali menerima hukuman pengasingan, dijauhkan dari interaksinya dengan rakyat yang dibelanya ini. Pada 1913, ketika pemerintah Hindia Belanda berrencana turut memperingati 100 tahun kemerdekaan Belanda dari Prancis, Cipto dan Soewardi mencemooh rencana tersebut lewat artikel yang dimuat di surat kabar De Express. Inti artikel mereka adalah, betapa ironisnya jika Hindia Belanda yang dijajah Belanda harus ikut merayakan kemerdekaan negeri penjajahnya tersebut dari penjajahan oleh Prancis. Cipto dan Suwardi pun ditangkap. Melihat itu, DD tak tinggal diam. Di surat kabar yang sama dia menuliskan bahwa kedua rekannya itu adalah para pahlawan. Maka DD pun ditangkap. Ketiganya sempat diasingkan ke negeri Belanda sebelum kemudian dipisah-pisah antara lain ke pulau Banda dan Kupang.
Setelah masa pengasingannya berakhir, pada 1922 Douwes Dekker pulang ke Bandung. Dia lalu melamar pekerjaan sebagai pengajar di satu sekolah rendah partikelir yang beraliran komunis. Meski ada ganjalan ihwal komunisnya itu, namun Belanda merasa mungkin pekerjaan sebagai pengajar di sekolah tersebut akan meredam jiwa gelisah seorang DD.
Tapi dasar pembangkang, ada saja jalan untuk menjadi “pemberontak”. Kenaikan karir di sekolah tersebut membuatnya bisa leluasa mengatur manajemen sekolah tersebut. Sekolah yang semula bernama Preanger Instituut van de Vereeniging Volksonderwijs (Institut Priangan dari Perkumpulan Pengajaran Rakyat) ini, kemudian digantinya menjadi Ksatrian Instituut—kampus perjuangan yang memberi peluang pendidikan setara bagi kaum pribumi, keturunan Tionghoa, dan indo, yang mendapatkan diskriminasi pendidikan dari pemerintah kolonial.
Akibat sepak terjangnya yang selalu bikin pemerintahan kolonial bercucuran keringat dingin ini, DD kembali ditangkap dan kali ini diasingkan ke Suriname. Jiwa gelisahnya ini, selain telah membuatnya pernah diasingkan ke Suriname dan Belanda, juga pernah ke Yogyakarta dan Prapat. Bagi pemerintah kolonial sendiri, upaya pengasingan itu tentu bukan soal terpencilnya lokasi melainkan adalah untuk menjauhkan DD dari rakyat yang sedang dibelanya. Tiga tahun setelah Indonesia merdeka, DD kembali ke Bandung dari pengasingannya di Belanda, hingga kemudian meninggal dengan tenang di negeri yang dicintainya ini pada 1950 di usia 70 tahun.

Nasib Anak Douwes Dekker
Dua puluh lima tahun sudah berlalu sejak saya bersekolah di SMPN I Bandung, hingga kemudian terdengar kabar sakitnya Kesworo Setiabudi pada 2011. Siapa dia? Kesworo seperti telah dituliskan sebelumnya adalah anak Douwes Dekker dengan Haroemi Wanasita, istri ketiganya.
Berita sakitnya anak Douwes Dekker yang masih berada di Indonesia ini semakin membuat hati miris, pasalnya lelaki kelahiran Belanda, 2 Oktober 1945 ini harus masuk ke RSCM dengan menggunakan surat keterangan miskin. Hingga tak lama kemudian terdengar juga kabar bawa Kesworo akhirnya meninggal dunia.
Wow, seorang anak pahlawan nasional yang nama bapaknya digunakan sebagai nama jalan-jalan protokol di berbagai kota di tanah air termasuk Jakarta, masuk rumah sakit dengan menggunakan surat keterangan miskin? Ajaib sekali negeri ini. Ah, kenapa jadi saya yang sakit hati mendengar berita ini.
Meskipun tidak mendapat penghargaan apa-apa seperti sang ayah, Kesworo bagi sebagian masyarakat di Cihideung Bogor juga terbilang pahlawan. Dengan mempertahankan pabrik kerupuk palembang-nya kendati dalam keadaan sakit, Kesworo telah membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat di sana.
Hingga meninggalnya, tidak terdengar kabar pemerintah Indonesia memberikan bantuan bagi anak  pahlawan nasional ini, pahlawan nasional yang tidak meninggalkan warisan tujuh turunan untuk anak-anaknya, pahlawan nasional yang lebih fokus pada perjuangannya untuk rakyat banyak, bahkan dibanding untuk keluarganya sendiri

Putra Douwes Dekker Meninggal

Inilah Tulisan Putra Douwes Dekker Soal Nasionalisme
Hidup, Rejeki dan Matipun di Indonesia
(Mengapa Harus Menjadi Bangsa “Pura-pura”?)
Oleh: Kesworo Setiabuddhi
(Anak Dr. Douwes Dekker)
Aku dilahirkan di Eropa dari seorang ibu asal Binjai Sumatera Utara, dengan Bapak yang seorang Kaukasia, dimana etnisnya menjajah Indonesia selama beberapa abad, yaitu E.F.E.Douwes Dekker.
Douwes Dekker, seorang warga keturunan Belanda, tetapi hati nuraninya selalu menggelegak penuh kegetiran manakala melihat ketimpangan hidup yang terjadi di Indonesia yang kala itu masih dinamai Hindia Belanda, antara si penjajah yang nota-bene berdarah seperti yang dipunyainya, dengan yang di jajah seperti darah istrinya yang pribumi asal Sumatera Utara.
Itulah kedua orang tuaku.
Seorang pribumi teman Bapakku ( maaf aku menggunakan istilah “pribumi” untuk menggambarkan saat tahun 1930-an ), memberikan tanggapan atas sikap Bapakku yang menentang arus dengan para Belanda umumnya, dengan rangkaian kalimat sebagai berikut:

“Pada awal berdirinya perkumpulan Boedi Oetomo, kami merasa sangat banyak dibantu baik moril maupun materil dari seorang tuan Douwes Dekker, yang saat itu sebagai redaktur surat kabar Bataviaasch Niewsblad. Hubungan saya dengan tuan Douwes Dekker sangat akrab, sehingga pintu rumahnya selalu terbuka untuk menerima kedatangan teman-temannya yang pribumi. Tuan Douwes Dekkerlah yang menyemangati dan menyebar luaskan cita-cita kami melalui suratkabarnya secara berkesinambungan”.
( Seperti yang dituangkan oleh R. SOETOMO, dalam “Kenang-Kenangan”, terbitan Februari 1934 hal. 86 ).
Rupanya Bapakku di tahun 1910 telah menulis yang diterbitkan dalam sebuah buku ( tahun 1913 ) dengan judul : OVER HET KOLONIALE IDEAAL ( “KOLONIALIS MENGUASAI”, yang belakangan diterbitkan lagi dengan versi 2 bahasa, Belanda – Indonesia dengan bahasa Indonesia yang sudah disempurnakan, sekitar tahun 1974-an ).
Kalimat-kalimat yang tertulis diantaranya :
• Penjajahan harus mengabdi pada keserakahan, oleh karena itu untuk dapat memenuhi keserakahan dengan cara yang mudah dan murah, adalah dengan membiarkan rakyat lemah, bodoh, baik lahir maupun batin. Karena pergolakan yang menimbulkan pemberontakan akan mengakibatkan penjajah mengeluarkan biaya besar untuk melindungi. Jadi pertumbuhan dan perkembangan jiwa hanyalah hak kaum penjajah.
Untuk itu sistem penjajahan harus dirubah, tidak lagi menggunakan gada, cemeti atau hukuman berat yang tak sepadan dengan perbuatannya, tetapi dibuat model sistimatik yang sewenang-wenang, berwajahkan undang-undang.
Maka jaman “pura-pura” pun dimulai. Para penguasa harus menipu untuk tujuan sebenarnya yang disembunyikan. Penindasan mengalami proses penjiwaan yaitu tidak tampak dimata, tetapi lebih kepada jiwa. Jaman setengah biadab yang sebelumnya, diganti dengan kekuasaan yang teratur tetapi sama nilai kebiadabannya, malah lebih lagi. Untuk itu dibuatlah undang-undang yang dipaksakan kepada rakyat agar “pemikiran” pemerintah ditaati dan dijalankan, disisi lain tanggung-jawab pemerintah tidak ada, jadi segalanya tetap saja merupakan kesewenang-wenangan yang ditopengi undang-undang.

• Beberapa abad dalam penjajahan orang Barat tentunya tidak mungkin berlalu begitu saja tanpa meninggalkan luka batin yang tak terhapuskan. Apa saja luka batin yang tak terhapuskan?
Diantaranya adalah : Akibat Nafsu Birahi. Kaum penjajah akan menyuruh mengeluarkan perempuan tahanan dari penjara, bila mereka merasa terangsang, dan bermain cinta diluar kemauan dari si perempuan. Kaum penjajah menggunakan haknya sebagai penakluk.
Dari situasi seperti inilah diantaranya lahir anak-anak berdarah campuran yang tumbuh dalam rahim ibunya tanpa diiringi perasaan yang luhur melainkan hanya sekedar kenikmatan nafsu.
Ada dendam dan benci pada mereka yang kemarahannya tidak lagi tertuju kepada perorangan melainkan diarahkan kepada seluruh gagasan penjajahan (Overheerscheridee). Dan alam menjadikan anak campuran itu sebagai orang Timur (Masyarakat awam menyebutnya Indo).
Itulah sekelumit kesan dalam tulisan Bapakku. ( Sebetulnya banyak lagi hal yang mirip dengan keadaan sekarang yang katanya kita Negara merdeka dan telah mereformasi tata pemerintahan Republik ini ). ( Mungkin bila diibaratkan, hamparan hutan dilihat dari ketinggian terlihat cantik hijau menawan tetapi hal berbeda didapati bila kita berada didalam kegelapan hutan itu sendiri dengan dikelilingi pohon-pohon besar dan semak belukar disekitar kita. Itulah beda Petinggi Negara melihat masyarakat dan keadaan masyarakat itu sendiri ).
Kini, aku adalah juga salah seorang dari warga Indonesia yang berdarah campuran, yang lahir dari hubungan dengan ikatan perkawinan resmi, bukan “abal-abal”. Namaku menurut ejaan bahasa Belanda adalah : KEES. Tetapi ketika Bapakku bertemu Bung Karno saat usiaku 5 tahun Bung Karno mengatakan :
“Sebagai orang Belanda yang berjiwa Indonesia alangkah baiknya bila anakmu juga dinamai sebagaimana orang Indonesia. Untuk itu aku beri nama anakmu : KESWORO”.
( Sementara Bapakku juga diganti namanya oleh Bung Karno menjadi SETIABUDI).
Begitulah latar belakang Kebangsaanku yang Indonesia. Bagaimana dengan keturunan etnis lain yang juga Rejeki, Hidup, Jodoh dan Matinya di Negeri ini?
Bukankah kakek moyang mereka dimasa lampau BUKAN sebagai penjajah dan hanya numpang hidup dan menjadi pembantu/antek penjajah?

Bila masa kebiadaban dan “pura-pura” dalam era penjajahan telah dilampaui, dan kita katanya bersama-sama bersatu tekad untuk menjadi SATU BANGSA, mengapa kita tidak bersama-sama urun-rembug, gandeng-tangan membangun Kesatuan Bangsa, jangan malah merusaknya dengan kekotoran moril (kolusi, korupsi, menggelapkan harta Negara dll) ataupun merasa beda derajat kemanusiaannya dengan sebutan khusus tanpa lebur dalam Kesatuan Bangsa yang solid demi NKRI?
Sungguh satu fenomena Kebangsaan yang aneh dan mengada-ada, juga kentalnya kemunafikan pada banyak pejabat Negara baik tinggi maupun bawah yang membuat gamang, Negeri ini mau dibawa kemana?
Mari berbenah pikir dan hati, kepada siapapun yang hidup, jodoh dan rejekinya dari Ibu Pertiwi Indonesia, sudah berbuat benar dan sesuai Agamakah apa yang kita perbuat, baik para pejabat maupun para keturunan etnis pendatang? Janganlah kita menjadi Bangsa besar yang “pura-pura”....

Jakarta, Oktober 2009
ttd,

Kesworo Setiabuddhi
(Anak Dr. Douwes Dekker )
Ketua III ForKom SBI
(Forum Komunikasi SUMPAH BANGSA INDONESIA)
*)Lahir di Eropa, berjiwa total Indonesia, fasih bicara Sunda.
NB :
Sebagai seorang keturunan Kaukasia yang beragama Islam, ada ayat Al-Qur’an yang dapat saya peroleh dari seorang teman, bagi para pejabat Negara, baik tinggi maupun bawah :
An-Nahl ( surat 16 ) ayat 91 :
“Tepatilah janji dengan Allah bila kamu telah berjanji dan jangan melanggar sumpahmu. Kamu telah jadikan Allah sebagai jaminan sumpahmu, dan Allah tahu apa yang kamu lakukan“.

Maha benar segala firman Allah.
Sementara dari sebuah buku yang ditulis oleh Michael C. Tang dengan judul : “Kisah-kisah kebijaksanaan China Klasik”, Refleksi bagi para pemimpin, terpetiklah suatu kalimat dari Konfusius ( 551 – 479 SM ) suatu kalimat ( hal 61 ) :
“Pelajari Kebenaran di pagi hari, dan matilah dengan bahagia dimalam hari“.
“Seorang murid bertanya : “Adakah motto tunggal yang dapat dipakai semua orang sepanjang hidupnya ? “Sang Guru menjawab : “Perhatikanlah sesama, jangan lakukan sesuatu kepada sesama yang kamu tidak ingin orang lakukan itu kepadamu” ( hal 89 ).
Semua berpulang pada hati nurani anda.

Sumber : www.wikipedia.org, www.historia.co.id, www.kompasiana.com, www.tribunnews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar