Eduard Douwes Dekker
Artikel ini adalah tentang penulis Belanda yang dikenal pula dengan nama
pena Multatuli. Untuk tokoh pergerakan nasional Indonesia E.F.E. Douwes Dekker
yang dikenal pula dengan nama Danudirja Setiabudi, lihat Ernest Douwes
Dekker.
Untuk kegunaan lain dari Douwes Dekker, lihat Douwes Dekker.
Eduard Douwes Dekker (lahir di Amsterdam, Belanda, 2 Maret 1820 – meninggal di Ingelheim am Rhein, Jerman, 19 Februari 1887 pada umur 66 tahun), atau yang dikenal pula dengan nama pena Multatuli (dari bahasa Latin multa tuli "banyak yang aku sudah derita") , adalah penulis Belanda yang terkenal dengan Max Havelaar (1860), novel satirisnya yang berisi kritik atas
perlakuan buruk para penjajah terhadap orang-orang pribumi di Hindia-Belanda.
Eduard memiliki saudara bernama Jan yang adalah kakek
dari tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia, Ernest Douwes
Dekker yang dikenal
pula dengan nama Danudirja
Setiabudi.
Masa Kecil
Eduard dilahirkan di Amsterdam. Ayahnya adalah seorang kapten kapal yang cukup besar dengan penghasilan cukup sehingga
keluarganya termasuk keluarga mapan dan berpendidikan.
Eduard kemudian disekolahkan di sekolah Latin yang
nantinya bisa meneruskan jenjang pendidikan ke universitas. Pada awalnya Eduard
menempuh pendidikan dengan lancar karena Eduard merupakan murid yang
berprestasi dan cukup pandai. Namun lama kelamaan Eduard merasa bosan sehingga
prestasinya merosot. Hal ini membuat ayahnya langsung mengeluarkannya dari
sekolah dan ia ditempatkan di sebuah kantor dagang.
Menjadi Pegawai Kecil
Bagi Eduard, penempatannya di sebuah kantor dagang
membuatnya merasa dijauhkan dari pergaulan dengan kawan-kawannya sesama
keluarga berkecukupan; ia bahkan ditempatkan di posisi yang dianggapnya hina
sebagai pembantu di sebuah kantor kecil perusahaan tekstil. Di sanalah dirinya merasa bagaimana menjadi seorang
miskin dan berada di kalangan bawah masyarakat. Pekerjaan ini dilakukannya
selama empat tahun dan meninggalkan kesan yang tidak dilupakannya selama
hidupnya. "Dari hidup di kalangan yang memiliki pengaruh kemudian hidup di
kalangan bawah masyarakat membuatnya mengetahui bahwa banyak kalangan
masyarakat yang tidak memiliki pengaruh dan perlindungan apa-apa", seperti
yang diucapkan Paul van 't Veer dalam biografi Multatuli.
Ke Hindia Belanda
Ketika ayahnya pulang dari perjalanannya, dilihatnya
perubahan kehidupan dan keadaan dalam diri Eduard. Hal ini melahirkan niat pada
diri ayahnya untuk membawanya dalam sebuah perjalanan. Pada saat itu, di Hindia Belanda terdapat
kesempatan untuk mencari kekayaan dan jabatan, juga bagi kalangan orang-orang
Belanda yang tidak berpendidikan atau berpendidikan rendah. Karena itu, pada
tahun 1838 Eduard pergi ke pulau Jawa dan pada 1839 tiba di Batavia sebagai seorang kelasi yang belum berpengalaman di kapal
ayahnya. Dengan bantuan dari relasi-relasi ayahnya, tidak berapa lama Eduard
memiliki pekerjaan sebagai pegawai negeri (ambtenaar)
di kantor Pengawasan Keuangan Batavia. Tiga tahun kemudian dia melamar
pekerjaan sebagai ambtenaar pamong
praja di Sumatera Barat dan oleh
Gubernur Jendral Andreas
Victor Michiels ia dikirim ke kota Natal yang saat itu
terpencil sebagai seorang kontrolir.
Diberhentikan
Kehidupan di kota yang terpencil tersebut, bagi Eduard
justru lebih menyenangkan. Sebagai ambtenaar pemerintahan sipil yang
cukup tinggi di sana, ditambah usianya yang masih cukup muda, ia merasa
memiliki kekuasaan yang tinggi. Dalam jabatannya ia mengemban tugas
pemerintahan dan pengadilan, dan juga memiliki tugas keuangan dan administrasi.
Namun ternyata ia tidak menyukai tugas-tugasnya sehingga kemudian ia
meninggalkannya. Atasannya yang kemudian mengadakan pemeriksaan, menemukan
kerugian yang besar dalam kas pemerintahannya.
Karena sikapnya yang mengabaikan peringatan-peringatan
dari atasannya, serta adanya kerugian kas pemerintahan Eduard pun diberhentikan
sementara dari jabatannya oleh Gubernur Sumatera Barat Jendral Michiels.
Setahun lamanya ia tinggal di Padang tanpa penghasilan apa-apa. Baru pada
September 1844 ia mendapatkan izin untuk pulang ke Batavia. Di sana ia direhabilitasi oleh pemerintah dan mendapatkan
"uang tunggu".
Menikah
Sambil menunggu penempatan tugas, Eduard menjalin asmara
dengan Everdine van Wijnbergen, gadis turunan bangsawan yang jatuh miskin. Pada bulan April 1846, Eduard yang saat itu telah menjabat sebagai ambtenaar
sementara di kantor asisten residen Purwakarta, menikah
dengan Everdine.
Bekerja Kembali
Belajar dari pengalamannya yang buruk saat bertugas
sebelumnya di Natal, Eduard bekerja cukup baik sebagai ambtenaar
pemerintah sehingga pada 1846 ia diangkat menjadi pegawai tetap. Pangkatnya
kemudian dinaikkan menjadi komis di kantor residen Purworejo. Prestasinya membuatnya diangkat oleh residen Johan George Otto Stuart von Schmidt auf Altenstadt menjadi
sekretaris residen menggantikan pejabat sebelumnya. Namun karena Eduard tidak
memiliki diploma sebagai syarat ditempatkannya sebagai pejabat tinggi
pemerintahan, Eduard tidak mendapatkan kenaikan pangkat yang sesungguhnya.
Namun Gubernur Jenderal dapat memberikan pengakuan diploma dalam hal-hal yang dianggap
istimewa dengan syarat mampu melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. Eduard
mengajukan permohonan kepada Gubernur Jenderal dan akhirnya berhasil
memperolehnya karena prestasi kerjanya. Keputusan ini diterima dari atasannya,
Residen Purworejo. Kegagalan saat bertugas di Natal dianggap sebagai kesalahan
pegawai muda yang dapat dimaafkan.
Dalam perjalanan karier selanjutnya, Eduard diangkat
menjadi sekretaris residen di Manado akhir April 1849 yang merupakan
masa-masa karier terbaiknya. Eduard merasa cocok dengan residen Scherius yang menjadi
atasannya sehingga ia mendapat perhatian para pejabat di Bogor di antaranya karena pendapatnya yang
progresif mengenai rancangan peraturan guna perubahan dalam sistem hukum
kolonial. Karirnya meningkat menjadi asisten residen, yang merupakan karier
nomor dua paling tinggi di kalangan ambtenaar Hindia Belanda. Eduard
menerima jabatan ini dan ditugasi di Ambon pada Februari 1851.
Benturan Dengan Gubernur
Namun, meskipun telah mendapatkan jabatan yang cukup
tinggi di kalangan ambtenaar Hindia Belanda, Eduard merasa tidak cocok
dengan Gubernur Maluku yang memiliki kekuasaan tersendiri sehingga membuat ambtenaar-ambtenaar
bawahannya tidak dapat menunjukkan inisiatifnya. Eduard akhirnya mengajukan
cuti dengan alasan kesehatan sehingga mendapatkan izin cuti ke negeri Belanda.
Dan pada hari Natal 1852, dia bersama istrinya tiba di
pelabuhan Hellevoetsluis dekat Rotterdam.
Pindah ke Lebak
Selama cuti di Belanda, Eduard ternyata tidak dapat
mengatur keuangannya dengan baik; hutang menumpuk di sana-sini bahkan ia sering
mengalami kekalahan di meja judi. Meskipun telah mengajukan
perpanjangan cuti di Belanda, dia dan istrinya akhirnya kembali ke Batavia pada
tanggal 10 September 1855. Tidak lama kemudian, Eduard diangkat menjadi asisten
residen Lebak di sebelah selatan karesidenan Banten yang bertempat di Rangkasbitung pada Januari 1856. Eduard melaksanakan tugasnya dengan cukup baik dan
bertanggung jawab. Namun ternyata, dia menjumpai keadaan di Lebak yang
sesungguhnya sangat buruk bahkan lebih buruk daripada berita-berita yang
didapatnya.
Pemerasan di Lebak
Bupati Lebak yang pada saat itu menurut sistem kolonial
Hindia Belanda diangkat menjadi kepala pemerintahan bumiputra dengan sistem hak waris telah memegang kekuasaan selama
30 tahun, ternyata dalam keadaaan kesulitan keuangan yang cukup parah lantaran
pengeluaran rumah tangganya lebih besar dari penghasilan yang diperoleh dari
jabatannya. Dengan demikian, bupati Lebak hanya bisa mengandalkan pemasukan
dari kerja
rodi yang
diwajibkan kepada penduduk distriknya berdasarkan kebiasaan.
Edwuard Douwes Dekker menemukan fakta bahwa kerja
rodi yang
dibebankan pada rakyat distrik telah melampaui batas bahkan menjumpai
praktik-praktik pemerasan yang dilakukan oleh Bupati Lebak dan para pejabatnya
dengan meminta hasil bumi dan ternak kepada rakyatnya. Kalaupun membelinya,
itupun dengan harga yang terlalu murah.
Belum saja satu bulan Eduard Douwes Dekker ditempatkan di
Lebak, dia menulis surat kepada atasannya, residen C.P. Brest van Kempen dengan penuh emosi atas
kejadian-kejadian di wilayahnya. Eduard meminta agar bupati dan putra-putranya
ditahan serta situasi yang tidak beres tersebut diselidiki. Dengan adanya
desakan dari Eduard tersebut, timbullah desas-desus bahwa pejabat sebelumnya
yang digantikannya meninggal karena diracun. Hal ini membuat Eduard merasa
dirinya dan keluarganya terancam. Sebab lainnya adalah adanya berita kunjungan
bupati Cianjur ke Lebak, yang
ternyata masih keponakan bupati Lebak, yang kemudian membuat Eduard mengambil
kesimpulan akan menimbulkan banyak pemerasan kepada rakyat.
Atasannya, Brest van Kempen sangat terkejut dengan berita
yang dikirimkan Eduard sehingga mengadakan pemeriksaan di tempat, namun menolak
permintaan Eduard. Dengan demikian Eduard meminta agar perkara tersebut
diteruskan kepada Gubernur Jendral A.J.
Duymaer van Twist yang terkenal beraliran liberal. Namun, meskipun maksudnya terlaksana,
Eduard justru mendapatkan peringatan yang cukup keras. Karena kecewa, Eduard
mengajukan permintaan pengunduran diri dan permohonannya dikabulkan oleh
atasannya.
Kembali Ke Eropa
Sekali lagi, Eduard kehilangan pekerjaan akibat bentrok
dengan atasannya. Usahanya untuk mencari pekerjaan yang lain menemui kegagalan.
Bahkan saudaranya yang sukses berbisnis tembakau malah meminjamkan uang untuk pulang ke Eropa untuk
bekerja di sana. Istri dan anaknya sementara ditinggalkan di Batavia.
Di Eropa, Eduard bekerja sebagai redaktur sebuah surat kabar di Brusel, Belgia namun tidak lama kemudian dia keluar.
Kemudian usahanya untuk mendapatkan pekerjaan sebagai juru
bahasa di Konsulat Perancis di Nagasaki juga menemui kegagalan. Usahanya untuk menjadi kaya di
meja judi justru membuatnya menjadi semakin melarat.
Mulai Menulis
Namun cita-cita Eduard yang lain, yaitu menjadi
pengarang, berhasil diwujudkannya. Ketika kembali dari Hindia Belanda, dia
membawa berbagai manuskrip di antaranya sebuah tulisan naskah sandiwara dan
salinan surat-surat ketika dia menjabat sebagai asisten residen di Lebak. Pada
bulan September 1859, ketika istrinya didesak untuk mengajukan cerai, Eduard
mengurung diri di sebuah kamar hotel di Brussel dan menulis buku Max Havelaar yang kemudian
menjadi terkenal.
Buku tersebut diterbitkan pada tahun 1860 dalam versi yang diedit oleh penerbit tanpa
sepengetahuannya namun tetap menimbulkan kegemparan di kalangan masyarakat
khususnya di kawasan negerinya sendiri. Pada tahun 1875, terbit kembali dengan
teks hasil revisinya. Namanya sebagai pengarang telah mendapatkan pengakuan,
yang berarti lambat laun Eduard dapat mengharapkan penghasilan dari penerbitan
karyanya.
Ketika menerbitkan novel Max Havelaar, ia menggunakan
nama samaran 'Multatuli'. Nama ini berasal dari bahasa Latin dan berarti
"'Aku sudah menderita cukup banyak'" atau "'Aku sudah banyak
menderita'"; di sini, aku dapat berarti Eduard Douwes Dekker sendiri atau
rakyat yang terjajah. Setelah buku ini terjual di seluruh Eropa, terbukalah semua kenyataan kelam di Hindia Belanda, walaupun
beberapa kalangan menyebut penggambaran Dekker sebagai berlebih-lebihan.
Antara tahun 1862 dan 1877, Eduard menerbitkan Ideën (Gagasan-gagasan)
yang isinya berupa kumpulan uraian pendapat-pendapatnya mengenai politik, etika dan filsafat, karangan-karangan satir dan impian-impiannya. Sandiwara yang ditulisnya, di antaranya Vorstenschool (Sekolah
para Raja), dipentaskan dengan sukses.
Walaupun kualitas literatur Multatuli diperdebatkan, ia
disukai oleh Carel
Vosmaer, penyair terkenal Belanda. Ia terus menulis dan menerbitkan
buku-buku berjudul Ideen yang terdiri
dari tujuh bagian antara tahun 1862 dan 1877, dan juga mengandung novelnya Woutertje Pieterse serta Minnebrieven pada tahun 1861 yang walaupun judulnya tampak tidak berbahaya, isinya
adalah satir keras.
Akhir Hayat
Akhirnya Eduard Douwes Dekker merasa bosan tinggal di
Belanda. Pada akhir hayatnya, dia tinggal di Jerman bersama seorang anak Jerman yang sudah dianggapnya
sebagai anaknya sendiri. Eduard Douwes Dekker tinggal di Wiesbaden, Jerman, di mana ia mencoba untuk menulis naskah drama. Salah satu dramanya, Vorstenschool (diterbitkan di 1875 dalam volume Ideën keempat) menyatakan sikapnya
yang tidak berpegang pada satu aliran politik, masyarakat atau agama. Selama
dua belas tahun akhir hidupnya, Eduard tidaklah mengarang melainkan hanya
menulis berbagai surat-surat.
Eduard Douwes Dekker kemudian pindah ke Ingelheim am Rhein dekat Sungai Rhein sampai akhirnya
meninggal 19 Februari 1887.
Pengaruh Dalam Sastra Hindia Belanda dan Indonesia
Multatuli telah mengilhami bukan saja karya sastra di Indonesia, misalnya kelompok Angkatan Pujangga Baru, namun ia telah menggubah semangat
kebangsaan di Indonesia. Semangat kebangsaan ini bukan saja pemberontakan
terhadap sistem kolonialisme dan
eksploitasi ekonomi Hindia Belanda (misal tanam paksa) melainkan
juga kepada adat, kekuasaan dan feodalisme yang tak ada habisnya menghisap rakyat jelata. Bila
Multatuli dalam Max Havelaar dapat dikatakan telah mempersonifikasikan
dirinya sebagai Max yang idealis dan akhirnya frustrasi, Muhammad Yamin lebih berfokus
pada si kaum terjajah, misalnya dalam puisinya yang berjudul Hikajat Saidjah dan Adinda Dalam sisi filosofis frustrasi yang
dihadapi Max serta Saidjah dan Adinda adalah sama pada hakekatnya; keduanya
putus asa dan terbelenggu dalam rantai sistem yang hanya bisa terputuskan
melalui revolusi.
Dalam Budaya Populer
- Max Havelaar ISBN 0-14-044516-1 – buku ini telah diangkat menjadi film tahun 1988 dengan judul yang sama, disutradarai oleh Alphonse Marie Rademaker dan melibatkan beberapa artis Indonesia, misalnya Rima Melati. Film ini tidak populer di Indonesia, bahkan sempat dilarang beredar oleh pemerintahan Orde Baru setelah beberapa saat diputar di gedung bioskop.
Indo Yang Jadi Menteri
Seorang Indo yang mengkritik bangsanya dan memunculkan
gagasan pemerintahan sendiri.
MULTATULI
punya seorang cucu, yang kelak meneruskan semangatnya, bernama Ernest Douwes
Dekker –lebih dikenal dengan nama Setiabudi. Persisnya cucu dari Jan, kakak
kandungnya. Nama Setiabudi diabadikan sebagai nama jalan di sejumlah kota
penting di Indonesia.
Setiabudi
bernama asli Ernest François Eugène (EFE) Douwes Dekker. Ia lahir di Pasuruan,
Jawa Timur, 8 Oktober 1879. Ia anak ketiga dari pasangan Auguste Henri Edouard
Douwes Dekker dan Louisa Margaretha Neumann. Auguste Henri seorang broker bursa
efek dan agen bank, sedangkan Louisa Margaretha putri seorang Jerman yang kawin
dengan perempuan Jawa. Oleh orang-orang terdekatnya, ia biasa dipanggil Nes.
Nes
menempuh pendidikan dasar di Pasuruan, HBS di Surabaya, lalu sekolah elit
Gymnasium Willem III di Batavia. Setelah lulus, ia bekerja di perkebunan kopi
Soember Doeren di lereng selatan Gunung Semeru, Malang, Jawa Timur. Karena
konflik dengan sang manajer, ia dimutasi ke perkebunan gula Padjarakan di
Kraksaan dekat Probolinggo. Pada masa itu di Jawa selalu terjadi sengketa
pembagian air irigasi antara pabrik gula dan para petani. Sikap Nes: Padjarakan
telah merebut hak petani. Ia lalu mengundurkan diri.
Karena
menganggur, juga kematian ibunya, DD memutuskan jadi sukarelawan dalam Perang
Boer II di Afrika Selatan, melawan Inggris. DD tertangkap lalu dipenjara di
kamp Ceylon, Sri Lanka. Ia dipulangkan ke Hindia Belanda pada 1902.
Sikap
kritisnya menonjol ketika bekerja sebagai wartawan. “Cara Bagaimana Belanda
Paling Cepat Bisa Kehilangan Tanah Jajahannya?”, yang dimuat di suratkabar
Belanda Nieuwe Arnhemsche Courant, menyentil penguasa. Kebijakan politis
etis tak luput dari sasaran kritiknya. Menurut DD, yang diperlukan adalah
pemerintahan sendiri, karena merekalah yang lebih tahu dan mengerti. “Di sini
untuk pertama kalinya disuarakan gagasan untuk memerintah diri sendiri,” tulis
Adrian B. Lapian dalam “Danudirdja Setiabuddhi 1879-1950”.
DD
–sebutan akrab rekan-rekannya seperjuangannya– juga terjun ke kancah politik.
Rumahnya di dekat Stovia jadi markas pertemuan para tokoh pergerakan seperti
Sutomo dan Tjipto Mangunkusumo. Budi Utomo (BO), organisasi yang diklaim
sebagai organisasi nasional pertama, lahir atas bantuan DD. Pada 1912, ia
bersama Cipto Mangunkusumo dan Suwandi Suryaningrat mendirikan Indische Partij
(Partai Hindia). Tapi setahun kemudian partai itu dibubarkan pemerintah.
Belum
berhenti sampai di sini. Akibat tulisan Suwardi di De Expres, “Als ik
eens Nederlander was”, ketiganya diasingkan ke Belanda. Alasannya, karena DD
dan Cipto mendukung Suwardi. DD memanfaatkan pengasingan ini untuk mengambil
program doktor di Universitas Zurich, Swiss, dalam bidang ekonomi. Di Swis DD
terlibat konspirasi dengan kelompok revolusioner India, sehingga ditahan di
Singapura. Setelah dua tahun di penjara, DD pulang ke Hindia Belanda.
Ia
tak kapok. Kini, ia mengkritik Indisch Europeesch Verbond (IEV),
organisasi kaum Indo. Dalam tulisan “Njo Indrik” (Sinyo Hendrik), ia mencap IEV
sebagai “liga yang konyol dan kekanak-kanakan.” Sejumlah pamflet juga
ditulisnya, seperti “Een Natie in de maak” (Suatu bangsa tengah terbentuk) dan
“Ons volk en het buitlandsche kapitaal” (Bangsa kita dan modal asing).
Pada
1919, DD terlibat dalam peristiwa protes dan kerusuhan buruh tani di perkebunan
tembakau Polanharjo, Klaten. Ia dianggap mengompori para petani sehingga
diadili. Hakim memutuskan bebas. Tapi kasus lain menghampirinya: ia dituduh
menulis hasutan di suratkabar yang dipimpinnya. Sebagai redaktur De
Beweging, ia harus melindungi seorang yang menulis komentar “Membebaskan
negeri ini adalah keharusan! Turunkan penguasa asing!” Setelah melalui
pembelaan panjang, ia divonis bebas.
Di
Bandung, DD mendirikan sekolah Ksatrian Instituut. Ia membuat materi pelajaran.
Materi pelajaran sejarah bermuatan anti-kolonial dan pro-Jepang –yang mulai
mengembangkan kekuatan militer dan politik di Asia Timur dengan mengekspansi
Korea dan Tiongkok. Pada 1933 buku-bukunya dibakar oleh Karesidenan Bandung. Ia
juga dilarang mengajar. Ia lantas bekerja di kantor Kamar Dagang Jepang di
Jakarta.
Pada
1947, DD menuju Yogyakarta, ibu kota Republik Indonesia –saat itulah ia
menanggalkan nama Belandanya jadi Setiabudi dan nama Douwes Dekker diganti
Danurdirdja. DD menempati posisi penting di Republik Indonesia. Ia menjabat
menteri negara tanpa portofolio dalam Kabinet Sjahrir III yang berusia pendek.
Lalu anggota delegasi negosiasi dengan Belanda, konsultan dalam komite bidang
keuangan dan ekonomi di delegasi itu, anggota DPA, pengajar di Akademi Ilmu
Politik, dan terakhir kepala seksi penulisan sejarah di bawah Kementerian
Penerangan.
Ia
menghabiskan sisa hidupnya di Bandung, mengurus Ksatrian Institiut. Ia juga
menulis autobiografi, 70 Jaar Konsekwent dan merevisi buku sejarah yang
pernah dibuatnya. Ia wafat dini hari, 29 Agustus 1950 –di batu nisannya tertulis
28 Agustus 1950– dan dikebumikan di Taman Makan Pahlawan Cikutra, Bandung.
Dengan mati ia abadi.
Multatuli dan Setiabudi
Mencermati
kecintaan DD (Douwes Dekker)
terhadap Indonesia sungguh membuat penasaran. Dia yang nyaris kaukasian
tulen—hanya terciprat darah Jawa dari nenek (dari pihak ibu), selebihnya
berdarah Prancis, Jerman, dan Belanda—mengapa bisa begitu mencintai negeri ini.
Dan
yang lebih mengherankan, dia tetap teguh pada perjuangannya untuk Indonesia di
saat seluruh sanak saudaranya termasuk istri dan anak-anaknya memilih pergi ke
Belanda saat negeri ini dikuasai Jepang. Padahal DD pernah berkata pada
kakaknya, bahwa perjuangannya untuk Hindia Belanda (nama Indonesia saat masih
dijajah Belanda) adalah juga untuk memberi masa depan yang baik kepada
anak-anaknya di Hindia Belanda kelak setelah merdeka (DD menjadi salah seorang
tokoh yang menggagas nama “Nusantara” untuk Hindia Belanda yang merdeka).
Setiabudi
Danudirdja masih memiliki hubungan darah dengan Multatuli, nama pena dari
Eduard Douwes Dekker yang novel “Max Havelaar”-nya sempat menggemparkan Eropa.
Novel ini berisi kritik atas perlakuan buruk para penjajah terhadap orang-orang
pribumi di Hindia Belanda. Multatuli adalah adik dari kakek DD. Kendati tidak
memilik sejarah berjuang bersama meski sama-sama pernah menginjakkan kaki di
Hindia Belanda, namun karakter mereka yang mudah terrenyuh melihat penderitaan
rakyat kecil, serupa benar (keserupaan ini sempat membuat banyak orang menduga
bahwa Multatuli dan Setiabudi adalah Douwes Dekker yang sama).
Ketika
bekerja di perkebunan kopi di Malang selepas menyelesaikan sekolah di Gymnasium
Willem III, satu sekolah elit di Batavia, DD seringkali membela para pekerja
kebun yang diperlakukan semena-mena oleh mandor-mandor kebun. Hal ini membuat
dia akhirnya dipecat dari perkebunan tersebut. Karakter DD yang mudah terenyuh
pada penderitaan rakyat kecil ini semakin “terasah” ketika dia mulai bergiat di
dunia jurnalistik.
Sepak
Terjang Bersama Cipto dan Suwardi
Sebagai
wartawan dan memiliki koran, dia cukup leluasa mengritik kebijakan-kebijakan
pemerintah kolonial yang tidak berperikemanusiaan. Seiring dengan itu, dia juga
aktif dalam bidang politik antara lain dengan mendirikan Indische Partij (IP)
pada 1912 di Bandung bersama Dr Cipto Mangunkusumo dan Dr Suwardi Suryaningrat
(ketiganya kemudian dikenal dalam sejarah Indonesia sebagai Tiga Serangkai). IP
saat itu menjadi partai politik pertama di Hindia Belanda yang terang-terangan
menuntut kemerdekaan Hindia Belanda selain juga aktif membela kesetaraan bagi
bumi putera dan kaum indo yang terdiskriminasi oleh sistem yang diterapkan
pemerintahan kolonial.
Namun
kiprahnya yang revolusioner bersama Cipto dan Suwardi ini harus dibayar dengan
berkali-kali menerima hukuman pengasingan, dijauhkan dari interaksinya dengan
rakyat yang dibelanya ini. Pada 1913, ketika pemerintah Hindia Belanda
berrencana turut memperingati 100 tahun kemerdekaan Belanda dari Prancis, Cipto
dan Soewardi mencemooh rencana tersebut lewat artikel yang dimuat di surat
kabar De Express. Inti artikel mereka adalah, betapa ironisnya jika
Hindia Belanda yang dijajah Belanda harus ikut merayakan kemerdekaan negeri
penjajahnya tersebut dari penjajahan oleh Prancis. Cipto dan Suwardi pun
ditangkap. Melihat itu, DD tak tinggal diam. Di surat kabar yang sama dia
menuliskan bahwa kedua rekannya itu adalah para pahlawan. Maka DD pun
ditangkap. Ketiganya sempat diasingkan ke negeri Belanda sebelum kemudian
dipisah-pisah antara lain ke pulau Banda dan Kupang.
Setelah
masa pengasingannya berakhir, pada 1922 Douwes Dekker pulang ke Bandung. Dia
lalu melamar pekerjaan sebagai pengajar di satu sekolah rendah partikelir yang
beraliran komunis. Meski ada ganjalan ihwal komunisnya itu, namun Belanda
merasa mungkin pekerjaan sebagai pengajar di sekolah tersebut akan meredam jiwa
gelisah seorang DD.
Tapi
dasar pembangkang, ada saja jalan untuk menjadi “pemberontak”. Kenaikan karir
di sekolah tersebut membuatnya bisa leluasa mengatur manajemen sekolah
tersebut. Sekolah yang semula bernama Preanger Instituut van de Vereeniging
Volksonderwijs (Institut Priangan dari Perkumpulan Pengajaran Rakyat) ini,
kemudian digantinya menjadi Ksatrian Instituut—kampus perjuangan yang memberi
peluang pendidikan setara bagi kaum pribumi, keturunan Tionghoa, dan indo, yang
mendapatkan diskriminasi pendidikan dari pemerintah kolonial.
Akibat
sepak terjangnya yang selalu bikin pemerintahan kolonial bercucuran keringat
dingin ini, DD kembali ditangkap dan kali ini diasingkan ke Suriname. Jiwa
gelisahnya ini, selain telah membuatnya pernah diasingkan ke Suriname dan
Belanda, juga pernah ke Yogyakarta dan Prapat. Bagi pemerintah kolonial
sendiri, upaya pengasingan itu tentu bukan soal terpencilnya lokasi melainkan
adalah untuk menjauhkan DD dari rakyat yang sedang dibelanya. Tiga tahun
setelah Indonesia merdeka, DD kembali ke Bandung dari pengasingannya di
Belanda, hingga kemudian meninggal dengan tenang di negeri yang dicintainya ini
pada 1950 di usia 70 tahun.
Nasib Anak Douwes Dekker
Dua
puluh lima tahun sudah berlalu sejak saya bersekolah di SMPN I Bandung, hingga
kemudian terdengar kabar sakitnya Kesworo Setiabudi pada 2011. Siapa dia?
Kesworo seperti telah dituliskan sebelumnya adalah anak Douwes Dekker dengan
Haroemi Wanasita, istri ketiganya.
Berita
sakitnya anak Douwes Dekker yang masih berada di Indonesia ini semakin membuat
hati miris, pasalnya lelaki kelahiran Belanda, 2 Oktober 1945 ini harus masuk
ke RSCM dengan menggunakan surat keterangan miskin. Hingga tak lama kemudian
terdengar juga kabar bawa Kesworo akhirnya meninggal dunia.
Wow,
seorang anak pahlawan nasional yang nama bapaknya digunakan sebagai nama
jalan-jalan protokol di berbagai kota di tanah air termasuk Jakarta, masuk
rumah sakit dengan menggunakan surat keterangan miskin? Ajaib sekali negeri
ini. Ah, kenapa jadi saya yang sakit hati mendengar berita ini.
Meskipun
tidak mendapat penghargaan apa-apa seperti sang ayah, Kesworo bagi sebagian
masyarakat di Cihideung Bogor juga terbilang pahlawan. Dengan mempertahankan
pabrik kerupuk palembang-nya kendati dalam keadaan sakit, Kesworo telah membuka
lapangan pekerjaan bagi masyarakat di sana.
Hingga
meninggalnya, tidak terdengar kabar pemerintah Indonesia memberikan bantuan
bagi anak pahlawan nasional ini, pahlawan nasional yang tidak
meninggalkan warisan tujuh turunan untuk anak-anaknya, pahlawan nasional yang
lebih fokus pada perjuangannya untuk rakyat banyak, bahkan dibanding untuk
keluarganya sendiri
Putra Douwes Dekker Meninggal
Inilah
Tulisan Putra Douwes Dekker Soal Nasionalisme
Hidup, Rejeki
dan Matipun di Indonesia
(Mengapa Harus
Menjadi Bangsa “Pura-pura”?)
Oleh: Kesworo
Setiabuddhi
(Anak Dr. Douwes
Dekker)
Aku dilahirkan di Eropa
dari seorang ibu asal Binjai Sumatera Utara, dengan Bapak yang seorang
Kaukasia, dimana etnisnya menjajah Indonesia selama beberapa abad, yaitu
E.F.E.Douwes Dekker.
Douwes Dekker, seorang
warga keturunan Belanda, tetapi hati nuraninya selalu menggelegak penuh
kegetiran manakala melihat ketimpangan hidup yang terjadi di Indonesia yang
kala itu masih dinamai Hindia Belanda, antara si penjajah yang nota-bene
berdarah seperti yang dipunyainya, dengan yang di jajah seperti darah istrinya
yang pribumi asal Sumatera Utara.
Itulah kedua orang tuaku.
Itulah kedua orang tuaku.
Seorang pribumi teman
Bapakku ( maaf aku menggunakan istilah “pribumi” untuk menggambarkan saat tahun
1930-an ), memberikan tanggapan atas sikap Bapakku yang menentang arus dengan
para Belanda umumnya, dengan rangkaian kalimat sebagai berikut:
“Pada awal berdirinya perkumpulan Boedi Oetomo, kami merasa sangat banyak dibantu baik moril maupun materil dari seorang tuan Douwes Dekker, yang saat itu sebagai redaktur surat kabar Bataviaasch Niewsblad. Hubungan saya dengan tuan Douwes Dekker sangat akrab, sehingga pintu rumahnya selalu terbuka untuk menerima kedatangan teman-temannya yang pribumi. Tuan Douwes Dekkerlah yang menyemangati dan menyebar luaskan cita-cita kami melalui suratkabarnya secara berkesinambungan”.
“Pada awal berdirinya perkumpulan Boedi Oetomo, kami merasa sangat banyak dibantu baik moril maupun materil dari seorang tuan Douwes Dekker, yang saat itu sebagai redaktur surat kabar Bataviaasch Niewsblad. Hubungan saya dengan tuan Douwes Dekker sangat akrab, sehingga pintu rumahnya selalu terbuka untuk menerima kedatangan teman-temannya yang pribumi. Tuan Douwes Dekkerlah yang menyemangati dan menyebar luaskan cita-cita kami melalui suratkabarnya secara berkesinambungan”.
( Seperti yang
dituangkan oleh R. SOETOMO, dalam “Kenang-Kenangan”, terbitan Februari 1934
hal. 86 ).
Rupanya Bapakku di
tahun 1910 telah menulis yang diterbitkan dalam sebuah buku ( tahun 1913 )
dengan judul : OVER HET KOLONIALE IDEAAL ( “KOLONIALIS MENGUASAI”, yang
belakangan diterbitkan lagi dengan versi 2 bahasa, Belanda – Indonesia dengan
bahasa Indonesia yang sudah disempurnakan, sekitar tahun 1974-an ).
Kalimat-kalimat yang
tertulis diantaranya :
• Penjajahan harus
mengabdi pada keserakahan, oleh karena itu untuk dapat memenuhi keserakahan
dengan cara yang mudah dan murah, adalah dengan membiarkan rakyat lemah, bodoh,
baik lahir maupun batin. Karena pergolakan yang menimbulkan pemberontakan akan
mengakibatkan penjajah mengeluarkan biaya besar untuk melindungi. Jadi
pertumbuhan dan perkembangan jiwa hanyalah hak kaum penjajah.
Untuk itu sistem
penjajahan harus dirubah, tidak lagi menggunakan gada, cemeti atau hukuman
berat yang tak sepadan dengan perbuatannya, tetapi dibuat model sistimatik yang
sewenang-wenang, berwajahkan undang-undang.
Maka jaman “pura-pura”
pun dimulai. Para penguasa harus menipu untuk tujuan sebenarnya yang
disembunyikan. Penindasan mengalami proses penjiwaan yaitu tidak tampak dimata,
tetapi lebih kepada jiwa. Jaman setengah biadab yang sebelumnya, diganti dengan
kekuasaan yang teratur tetapi sama nilai kebiadabannya, malah lebih lagi. Untuk
itu dibuatlah undang-undang yang dipaksakan kepada rakyat agar “pemikiran”
pemerintah ditaati dan dijalankan, disisi lain tanggung-jawab pemerintah tidak
ada, jadi segalanya tetap saja merupakan kesewenang-wenangan yang ditopengi
undang-undang.
• Beberapa abad dalam penjajahan orang Barat tentunya tidak mungkin berlalu begitu saja tanpa meninggalkan luka batin yang tak terhapuskan. Apa saja luka batin yang tak terhapuskan?
Diantaranya adalah :
Akibat Nafsu Birahi. Kaum penjajah akan menyuruh mengeluarkan perempuan tahanan
dari penjara, bila mereka merasa terangsang, dan bermain cinta diluar kemauan
dari si perempuan. Kaum penjajah menggunakan haknya sebagai penakluk.
Dari situasi seperti
inilah diantaranya lahir anak-anak berdarah campuran yang tumbuh dalam rahim
ibunya tanpa diiringi perasaan yang luhur melainkan hanya sekedar kenikmatan
nafsu.
Ada dendam dan benci
pada mereka yang kemarahannya tidak lagi tertuju kepada perorangan melainkan
diarahkan kepada seluruh gagasan penjajahan (Overheerscheridee). Dan alam
menjadikan anak campuran itu sebagai orang Timur (Masyarakat awam menyebutnya
Indo).
Itulah sekelumit kesan
dalam tulisan Bapakku. ( Sebetulnya banyak lagi hal yang mirip dengan keadaan
sekarang yang katanya kita Negara merdeka dan telah mereformasi tata
pemerintahan Republik ini ). ( Mungkin bila diibaratkan, hamparan hutan dilihat
dari ketinggian terlihat cantik hijau menawan tetapi hal berbeda didapati bila
kita berada didalam kegelapan hutan itu sendiri dengan dikelilingi pohon-pohon
besar dan semak belukar disekitar kita. Itulah beda Petinggi Negara melihat
masyarakat dan keadaan masyarakat itu sendiri ).
Kini, aku adalah juga
salah seorang dari warga Indonesia yang berdarah campuran, yang lahir dari
hubungan dengan ikatan perkawinan resmi, bukan “abal-abal”. Namaku menurut
ejaan bahasa Belanda adalah : KEES. Tetapi ketika Bapakku bertemu Bung Karno
saat usiaku 5 tahun Bung Karno mengatakan :
“Sebagai orang Belanda
yang berjiwa Indonesia alangkah baiknya bila anakmu juga dinamai sebagaimana
orang Indonesia. Untuk itu aku beri nama anakmu : KESWORO”.
( Sementara Bapakku
juga diganti namanya oleh Bung Karno menjadi SETIABUDI).
Begitulah latar
belakang Kebangsaanku yang Indonesia. Bagaimana dengan keturunan etnis lain
yang juga Rejeki, Hidup, Jodoh dan Matinya di Negeri ini?
Bukankah kakek moyang
mereka dimasa lampau BUKAN sebagai penjajah dan hanya numpang hidup dan menjadi
pembantu/antek penjajah?
Bila masa kebiadaban dan “pura-pura” dalam era penjajahan telah dilampaui, dan kita katanya bersama-sama bersatu tekad untuk menjadi SATU BANGSA, mengapa kita tidak bersama-sama urun-rembug, gandeng-tangan membangun Kesatuan Bangsa, jangan malah merusaknya dengan kekotoran moril (kolusi, korupsi, menggelapkan harta Negara dll) ataupun merasa beda derajat kemanusiaannya dengan sebutan khusus tanpa lebur dalam Kesatuan Bangsa yang solid demi NKRI?
Sungguh satu fenomena
Kebangsaan yang aneh dan mengada-ada, juga kentalnya kemunafikan pada banyak
pejabat Negara baik tinggi maupun bawah yang membuat gamang, Negeri ini mau
dibawa kemana?
Mari berbenah pikir dan
hati, kepada siapapun yang hidup, jodoh dan rejekinya dari Ibu Pertiwi
Indonesia, sudah berbuat benar dan sesuai Agamakah apa yang kita perbuat, baik
para pejabat maupun para keturunan etnis pendatang? Janganlah kita menjadi
Bangsa besar yang “pura-pura”....
Jakarta, Oktober 2009
Jakarta, Oktober 2009
ttd,
Kesworo Setiabuddhi
(Anak Dr. Douwes Dekker
)
Ketua III ForKom SBI
(Forum Komunikasi
SUMPAH BANGSA INDONESIA)
*)Lahir di Eropa,
berjiwa total Indonesia, fasih bicara Sunda.
NB :
Sebagai seorang keturunan Kaukasia yang beragama Islam, ada ayat Al-Qur’an yang dapat saya peroleh dari seorang teman, bagi para pejabat Negara, baik tinggi maupun bawah :
Sebagai seorang keturunan Kaukasia yang beragama Islam, ada ayat Al-Qur’an yang dapat saya peroleh dari seorang teman, bagi para pejabat Negara, baik tinggi maupun bawah :
An-Nahl ( surat 16 )
ayat 91 :
“Tepatilah janji dengan
Allah bila kamu telah berjanji dan jangan melanggar sumpahmu. Kamu telah
jadikan Allah sebagai jaminan sumpahmu, dan Allah tahu apa yang kamu lakukan“.
Maha benar segala firman Allah.
Maha benar segala firman Allah.
Sementara dari sebuah
buku yang ditulis oleh Michael C. Tang dengan judul : “Kisah-kisah
kebijaksanaan China Klasik”, Refleksi bagi para pemimpin, terpetiklah suatu
kalimat dari Konfusius ( 551 – 479 SM ) suatu kalimat ( hal 61 ) :
“Pelajari Kebenaran di
pagi hari, dan matilah dengan bahagia dimalam hari“.
“Seorang murid bertanya : “Adakah motto tunggal yang dapat dipakai semua orang sepanjang hidupnya ? “Sang Guru menjawab : “Perhatikanlah sesama, jangan lakukan sesuatu kepada sesama yang kamu tidak ingin orang lakukan itu kepadamu” ( hal 89 ).
“Seorang murid bertanya : “Adakah motto tunggal yang dapat dipakai semua orang sepanjang hidupnya ? “Sang Guru menjawab : “Perhatikanlah sesama, jangan lakukan sesuatu kepada sesama yang kamu tidak ingin orang lakukan itu kepadamu” ( hal 89 ).
Semua berpulang pada
hati nurani anda.
Sumber : www.wikipedia.org,
www.historia.co.id, www.kompasiana.com, www.tribunnews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar