Penghormatan
Terakhir Di Semaki
Dengan separuh paru-paru, karena yang lain rusak
terkena tuberkolosis, Soedirman terus bergerilya. Dirawat di rumah sakit dengan
memakai nama samaran.
Berjalan
tertatih-tatih, Letnan Jenderal Soedirman memasuki rumah dinasnya di jalan
Bintaran Wetan, Yogyakarta. Di depan pintu, sang istri, Siti Alfiah,
menyambutnya. Soedirman pulang setelah dua pekan meninggalkan istri dan enam
anaknya untuk memimpin operasi penumpasan pemberontakan Partai Komunis
Indonesia di Madiun, Jawa Timur. Malam itu, akhir September 1948, di
kediamannya yang kini menjadi Museum Sasmitaloka, Soedirman terlihat ringkih.
Kepada istrinya, dia mengeluh tak bisa tidur selama di Madiun. Soedirman
rupanya begitu terpukul menyaksikan pertumpahan darah yang terjadi antara
rakyat Indonesia itu. Peristiwa Madiun membuat batin Panglima Besar Angkatan
Perang Republik Indonesia itu nelangsa.
Selain kelelahan
berat, Soedirman tertekan batinnya karena peristiwa itu. Malam itu, kendati
kondisi kesehatannya turun, Soedirman tetap mandi dengan air dingin. Saran sang
istri agar ia mandi air hangat tak diindahkan. Dan inilah awal petaka bagi
Soedirman. Esoknya, Soedirman terkapar di tempat tidur.
Ketika ulang
tahun tentara tiba, 5 Oktober 1948, Soedirman yang masih sakit, mengunjungi
Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta. Di sana ia melakukan tabur bunga ke
pusara anggota tentara korban pemberontakan PKI Madiun. Sepulang dari tabur
bunga, kesehatannya memburuk. Kendati ia sakit, kegemarannya merokok tetap tak
bisa dihilangkan. Sesekali, sembari terbaring, dia menghisap rokok kretek.
Istrinya tak berani melarang. Karena tahu
Soedirman memang perokok berat.
Karena Soedirman
tak kunjung pulih, maka diutuslah sejumlah dokter tentara memeriksa
kesehatannya. Tim dokter muda itu mendiagnosis ia menderita tuberkolosis,
infeksi paru-paru. Keluarga Soedirman meminta dua dokter senior, Asikin
Wijayakusuma dan Sim Ki Ay, melakukan pemeriksaan dua dokter tersebut tak jauh
beda dengan pendahulunya. Atas saran Asikin, Soedirman dibawa ke Rumah Sakit
Panti Rapih, Yogyakarta.
Soegiri, bekas
ajudan Soedirman, menulis bagaimana saat sang Jenderal dirawat di rumah sakit
Katolik itu. Soedirman dirawat di kamar 8 Bangsal Maria, yang terdapat di
bagian depan. Soedirman terkena pulmonary
tuberculosis. Penyakit itu diketahui Soegiri dari dokter yang merawat
Soedirman. Menurut Soegiri, obat yang dibutuhkan Soedirman hanya ada di
Jakarta. Kalaupun sampai di Yogyakarta, obat itu harus melalui jalur
penyelundupan. Karena Jakarta, saat itu dikuasai oleh tentara sekutu.
Karena Soedirman
butuh pengamanan cepat, tim dokter memutuskan melakukan operasi untuk
menyelamatkannya dengan cara membuat satu paru-parunya tak berfungsi.
Komplikasinya, kata Soegiri, memang sudah sedemikian rupa, sehingga membuat
dokter menempuh cara tersebut. Pasca-operasi, menurut Soegiri, tim dokter
berbohong kepada Soedirman. Mereka mengatakan operasi itu cuma mengangkat satu
organ kecil di paru-paru yang menghambat saluran pernafasan. Adapun ibunya
dibertahu dokterperihal operasi itu. Dan sejak itu Soedirman bernafas dengan
separuh paru-parunya.
Setelah operasi,
Soedirman diminta beristirahat lebih lama. Ia juga dilarang keras merokok.
Menurut Soegiri, ketika hari jadi ke-25 rumah sakit itu, Soedirman khusus
menulis sajak sebagai kado ulang tahun. Sajak lima alinea itu berjudul “ 25
Tahun Rumah Nan Bahagia”. Isinya, ucapan terima kasih Soedirman karena mendapat
perawatan yang baik selama disana. Tulisan asli sajak itu kini diletakkan di
bawah monumen Jenderal Soedirman di area
Panti Rapih. Monument itu tak jauh dari kamar Soedirman dirawat.
Sebulan
melakukan pemulihan di rumah sakit, Soedirman pulang ke rumahnya di Bintaran.
Ketika di rumah, Soedirman pernah beberapa kali tak bisa menahan hasrat ingin
merokok. Perilaku ini, lagi-lagi, justru memperburuk kesehatannya. Soedirman
pernah muntah darah. Pada 17 Desember 1948, keajaiban datang. Soedirman
tiba-tiba bisa bangkit dari tempat tidur. Sebelumnya, sepulang dari Panti
Rapih, ia selalu terbaring di ranjang. Hari itu, kepada istrinya, Soedirman
berkata memiliki firasat Belanda akan melakukan agresi. Dua hari berselang,
firasat sang Jenderal terbukti : Belanda membombardir Yogyakarta, yang saat itu
Ibu Kota Indonesia. Ia pun memilih mengakhiri cutinya.
Dengan diusung
tandu, hamper delapan bulan,Soedirman keluar masuk hutan memimpin gerilya dari
luar Yogyakarta. Pernah suatu ketika ia tidak makan selama lima hari. Dengan
perut kosong, Soedirman menembus medan yang diguyur hujan lebat. Sesampai di
pacitan, Jawa Timur, ia sakit. Anak buahnya terpaksa mendatangkan dokter dari
Solo. Rika, suster yang merawat Soedirman, kala itu menulis pengalamannya saat
bersama jenderal besar ini. Menurut dia, saat itu Soedirman dirawat dengan nama
samaran : Abdullah Lelana Putra. Pengakuan Rika pada 1985 itu dimuat surat
kabar yang naskahnya kini tersimpan juga di museum Sasmitaloka. Soedirman
memakai nama samaran supaya keberadaannya tak diketahui Belanda.
Di Panti Rapih,
Soedirman masih memimpin rapat kabinet bersama Presiden Soekarno membahas upaya
mempertahankan kemerdekaan. Hanya dua pekan ia dirawat disana, setelah itu,
Soedirman kembali ke rumah. Setelah Belanda bersedia melakukan gencatan senjata
pada Oktober 1949, kesehatan Soedirman kian mencemaskan. Dokter meminta kembali
ke Panti Rapih. Tapi ia memilih beristirahat di wisma tentara di Badakan,
Magelang. Tapi tetirah sejuk dengan pemandangan Gunung Sumbing itu tak bisa
membuat kesehatan Soedirman membaik. Tiga bulan disana, ia kerap muntah darah.
Juga ditempat tidur. Dokter Husein dari Rumah Sakit Magelang bolak-balik
memeriksa dan menungguinya. Dan saat itu, kondisi Soedirman tinggal tulang dan
kulit saja.
Seolah-olah
mendapat firasat hari kematiannya segera tiba, pada 18 Januari 1950, Soedirman
memeinta sejumlah petinggi tentara menemuinya di Badakan. Esok harinya, ia
emanggil istri dan tujuh anaknya. Seperti kepada para petinggi tentara, ia juga
memberi wejangan kepada istri dan
anak-anaknya. Tak sepenuhnya pertemuan dengan keluarga diisi dengan wejangan.
Soedirman juga sempat bergurau. Kepada keluarganya, misalnya, ia menyatakan
sebenarnya ingin seperti Lurah Pakis, kenalannya, yang hidup sampai tua dan
bisa meminang cucu.
Pada senin, 29
Januari 1950, Soedirman kembali dikelilingi istri dan anak-anaknya. Kondisi
tubuhnya semakin lemah. Berlinang air mata, Siti Alfiah meminta suaminya tegar.
Soedirman menatap istrinya dan meminta perempuan yang dikasihinya tersebut
menuntunnya membaca kalimat tauhid. Satu kalimat terucap, Soedirman kemudian
mangkat. Soedirman pergi dalam usia muda, 34 tahun. Esok harinya, ribuan orang
ikut mengantarkan jenazahnya ke Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta. Hari
itu hujan turun lebat menguyur Kota Yogyakarta. Tembakan salvo satu regu
tentara di pemakaman Semaki mengantar jenderal besar itu ke tempat
peristirahatan terakhirnya.
Di Bawah Bayang-Bayang Panglima Besar
Soedirman menginspirasi politik militer. Mengamanatkan
disiplin hidup, bukan kadaver.
Di bawah limasan
yang disangga sepuluh tiang itu terbujur makam sang Panglima Besar. Terletak di
bagian belakang Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara, Semaki, Yogyakarta, bukan
hanya peristirahatan terakhir Jenderal Soedirman yang dinaungi atap. Juga dua
makam di sebelah kanannya, Jenderal Oerip Soemohardjo serta Menteri Pembangunan
dan Pemuda Kabinet Muhammad Hatta, Soepeno. Tepat disebelah kiri Soedirman
terbaring Siti Alfian, sang istri.
Jenderal Oerip,
Kepala Staf Umum Angkatan Perang
Republik Indonesia pertama, yang paling awal disemayangkan di Semaki. Ia wafat
pada 17 November 1948 dalam usia 55 tahun. Dua tahun kemudian, Soedirman, yang
wafat pada 29 Januari 1950, dikebumikan disana. Makam Soepeno dipindahkan dari
Nganjuk, Jawa Timur, ke Semaki setahun setelah ia tewas dieksikusi Belanda pada
24 Februari 1949. Pada nisan Siti Alfian tertulis ia wafat pada 22 Agustus
1997.
Bertahun-tahun
setelah Soedirman berpulang, para peziarah terus mendatangi makam. Dari pihak
keluarga, yang rutin menyekar adalah Muhammad Teguh, putra bungsu Soedirman,
yang setiap Selasa Kliwon, sebulan sekali, Muhammad Teguh datang untuk
mendoakan ayahnya. Yang juga rutin menyambangi makam Soedirman dan Oerip adalah
anggota TNI. Sejumlah perwira setidaknya menyadran Saban 5 Oktober yang
merupakan Hari TNI.
Puluhan tahun
yang lalu, kedua makam itu menjadi lokasi perdamaian dua kubu tentara Angkatan
Darat. Terbelah sejak Peristiwa 17 Oktober 1952, TNI menyelenggarakan
konferensi di Yogyakarta. Pertemuan dimulai pada 17 Februari 1955, dihadiri 280
perwira. Diakhir pertemuan pada 25 Februari, yang dihadiri Presiden Soekarno
dan Wakil Presiden Muhammad Hatta, mereka berziarah ke makam Soedirman dan
Oerip. Di makam itu para pewira bersumpah setia. Kelak, hasil persamuhan di
Yogyakarta dikenal dengan sebutan “Piagam Yogya” atau “Piagam Kewuhan Angkatan
Darat”. Isinya, antara lain, menyatakan bahwa tentara akan mempertahankan
persatuan dan profesionalisme, serta tidak akan membiarkan politik merongrong
militer. Peristiwa 17 Oktober 1952 yang memecah mereka dianggap tak pernah ada.
Peristiwa 17
Oktober bermula dari rencana pimimpin tentara, terutama dua perwira yang pernah
mengecap pendidikan militer Belanda, Kepala Staf Angkatan Darat Kolonel Abdul
Haris Nasution dan Kepala Staf Angkatan Perang RI Kolonel T.B. Simatupang,
untuk membentuk tentara yang professional. Lantaran anggaran terbatas, Angkatan
Darat memutuskan mengurangi jumlah personel. Demobilisasi rencananya dilakukan
hingga akhir 1953, sehingga tentara tinggal 120 ribu dari 200 ribu. Namun
rencana Nasution dan Simatupang ditentang sejumlah tentara, terutama perwira
bekas Pembela Tanah Air (PETA) dan laskar. Pada awal Juli 1952, seorang perwira
bekas Peta bernama Kolonel Bambang Supeno mendesak Soekarno agar Nasution
diganti. Supeno adalah bekas ketua Akademi Militer Candradimuka di Bandung,
yang ditutup Nasution. Setelah menemui Presiden, Supeno menyurati Menteri
Pertahanan dan Parlemen, yang menyatakan ia tak percaya kepada pemimpin
Angkatan Darat.
Pada 17 Juli
Nasution memecat Supeno. Namun surat Supeno terlanjur diterima parlemen, yang
kemudian menggelar serangkaian rapat untuk membahas persoalan di tubuh Angkatan
Darat. Bola liar akhirnya mengarah pada usul bahwa parlemen bisa meminta
pemerintah mengganti pemimpin militer. Campur tangan yang terlalu jauh ini
membuat kesal pimpinan Angkatan Darat. Pada 17 Oktober 1952, tentara
memobilisasi rakyat untuk berunjuk rasa di depan Istana, meminta Presiden
membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat Sementara. Soekarno menggambarkan suasana
pagi itu : “Dua buah tank, empat kendaraan lapis baja, dan ribuan orang
menyerbu memasuki gerbang Istana Merdeka. Mereka membawa poster-poster
‘bubarkan parlemen’. Satu batalion artileri dengan empat buah meriam memasuki
lapangan keliling istana. Meriam-meriam 25 pounder dihadapkan kepadaku…”
Bukan parlemen
yang bubar, justru Nasution yang terlempar dari jabatannya. Pada 5 Desember
1952, ia diberhentikan. Ia juga diperiksa Kejaksaan Agung atas peristiwa
“setengah kudeta” tadi. Kursi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) yang lowong
diduduki Kolonel Bambang Sugeng, perwira eks Peta, yang sebelumnya
dinonaktifkan Nasution dari Komandan Teritorium Jawa Timur. Sejumlah perwira
“pro-17 Oktober”, diantaranya Wakil KSAD Letnal Kolonel Soetoko dan Komandan
Teritorium Indonesia Timur Kolonel Gatot Soebroto, juga dicopot.
Selama masa nonaktif
dari militer, pada 1952-1955, Nasution banyak menghabiskan waktu untuk menulis.
Buah pikirannya kemudian ikut menentukan politik militer, bahkan sejarah
politik Indonesia. Nasution berkaca pada pengalaman Soedirman yang berpolitik.
“Beliau selalu mengambil bagian dalam pertemuan-pertemuan pemerintah maupun
pihak oposisi,” Nasution menulis. Karena itu, Nasution berpendapat, tentara tak
bisa menghindari politik.
Menurut pengamat
militer Salim Said, Nasution juga menyaksikan bagaimana Soedirman menolak
perintah Presiden Soekarno untuk tetap berada di Yogyakarta ketika kota itu hampir
jatuh ke tangan Belanda pada 1948. “Pak Dirman mengamanatkan tentara disiplin
hidup, bukan disiplin mati,” kata Said. Maksudnya, kesetiaan utama tentara
adalah kepada negara. Tentara bisa tak mentaati perintah pemimpin politik yang
dinilai keliru.
Gagasan Nasution
diterapkan setelah ia resmi kembali menjabat KSAD pada 7 November 1955,
Sembilan bulan setalah islah para perwira Angkatan Darat di makam Pak Dirman.
Meski begitu, upayanya tak mulus. Tentara baru betul-betul leluasa berpolitik setelah
Soekarno menerbitkan Dektrit 5 Juli 1959, yang memberlakukan kembali
Undang-Undang Dasar 1945. Ini sesuai dengan keinginan Nasution, yang pada masa
nonaktif dari militer melihat kekacauan politik disebabkan oleh ditinggalkannya
UUD 1945.
Sebelum itu
terjadi, islah di makam Soedirman ternyata hanya sesaat meredakan perselisihan
para perwira. Awal Mei 1955, Bambang Sugeng meminta berhenti dari jabatannya.
Pemerintah kemudian mengangkat Kolonel Bambang Utojo sebagai pengganti Bambang
Sugeng, yang ditolak sejumlah perwira, termasuk oleh Wakil KSAD Kolonel
Zulkifli Lubis, perwira dari kelompok “anti 17 Oktober”. Pada akhir Oktober
1955, pemerintah akhirnya menunjuk Nasution sebagai KSAD. Pengangkatan kembali
Nasution tak langsung mendinginkan pertikaian. Sejumlah perwira membangkang
ketika hendak digeser posisinya. Pertikaian Nasution dengan Zulkifli Lubis
semakin runcing. Situasi bertambah pelik ketika beberapa perwira membentuk
dewan militer di daerah-daerah pada 1956. Di Sumatera Barat, misalnya, Letnan Kolonel
Ahmad Husein membentuk “Dewan Banteng”. Di Sumatera Utara, Kolonel Simbolon
mendirikan “Dewan Gajah”. Pemberontakan baru betul-betul padam pada pertengahan
1958.
Selain sibuk
menumpas pemberontak, Nasution memperjuangkan gagasannya bahwa tentara bisa
berpolitik lewat Dewan Nasional, yang dibentuk pada 1957 dan di ketuai
presiden. Dewan ini beranggotakan para Kepala Staf Angkatan, Kepala Kepolisian,
dan Ketua Mahkamah Agung. Nasution menuntut kursi untuk tentara di parlemen
dengan konsekuen militer kehilangan hak pilih dalam pemilihan umum. Dalam
peringatan dies natalis Akademi Militer Nasional di Magelang pada 12 November
1958, Nasution berceramah bahwa TNI tidak bisa memainkan politik secara aktif,
juga tak bisa hanya pasif. “Tentara akan mencari jalan tengah,” katanya.
Ceramah itu dilaksanakan sembilan hari sebelum Dewan akhirnya menyetujui TNI
sebagai bagian dari golongan fungsional, yang kemudian dikenal sebagai golongan
karya. Sejak itu, hingga dwifungsi ABRI dicabut pada 2000, militer menjadi kekuatan
politik.
Warisan Panglima Besar Soedirman Untuk TNI
Jika apda hari
ini kita melakukan sebuah refleksi kesejarahan atas peran Panglima Besar
Jenderal Soedirman, ada keinginan untuk mengenangnya dalam upaya menarik
pelajaran yang dapat menarik yang dapat kita implemantasikan dalam konteks
kekinian. Hal ini karena perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan
Negara Kesatuan Republik Indonesia setelah Proklamasi 17 Agustus 1945 tidak
dapat dilepaskan dari peran Jenderal Soedirman. Peran lain yang tidak kalah
penting adalah peran Jenderal Soedirman sebagai panglima pertama Tentara
Nasional yang meletakkan fondasi bagi kultur TNI. Fondasi tersebut menjadi
penting karena TNI dibentuk tidak dalam masa damai melalui proses yang teratur
atas sebuah tentara professional. Fondasi ini dibentuk dalam keadaan TNI telah
berfungsi dan bertugas sebagai tentara kebangsaan, dimulai dari tingkat taktis
yang harus merencanakan dan melaksanakan operasi sebuah kekuatan militer yang
secara struktural sedang dalam proses pembentukan dan belum dilengkapi
persenjataan memadai. Sedangkan tentara Belanda dan Sekutu telah hadir sebagai
tentara profesional dan dilengkapi persenjataan modern.
Pada ujung
spectrum lain, secara inernal TNI juga menghadapi ujian tentang posisi, dan
kewenangannya sebagai tentara yang berasal dari kekuatan rakyat dan berjuang
merebut kemerdekaan. Kekuatan rakyat ini terdiri atas laskar perjuangan sebagai
sayap bersenjata dari perjuangan politik serta sarat dengan kepentingan politik
partisan. Dalam kondisi seperti itulah
Jenderal Soedirman membangun TNI.
Sebelum menjadi
tentara, Jenderal Soedirman yang akrab disapa Pak Dirman berprofesi sebagai
guru di lembaga pendidikan Muhammadiyah. Ia hadir layaknya seorang bapak dalam
keluarga. Karena itu, tak aneh bila ia selalu memanggil personel TNI dengan
sebutan “anakku”. Kehadirannya dalam perang gerilya, walau dalam kondisi sakit
berat, menambah semangat juang prajurit TNI. Paling tidak, mereka merasakan
kebersamaan dengan pemimpinnya. Disisi lain, Soedirman tetap tunduk kepada
pemimpin negara walau beberapa keputusan dan kebijakan mengecewakan, terutama
ketika pemimpin negara menolak bergerilya melawan Belanda pada 1948.
Ditengah harapan
semangant kemerdekaan dan usaha rakyat memenuhi kebutuhannya, muncul para
penghasut yang berhaluan kiri. Dengan dalih menggabungkan badan-badan
perjuangan dari tiga daerah yang di ketuai
Soekirman, dan Soewignjo sebagai wakilnya, pada November1945 mereka
memulai gerakan. Aksi-aski anarkistis mengembang dengan sasataran gudang
sandang dan pangan di Brebes, Kejambon, Margasari, Pemalang, sampai Batang.
Mereka melucuti polisi, dan di Panarukan mereka berusaha menyerang sebuah
asrama Tentara Keamanan Rakyat. Menghadapi persoalan semacam ini, Pak Dirman
menggunakan taktik “ besi bersarung kaus”. Penumpasan hanya ditujukan kepada
pihak yang harus ditumpas, tanpa menimbulkan persoalan baru. Dalam kesempatan
lain, tidak lama setelah berhasil mengatasi pemberontakan Budanco Kusaeri di
Gumilir, Pak Dirman berpesan kepada anak buahnya, “Jangan kamu berbuat sapu
meninggalkan ikatannya. Sebatang lidi tdak akan berarti apa-apa, tapi dalam
ikatan sepatu akan dapat menyapu segala-galanya.”
Dalam taktik
pertempuran, Pak Dirman menunjukkan kemampuannya dalam Palagan Ambarawa.
Kepemimpinan pertempuran Pak Dirman yang menonjol meliputi analisis operasi
untuk menentukan sebuah keputusan taktis serta implikasi strategis yang
ditimbulkan. Hal ini dibuktikan ketika pada 15 Desember 1945 pasukan pak Dirman
berhasil memukul mundur pasukan Sekutu dan Belanda dari Ambarawa. Tiga hari
setelah hasil gemilang dalam Palagan Ambarawa, pada 18 Desember 1945, Presiden
Soekarno melantik Jenderal Soedirman sebagai panglima besar.
Tantangan yang
dihadapi Pak Dirman pada masa awal pembentukan TNI tidak hanya dalam medan
tempur. Tantangan yang terdiri atas ancaman maut di garis depan dan perbedaan
pandangan politik golongan tetap berkecambuk dalam masyarakat. Adanya perbedaan
pandangan politik perjuangan membuat Pak Dirman makin prihatin.
Anjuran-anjurannya tentang persatuan dan kesatuan seperti teriakan di padang
pasir. Kalaupun ada pandangan Pak Dirman yang memasuki ranah politik, itu
didasari kepentingan TNI untuk pencapaian tugas, bukan untuk kekuasaan. Dan
tugas TNI adalah melaksanakan tugas untuk
kepentingan bangsa.
Pada kesempatan
lain, tersiar berita bahwa Jenderal Mayor Soedarsono telah berhasil memasuki
Istana dan berusaha memaksa Presiden membubarkan Kabinet Sjahrir. Bung Karno
menolak permintaan itu dan Jenderal Mayor Soedarsono dapat dilucuti. Sementara itu,
Mr Amir Sjahrifoeddin, yang berhasil meloloskan diri, juga berhasil masuk
Istana. Ia melaporkan bahwa tentara telah memberontak terhadap pemerintah.
Kepercayaan Presiden terhadap laporan tersebut membuat Pak Dirman tertegun.
“Bagaimana mungkin tentara memberontak terhadap pemerintah. Padahal ini adalah
tindakan sekelompok politikus yang menyeret beberapa oknum tentara. “Namun
keputusan cepat diambil. Semua perwira Markas Besar Tentara menghadap Presiden.
Pak Dirman, yang
berangkat sendiri ke Istana,melaporkan keadaan yag sebenarnya kepada Presiden
bahwa tidak benar sama sekali tentara memberontak kepada pemerintah. Menghadapi
laporan Pak Dirman, Presiden terdiam. Di dalam ucapan Pak Dirman terkandung
nada kecewa : “Kalau memang pemerintah tidak percaya lagi kepada kami, kami
beserta semua perwira Markas Besar Tentara minta dibebaskan dari tugas saat ini
juga!” Presiden menolak permintaan itu. Setelah menatap satu per satu
perwiranya di hadapannya, akhirnya Presiden berkata, “Saya tetap percaya kepada
saudara-saudara untuk memimpin tentara. Saya minta saudara percaya kepada
ucapan saya ini. Tidak begitu saja, tapi sungguh demi perjuangan yang kita
hadapi!” Penyelesaian hukum terhadap mereka yang terlibat dalam Peristiwa 3
Juli dilakukan pada Maret 1947 oleh Mahkamah Tentara Agung. Jenderal Mayor
Soedarsono diberhentikan dari jabatannya dan digantikan Jenderal Mayor
Soesalit. Keputusan ini memulihkan nama baik Pak Dirman terhadat fitnah yang
ditujukan kepadanya.
Tokoh komunis
yang lama sebelum proklamasi sudah bermukim di Moskow telah kembali ke
Indonesia. Tindakan Partai Komunis Indonesia makin menjurus kearah persiapan
untuk merebut kekuasaan Negara Republik Indonesia. Akhirnya, meletuslah
peristiwa Madiun pada September. Presiden Soekarno segera berpidato, dengan
mengeluarkan ultimatum : “Ikut Musso dengan PKI-nya atau ikut Soekarno-Hatta.”
Menganggapi hal ini, Markas Besar Tentara mengambil tindakan cepat. Pasukan TNI
bergerak mengejar dan menumpas para pemberontak. Hati Pak Dirman terasa makin
terobek-robek, tapi pendiriannya tetap. Soedirman pantang mundur menghadapi
tantangan ini. Bersama staf-nya, Pak Dirman kembali mengkonsolidasikan tubuh
TNI.
Pada 29 Januari
1950, Jenderal Soedirman wafat. Saat itu, Presiden Soekarno tengah melakukan
kunjungan kenegaraan ke India. Bung Hatta selaku Perdana Menteri Republik
Indonesia Serikat mengucapkan pidato radio di Jakarta pada hari itu. Dalam
pidatonya, Bung Hatta meyatakan , “…… Soedirman adalah orang yang keras hati
yang suka membela pendiriannya dengan bersemangat. Tapi, apabila pemerintah
telah mengambil keputusan, ia selalu taat dan menjalankan keputusan itu dengan
sepenuh tenaganya. Jenderal Soedirman adalah orang yang sangat disipliner yang
harus menjadi contoh dan teladan bagi tentara kita seluruhnya… Soedirman juga
menjadi kampium dari semboyan bahwa dalam satu negara yang ada dan modern,
hanya ada satu tentara dengan segala kebijaksanaannya yang ada padanya…”
Pak Dirman
merupakan pemimpin yang telah meletakkan landasan bagi kejiwaan TNI karena
telah merespon tantangan yang dihadapinya secara tepat. Tantangan tersebut
mencakup seluruh lingkungan aspek fungsi TNI, dari taktis oprasional sampai
pada penempatan posisi TNI dalam dinamika politik yang sangat tinggi. Pak
Dirman ketika itu tidak hanya harus menentukan posisi TNI dalam hubungan antara
TNI dan pemimpin politik, yakni bagaimanapunTNI harus tetap setia dan patuh
kepada keputusan politik walau keputusan tersebut dianggap kurang menguntungkan
bagi strategi militer. Di sisi lain, bagaimanapun, TNI harus mengambil posisi
agar tidak tergelincir memasuki wilayah politik dan menghadapi ancaman
politisasi dari partai politik.
Semua ciri di
atas tidak hanya menunjukkan bahwa TNI merupakan tentara kebangsaan, tapi juga
mengandung visi untuk menjadikan TNI tentara profesional dan modern. Tentu,
untuk mengambil intisari pelajaran dan nilai hakiki dari praktik kepemimpinan
TNI pada waktu itu, kita harus meletakkan dalam konteks. Konteks tersebut
adalah TNI merupakan wujud tentara kebangsaan dari sebuah bangsa yang berjuang
(a nation in arms) yang memulai
tradisi kemiliteran modern dari awal.
Pak Dirman tidak
hanya memiliki karisma karena ketrampilan kepemimpinannya yang memancar dari
pribadinya yang sederhana, tapi juga mempunyai visi jauh kedepan tentang TNI.
Pak Dirman telah memainkan peran penting dalam membentuk TNI sebagai institusi
pertahanan yang profesional dan modern serta memenuhi syarat ditinjau dari
teori hubungan sipil-militer dalam konteks kekinian. Kepatuhan dan kesetiaan
kepada pemimpin politik adalah visi Pak Dirman yang memberi fondasi sangat
penting bagi TNI dalam dinamika hubungan sipil-militer yang tidak pernah surut
dan merupakan wujud dari nilai bahwa TNI adalah alat negara, bukan alat
kekuasaan. Kitanya terhadap persatuan dan kesatuan dapat kita simak dari
anjurannya ditengah konflik politik yang mengancam perpecahan bangsa.
Konsistensi perjuangan Pak Dirman terhadap jati diri TNI sebagai tentara
kebangsaan merupakan wujud semangat pantang mundur untuk menegakkan proklamasi
walau dalam kondisi fisik yang lemah. Sungguh TNI patut bersyukur mempunyai
seorang panglima besar dalam diri Soedirman pada masa-masa pembentukannya.
Sumber : Majalah Tempo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar