Wahhabisme adalah gerakan keagamaan atau cabang dari Islam. Gerakan ini dikembangkan oleh seorang teolog Muslim
abad ke-18 (Muhammad
bin Abdul Wahhab) dari Najd, Arab Saudi, yang
menganjurkan membersihkan Islam dari "ketidakmurnian". Wahhabisme
adalah bentuk dominan dari Islam di Arab Saudi. Wahhabi telah mengembangkan
pengaruh yang cukup besar di dunia Muslim di bagian melalui pendanaan masjid
Saudi, sekolah dan program sosial. Doktrin utama Wahhabi adalah Tauhid, Keesaan
dan Kesatuan Allah. Ibn Abd-al-Wahhab dipengaruhi oleh
tulisan-tulisan Ibnu Taymiyyah dan
mempertanyakan interpretasi klasik Islam, mengaku mengandalkan Alquran dan Hadits. Ia menyerang sebuah "kemerosotan
moral yang dirasakan dan kelemahan politik" di Semenanjung Arab dan mengutuk
apa yang dianggap sebagai penyembahan
berhala, kultus
populer orang-orang kudus, dan kuil dan kunjungan ke kuburan.
Istilah "Wahabi" dan "Salafi" (serta ahl al-hadith, orang-orang hadits) sering digunakan
secara bergantian, tapi Wahabi juga telah disebut "orientasi tertentu
dalam Salafisme", beberapa orientasi menganggap ultra-konservatif dan
sesat.
Biografi
Ulama Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab
Nasab
(Silsilah Beliau)
Beliau adalah As Syaikh
Muhammad Bin Abdul Wahhab Bin Sulaiman Bin ‘Ali Bin Muhammad Bin Ahmad Bin
Rasyid At Tamimi. Beliau dilahirkan pada tahun 1115 H -bertepatan dengan 1703
M- di negeri ‘Uyainah daerah yang terletak di utara kota Riyadh, dimana
keluarganya tinggal.
Beliau tumbuh di rumah
ilmu di bawah asuhan ayahanda beliau Abdul Wahhab yang menjabat sebagai hakim
di masa pemerintahan Abdullah Bin Muhammad Bin Hamd Bin Ma’mar. Kakek beliau,
yakni Asy Syaikh Sulaiman adalah tokoh mufti yang menjadi referensi para ulama.
Sementara seluruh paman-paman beliau sendiri juga ulama.
Beliau dididik ayah dan
paman-pamannya semenjak kecil. Beliau telah menghafalkan Al Qur’an sebelum
mencapai usia 10 tahun di hadapan ayahnya. Beliau juga memperdengarkan bacaan
kitab-kitab tafsir dan hadits, sehingga beliau unggul di bidang keilmuan dalam
usia yang masih sangat dini. Disamping itu, beliau sangat fasih lisannya dan
cepat dalam menulis. Ayahnya dan para ulama disekitarnya amat kagum dengan
kecerdasan dan keunggulannya. Mereka biasa berdiskusi dengan beliau dalam
permasalahan-permasalah ilmiyah, sehingga mereka dapat mengambil manfaat dari
diskusi tersebut. Mereka mengakui keutamaan dan kelebihan yang ada pada diri
beliau. Namun beliau tidaklah merasa cikup dengan kadar ilmu yang sedemikian
ini, sekalipun pada diri beliau telah terkumpul sekian kebaikan. Beliau justru
tidak pernah merasa puas terhadap ilmu.
Rihlah
Beliau dalam Menuntut Ilmu
Beliau tinggalkan
keluarga dan negerinya untuk berhaji. Seusai haji, beliau melanjutkan
perjalanan ke Madinah dan menimba ilmu dari para ulama’ di negeri itu. Di
antara guru beliau di Madinah adalah:
* As Syaikh Abdullah
Bin Ibrahim Bin Saif dari Alu (keluarga) Saif An Najdi. Beliau adalah imam
bidang fiqih dan ushul fiqih.
* As Syaikh Ibrahim Bin
Abdillah putra Asy Syaikh Abdullah bin Ibrahim Bin Saif, penulis kitab Al
Adzbul Faidh Syarh Alfiyyah Al Faraidh.
* Asy Syaikh Muhaddits
Muhammad Bin Hayah Al Sindi dan beliau mendapatkan ijazah dalam periwayatannya
dari kitab-kitab hadits.
Kemudian beliau kembali
ke negerinya. Tidak cukup ini saja, beliau kemudian melanjutkan perjalanan ke
negeri Al Ahsa’ di sebelah timur Najd. Disana banyak ulama mahdzab Hambali,
Syafi’i, Maliki dan Hanafi. Beliau belajar pada mereka khususnya kepada para
ulama mahdzab Hambali. Di antaranya adalah Muhammad bin Fairuz , beliau belajar
fiqih kepada mereka dan juga belajar kepada Abdullah Bin Abdul Lathif Al
Ahsa’i.
Tidak cukup sampai
disitu, Bahkan beliau menuju ke Iraq, khususnya Bashrah yang pada waktu itu
dihuni oleh para ulama ahlul hadits dan ahlul fiqih. Beliau menimba ilmu dari
mereka, khususnya Asy Syaikh Muhammad Al Majmu’i, dan selainnya. Setiap kali
pindah maka beliau mendapatkan buku-buku Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan
Ibnul Qayyim muridnya, beliau segera menyalinnya dengan pena. Beliau menyalin banyak
buku di Al Ahsa’ dan Bashrah, sehingga terkumpullah kitab-kitab beliau dalam
jumlah yang besar.
Selanjutnya beliau
bertekad menuju negeri Syam, karena di sana ketika itu terdapat ahlul ilmi dan
ahlul hadits khususnya dari mahdzab Hambali. Namun setelah menempuh perjalanan
ke sana, terasa oleh beliau perjalanan yang sangat berat. Beliau ditimpa lapar
dan kehausan, bahkan hampir beliau meninggal dunia di perjalanan. Maka
beliaupun kembali ke Bashrah dan tidak melanjutkan rihlahnya ke negeri Syam.
Selanjutnya beliau
bertolak ke Najd setelah berbekal ilmu dan memperoleh sejumlah besar kitab,
selain kitab-kitab yang ada pada keluarga dan penduduk negeri beliau. Setelah
itu beliau pun berdakwah mengadakan perbaikan dan menyebarkan ilmu yag
bermanfaat serta tidak ridha dengan berdiam diri membiarkan manusia dalam
kesesatan.
Dakwah
Beliau
Kondisi keilmuan dan
keagamaan manusia waktu itu benar-benar dalam keterpurukan yang nyata, hanyut
dalam kegelapan syirik dan bid’ah. Sehingga khurafat, peribadatan kepada kuburan
mayat dan pepohonan merajalela. Sedangkan para ulamanya sama sekali tidak
mempunyai perhatian terhadap aqidah salaf dan hanya mementingkan
masalah-masalah fiqih. Bahkan diantara mereka justru memberikan dukungan kepada
pelaku kesesatan-kesesatan tersebut.
Adapun dari segi
politik, mereka tepecah belah, tidak memiliki pemerintahan yang menyatukan
mereka. Bahkan setiap kampung mempunyai amir (penguasa) sendiri. ‘Uyainah
mempunyai penguasa sendiri, begitu pula Dir’iyyah, Riyadh, dan daerah-daerah
lainnya. Sehingga pertempuran, perampokan, pembunuhan dan berbagai tindak
kejahatan pun terjadi diantara mereka.
Melihat kondisi yang
demikian mengenaskan bangkitlah ghirah (kecemburuan) beliau terhadap agama
Allah Subahnahu Wata’ala juga rasa kasih sayang beliau terhadap kaum muslimin.
Mulailah beliau berdakwah menyeru manusia ke jalan ALlah Subhanahu Wata’ala,
mengajarkan tauhid, membasmi syirik, khurafat dan bid’ah-bid’ah serta
menanamkan manhaj Salafush Shalih. Sehingga berkerumunlah murid-murid beliau
baik dari Dir’iyyah maupun ‘Uyainah.
Selanjutnya beliau
mendakwahi amir ‘Uyainah. Pada awalnya sang amir menyambit baik dakwah tauhid
ini dan membelanya. Sampai-sampai ia menghancurkan kubah Zaid Bin Al-Khattab
yang menjadi tempat kesyirikan atas permintaan Asy Syaikh Muhammad Bin Abdul
Wahhab. Namun karena adanya tekanan dari amir Al Ahsa’ akhirnya amir ‘Uyainah
pun menghendaki agar Asy Syaikh keluar dari ‘Uyainah. Maka berangkatlah beliau
menuju ke Dir’iyyah tanpa membawa sesuatupun kecuali sebuah kipas tangan guna
melindungi wajahnya. Beliau terus berjalan di tengah hari seraya membaca
(Qur’an surat Ath Thalaq:2-3 yang artinya -red):
“Barang siapa yang
bertakwa kepada Allah pasti Allah memberinya jalan keluar dan rizki dari arah
yang tiada disangka-sangka”(Ath Thalaq:2-3)
Beliau terus
mengulang-ulang ayat tersebut sampai tiba di tempat murid terbaiknya yang
bernama Ibnu Suwailim yang ketika itu merasa takut dan gelisah, mengkhawatirkan
keselamatan dirinya dan juga syaikhnya karena penduduk negeri itu telah saling memperingatkan
untuk berhati-hati dengan syaikh. Maka beliau (Syaikh -red) pun menenangkannya
dengan mengatakan, “Jangan berpikir yang bukan-bukan, selamanya. Bertawakallah
kepada Allah Subahahu Wata’ala. Niscaya Dia akan menolong orang-orang yang
membela agamanya.”
Berita kedatangan Asy
Syaikh diketahui seorang shalihah, istri amir Dir’iyyah, Muhammad Bin Su’ud.
Dia lalu menawarkan kepada suaminya agar membela syaikh ini karena beliau
adalah nikmat dari Allah Subahahu Wata’ala yang dikaruniakan kepadanya, maka
hendaklah dia bersegera menyambutnya. Sang istri berusaha menenangkan dan
membangkitkan rasa cinta pada diri suaminya terhadap dakwah dan terhadap
seorang ulama. Maka sang amir mengatakan, “(Tunggu) beliau datang kepadaku”.
Istrinya menimpali “Justru pergilah anda kepadanya, karena jika anda mengirim
utusan dan mengatakan ‘datanglah kepadaku’, bisa jadi manusia akan mengatakan
bahwa amir meminta beliau untuk datang ditangkap. Namun jika anda sendiri yang
mendatanginya, maka itu merupakan suatu kehormatan bagi beliau dan bagi anda.”
Sang amir akhirnya
mendatangi Asy Syaikh, mengucapkan salam dan menanyakan perihal kedatangannya.
Asy Syaikh Rahimahullah menerangkan bahwa tidak lain beliau hanya mengemban
dakwah para Rasul yakni menyeru kepada kalimat tauhid LAA ILAHA ILLALLAH.
Beliau menjelaskan maknanya, dan beliau jelaskan pula bahwa itulah aqidah para
Rasul. Sang amir mengatakan, “Bergembiralah dengan pembelaan dan dukungan”. Asy
Syaikh rahimahullah menimpali, “Berbahagialah dengan kemuliaan dan kekokohan.
Karena barang siapa menegakkan kalimat LAA ILAHA ILLALLAH ini, pasti Allah akan
memberikan kekokohan kepadanya.” Sang amir menjawab, “Tapi saya punya satu
syarat kepada anda.” Beliau bertanya, “Apa itu?” Sang amir menjawab, “Anda
membiarkanku dan apa yang aku ambil dari manusia.” Jawab Asy Syaikh
rahimahullah, “Mudah-mudahan Allah Subhanahu Wata’ala memberikan kecukupan
kepada anda dari semua ini, dan membukakan pintu-pintu rizki dari sisi-Nya
untuk anda.” Kemudian keduanya berpisah atas kesepakatan ini. Mulailah Asy
Syaikh berdakwah dan sang amir melindungi dan membelanya, sehingga para
Thalabul Ilmi (penuntut ilmu) berduyun-duyun datang ke Dir’iyyah. Semenjak itu
beliau menjadi imam sholat, mufti dan juga qadhi. Maka terbentuklah
pemerintahan tauhid di Dir’iyyah.
Kemudian Asy Syaikh
mengirim risalah ke negeri-negeri sekitarnya, menyeru mereka kepada aqidah
tauhid, meninggalkan bid’ah dan khurafat. Sebagian mereka menerima dan sebagian
lagi menolak serta menghalangi dakwah beliau, sehingga merekapun diperangi oleh
tentara tauhid dibawah komando amir Muhammad Bin Su’ud dengan bimbingan dari
beliau rahimahullah. Hal itu menjadi sebab meluasnya dakwah tauhid di daerah
Najd dan sekitarnya. Bahkan amir ‘Uyainah pun kini masuk di bawah kekuasaan
Ibnu Su’ud, begitu pula Riyadh, dan terus meluas ke daerah Kharaj, ke utara dan
selatan. Di bagian utara sampai ke perbatasan Syam, di bagian selatan sampai di
perbatasan Yaman, dan di bagian timur dari Laut Merah hingga Teluk Arab.
Seluruhnya dibawah kekuasaan Dir’iyyah, baik daerah kota maupun gurunnya.
Allah Subhanahu
Wata’ala melimpahkan kebaikan, rizki, kecukupan, dan kekayaan kepada penduduk
Dir’iyyah. Maka berdirilan pusat perdagangan di sana, dan bersinarah negeri
tersebut dengan ilmu dan kekuasaan sebagai berkah dari dakwah salafiyah yang
merupakan dakwah para Rasul.
Karya-karya
Beliau
Karya beliau sangat banyak, diantaranya:
* Kitab Tauhid Al Ladzi Huwa Haqqullah ‘ala Al ‘Abid
* Al Ushul Ats Tsalatsah
* Kasfusy Syubhat
* Mukhtasar Sirah Rasul
* Qawaidul ‘Arba’ah dan lainnya
Wafat Beliau
Beliau wafat pada tahun 1206 H. Semoga Allah Subhanahu Wata’la melimpahkan rahmatnya kepada beliau, meninggikan derajat dan kedudukannya di Jannah-Nya yang luas serta mengumpulkan beliau bersama orang-orang shalih dan para syuhada’. Amin Ya Robbal ‘Alamin.
* Al Ushul Ats Tsalatsah
* Kasfusy Syubhat
* Mukhtasar Sirah Rasul
* Qawaidul ‘Arba’ah dan lainnya
Wafat Beliau
Beliau wafat pada tahun 1206 H. Semoga Allah Subhanahu Wata’la melimpahkan rahmatnya kepada beliau, meninggikan derajat dan kedudukannya di Jannah-Nya yang luas serta mengumpulkan beliau bersama orang-orang shalih dan para syuhada’. Amin Ya Robbal ‘Alamin.
Apa itu Wahabi ? (1)
Pertama dan utama
sekali kita ucapkan puji syukur kepada Allah subhaanahu wa ta’ala, yang
senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita, sehingga pada
kesempatan yang sangat berbahagia ini kita dapat berkumpul dalam rangka
menambah wawasan keagamaan kita sebagai salah satu bentuk aktivitas ‘ubudiyah
kita kepada-Nya. Kemudian salawat beserta salam buat Nabi kita Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam, yang telah bersusah payah memperjuangkan agama yang kita
cintai ini, untuk demi tegaknya kalimat tauhid di permukaan bumi ini, begitu
pula untuk para keluarga dan sahabat beliau beserta orang-orang yang setia
berpegang teguh dengan ajaran beliau sampai hari kemudian.
Selanjutnya tak lupa ucapan terima kasih kami aturkan untuk
para panitia yang telah memberi kesempatan dan mempercayakan kepada kami untuk
berbicara di hadapan para hadirin semua pada kesempatan ini, serta telah
menggagas untuk terlaksananya acara tabliq akbar ini dengan segala daya dan
upaya semoga Allah menjadikan amalan mereka tercatat sebagai amal saleh di hari
kiamat kelak, amiin ya Rabbal ‘alamiin.
Dalam kesempatan yang penuh berkah ini, panitia telah
mempercayakan kepada kami untuk berbicara dengan topik: Apa Wahabi Itu?, semoga Allah memberikan taufik dan inayah-Nya
kepada kami dalam mengulas topik tersebut.
Pertanyaan yang amat singkat di atas membutuhkan jawaban
yang cukup panjang, jawaban tersebut akan tersimpul dalam beberapa poin berikut
ini:
Keadaan yang melatar belakangi munculnya tuduhan wahabi.
Kepada siapa ditujukan tuduhan wahabi tersebut diarahkan?.
Pokok-pokok landasan dakwah yang dicap sebagai wahabi.
Bukti kebohongan tuduhan wahabi terhadap dakwah Ahlussunnah
Wal Jama’ah.
Ringkasan dan penutup.
Keadaan
yang Melatar Belakangi Munculnya Tuduhan Wahabi
Para
hadirin yang kami hormati, dengan melihat gambaran sekilas tentang keadaan
Jazirah Arab serta negeri sekitarnya, kita akan tahu sebab munculnya tuduhan
tersebut, sekaligus kita akan mengerti apa yang melatarbelakanginya. Yang ingin
kita tinjau di sini adalah dari aspek politik dan keagamaan secara umum, aspek
aqidah secara khusus.
Dari
segi aspek politik Jazirah Arab berada di bawah kekuasaan yang terpecah-pecah,
terlebih khusus daerah Nejd, perebutan kekuasaan selalu terjadi di sepanjang
waktu, sehingga hal tersebut sangat berdampak negatif untuk kemajuan ekonomi
dan pendidikan agama.
Para
penguasa hidup dengan memungut upeti dari rakyat jelata, jadi mereka sangat
marah bila ada kekuatan atau dakwah yang dapat akan menggoyang kekuasaan
mereka, begitu pula dari kalangan para tokoh adat dan agama yang biasa memungut
iuran dari pengikut mereka, akan kehilangan objek jika pengikut mereka mengerti
tentang aqidah dan agama dengan benar, dari sini mereka sangat hati-hati bila
ada seseorang yang mencoba memberi pengertian kepada umat tentang aqidah atau agama yang benar.
Dari
segi aspek agama, pada abad (12 H / 17 M) keadaan beragama umat Islam sudah
sangat jauh menyimpang dari kemurnian Islam itu sendiri, terutama dalam aspek aqidah, banyak sekali di sana sini praktek-praktek syirik atau
bid’ah, para ulama yang ada bukan berarti tidak mengingkari hal tersebut, tapi
usaha mereka hanya sebatas lingkungan mereka saja dan tidak berpengaruh secara
luas, atau hilang ditelan oleh arus gelombang yang begitu kuat dari pihak yang
menentang karena jumlah mereka yang begitu banyak di samping pengaruh kuat dari
tokoh-tokoh masyarakat yang mendukung praktek-praktek syirik dan bid’ah
tersebut demi kelanggengan pengaruh mereka atau karena mencari kepentingan
duniawi di belakang itu, sebagaimana keadaan seperti ini masih kita saksikan di
tengah-tengah sebagian umat Islam, barangkali negara kita masih dalam proses
ini, di mana aliran-aliran sesat dijadikan segi batu loncatan untuk mencapai
pengaruh politik.
Pada
saat itu di Nejd sebagai tempat kelahiran sang pengibar bendera tauhid Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahab sangat menonjol hal tersebut. Disebutkan oleh penulis
sejarah dan penulis biografi Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, bahwa di masa itu
pengaruh keagamaan melemah di dalam tubuh kaum muslimin sehingga tersebarlah
berbagai bentuk maksiat, khurafat, syirik, bid’ah, dan sebagainya. Karena ilmu
agama mulai minim di kalangan kebanyakan kaum muslimin, sehingga
praktek-praktek syirik terjadi di sana sini seperti meminta ke kuburan
wali-wali, atau meminta ke batu-batu dan pepohonan dengan memberikan sesajian,
atau mempercayai dukun, tukang tenung dan peramal. Salah satu daerah di Nejd,
namanya kampung Jubailiyah di situ terdapat kuburan sahabat Zaid bin Khaththab
(saudara Umar bin Khaththab) yang syahid dalam perperangan melawan Musailamah
Al Kadzab, manusia berbondong-bondong ke sana untuk meminta berkah, untuk
meminta berbagai hajat, begitu pula di kampung ‘Uyainah terdapat pula sebuah
pohon yang diagungkan, para manusia juga mencari berkah ke situ, termasuk para
kaum wanita yang belum juga mendapatkan pasangan hidup meminta ke sana.
Adapun
daerah Hijaz (Mekkah dan Madinah) sekalipun tersebarnya ilmu dikarenakan keberadaan
dua kota suci yang selalu dikunjungi oleh para ulama dan penuntut ilmu. Di sini
tersebar kebiasaan suka bersumpah dengan selain Allah, menembok serta membangun
kubah-kubah di atas kuburan serta berdoa di sana untuk mendapatkan kebaikan
atau untuk menolak mara bahaya dsb (lihat pembahasan ini dalam kitab Raudhatul
Afkar karangan Ibnu Qhanim). Begitu pula halnya dengan negeri-negeri
sekitar hijaz, apalagi negeri yang jauh dari dua kota suci tersebut, ditambah
lagi kurangnya ulama, tentu akan lebih memprihatinkan lagi dari apa yang
terjadi di Jazirah Arab.
Hal
ini disebut Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam kitabnya al-Qawa’id Arba’:
“Sesungguhnya kesyirikan pada zaman kita sekarang melebihi kesyirikan umat yang
lalu, kesyirikan umat yang lalu hanya pada waktu senang saja, akan tetapi
mereka ikhlas pada saat menghadapi bahaya, sedangkan kesyirikan pada zaman kita
senantiasa pada setiap waktu, baik di saat aman apalagi saat mendapat bahaya.”
Dalilnya firman Allah:
فَإِذَا رَكِبُوا فِي
الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ
الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى
الْبَرِّ إِذَا
هُمْ
يُشْرِكُونَ
“Maka
apabila mereka menaiki kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan
agama padanya, maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke daratan,
seketika mereka kembali berbuat syirik.”
(QS. al-Ankabut: 65)
Dalam
ayat ini Allah terangkan bahwa mereka ketika berada dalam ancaman bencana yaitu
tenggelam dalam lautan, mereka berdoa hanya semata kepada Allah dan melupakan
berhala atau sesembahan mereka baik dari orang sholeh, batu dan pepohonan,
namun saat mereka telah selamat sampai di daratan mereka kembali berbuat
syirik. Tetapi pada zaman sekarang orang melakukan syirik dalam setiap saat.
Dalam
keadaan seperti di atas Allah membuka sebab untuk kembalinya kaum muslimin
kepada Agama yang benar, bersih dari kesyirikan dan bid’ah.
Sebagaimana
yang telah disebutkan oleh Rasulullah dalam sabdanya:
«
إِنَّ
اللهَ
يَبْعَثُ لِهَذِهِ الأُمَّةِ عَلَى
رَأْسِ
كُلِّ
مِائَةِ سَنَةٍ
مَنْ
يُجَدِّدُ لَهَا
دِيْنَهَا »
“Sesungguhnya
Allah mengutus untuk umat ini pada setiap penghujung seratus tahun orang yang
memperbaharui untuk umat ini agamanya.”
(HR. Abu Daud no. 4291, Al Hakim no. 8592)
Pada
abad (12 H / 17 M) lahirlah seorang pembaharu di negeri Nejd, yaitu: Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab Dari
Kabilah Bani Tamim.
Yang
pernah mendapat pujian dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam sabda beliau: “Bahwa mereka (yaitu Bani Tamim) adalah umatku yang
terkuat dalam menentang Dajjal.” (HR. Bukhari no. 2405, Muslim no. 2525)
tepatnya
tahun 1115 H di ‘Uyainah di salah satu perkampungan daerah Riyadh. Beliau lahir
dalam lingkungan keluarga ulama, kakek dan bapak beliau merupakan ulama yang
terkemuka di negeri Nejd, belum berumur sepuluh tahun beliau telah hafal
al-Qur’an, ia memulai pertualangan ilmunya dari ayah kandungnya dan pamannya,
dengan modal kecerdasan dan ditopang oleh semangat yang tinggi beliau
berpetualang ke berbagai daerah tetangga untuk menuntut ilmu seperti daerah
Basrah dan Hijaz, sebagaimana lazimnya kebiasaan para ulama dahulu yang mana
mereka membekali diri mereka dengan ilmu yang matang sebelum turun ke medan
dakwah.
Hal
ini juga disebut oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam kitabnya Ushul
Tsalatsah: “Ketahuilah semoga Allah merahmatimu, sesungguhnya wajib atas
kita untuk mengenal empat masalah; pertama Ilmu yaitu mengenal Allah, mengenal
nabinya, mengenal agama Islam dengan dalil-dalil”. Kemudian beliau sebutkan
dalil tentang pentingnya ilmu sebelum beramal dan berdakwah, beliau sebutkan
ungkapan Imam Bukhari: “Bab berilmu sebelum berbicara dan beramal, dalilnya
firman Allah yang berbunyi:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لا
إِلَهَ
إِلا
اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ
“Ketahuilah
sesungguhnya tiada yang berhak disembah kecuali Allah dan minta ampunlah atas
dosamu.” Maka dalam ayat ini Allah memulai
dengan perintah ilmu sebelum berbicara dan beramal”.
Setelah
beliau kembali dari pertualangan ilmu, beliau mulai berdakwah di kampung
Huraimilak di mana ayah kandung beliau menjadi Qadhi (hakim). Selain berdakwah,
beliau tetap menimba ilmu dari ayah beliau sendiri, setelah ayah beliau
meninggal tahun 1153, beliau semakin gencar mendakwahkan tauhid, ternyata
kondisi dan situasi di Huraimilak kurang menguntungkan untuk dakwah, selanjut
beliau berpindah ke ‘Uyainah, ternyata penguasa ‘Uyainah saat itu memberikan
dukungan dan bantuan untuk dakwah yang beliau bawa, namun akhirnya penguasa
‘Uyainah mendapat tekanan dari berbagai pihak, akhirnya beliau berpindah lagi
dari ‘Uyainah ke Dir’iyah, ternyata masyarakat Dir’iyah telah banyak mendengar
tentang dakwah beliau melalui murid-murid beliau, termasuk sebagian di antara
murid beliau keluarga penguasa Dir’iyah, akhirnya timbul inisiatif dari sebagian
dari murid beliau untuk memberi tahu pemimpin Dir’yah tentang kedatangan
beliau, maka dengan rendah hati Muhammad bin Saud sebagai pemimpin Dir’iyah
waktu itu mendatangi tempat di mana Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab menumpang, maka
di situ terjalinlah perjanjian yang penuh berkah bahwa di antara keduanya
berjanji akan bekerja sama dalam menegakkan agama Allah. Dengan mendengar
adanya perjanjian tersebut mulailah musuh-musuh Aqidah kebakaran jenggot,
sehingga mereka berusaha dengan berbagai dalih untuk menjatuhkan kekuasaan
Muhammad bin Saud, dan menyiksa orang-orang yang pro terhadap dakwah tauhid.
Kepada
Siapa Dituduhkan Gelar Wahabi Tersebut
Karena
hari demi hari dakwah tauhid semakin tersebar mereka para musuh dakwah tidak
mampu lagi untuk melawan dengan kekuatan, maka mereka berpindah arah dengan
memfitnah dan menyebarkan isu-isu bohong supaya mendapat dukungan dari pihak
lain untuk menghambat laju dakwah tauhid tersebut. Diantar fitnah yang tersebar
adalah sebutan wahabi untuk orang yang mengajak kepada tauhid. Sebagaimana
lazimnya setiap penyeru kepada kebenaran pasti akan menghadapi berbagai
tantangan dan onak duri dalam menelapaki perjalanan dakwah.
Sebagaimana
telah dijelaskan pula oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam kitab beliau Kasyfus
Syubuhaat: “Ketahuilah olehmu, bahwa sesungguhnya di antara hikmah Allah subhaanahu
wa ta’ala, tidak diutus seorang nabi pun dengan tauhid ini, melainkan Allah
menjadikan baginya musuh-musuh, sebagaimana firman Allah:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الإنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي
بَعْضُهُمْ إِلَى
بَعْضٍ
زُخْرُفَ الْقَوْلِ
غُرُورًا
“Demikianlah
Kami jadikan bagi setiap Nabi itu musuh (yaitu) setan dari jenis manusia dan
jin, sebagian mereka membisikkan kepada bagian yang lain perkataan indah
sebagai tipuan.” (QS. al-An-’am: 112)
Bila
kita membaca sejarah para nabi tidak seorang pun di antara mereka yang tidak
menghadapi tantangan dari kaumnya, bahkan di antara mereka ada yang dibunuh,
termasuk Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam diusir dari tanah
kelahirannya, beliau dituduh sebagai orang gila, sebagai tukang sihir dan
penyair, begitu pula pera ulama yang mengajak kepada ajarannya dalam sepanjang
masa. Ada yang dibunuh, dipenjarakan, disiksa, dan sebagainya. Atau dituduh
dengan tuduhan yang bukan-bukan untuk memojokkan mereka di hadapan manusia,
supaya orang lari dari kebenaran yang mereka serukan.
Hal
ini pula yang dihadapi Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, sebagaimana yang beliau
ungkapkan dalam lanjutan surat beliau kepada penduduk Qashim: “Kemudian tidak
tersembunyi lagi atas kalian, saya mendengar bahwa surat Sulaiman bin Suhaim
(seorang penentang dakwah tauhid) telah sampai kepada kalian, lalu sebagian di antara kalian
ada yang percaya terhadap tuduhan-tuduhan bohong yang ia tulis, yang mana saya
sendiri tidak pernah mengucapkannya, bahkan tidak pernah terlintas dalam ingatanku,
seperti tuduhannya:
- Bahwa saya mengingkari kitab-kitab mazhab yang empat.
- Bahwa saya mengatakan bahwa manusia semenjak enam ratus tahun lalu sudah tidak lagi memiliki ilmu.
- Bahwa saya mengaku sebagai mujtahid.
- Bahwa saya mengatakan bahwa perbedaan pendapat antara ulama adalah bencana.
- Bahwa saya mengkafirkan orang yang bertawassul dengan orang-orang saleh (yang masih hidup -ed).
- Bahwa saya pernah berkata; jika saya mampu saya akan runtuhkan kubah yang ada di atas kuburan Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Bahwa saya pernah berkata, jika saya mampu saya akan ganti pancuran ka’bah dengan pancuran kayu.
- Bahwa saya mengharamkan ziarah kubur.
- Bahwa saya mengkafirkan orang bersumpah dengan selain Allah.
- Jawaban saya untuk tuduhan-tuduhan ini adalah: sesungguhnya ini semua adalah suatu kebohongan yang nyata. Lalu beliau tutup dengan firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ
جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ
تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى
مَا
فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Wahai
orang-orang yang beriman jika orang fasik datang kepada kamu membawa sebuah
berita maka telitilah, agar kalian tidak mencela suatu kaum dengan kebodohan.” (QS. al-Hujuraat: 6) (baca jawaban untuk berbagai tuduhan
di atas dalam kitab-kitab berikut, 1. Mas’ud an-Nadawy, Muhammad bin Abdul
Wahab Muslih Mazlum, 2. Abdul Aziz Abdul Lathif, Da’awy Munaawi-iin li
Dakwah Muhammad bin Abdil Wahab, 3. Sholeh Fauzan, Min A’laam Al
Mujaddidiin, dan kitab lainnya)
Apa itu Wahabi ? (2)
Pokok-Pokok Landasan Dakwah yang
Dicap Sebagai Wahabi
Pokok
landasan dakwah yang utama sekali beliau tegakkan adalah pemurnian ajaran
tauhid dari berbagai campuran syirik dan bid’ah, terutama dalam mengkultuskan para wali, dan
kuburan mereka, hal ini akan nampak jelas bagi orang yang membaca kitab-kitab
beliau, begitu pula surat-surat beliau (lihat kumpulan surat-surat pribadi
beliau dalam kita Majmu’ Muallafaat Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab,
jilid 3).
Dalam
sebuah surat beliau kepada penduduk Qashim, beliau paparkan aqidah beliau
dengan jelas dan gamblang, ringkasannya sebagaimana berikut: “Saya bersaksi
kepada Allah dan kepada para malaikat yang hadir di sampingku serta kepada anda
semua:
- Saya bersaksi bahwa saya berkeyakinan sesuai dengan keyakinan golongan yang selamat yaitu Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dari beriman kepada Allah dan kepada para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, kepada hari berbangkit setelah mati, kepada takdir baik dan buruk.
- Termasuk dalam beriman kepada Allah adalah beriman dengan sifat-sifat-Nya yang terdapat dalam kitab-Nya dan sunnah rasul-Nya tanpa tahriif (mengubah pengertiannya) dan tidak pula ta’tiil (mengingkarinya). Saya berkeyakinan bahwa tiada satupun yang menyerupai-Nya. Dan Allah itu Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Dari ungkapan beliau ini terbantah tuduhan bohong bahwa beliau orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk (Musabbihah atau Mujassimah))
- Saya berkeyakinan bahwa al-Qur’an itu adalah kalamullah yang diturunkan, ia bukan makhluk, datang dari Allah dan akan kembali kepada-Nya.
- Saya beriman bahwa Allah itu berbuat terhadap segala apa yang dikehendaki-Nya, tidak satupun yang terjadi kecuali atas kehendak-Nya, tiada satupun yang keluar dari kehendak-Nya.
- Saya beriman dengan segala perkara yang diberitakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang apa yang akan terjadi setelah mati, saya beriman dengan azab dan nikmat kubur, tentang akan dipertemukannya kembali antara ruh dan jasad, kemudian manusia dibangkit menghadap Sang Pencipta sekalian alam, dalam keadaan tanpa sandal dan pakaian, serta dalam keadaan tidak bekhitan, matahari sangat dekat dengan mereka, lalu amalan manusia akan ditimbang, serta catatan amalan mereka akan diberikan kepada masing-masing mereka, sebagian mengambilnya dengan tangan kanan dan sebagian yang lain dengan tangan kiri.
- Saya beriman dengan telaga Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Saya beriman dengan shirat (jembatan) yang terbentang di atas neraka Jahanam, manusia melewatinya sesuai dengan amalan mereka masing-masing.
- Saya beriman dengan syafa’at Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Dia adalah orang pertama sekali memberi syafa’at, orang yang mengingkari syafa’at adalah termasuk pelaku bid’ah dan sesat. (Dari ungkapan beliau ini terbantah tuduhan bohong bahwa beliau orang yang mengingkari syafa’at Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam)
- Saya beriman dengan surga dan neraka, dan keduanya telah ada sekarang, serta keduanya tidak akan sirna.
- Saya beriman bahwa orang mukmin akan melihat Allah dalam surga kelak.
- Saya beriman bahwa Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penutup segala nabi dan rasul, tidak sah iman seseorang sampai ia beriman dengan kenabiannya dan kerasulannya. (Dari ungkapan beliau ini terbantah tuduhan bohong bahwa beliau orang yang mengaku sebagai nabi atau tidak memuliakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. bahkan beliau mengarang sebuah kitab tentang sejarah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan judul Mukhtashar sirah Ar Rasul, bukankah ini suatu bukti tentang kecintaan beliau kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.)
- Saya mencintai para sahabat Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula para keluarga beliau, saya memuji mereka, dan mendoakan semoga Allah meridhai mereka, saya menutup mulut dari membicarakan kejelekan dan perselisihan yang terjadi antara mereka.
- Saya mengakui karamah para wali Allah, tetapi apa yang menjadi hak Allah tidak boleh diberikan kepada mereka, tidak boleh meminta kepada mereka sesuatu yang tidak mampu melakukannya kecuali Allah. (Dari ungkapan beliau ini terbantah tuduhan bohong bahwa beliau orang yang mengingkari karamah atau tidak menghormati para wali)
- Saya tidak mengkafirkan seorang pun dari kalangan muslim yang melakukan dosa, dan tidak pula menguarkan mereka dari lingkaran Islam. (dari ungkapan beliau ini terbantah tuduhan bohong bahwa beliau mengkafirkan kaum muslimin, atau berfaham khawarij, baca juga Manhaj syeikh Muhammad bin Abdul Wahab fi masalah at takfiir, karangan Ahmad Ar Rudhaiman)
- Saya berpandangan tentang wajibnya taat kepada para pemimpin kaum muslimin, baik yang berlaku adil maupun yang berbuat zalim, selama mereka tidak menyuruh kepada perbuatan maksiat. (dari ungkapan beliau ini terbantah tuduhan bohong bahwa beliau orang yang menganut faham khawarij (teroris))
- Saya berpandangan tentang wajibnya menjauhi para pelaku bid’ah, sampai ia bertaubat kepada Allah, saya menilai mereka secara lahir, adapun amalan hati mereka saya serahkan kepada Allah.
- Saya berkeyakinan bahwa iman itu terdiri dari perkataan dengan lidah, perbuatan dengan anggota tubuh dan pengakuan dengan hati, ia bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.
Bukti
Kebohongan Tuduhan Wahabi Tehadap Dakwah Ahlussunnah Wal Jama’ah
Dengan
membandingkan antara tuduhan-tuduhan sebelumnya dengan aqidah Syaikh Muhammad
bin Abdul Wahhab yang kita sebutkan di atas, tentu dengan sendirinya kita akan
mengetahui kebohongan tuduhan-tuduhan tersebut.
Tuduhan-tuduhan
bohong tersebut disebar luaskan oleh musuh dakwah Ahluss sunnah ke berbagai
negeri Islam, sampai pada masa sekarang ini, masih banyak orang tertipu dengan
kebohongan tersebut. sekalipun telah terbukti kebohongannya, bahkan seluruh
karangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab membantah tuduhan tersebut.
Kita
ambil contoh kecil saja dalam kitab beliau “Ushul Tsalatsah” kitab yang
kecil sekali, tapi penuh dengan mutiara ilmu, beliau mulai dengan menyebutkan
perkataan Imam Syafi’i, kemudian di pertengahannya beliau sebutkan perkataan
Ibnu Katsir yang bermazhab syafi’i jika beliau tidak mencintai para imam mazhab
yang empat atau hanya berpegang dengan mazhab Hambali saja, mana mungkin beliau
akan menyebutkan perkataan mereka tersebut.
Bahkan
beliau dalam salah satu surat beliau kepada salah seorang kepala suku di daerah
Syam berkata: “Saya katakan kepada orang yang menentangku, sesungguhnya yang
wajib atas manusia adalah mengikuti apa yang diwasiatkan oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, maka bacalah buku-buku yang terdapat pada kalian, jangan
kalian ambil dari ucapanku sedikitpun, tetapi apabila kalian telah mengetahui
perkataan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terdapat dalam kitab
kalian tersebut maka ikutilah, sekalipun kebanyakan manusia menentangnya.”
(lihat kumpulan surat-surat pribadi beliau dalam kitab Majmu’ Muallafaat
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, jilid 3)
Dalam
ungkapan beliau di atas jelas sekali bahwa beliau tidak mengajak manusia kepada
pendapat beliau, tetapi mengajak untuk mengikuti ajaran Rasul shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Para
ulama dari berbagai negeri Islam pun membantah tuduhan-tuduhan bohong tersebut
setelah mereka melihat secara nyata dakwah yang beliau tegakkan, seperti dari
daerah Yaman Imam Asy Syaukani dan Imam As Shan’any, dari India Syekh
Mas’ud An-Nadawy, dari Irak Syaikh Muahmmad Syukri Al Alusy.
Syaikh
Muhammad Syukri Al Alusy berkata setelah beliau menyebutkan berbagai tuduhan
bohong yang disebar oleh musuh-musuh terhadap dakwah tauhid dan pengikutnya:
“Seluruh tuduhan tersebut adalah kebohongan, fitnah dan dusta semata dari
musuh-musuh mereka, dari golongan pelaku bid’ah dan kesesatan, bahkan
kenyataannya seluruh perkataan dan perbuatan serta buku-buku mereka menyanggah
tuduhan itu semua.” (al Alusy, Tarikh Nejd, hal: 40)
Begitu
pula Syaikh Mas’ud An-Nadawy dari India berkata: “Sesungguhnya kebohongan yang
amat nyata yang dituduhkan terhadap dakwah Syaikh
Muhammad bin Abdu Wahhab adalah
penamaannya dengan wahabi, tetapi orang-orang yang rakus berusaha mempolitisir
nama tersebut sebagai agama di luar Islam, lalu Inggris dan turki serta Mesir
bersatu untuk menjadikannya sebagai lambang yang menakutkan, yang mana setiap
muncul kebangkitan Islam di berbagai negeri, lalu orang-orang Eropa melihat
akan membahayakan mereka, mereka lalu menghubungkannya dengan wahabi, sekalipun
keduanya saling bertentangan.” (Muhammad bin Abdul Wahab Mushlih
Mazhluum, hal: 165)
Begitu
pula Raja Abdul Aziz dalam sebuah pidato yang beliau sampaikan di kota Makkah
di hadapan jamaah haji tgl 11 Mei 1929 M dengan judul “Inilah Aqidah Kami”:
“Mereka menamakan kami sebagai orang-orang wahabi, mereka menamakan mazhab kami
wahabi, dengan anggapan sebagai mazhab khusus, ini adalah kesalahan yang amat
keji, muncul dari isu-isu bohong yang disebarkan oleh orang-orang yang
mempunyai tujuan tertentu, dan kami bukanlah pengikut mazhab dan aqidah baru,
Muhammad bin Abdul Wahab tidak membawa sesuatu yang baru, aqidah kami adalah
aqidah salafus sholeh, yaitu yang terdapat dalam kitab Allah dan Sunnah
Rasul-Nya, serta apa yang menjadi pegangan salafus sholeh. Kami memuliakan
imam-imam yang empat, kami tidak membeda-bedakan antara imam-imam; Malik, Syafi’i
, Ahmad dan Abu Hanifah, seluruh mereka adalah orang-orang yang dihormati dalam
pandangan kami, sekalipun kami dalam masalah fikih berpegang dengan mazhab
hambaly.” (al Wajiz fi Sirah Malik Abdul Aziz, hal: 216)
Dari
sini terbukti lagi kebohongan dan propaganda yang dibuat oleh musuh Islam dan
musuh dakwah Ahlussunnah bahwa teroris diciptakan oleh wahabi. Karena seluruh
buku-buku aqidah yang menjadi pegangan di kampus-kampus tidak pernah luput
dari membongkar kesesatan teroris (Khawarij dan Mu’tazilah). Begitu pula
tuduhan bahwa Mereka tidak menghormati para wali Allah atau dianggap membikin
mazhab yang kelima. Pada kenyataannya semua buku-buku yang dipelajari dalam
seluruh jenjang pendidikan adalah buku-buku para wali Allah dari berbagai
mazhab. Pembicara sebutkan di sini buku-buku yang menjadi panduan di
Universitas Islam Madinah.
- Untuk mata kuliah Aqidah: kitab “Syarah Aqidah Thawiyah” karangan Ibnu Abdil ‘iz Al Hanafi, “Fathul Majiid” karangan Abdurahman bin Hasan Al hambaly. Ditambah sebagai penunjang, “Al Ibaanah“ karangan Imam Abu Hasan Al Asy’ari, “Al Hujjah” karangan Al Ashfahany Asy Syafi’i, “Asy Syari’ah” karangan Al Ajurry, Kitab “At Tauhid” karangan Ibnu Khuzaimah, Kitab “At Tauhid” karangan Ibnu Mandah, dll.
- Untuk mata kuliyah Tafsir: Tafsir Ibnu Katsir Asy Syafi’i, Tafsir Asy Syaukany. Ditambah sebagai penunjang: Tafsir At Thobary, Tafsir Al Qurtuby Al Maliky, Tafsir Al Baghawy As Syafi’i, dan lainnya.
- Untuk mata kuliyah Hadits: Kutub As Sittah beserta Syarahnya seperti: “Fathul Bary” karangan Ibnu Hajar Asy Syafi’i, “Syarah Shahih Muslim” karangan Imam An Nawawy Asy Syafi”i, dll.
- Untuk mata kuliyah fikih: “Bidayatul Mujtahid” karangan Ibnu Rusy Al maliky, “Subulus Salam” karangan Ash Shan’any. Ditambah sebagai penunjang: “al Majmu’” karangan Imam An Nawawy Asy Syafi”i, kitab “Al Mughny” karangan Ibnu Qudamah Al Hambali, dll. Kalau ingin untuk melihat lebih dekat lagi tentang kitab-kitab yang menjadi panduan mahasiswa di Arab Saudi silakan berkunjung ke perpustakaan Universitas Islam Madinah atau perpustakaan mesjid Nabawi, di sana akan terbukti segala kebohongan dan propaganda yang dibikin oleh musuh Islam dan kelompok yang berseberangan dengan paham Ahlussunnah wal Jama’ah seperti tuduhan teroris dan wahabi.
Selanjutnya
kami mengajak para hadirin semua apabila mendengar tuduhan jelek tentang dakwah
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, atau membaca buku yang menyebarkan tuduhan
jelek tersebut, maka sebaiknya ia meneliti langsung dari buku-buku Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahab atau buku-buku ulama yang seaqidah dengannya, supaya
ia mengetahui tentang kebohongan tuduhan-tuduhan tersebut, sebagaimana perintah
Allah kepada kita:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ
جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ
تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى
مَا
فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Wahai
orang-orang yang beriman, bila seorang fasik datang kepadamu membawa sebuah
berita maka telitilah, agar kamu tidak mencela suatu kaum dengan kebodohan,
sehingga kamu menjadi menyesal terhadap apa yang kamu lakukan.”
Karena
buku-buku Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab bisa didapatkan dengan sangat mudah
terlebih-lebih pada musim haji dibagikan secara gratis, di situ akan terbukti bahwa beliau
tidak mengajak kepada mazhab baru atau kepercayaan baru yang menyimpang dari
pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah, namun semata-mata ia mengajak untuk beramal
sesuai dengan kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya, sesuai dengan mazhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah,
meneladani Rasulullah dan para sahabatnya serta generasi terkemuka umat ini,
serta menjauhi segala bentuk bid’ah dan khurafat.
Ringkasan
Dan Penutup
Ringkasan:
- Seorang da’i hendaklah membekali dirinya dengan ilmu yang cukup sebelum terjun ke medan dakwah.
- Seorang da’i hendaklah memulai dakwah dari tauhid, bukan kepada politik, selama umat tidak beraqidah benar selama itu pula politik tidak akan stabil.
- Seorang da’i hendaklah sabar dalam menghadapi berbagai rintangan dan tantang dalam menegakkan dakwah.
- Seorang da’i yang ikhlas dalam dakwahnya harus yakin dengan pertolongan Allah, bahwa Allah pasti akan menolong orang yang menolong agama-Nya.
- Tuduhan wahabi adalah tuduhan yang datang dari musuh dakwah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dengan tujuan untuk menghalangi orang dari mengikuti dakwah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
- Muhammad bin Abdul Wahhab bukanlah sebagai pembawa aliran baru atau ajaran baru, tetapi seorang yang berpegang teguh dengan aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
- Perlunya ketelitian dalam membaca atau mendengar sebuah isu atau tuduhan jelek terhadap seseorang atau suatu kelompok, terutama merujuk pemikiran seseorang tersebut melalui tulisan atau karangannya sendiri untuk pembuktian berbagai tuduhan dan isu yang tersebar tersebut.
Penutup
Sebagai
penutup kami mohon maaf atas segala kekurangan dan kekeliruan dalam penyampaian
materi ini, semua itu adalah karena keterbatasan ilmu yang kami miliki, semoga apa yang kami sampaikan ini
bermanfaat bagi kami sendiri dan bagi hadirin semua, semoga Allah
memperlihatkan kepada kita yang benar itu adalah benar, kemudian menuntun kita
untuk mengikuti kebenaran itu, dan memperlihatkan kepada kita yang salah itu
adalah salah, dan menjauhkan kita dari mengikuti yang salah itu.
Buya
Hamka: Vonis Sesat Terhadap Wahabi Direkayasa Untuk Gurita Kolonialisme
Belakangan ketika isu terorisme kian dihujamkan
di jantung pergerakan umat Islam agar iklim pergerakan dakwah terkapar lemah
tak berdaya. Nama Wahabi menjadi salah satu faham yang disorot dan kian menjadi
bulan-bulanan aksi “tunjuk hidung,” bahkan hal itu dilakukan oleh kalangan
ustadz dan kiyai yang berasal dari tubuh umat Islam itu sendiri.
Beberapa buku propaganda pun diterbitkan untuk
menghantam pergerakan yang dituding Wahabi, di antaranya buku hitam berjudl
“Sejarah Berdarah Sekte Salafi-Wahabi: Mereka Membunuh Semuanya Termasuk Para
Ulama.” Bertubi-tubi, berbagai tudingan dialamatkan oleh alumnus dari
Universitas di Bawah Naungan Kerajaan Ibnu Saud yang berhaluan Wahabi, yaitu
Prof. Dr. Said Siradj, MA. Tak mau kalah, para kiyai dari pelosok pun
ikut-ikutan menghujat siapapun yang dituding Wahabi. Kasus terakhir adalah
statement dari kiyai Muhammad Bukhori Maulana dalam tabligh akbar FOSWAN di
Bekasi baru-baru ini turut pula menyerang Wahabi dengan tudingan miring.
Benarkah tudingan tersebut?
Menarik memang menyaksikan fenomena tersebut.
Gelagat pembunuhan karakter terhadap dakwah atau personal pengikut Wahabi ini
bukan hal baru, melainkan telah lama terjadi. Hal ini bahkan telah diurai
dengan lengkap oleh ulama pejuang dan mantan ketua MUI yang paling karismatik,
yaitu Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang biasa disapa Buya HAMKA. Siapa
tak mengenal Buya HAMKA? Kegigihan, keteguhan dan independensinya sebagai
seorang ulama tidak perlu diragukan lagi tentunya.
Dalam buku “Dari Perbendaharaan Lama,” Buya HAMKA
dengan gamblang beliau merinci berbagai fitnah terhadap Wahabi di Indonesia
sejatinya telah berlangsung berkali-kali. Sejak Masa Penjajahan hingga beberapa
kali Pemilihan Umum yang diselenggarakan pada era Orde Lama, Wahabi seringkali
menjadi objek perjuangan yang ditikam fitnah dan diupayakan penghapusan atas
eksistensinya. Mari kita cermati apa yang pernah diungkap Buya Hamka dalam buku
tersebut:
“Seketika terjadi Pemilihan Umum , orang
telah menyebut-nyebut kembali yang baru lalu, untuk alat kampanye, nama
“Wahabi.” Ada yang mengatakan bahwa Masyumi itu adalah Wahabi, sebab itu jangan
pilih orang Masyumi. Pihak komunis pernah turut-turut pula menyebut-nyebut
Wahabi dan mengatakan bahwa Wahabi itu dahulu telah datang ke Sumatera. Dan
orang-orang Sumatera yang memperjuangkan Islam di tanah Jawa ini adalah dari
keturunan kaum Wahabi.
Memang sejak abad kedelapan belas, sejak
gerakan Wahabi timbul di pusat tanah Arab, nama Wahabi itu telah menggegerkan
dunia. Kerajaan Turki yang sedang berkuasa, takut kepada Wahabi. Karena Wahabi
adalah, permulaan kebangkitan bangsa Arab, sesudah jatuh pamornya, karena
serangan bangsa Mongol dan Tartar ke Baghdad. Dan Wahabi pun
ditakuti oleh bangsa-bangsa penjajah, karena apabila dia masuk ke suatu negeri,
dia akan mengembangkan mata penduduknya menentang penjajahan. Sebab faham
Wahabi ialah meneguhkan kembali ajaran Tauhid yang murni, menghapuskan segala
sesuatu yang akan membawa kepada syirik. Sebab itu timbullah perasaan tidak ada
tempat takut melainkan Allah. Wahabi adalah menentang keras kepada Jumud, yaitu
memahamkan agama dengan membeku. Orang harus kembali kepada Al-Qur’an dan
Al-Hadits.
Ajaran ini telah timbul bersamaan dengan
timbulnya kebangkitan revolusi Prancis di Eropa. Dan pada masa itu juga
“infiltrasi” dari gerakan ini telah masuk ke tanah Jawa. Pada tahun 1788 di
zaman pemerintahan Paku Buwono IV, yang lebih terkenal dengan gelaran “Sunan
Bagus,” beberapa orang penganut faham Wahabi telah datang ke tanah Jawa dan
menyiarkan ajarannya di negeri ini. Bukan saja mereka itu masuk ke Solo dan
Yogya, tetapi mereka pun meneruskan juga penyiaran fahamnya di Cirebon, Bantam
dan Madura. Mereka mendapat sambutan baik, sebab terang anti penjajahan.
Sunan Bagus sendiri pun tertarik dengan
ajaran kaum Wahabi. Pemerintah Belanda mendesak agar orang-orang Wahabi itu
diserahkan kepadanya. Pemerintah Belanda cukup tahu, apakah akibatnya bagi
penjajahannya, jika faham Wahabi ini dikenal oleh rakyat.
Padahal ketika itu perjuangan memperkokoh
penjajahan belum lagi selesai. Mulanya Sunan tidak mau menyerahkan mereka.
Tetapi mengingat akibat-akibatnya bagi Kerajaan-kerajaan Jawa, maka ahli-ahli
kerajaan memberi advis kepada Sunan, supaya orang-orang Wahabi itu diserahkan
saja kepada Belanda. Lantaran desakan itu, maka mereka pun ditangkapi dan
diserahkan kepada Belanda. Oleh Belanda orang-orang itu pun diusir kembali ke
tanah Arab.
Tetapi di tahun 1801, artinya 12 tahun di
belakang, kaum Wahabi datang lagi. Sekarang bukan lagi orang Arab, melainkan
anak Indonesia sendiri, yaitu anak Minangkabau. Haji Miskin Pandai Sikat (Agam)
Haji Abdurrahman Piabang (Lubuk Limapuluh Koto), dan Haji Mohammad Haris Tuanku
Lintau (Luhak Tanah Datar).
Mereka menyiarkan ajaran itu di Luhak Agam
(Bukittinggi) dan banyak beroleh murid dan pengikut. Diantara murid mereka
ialah Tuanku Nan Renceh Kamang. Tuanku Samik Empat Angkat. Akhirnya gerakan
mereka itu meluas dan melebar, sehingga terbentuklah “Kaum Paderi” yang
terkenal. Di antara mereka ialah Tuanku Imam Bonjol. Maka terjadilah “Perang
Paderi” yang terkenal itu. Tiga puluh tujuh tahun lamanya mereka melawan
penjajahan Belanda.
Bilamana di dalam abad ke delapan belas dan
Sembilan belas gerakan Wahabi dapat dipatahkan, pertama orang-orang Wahabi
dapat diusir dari Jawa, kedua dapat dikalahkan dengan kekuatan senjata, namun
di awal abad kedua puluh mereka muncul lagi!
Di Minangkabau timbullah gerakan yang dinamai
“Kaum Muda.” Di Jawa datanglah K.H. A. Dahlan dan Syekh Ahmad Soorkati. K.H.A.
Dahlan mendirikan “Muhammadiyah.” Syekh Ahmad Soorkati dapat membangun semangat
baru dalam kalangan orang-orang Arab. Ketika dia mulai datang, orang Arab belum
pecah menjadi dua, yaitu Arrabithah Alawiyah dan Al-Irsyad. Bahkan yang
mendatangkan Syekh itu ke mari adalah dari kalangan yang kemudiannya membentuk
Ar-Rabithah Adawiyah.
Musuhnya dalam kalangan Islam sendiri,
pertama ialah Kerajaan Turki. Kedua Kerajaan Syarif di Mekkah, ketiga Kerajaan
Mesir. Ulama-ulama pengambil muka mengarang buku-buku buat “mengafirkan”
Wahabi. Bahkan ada di kalangan Ulama itu yang sampai hati mengarang buku
mengatakan bahwa Muhammad bin Abdul Wahab pendiri faham ini adalah keturunan
Musailamah Al Kahzab!
Pembangunan Wahabi pada umumnya adalah
bermazhab Hambali, tetapi faham itu juga dianut oleh pengikut Mazhab Syafi’i,
sebagai kaum Wahabi Minangkabau. Dan juga penganut Mazhab Hanafi, sebagai kaum
Wahabi di India.
Sekarang “Wahabi” dijadikan alat kembali oleh
beberapa golongan tertentu untuk menekan semangat kesadaran Islam yang bukan
surut ke belakang di Indonesia ini, melainkan kian maju dan tersiar. Kebanyakan
orang Islam yang tidak tahu di waktu ini, yang dibenci bukan lagi pelajaran
wahabi, melainkan nama Wahabi.
Ir. Dr. Sukarno dalam “Surat-Surat dari
Endeh”nya kelihatan bahwa fahamnya dalam agama Islam adalah banyak mengandung
anasir Wahabi.
Kaum komunis Indonesia telah mencoba
menimbulkan sentiment Ummat Islam dengan membangkit-bangkit nama Wahabi.
Padahal seketika terdengar kemenangan gilang-gemilang yang dicapai oleh Raja
Wahabi Ibnu Saud, yang mengusir kekuasaan keluarga Syarif dari Mekkah. Umat
Islam mengadakan Kongres Besar di Surabaya dan mengetok kawat mengucapkan selamat
atas kemenangan itu (1925). Sampai mengutus dua orang pemimpin Islam dari Jawa
ke Mekkah, yaitu H.O.S. Cokroaminoto dan K.H. Mas Mansur. Dan Haji Agus Salim
datang lagi ke Mekkah tahun 1927.
Karena tahun 1925 dan tahun 1926 itu belum
lama, baru lima puluh tahun lebih saja, maka masih banyak orang yang dapat
mengenangkan bagaimana pula hebatnya reaksi pada waktu itu, baik dari
pemerintah penjajahan, walau dari Umat Islam sendiri yang ikut benci kepada
Wahabi, karena hebatnya propaganda Kerajaan Turki dan Ulama-ulama pengikut
Syarif.
Sekarang pemilihan umum yang pertama sudah
selesai. Mungkin menyebut-nyebut “Wahabi” dan membusuk-busukkannya ini akan
disimpan dahulu untuk pemilihan umum yang akan datang. Dan mungkin juga
propaganda ini masuk ke dalam hati orang, sehingga gambar-gambar “Figur
Nasional,” sebagai Tuanku Imam Bonjol dan K.H.A. Dahlan diturunkan dari
dinding. Dan mungkin perkumpulan-perkumpulan yang memang nyata kemasukan faham
Wahabi seperti Muhammadiyah, Al-Irsyad, Persis dan lain-lain diminta supaya
dibubarkan saja.
Kepada orang-orang yang membangkit-bangkit
bahwa pemuka-pemuka Islam dari sumatera yang datang memperjuangkan Islam di
Tanah Jawa ini adalah penganut atau keturunan kaum Wahabi, kepada mereka
orang-orang dari Sumatera itu mengucapkan banyak-banyak terima kasih! Sebab
kepada mereka diberikan kehormatan yang begitu besar!
Sungguh pun demikian, faham Wahabi bukanlah
faham yang dipaksakan oleh Muslimin, baik mereka Wahabi atau tidak. Dan masih
banyak yang tidak menganut faham ini dalam kalangan Masyumi. Tetapi pokok
perjuangan Islam, yaitu hanya takut semata-mata kepada Allah dan anti kepada
segala macam penjajahan, termasuk Komunis, adalah anutan dari mereka bersama!”
Dari paparan tersebut, jelaslah bahwa Buya HAMKA
berhasil menelisik akar terjadinya fitnah yang dialamatkan kepada Wahabi. Ini
menandakan vonis “Faham Hitam” yang dituduhkan kepada Wahabi pada dasarnya
adalah modus lama namun didesain dengan gaya baru yang disesuaikan dengan
kepentingan dan arahan yang disetting oleh para Think Tank “Gurita
Kolonialisme Abad 21.”
Maka perhatikanlah apa yang pernah diutarakan
oleh Buya HAMKA dalam pembahasan Islam dan Majapahit berikut ini:
“Memang, di zaman Jahiliyah kita bermusuhan,
kita berdendam, kita tidak bersatu! Islam kemudiannya adalah sebagai penanam
pertama dari jiwa persatuan. Dan Kompeni Belanda kembali memakai alat
perpecahannya, untuk menguatkan kekuasaannya.”
“Tahukah tuan, bahwasanya tatkala Pangeran
Dipenogero, Amirul Mukminin Tanah Jawa telah dapat ditipu dan perangnya
dikalahkan, maka Belanda membawa Pangeran Sentot Ali Basyah ke Minangkabau buat
mengalahkan Paderi? Tahukah tuan bahwa setelah Sentot merasa dirinya tertipu,
sebab yang diperanginya itu adalah kawan sefahamnya dalam Islam, dan setelah
kaum Paderi dan raja-raja Minangkabau memperhatikan ikatan serbannya sama
dengan ikatan serban Ulama Minangkabau, sudi menerima Sentot sebagai “Amir”
Islam di Minangkabau? Teringatkah tuan, bahwa lantaran rahasia bocor dan
Belanda tahu, Sentot pun diasingkan ke Bengkulu dan di sana beliau berkubur
buat selama-lamanya?”
“Maka dengan memakai faham Islam, dengan
sendirinya kebangsaan dan kesatuan Indonesia terjamin. Tetapi dengan
mengemukakan kebangsaan saja, tanpa Islam, orang harus kembali mengeruk,
mengorek tambo lama, dan itulah pangkal bala dan bencana!”
Kiranya, sepeninggal HAMKA, alangkah laiknya jika
umat Islam masih kenal dan bisa mengimplementasikan apa yang diutarakan Buya
HAMKA dalam bukunya tersebut. Dengan demikian, niscaya umat Islam tidak perlu
sampai menjadi keledai yang terjerembab dalam lubang yang dibuat oleh
musuh-musuh Islam dengan modus yang sama tetapi dalam nuansa yang berbeda. Wallahu
A’lam.
Sumber : www.wikipedia.org,
www.assunnahfm.com, www.muslim.or.id,
www.voa-islam.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar