Gajah Mada (wafat k.
1364) adalah seorang panglima perang dan tokoh yang sangat
berpengaruh pada zaman kerajaan Majapahit. Menurut
berbagai sumber mitologi, kitab, dan prasasti dari zaman Jawa Kuno, ia memulai kariernya tahun 1313, dan semakin menanjak setelah peristiwa pemberontakan Ra Kuti pada masa pemerintahan Sri Jayanagara, yang mengangkatnya sebagai Patih. Ia menjadi Mahapatih
(Menteri Besar) pada masa Ratu
Tribhuwanatunggadewi, dan kemudian sebagai Amangkubhumi (Perdana Menteri) yang
mengantarkan Majapahit ke puncak kejayaannya.
Gajah Mada terkenal dengan sumpahnya, yaitu Sumpah Palapa, yang tercatat
di dalam Pararaton. Ia menyatakan tidak akan memakan palapa sebelum berhasil menyatukan Nusantara. Meskipun ia adalah salah satu tokoh sentral saat itu,
sangat sedikit catatan-catatan sejarah yang ditemukan mengenai dirinya. Wajah
sesungguhnya dari tokoh Gajah Mada, saat ini masih kontroversial. Pada masa sekarang, Indonesia telah menetapkan Gajah Mada sebagai salah satu Pahlawan Nasional dan merupakan
simbol nasionalisme dan persatuan
Nusantara.
Awal Karier
Sebuah arca yang diduga menggambarkan rupa Gajah Mada. Kini disimpan di
museum Trowulan, Mojokerto.
Tidak ada informasi dalam sumber sejarah yang tersedia
saat pada awal kehidupannya, kecuali bahwa ia dilahirkan sebagai seorang biasa
yang naik dalam awal kariernya menjadi Begelen atau setingkat kepala pasukan
Bhayangkara pada Raja Jayanagara (1309-1328) terdapat sumber yang mengatakan
bahwa Gajah Mada bernama lahir Mada sedangkan nama Gajah Mada
kemungkinan
merupakan nama sejak menjabat sebagai patih.
Dalam pupuh Désawarnana atau Nāgarakṛtāgama karya Prapanca yang ditemukan saat penyerangan Istana Tjakranagara di
Pulau Lombok pada tahun 1894 terdapat informasi bahwa Gajah Mada
merupakan patih dari Kerajaan Daha dan kemudian
menjadi patih dari Kerajaan Daha dan Kerajaan Janggala yang
membuatnya kemudian masuk kedalam strata sosial elitis pada saat itu dan Gajah
Mada digambarkan pula sebagai "seorang yang mengesankan, berbicara dengan
tajam atau tegas, jujur dan tulus ikhlas serta berpikiran sehat".
Menurut Pararaton, Gajah Mada sebagai komandan pasukan khusus Bhayangkara berhasil
memadamkan Pemberontakan Ra Kuti, dan menyelamatkan Prabu Jayanagara (1309-1328) putra Raden Wijaya dari Dara Petak. Selanjutnya
di tahun 1319 ia diangkat sebagai Patih Kahuripan, dan dua tahun kemudian ia diangkat sebagai Patih Kediri.
Pada tahun 1329, Patih Majapahit yakni Arya
Tadah (Mpu Krewes)
ingin mengundurkan diri dari jabatannya. Dan menunjuk Patih Gajah Mada dari
Kediri sebagai penggantinya. Patih Gajah Mada sendiri tak langsung menyetujui,
tetapi ia ingin membuat jasa dahulu pada Majapahit dengan menaklukkan Keta dan Sadeng yang saat itu
sedang memberontak terhadap Majapahit. Keta dan Sadeng pun akhirnya dapat ditaklukan.
Akhirnya, pada tahun 1334, Gajah Mada diangkat menjadi Mahapatih secara resmi
oleh Ratu
Tribhuwanatunggadewi (1328-1351) yang waktu itu telah memerintah Majapahit setelah
terbunuhnya Jayanagara.
Sumpah Palapa
Ketika pengangkatannya sebagai patih Amangkubhumi pada
tahun 1258 Saka (1336 M) Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa yang berisi
bahwa ia akan menikmati palapa atau rempah-rempah (yang diartikan
kenikmatan duniawi) bila telah berhasil menaklukkan Nusantara. Sebagaimana tercatat dalam kitab Pararaton dalam teks Jawa
Pertengahan yang berbunyi
sebagai berikut :
“
|
Sira
Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gajah Mada: Lamun
huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring
Seram, Tañjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompu, ring Bali, Sunda,
Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa
|
”
|
bila dialih-bahasakan mempunyai arti :
“
|
Beliau, Gajah Mada sebagai patih
Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa, Gajah Mada berkata bahwa bila telah
mengalahkan (menguasai) Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa, bila
telah mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali,
Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa
|
”
|
Invasi
Walaupun ada sejumlah pendapat yang meragukan sumpahnya,
Gajah Mada memang hampir berhasil menaklukkan Nusantara. Dimulai dengan
penaklukan ke daerah Swarnnabhumi (Sumatera)
tahun 1339, pulau Bintan, Tumasik (sekarang Singapura), Semenanjung
Malaya, kemudian pada
tahun 1343 bersama dengan Arya Damar menaklukan Bedahulu (di Bali) dan kemudian penaklukan Lombok, dan sejumlah negeri di Kalimantan seperti Kapuas, Katingan, Sampit, Kotalingga (Tanjunglingga), Kotawaringin, Sambas, Lawai, Kendawangan, Landak, Samadang, Tirem, Sedu, Brunei, Kalka, Saludung, Sulu, Pasir, Barito, Sawaku, Tabalung, Tanjungkutei, dan Malano.
Pada zaman pemerintahan Prabu Hayam Wuruk (1350-1389)
yang menggantikan Tribhuwanatunggadewi, Gajah Mada terus melakukan penaklukan
ke wilayah timur seperti Logajah, Gurun, Sukun, Taliwung, Sapi, Gunungapi, Seram, Hutankadali, Sasak, Bantayan, Luwu, Buton, Banggai, Kunir, Galiyan, Salayar, Sumba, Muar (Saparua), Solor, Bima, Wandan (Banda), Ambon, Wanin, Seran, Timor, dan Dompo.
Dilema
Terdapat dua wilayah di Pulau Jawa yang
seharusnya terbebas dari invasi Majapahit yakni Pulau Madura dan Kerajaan Sunda karena kedua
wilayah ini mempunyai keterkaitan erat dengan Narrya Sanggramawijaya atau secara
umum disebut dengan Raden Wijaya pendiri
Kerajaan Majapahit (Lihat: Prasasti Kudadu 1294 dan Pararaton Lempengan VIII, Lempengan X s.d. Lempengan XII dan Invasi
Yuan-Mongol ke Jawa pada tahun 1293) sebagaimana diriwayatkan pula dalam Kidung Panji
Wijayakrama.
Perang Bubat
Dalam Kidung Sunda diceritakan
bahwa Perang Bubat (1357) bermula saat Prabu Hayam Wuruk mulai melakukan
langkah-langkah diplomasi dengan hendak menikahi Dyah
Pitaloka Citraresmi putri Sunda sebagai permaisuri. Lamaran Prabu
Hayam Wuruk diterima pihak Kerajaan Sunda, dan rombongan besar Kerajaan Sunda
datang ke Majapahit untuk melangsungkan pernikahan agung itu. Gajah Mada yang
menginginkan Sunda takluk, memaksa menginginkan Dyah Pitaloka sebagai
persembahan pengakuan kekuasaan Majapahit. Akibat penolakan pihak Sunda
mengenai hal ini, terjadilah pertempuran tidak seimbang antara pasukan
Majapahit dan rombongan Sunda di Bubat; yang saat itu menjadi tempat penginapan
rombongan Sunda. Dyah Pitaloka bunuh diri setelah ayah dan seluruh rombongannya
gugur dalam pertempuran. Akibat peristiwa itu langkah-langkah diplomasi Hayam
Wuruk gagal dan Gajah Mada dinonaktifkan dari jabatannya karena dipandang lebih
menginginkan pencapaiannya dengan jalan melakukan invasi militer padahal hal
ini tidak boleh dilakukan.
Dalam Nagarakretagama diceritakan
hal yang sedikit berbeda. Dikatakan bahwa Hayam Wuruk sangat
menghargai Gajah Mada sebagai Mahamantri Agung yang wira, bijaksana,
serta setia berbakti kepada negara. Sang raja menganugerahkan dukuh "Madakaripura" yang
berpemandangan indah di Tongas,
Probolinggo, kepada Gajah
Mada. Terdapat pendapat yang menyatakan bahwa pada 1359, Gajah Mada diangkat
kembali sebagai patih; hanya saja ia memerintah dari Madakaripura.
Akhir Hidup
Disebutkan dalam Kakawin
Nagarakretagama bahwa sekembalinya Hayam Wuruk dari upacara
keagamaan di Simping, ia menjumpai bahwa Gajah Mada telah
sakit. Gajah Mada disebutkan meninggal dunia pada tahun 1286 Saka atau 1364 Masehi.
Raja Hayam Wuruk kehilangan orang yang sangat diandalkan
dalam memerintah kerajaan. Raja Hayam Wuruk pun mengadakan sidang Dewan Sapta
Prabu untuk memutuskan pengganti Gajah Mada. Namun tidak ada satu pun yang
sanggup menggantikan Patih Gajah Mada. Hayam Wuruk kemudian memilih empat
Mahamantri Agung dibawah pimpinan Punala Tanding untuk selanjutnya membantunya
dalam menyelenggarakan segala urusan negara. Namun hal itu tidak berlangsung
lama. Mereka pun digantikan oleh dua orang mentri yaitu Gajah Enggon dan Gajah
Manguri. Akhirnya Hayam Wuruk memutuskan untuk mengangkat Gajah Enggon sebagai
Patih Mangkubumi menggantikan posisi Gajah Mada.
Penghormatan
Sebagai salah seorang tokoh utama Majapahit, nama Gajah
Mada sangat terkenal di masyarakat Indonesia pada umumnya. Pada masa awal kemerdekaan, para pemimpin
antara lain Sukarno dan Mohammad Yamin sering
menyebut sumpah Gajah Mada sebagai inspirasi dan "bukti" bahwa bangsa
ini dapat bersatu, meskipun meliputi wilayah yang luas dan budaya yang
berbeda-beda. Dengan demikian, Gajah Mada adalah inspirasi bagi revolusi
nasional Indonesia untuk usaha kemerdekaannya dari kolonialisme Belanda.
Universitas
Gadjah Mada di Yogyakarta adalah universitas negeri yang dinamakan menurut
namanya. Satelit telekomunikasi Indonesia yang
pertama dinamakan Satelit Palapa, yang
menonjolkan perannya sebagai pemersatu telekomunikasi rakyat Indonesia. Banyak
kota di Indonesia memiliki jalan yang bernama Gajah Mada, namun menarik
diperhatikan bahwa tidak demikian halnya dengan kota-kota di Jawa Barat.
Buku-buku fiksi kesejarahan dan sandiwara radio sampai
sekarang masih sering menceritakan Gajah Mada dan perjuangannya memperluas
kekuasaan Majapahit di nusantara dengan Sumpah Palapanya, demikian pula dengan
karya seni patung, lukisan, dan lain-lainnya.
Mengungkap
Asal Usul Patih Gajah Mada Yang Misterius
Keberadaan dan
asal-usul pahlawan yang kondang dengan Sumpah Palapa ini masih menjadi misteri
bagi semua orang. Bahkan para ahli sejarah pun belum menemukan kata sepakat
dimana dia dilahirkan. Dimana dia dibesarkan sampai bagaimana sosok Patih Gajah
Mada menghabiskan masa tuanya sampai saat ini menjadi tanda tanya besar. Serta
menjadi teka-teki sejarah yang belum terpecahkan.
Ada bahasan menarik
yang disampaikan oleh sastrawan Anuf Chafiddi atau sering dipanggil Viddy AD
Daery dalam makalahnya dalam Seminar Sesi II tentang Kontroversi Gajah Mada
dalam Perspektif Fiksi dan Sejarah di Borobudur Writers & Cultural Festival
2012 di Manohara Hotel, Kompleks Taman Wisata Candi Borobudur, Magelang, Jateng
Senin (29/10).
Secara tegas dirinya
memberikan judul dalam makalahnya; "Foklor Mengenai Gajah Mada Lahir di
Modo, Lamongan" yang artinya menyatakan dirinya yakin bahwa Gajah Mada
dilahirkan, besar dan mati di Lamongan, Jatim.
"Gajah Mada
pahlawan maha besar nusantara itu lahir di wilayah Lamongan, Jawa Timur? Untuk
menjawab pertanyaan itu akan menimbulkan berbagai macam jawaban kalau
ditanyakan ke banyak orang. Namun kalau ditanyakan kepada saya. Jawaban saya
adalah betul," ungkap Viddy.
Ada lima alasan yang
menjadikan Viddy yakin bahwa Gajah Mada berasal dari Lamongan, Jatim. Alasan
itu di antaranya, di daerah Desa Modo dan sekitarnya termasuk Desa Pamotan,
Desa Ngimbang, Desa Bluluk, Desa Sukorame dan sekitarnya tersebar foklor atau
cerita rakyat. Dongeng dari mulut ke mulut mengisahkan bahwa Gajah Mada adalah
kelahiran wilayah Desa Modo.
Kelima desa itu
merupakan daerah ibu kota sejak didirikan jaman Kerajaan Kahuripan Erlangga.
Bahkan anak cucu raja juga mendirikan ibu kota di situ. Alasanya strategis
alamnya bergunung-gunung, bagus untuk pertahanan dan dekat dengan Kali Lamong
cabang Kali Brantas. Selain itu ada jalan raya Kahuripan-Tuban yang dibatasi
Sungai Bengawan Solo di Pelabuhan Bubat (kini bernama Kota Babat). Ibu kota ini
baru digeser oleh cicit Airlangga ke arah Kertosono-Nganjuk.
Kemudian baru di zaman
Jayabaya digeser lagi ke Mamenang, Kediri. Selanjutnya oleh Ken Arok, digeser
masuk lagi ke Singosari. Baru kemudian oleh R Wijaya dikembalikan ke arah muara
yaitu ke Tarik. Namun, anaknya yang akan dijadikan penggantinya yakni Tribuana
Tunggadewi diratukan di daerah Lamongan-Pamotan-Bluluk lagi yaitu di Kahuripan
alias Rani Kahuripan, Lamongan.
"Ketika Gajah Mada
menyelamatkan Raja Jayanegara dari amukan pemberontak Ra Kuti, dibawanya
Jayanegara ke arah Lamongan yaitu di Badender (bisa Badender Bojonegoro, bisa
Badender kabuh, Jombang, keduanya memiliki rute ke arah Lamongan
(Pamotan-Modo-Bluluk dan sekitarnya). Itu sesuai teori masa anak-anak dimana
kalau anak kecil atau remaja berkelahi di luar desa pasti jika kalah lari
menyelamatkan diri masuk ke desa minta dukungan. Di desanya banyak teman,
kerabat maupun guru silatnya. Saya kira Gajah Mada juga menerapkan taktik
itu,"ungkapnya.
Sebuah situs kuburan
Ibunda Gajah Mada, yaitu Nyai Andongsari juga menjadikan Viddy yakin bahwa
patih kerajaan jaman Majapahit itu berasal dari Lamongan. Kemudian juga ada
situs kuburan yang sampai saat ini menjadi perdebatan dan kontroversial yang
diyakini warga sekitar merupakan kuburan patih Gajah Mada. Namun, kuburan itu
dalam posisi dan berkarakter kuburan islam.
"Kuburannya
menghadap ke arah persis sebagaimana kuburan orang Islam. Kalau misalnya hal
ini benar maka wajar saja masa tua Gajah Mada tidak ditulis di babad-babad atau
kitab kuno. Sengaja disisihkan atau dihapus dari sejarah karena Gajah Mada
mungkin dianggap 'murtad' atau semacam itu," jelasnya.
Arkeolog sekaligus
sejarawan Fakultas Sejarah Universitas Indonesia (UI) Agus Aris Munandar
menyatakan secara arkeologis belum ditemukan data tentang asal muasal dan
keberadaan pasti Gajah Mada. Bahkan beberapa temuan prasasti-prasasti yang
menyinggung tentang cerita Gajah Mada belum dan tidak bisa digunakan untuk
penelitian dan memastikan benang merah sejarah cikal bakal Gajah Mada itu
sendiri.
"Beberapa data
soal keberadaan Gajah Mada yang belum digunakan. Data Gajah Mada secara arkeologis
tidak ada. Yang ada nanti jika digunakan menjadi tafsir di atas tafsir.
Prasasti yang terabaikan itu diantaranya: Prasasti Gajah Mada di situs Candi
Singosari (Tahun 1351 M), Prasasti Relief Mahameru (Pawitra) yang menjelaskan
Mahameru sebagai titik asis mundi.
Kemudian penemuan Candi
Tikus di situs Trowulan yang gayanya mirip Candi Singosari. Mungkinkah Candi
Tikus diperintah Gajah Mada untuk dibangun.
"Candi Kepung 7
meter di muka tanah sangat dekat dengan Candi Tikus di Kepung Kediri. Ada lagi
Prasasti Hemadwalandit, Prasasti Bendodari (Tahun 1360 M),"tuturnya.
Agus Aris menyatakan
karena tidak ada bukti arkeologis yang ditemukan terkait keberadaan dan cikal
bakal Gajah Mada dan saking menariknya tokoh yang satu ini, banyak sekali
daerah yang sampai mengklaim secara lisan bahwa di daerah mereka merupakan asal
muasal maupun tempat meninggalnya Gajah Mada.
"Ada yang mengakui
bahwa Gajah Mada dari Buton, Gajah Mada dari Wange-wange Bali. Ada yang bahkan
mengatakan bahwa Gajah Mada adalah keturunan pasukan Tor-Tor,"ungkap Agus
Aris Munandar.
Sampai saat ini,
penelitian Arkeologi belum berhasil menemukan jati diri, sosok Gajah Mada yang
seutuhnya. Sebab dari arkeologi sejarah, mempunyai peringkat validitas data.
"Data primer, data
sekunder dan data tertier. Berita- berita dari mulut ke mulut (folklor) itu,
menurut Aris itu merupakan data tersier dan bersifat negatif. Data primer
prasasti itu mutlak dan dibuat pada jamanya. Prasasti dengan angka tahun
dihargai dengan angka tahun. Data pendukung: zaman, bergeser. Negarakertagama
lebih valid dari Pararathon. Ada peringkat yang tidak bisa kami tabrak begitu
saja. Silahkan multi tafsir nanti akan diperbaiki," kata Agus.
Meluruskan
Sejarah Maha Patih Gajah Mada
Historyografi
(Penulisan Sejarah) suatu bangsa merupakan kewajiban dari bangsa itu sendiri.
Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati sejarahnya. Ilmu
sejarah itu dinamis, tidak statis.
Meskipun
kedinamisan dalam ilmu sejarah itu lamban, dan bisa berubah apabila ditemukan
bukti-bukti baru yang akurat. Tentu harus dengan kaidah Historyografi, yaitu :
ilmiah – berdasarkan fakta bukan spekulasi, jujur tidak ada yang ditutupi dan
netral terlepas dari kepentingan politik/agama tertentu.
Untuk menulis
sejarah tidak bisa hanya dengan membaca buku-buku status quo, itu berarti
merupakan pengulangan/saduran saja. Juga tidak cukup dengan kajian tesis
sejarah dikampus dan seminar, tapi wajib riset di lapangan, observasi mencari
situs tersembunyi, ekskavasi situs, dan bila perlu melakukan forensik.
Historyografi
merupakan ilmu yang mulia. Bagi orang-orang beriman, bahkan Tuhan pun menulis
sejarah dalam kitab-kitab suci melalui Nabi-Nabi Nya, yaitu Zabur, Taurat,
Injil dan Al Quran. Sehingga, penulisan sejarah tokoh-tokoh yang tidak disukai
orang banyak pun harus ditulis secara akurat.
Tuhan menjadikan
Namrud, Qarun, Firaun dan lainnya sebagai monumen sejarah, agar menjadi
pelajaran bagi manusia. Sejarah itu logis dan bisa dibuktikan keasliannya.
Sejak JLA
Brandes, NJ Krom, dan JH Kern dari tahun 1902-1920 menulis sejarah bangsa kita,
tentang Majapahit dan Sriwijaya secara sudut pandang Barat (Modern), banyak
sejarahwan menulis puluhan buku tentang Majapahit. Namun tak ada satu pun yang
berhasil mengungkap jatidiri tokoh besar Majapahit, Mahapatih Gajah Mada.
Sungguh aneh dan
miris! Karena begitu besarnya nama Gajah Mada, tapi tidak diketahui asal
usulnya? Sehingga meimbulkan spekulasi beberapa daerah yang mengklaim Gajah
Mada berasal dari daerah mereka, tanpa di dasari oleh fakta yang akurat.
Gajah Mada Berasal
Dari Desa Mada
Hal ini berbeda
dengan folklore Mada (cerita rakyat Modo – Lamongan) yang telah berabad-abad
lamanya diwariskan secara turun temurun, dengan detail menjelaskan jati diri
Gajah Mada alias Jaka Mada (nama beliau saat masih kecil, diasuh oleh petinggi
desa Mada sejak bayi, dilahirkan dari rahim Dewi Andong Sari-selir Raden
Wijaya- ditengah hutan Cancing, Ngimbang).
Ketika
kanak-kanak, Gajah Mada menjadi pengembala kerbau di desanya, bersama
teman-temannya, ia sering melihat iring-iringan tentara Majapahit yang
gagah-gagah sehingga timbul keinginan untuk menjadi prajurit Majapahit. Sekian
ratus tahun folklor itu terpendam, dan baru budayawan Lamongan Viddy Ad Daery
yang berani mengungkap dan mengangkat hal itu di forum nasional maupun Internasional,
meski dengan resiko dikritik dan dicaci-maki oleh orang-orang yang picik
visinya.
Perlu diketahui
bahwa folklore Mada (Lamongan) terkait dengan folklor Badander (Jombang).
Badander adalah desa kuno yang disebut oleh manuskrip kitab-kitab kuno sebagai
tempat Gajah Mada menyembunyikan Prabu Jayanegara dari kejaran tentara
pemberontak Ra Kuti. Desa Mada (Modo) dan desa Badander merupakan basis Gajah
Mada (banyak teman masa kecilnya), dan letaknya tidak terlalu jauh dari ibukota
Majapahit – Trowulan.
Ketika menginjak
usia remaja, Jaka Mada diajak oleh kakek angkatnya yang bernama Ki Gede
Sidowayah ke Songgoriti, Malang. Dari Malang itulah Jaka Mada meniti karier
sebagai prajurit Majapahit, yang kelak beliau dikenal dengan nama Gajah Mada
(Orang besar dari desa Mada). Berdasarkan folklore ini diduga Gajah Mada memang
berasal dari desas Mada (Modo), Lamongan-Jawa Timur.
Namun folklore
ini masih harus diperkuat dengan fakta akurat lainnya, tidak cukup hanya
didukung oleh situs berupa Makam Ibunda Gajah Mada – Dewi Andong Sari.
Baru-baru ini
tim riset Yamasta yang terdiri dari Viddy Ad Daery, Sufyan Al Jawi, dan Drs.
Mat Rais telah menemukan fakta-fakta awal seputar asal usul Gajah Mada (baca
berita Kompas.com = Budayawan Temukan Situs Makam Kerabat Gajah Mada).
Pencantuman nama para peneliti merupakan tanggung jawab ilmiah, bukan cari
popularitas ! Karena apabila hasil riset tersebut ternyata keliru, maka tim
yang bersangkutan harus bertanggung jawab secara moril dengan pers rilis dan
penelitian ulang.
Meluruskan
Penulisan Sejarah
Sebagai arkeolog
dan numismatis, sejak 1994 saya terbiasa meriset / menelaah sejarah dengan
metode : Asli atau Palsu, untuk membedakan mana yang jurnal (catatan) sejarah,
mana yang opini sejarah, dan mana yang sekedar mitos (dongeng). Komitmen kami
yang bertajuk : Gajah Mada Bangkit Nusantara Berjaya, merupakan tanggung jawab
besar. Maka niat lurus, kejujuran, netralitas dan akurasi fakta menjadi
kewajiban kami.
Metode riset
kami tidak hanya membahas sastra berupa manuskrip kuno dan folklore saja. Bukan
sekedar bongkar pasang benang merah benda purbakala ! Tapi dilengkapi dengan
metode forensik fisik, baik itu terhadap benda purbakala, maupun terhadap
sisa-sisa jenazah (bila ditemukan) untuk memastikan usia kematian, dan
rekontruksi wajah dari tokoh tersebut. Mirip seperti riset terhadap Mummy
Firaun. Dan membutuhkan biaya yang cukup besar.
Selama ini
buku-buku sejarah status quo banyak menyembunyikan fakta, hingga pengaburan
tokoh-tokoh pelaku sejarah besar bangsa ini. Historyografi yang akurat justru
menimbulkan dampak buruk bagi anak bangsa.
Misalnya :
Peristiwa Perang Bubat, yang dieksploitasi oleh sejarawan kolonial Belanda
memicu ketidak sukaan Suku Sunda terhadap Suku Jawa hingga hari ini. Begitu
pula Peristiwa penyatuan Nusantara, yang dipelintir menjadi agresi Suku Jawa
terhadap Suku-suku lain, padahal tidak ada satu negeripun yang dijajah oleh
Majapahit.
Dan peristiwa
Islamnya penduduk Majapahit yang dipelintir menjadi ‘pengkhianatan’ Walisongo
terhadap Majapahit memicu ketidak sukaan kaum kejawen (kolot) terhadap ajaran
Islam. Padahal sesungguhnya kaum kejawen ini ya Islam juga, tapi merupakan
tinggalan “Islam Purba” zaman Nabi Sis, Nabi Nuh dan Nabi Ibrahim sewaktu
mereka di Nusantara ( teori dari Kelompok Ilmuwan Turangga Seta ).
Maka,Nabi Muhammad Rasulullah memang menyatakan diri “diutus menyempurnakan
Islam”, bukan bikin agama baru!!!
Ironisnya buku
sejarah yang tidak netral ini terus menerus di produksi dan mudah di jumpai di
toko buku, perpustakaan, bahkan menjadi buku pengajaran di sekolah dan kampus.
Sehingga dapat melahirkan generasi sinisme dan pemuja perpecahan. Maka wajar
jika saat ini Nusantara terpuruk ! Tolong pikirkan, siapa yang berkeinginan
agar bangsa asli pribumi Nusantara terpecah belah dan terpuruk terus menerus
???? Anehnya banyak orang yang menikmati dan tidak rela bila buku sejarah
status quo direvisi, padahal buku sejarah bukanlah kitab suci!
Coba Kita
Perhatikan Fakta-Fakta Berikut Ini:
Celengan kuno,
berbentuk patung kepala terbuat dari tembikar yang dulu populer dibuat,
diperjualbelikan oleh penduduk Majapahit sebagai tabungan koin cash tembaga
(koin Cina), kemudian hari oleh sejarawan diklaim sebagai potret / gambaran
wajah Gajah Mada ?
Lukisan rekayasa Gajah Mada oleh Moh. Yamin yang mirip dengan wajah beliau. Lalu timbul spekulasi bahwa Gajah Mada berasal dari Minangkabau?
Lukisan rekayasa Gajah Mada oleh Moh. Yamin yang mirip dengan wajah beliau. Lalu timbul spekulasi bahwa Gajah Mada berasal dari Minangkabau?
Karena
ditemukannya beberapa Prasasti di aliran Sungai Berantas yang menyebut nama
Gajah Mada, maka ada spekulasi bahwa Gajah Mada lahir di Malang. Padahal
pencatuman nama pejabat pada Prasasti merupakan hal yang wajar. Seperti
Prasasti Tugu yang mencantumkan nama Raja Tarumanegara, bukan berarti sang
Prabu lahir di Tugu Cilincing Jakarta Utara ? Lagi pula tidak ada folklore
Malang yang berkaitan dengan Gajah Mada.
Bahkan ada
spekulasi radikal dari Bali (Kitab Usana Jawa) yang menyatakan bahwa Gajah Mada
lahir dari buah kelapa yang pecah. Mirip dongeng Sun Go Kong (kera sakti) yang
lahir dari batu.
Untuk mematahkan
riset dan ingin membungkam sejarah, ada pihak yang ngotot bila Gajah Mada bukan
dari desa Mada dan telah dibakar menjadi abu. Katanya Gajah Mada telah
dicandikan (mana ada Sudra dicandikan ?), Mungkin maksud mereka adalah candi
yang diresmikan oleh Gajah Mada ? Toh ketika Gayatri Rajapatni wafat, beliau
yang notabene beragama Budha, di Hindukan oleh masyarakat Majapahit lewat
pembuatan patung dan dicandikan. Kalaupun ternyata hasil riset membuktikan
bahwa Gajah Mada telah jadi abu, tidak ada kerugian apapun bagi tim riset.
Menemukan Situs
Purbakala Yang Belum Terungkap
Tim Riset
Yamasta berhasil menemukan situs-situs purbakala yang belum terungkap, seperti
:
1. Situs Makam kerabat Gajah Mada di desa Modo
1. Situs Makam kerabat Gajah Mada di desa Modo
2. Situs Sendang
dan tempat mandi Gajah Mada di desa Modo
3. Situs
Prasasti Gondang di Sugio, Prasasti zaman Airlangga yang ditulis dengan huruf
Arab Pegon (Jawi) dan huruf Jawa Kuno (Kawi). Sebelas tahn yang lalu, tulisan
masih bisa terbaca. Karena terbengkalai, kena sinar Matahari dan hujan, maka
tulisan menjadi hilang. Namun secara samar-samar bisa terlihat tulisannya saat
terkena blitz cahaya tertentu.
4. Situs dusun
Lukman Hakim (Lukrejo) di Kalitengah, Lamongan. Sebuah dusun yang disebut dalam
Ying Yai Sheng Lan karya Ma Huan terbit 1416-1433. Dusun (kota baru ?) letaknya
dekat dengan Bengawan Solo, aliran Bengawan Jero (Sungai Purbakala). Dusun ini
memiliki pertahanan Parit Andalusia (Parit air yang mengitari dusun, lebarnya
8-10 m, dibentengi dengan pagar hidup pohon bambu). Pintu keluar masuk hanya
satu, 3 (tiga) pos jaga, dibangun dan dihuni oleh 3 (tiga) golongan, yaitu :
Muslim Jawa, Cina suku Tang Muslim dan Hindu Budha Jawa.
5. Situs
Bawanmati di Pringgoboyo, lokasi tambangan kapal-kapal asing dan Bea Cukai
Majapahit (No.1-5 berada di Lamongan).
6. Situs Pagar
Banon di desa Badander, Jombang.
Semua situs
tersebut diduga merupakan benang merah asal usul Gajah Mada yang harus diungkapa
secara ilmiah dengan teliti dan hati-hati. Apapun hasil riset yang ditemukan,
masih harus diuji dan dipresentasikan dengan lapang dada. Ojo dumeh (jangan
mentang-mentang).
Sumber : www.wikipedia.org, www.tribunnews.com, www.merdeka.com
Sumber : www.wikipedia.org, www.tribunnews.com, www.merdeka.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar