Rabu, 08 Mei 2013

Mengontrol Emosi Solusi Konflik Pasangan Suami-Istri



Tiada gading yang tak retak. Begitulah perjalanan bahtera rumah tangga. Seharmonis apapun, Pasti ada saja kerikil yang memicu konflik. Jadikan prinsip 3K (Komunikasi, Keterbukaan, dan Kemampuan mengontrol emosi) sebagai solusi. Dengan begitu, janji sehidup semati tidak akan bermuara pada perpisahan. Dan dalam konsep agama diperkuat ikhsan dan hukum kasih.
Konflik, baik kecil maupun besar, merupakan bumbu dalam kehidupan pasutri. Tanpa konflik, rumah tangga akan terasa hambar, seperti sayur tanpa garam. Pemicunya bermacam-macam, mulai dari sifat dan perilaku, perbedaan sudut pandang, salah paham, dan sebagainya. Namun, apapun pemicunya diselesaikan secepat mungkin, tanpa berlarut-larut.
Menurut psikologi keluarga Tjitjik Hamidah, MSi, konflik terjadi karena ada dua keinginan atau lebih yang membutuhkan pemuasan dalam waktu segera, tapi ada ketidaksesuaian antara realita dan harapan. “ Sebagai langkah awal, demi menghindari konflik apapun, niat pernikahan harus diluruskan, yakni hanya karena Tuhan, bukan pamrih apapun. Apalagi menikah itu tidak lepas dari satu syariat agama tertentu. Dari niat itulah, komitmen berumah tangga akan terbentuk.

Paham Posisi
Dalam sebuah rumah tangga, baik suami maupun istri menempati posisi dan peranan penting masing-masing. Untuk itu, Tjitjik menekankan agar kedua belah pihak memahami seperti apa posisinya, dengna cara mempelajari diri sendiri sebelum mempelajari pasangan.
“Pelajari dulu ‘aku’ dalam diri pribadi, seperti kebiasaan sehari-hari yang bagus dan jelek. Lalu komunikasikan hal tersebut kepada pasangan. Sejelek apapun, harus diungkapkan secara terbuka, jujur mengatakan siapa ‘aku’, sekaligus menghargai siapa pasangannya. Jika tidak, bisa menjadi pemicu konflik di masa mendatang.”
Misalnya, jika memiliki kebiasaan tidur mendengkur, ada baiknya diutarakan kepada pasangan sebelum menikah agar tidak muncul kekagetan, atau bahkan ketidaknyamanan. Keterbukaan juga tidak hanya soal kebiasaan, tetapi juga hal lainnya, seperti apa saja yang dilakukan di luar rumah, dengan siapa bepergian,dan tempat yang dituju.
Diungkapkan Tjitjik, terdapat empat penyesuaian yang harus dilakukan setiap pasangan saat memasuki gerbang pernikahan, yakni penyesuaian pasangan (berkaitan dengan kebiasaan, sifat, dan perilaku),penyesuaian seksual (berkaitan dengan hubungan seksual antara suami dan istri), penyesuaian ekonomi (berkaitan dengna kondisi keuangan, dan tidak bisa lagi menggantungkan diri kepada orang tua), dan penyesuaian dengan keluarga pasangan.
“Kondisi sebelum dan setelah menikah akan terasa berbeda. Kalau dulu saat masih pacaran, semua terasa indah karena yang ditampilkan hanya sesuatu yang baik dan menarik. Sementara, ketika sudah menikah, jati diri yang muncul akan apa adanya. Oleh karena itu penerimaan terhadap pasangan harus apa adanya pula. Harus siap dengna baik dan buruknya,” jelas Tjitjik.
Dalam penyesuaian tersebut, terdapat banyak proses pembelajaran tanpa henti. Namun, banyak pasangan yang menyerah di tengah jalan. “Tentu ini keliru. Kalau ternyata pasangan memiliki sifat dan perlaku yang tidak kita sukai, apa iya harus minta cerai ? Yang betul, seharusnya bisa menyesuaikan apa saja yang disukai dan tidak disukai dari pasangannya”
Umumnya, landasan seseorang dalam memilih pasangan hingga akhirnya memutuskan untuk menikah adalah cinta. Sebaiknya, diikuti pula dengan sikap rela bergkorban, dalam arti menerima segala kelebihan dan kekurangan pasangan. “jika hanya kelebihan saja yang diterima, bukan cinta namanya, melainkan nafsu. Adanya cinta ini sebetulnya menjadi dasar dalam mengelola konflik, sehingga lebih bijak dan sabar dalam mencari solusinya.”

Tahan Emosi, Dengarkan Dulu
Jika suami dan istri berhadapan dengan konflik, hindari menggunakan emosi sebagai jalan keluar. Salah satu pihak sebaiknya mengalah dan mendengarkan penjelasan yang dikemukakan pasangan dengan kepala dingin. Kalau memang salah, akui saja. Atau jika tidak merasa salah, jangan menuduh salah pada pasangan sepenuhnya. Dengan mengaku lebih dulu, biasanya akan memancing rasa bersalah pasangan lebih dalam, hingga akhirnya saling memaafkan.
“Tidak sedikit pasangan yang enggan saling mendengarkan. Baru berbicara sedikit, lalu bilang ‘tidak butuh penjelasan’. Jangan seperti itu. Sepahit apapun kejujuran, tetap harus dihargai. Tahan emosi, karena pengelolaan emosi sangat penting untuk mengatasi konflik.”
Jika konflik berkaitan dengan anak, sebaiknya pasutri bersikap konsisten. Menurut Tjitjik, jika ayah memegang prinsip A, ibu pun harus A. Apabila berbeda arah, anak akan bertambah bingung. “Biasanya ayah akan bersikap lebih keras dan minim penjelasan, sedangkan ibu sebaliknya. Jika yang menjadi konflik berkaitan dengan sesuatu yang prinsip, berikan anak penjelasan agar dia bisa menerima dengna ikhlas.
Tjitjik menyarankan sebaiknya konflik diselesaikan sesegera mungkin tanpa melibatkan orang lain, karena campur tangan orang ketiga dapat memperparah konflik. Selain itu, jangan pula anak-anak mengetahui konflik yang tengah berlangsung. “Kecuali, jika kedua belah pihak tidak ada yang mau mengalah, baru menggunakan mediasi dengan bantuan orang lain. Pilih significant others, yakni orang yang mengenal keduanya dengan baik, tapi tetap netral dan tidak membela salah satu diantara mereka.”
Namun, jika mediasi sudah dilakukan dan tidak juga mendapat titik temu, mungkin perpisahan adalah solusinya, “Ada istilah cerai bukan jalan terbaik, tapi bisa menjadi satu-satunya jalan terbaik. Tapi saya pikir banyak yang bisa dilakukan sebelum keputusan berpisah diambil. Tidak sedikit pula pasangan yang menyesal ketika berpisah. Ujung-ujungnya rujuk kembali. Yang terpenting, komunikasi, keterbukaan dan kejujuran harus selalu dilakukan demi menghindari konflik semakin meruncing,” pungkasnya.

Pendekatan Secara Agama
Bagaimana perkawinan, hidup berkeluarga dan permasalahan di dalamnya dilihat dalam konteks agama?. Dalam Islam misalnya, dijelaskan Dr Yani’iah Wardani  MA, Ketua Muslimat NU bidang Litbang dan Komunikasi, konsep keluarga sakinah, mawaddah (saling mencintai) wa rohmah ( penuh rahmat atau dekat dengan rezeki), hingga bisa membangun istana masyarakat Muslim yang beriman, dan terbentuk generasi yang berkualitas.
Secara bahasa, sakinah berarti tenang, bahagia, bermartabrat, dan yang paling berperan di dalamnya ditegaskan Yani’ah adalah ibu. Bagaimana keluarga tenang dan menenangkan, bagaimana anak-anak berilmu dan beragama. “Al umm madrosatun itu sangat mendasar. Bahwa ibulah yang jadi guru, pendidik. Artinya kalau anaknya sukses, ibulah yang akan dijadikan patokannya,” tegas dosen ahli sastra dan bahasa Arab itu.
Padahal saat ini kata Yani’ah, semakin berat tugas perempuan atau ibu. Bukan hanya sebagai istri dan ibu, tetapi juga harus bekerja di dalam sebagai pekerja rumah tanga dan juga pekerja di luar rumah. Tentunya godaanya semakin besar dan berat, entah pada pihak suami maupun istri. “Karenanya suami-istri harus ada kepercayaan, kejujuran dan komunikasi agar ketenangan serta keutuhan keluarga dapat terbentuk.”
Masalah, godaan, konflik akan selalu ada dalam bekeluarga. Apalagi untuk keluarga muda yang baru membangun rumah tangga pasti berat sekali. Namun ditegaskan Yani’ah, dengan kepercayaan, kejujuran dan komunikasi dan terutama ikhsan kita, permasalahan bisa diatasi. “Ikhsan itu derajatnya sangat tinggi, berupa keyakinan bahwa Alloh melihat di mana pun kita berada. Sehingga kalau ada godaan, kita bisa mengerem karena yakin Alloh melihatnya.”
Benteng pertahanan sebuah keluarga disebutkan Yani’ah ada pada istri. Mengingatkan, membina anak-anak, memelihara suasana yang baik, umumnya bisa dilakukan perempuan dengan baik. Termasuk mengajak suami mendalami agama, juga istri berperan.
Namun bila permasalahan keluarga cukup berat, pendekatan pribadi tidak membantu, ia menyarankan untuk melibatkan keluarga dekat yang disegani suami atau istri, untuk ikut melakukan pendekatan mengatasi masalahnya.
Namun, dikatakannya, setelah anak-anak dewasa, mereka bisa menjadi ‘pengontrol’ orang tuanya. Anak-anak yang terdidik dengan baik, mereka yang akan mengingatkan ayah dan ibunya bila terjadi masalah pada orang tuanya. “Dalam keluarga saya contohnya, anak-anak yang mengingatkan kalau ayahnya pulang terlalu malam atau akan berdinas ke luar,” cerita ibu tiga anak itu.
Berselisih paham atau tidak menyukai sikap pasangan adalah hal yang wajar, karena manusia pasti memiliki rasa ego. Disinilah, dibutuhkan itikad baik dari kedua belah pihak. Kalau mencari siapa yang mau mengalah pasti tidak ada yang mau. Jadi yang terbaik adalah mencari jalan tengahnya, yakni dengan instropeksi diri dan saling mengalah. 

Solusi Menghadapi Problem Rumah Tangga Sesuai Ajaran Islam
Islam telah menetapkan syariat yang mengandung berbagai macam mutiara hikmah, pengarahan dan solusi bagi berbagai macam permasalahan dalam pernikahan, sehingga suami dan isteri bisa menikmati hidup bahagia bersama, dan masing-masing merasa tenang dan tenteram asal semua pihak mau merealisasikan ajaran Islam.
Di antara pengarahan Islam terhadap kehidupan rumah tangga adalah sebagai berikut:

1. Menghindarkan rumah tangga dari segala perkara yang menjadi sebab terjadinya thalak. Baik sebab yang datang dari pihak suami, isteri, keluarga atau pihak lain yang ingin membuat keruh suasana rumah tangga.
2. Sebelum menikah hendaknya berfikir masak-masak dan bermusyawarah dengan orang yang ahli atau memiliki pengalaman, harus memperlajari sebaik mungkin kondisi calon isteri atau suami dan jangan hanya tertarik dengan penampilan lahir atau ketampanan saja, sehingga menghasilkan pandangan yang kerdil dan tidak menyentuh kepada pokok masalah.
3. Bermusyawarah dengan orang lain setelah menikah dan terjadi pertengkaran serta percekcokan di antara suami dan isteri.
4. Mempelajari ilmu yang bermanfaat, beramal salih, membaca, mendengarkan berita-berita bermanfaat, kaset-kaset murattal dan ceramah agama yang bisa menambah kwalitas dan mutu keimanan kepada Allah, dan tidak terbawa oleh budaya rusak dan akhlak tercela, hingga bisa bersabar dan tabah dalam menghadapi berbagai sikap semena-mena dan penelantaran hak-hak rumah tangga dari masing-masing pihak, karena semua itu akan diganti oleh Allah dengan sesuatu yang lebih bagus.
5. Jika ada orang yang tidak mengenal etika agama dan akhlak sehingga hak-haknya terlantar, tidak bisa bersyukur terhadap nikmat dan pemberian, maka hendaknya bersikap arif dan bijak untuk kepentingan masa depan rumah tangga, jangan sampai muncul berbagai bentuk tindakan tidak terpuji yang bisa merusak keutuhan rumah tangga.
6. Mengambil pelajaran dari kasus dan peristiwa perceraian orang lain, mempelajari berbagai sebab dan faktor yang mengakibatkan percekcokan sampai terjadi perceraian, sebab orang yang berbahagia adalah orang yang mengambil pelajaran dari peristiwa orang lain, dan orang yang celaka adalah orang mengambil pelajaran dari peristiwa yang menimpa diri sendiri.
7. Bersikap lapang dada untuk menerima kekurangan dan kelemahan masing-masing serta berusaha menumbuhkan rasa kasih sayang dan sikap pemaaf. Dan semua pihak yang dimintai maaf hendaklah segera memberikan maaf, agar hati kembali bercahaya dan bersih dari perasaan jengkel, kesal dan dengki.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِنِسَائِكُمْ في الجَنَّةِ؟ قُلْنَا بَلى يَا رَسُوْلَ الله، قَالَ وَدُوْدٌ وَلُوْدٌ غضبت أَوْ أسي إِلَيْها أَوْ غَضَبَ زَوْجُها قَالَتْ هذه يَدِي في يَدِكَ لاَ أَكْتَحِلُ بِغَمْضٍ حتى تَرْضَى
"Maukah aku khabarkan kepada kalian tentang isteri kalian yang berada di surga? Kami berkata,”Ya, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, "Dia adalah wanita yang sangat mencintai lagi pandai punya anak, bila sedang marah atau sedang kecewa atau suaminya sedang marah maka ia berkata: Inilah tanganku aku letakkan di tanganmu dan aku tidak akan memejamkan mata sebelum engkau ridha kepadaku." [HR At Thabrani].
8. Keyakinan seseorang bahwa dia selalu berada di pihak yang benar sehingga tidak berusaha mencari kekurangan dan kesalahannya, serta selalu marah melihat kekurangan yang lain dan tidak mau menerima nasehat dan pengarahan orang lain, selalu berusaha membela diri atau menyerang pihak lain, maka demikian itu membuka pintu percekcokan dan pertengkaran serta enggan berdamai.
9. Sebelum menikah hendaknya melihat kepada wanita yang dilamarnya karena demikian sebagai jembatan dan sarana menumbuhkan rasa cinta dan kasih sayang dengan orang yang belum dikenal.
Dari Mughirah bin Syu’bah bahwa beliau meminang salah seorang wanita maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya.
أَنَظَرْتَ إليها؟ قال: لا قال: أُنْظُرْ إليها فَإِنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ ييؤدم بَيْنَكُمَا
"Sudahkah kamu melihatnya? Ia berkata,”Tidak.” Beliau bersabda,”Lihatlah kepadanya, karena hal itu akan membuat kekal diantara kamu berdua." [HR Nasa’i, Tirmidzi dan Ibnu Majah serta dihasankan oleh Tirmidzi]
10. Bagi orang yang hendak menikah hendaknya hati-hati dalam mencari jodoh hingga menemukan calon yang benar-benar bagus yang sesuai dengan harapannya, sehingga mampu mewujudkan kehidupan damai, bahagia dan tenteram. Jika salah satu pihak timbul kebencian maka tidak cepat menjatuhkan vonis thalak karena di balik kekurangan insya Allah ada kelebihan, sebagaimana sabda Rasulullah.
لاَ يفرك مُؤمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْها خَلْقاً رَضِيَ مِنْها آخَرَ أَوْ قَالَ غَيْرَهُ
"Janganlah seorang mukmin benci kepada seorang mukminah, sebab jika benci kepada salah satu perangai maka akan rela dengan akhlak yang lain atau beliau bersabda yang lainnya". [HR Muslim].
11. Jika seorang suami ingin memiliki isteri yang berakhlak mulia, hati yang penuh dengan rasa cinta, selalu tanggap dan suka berhias untuk suami, hendaklah dia juga berlaku seperti itu agar hatinya terpengaruh dan selalu menaruh rasa hormat.
12. Menjauhkan diri dari pandangan yang diharamkan, karena yang demikian itu merupakan panah iblis yang bisa menjerumuskan diri kepada perbuatan haram, atau sang suami kurang puas dan merendahkan isteri sehingga muncul percekcokan dan pertengkaran.
13. Telpon bisa menjadi sebab segala bentuk kehancuran dan musibah rumah tangga, karena membawa hanyut wanita pelan-pelan ke dalam kerusakan dan fitnah, hingga berani keluar rumah sesuka hatinya tanpa ada yang mengawasi dan memantau, serta tanpa ditemani mahram ketika pergi ke pasar atau rumah sakit atau yang lainnya, hingga timbul berbagai musibah dan bencana yang menimpa manusia baik laki-laki atau perempuan.
14. Bersikap wajar dalam mengawasi isteri dan selalu mengambil jalan tengah antara memata-matai dan bersikap was-was dan antara sikap lalai dan cemburu buta.
15. Kemesraan, kebahagian dan ketenangan hidup isteri bersama suami adalah sesuatu yang paling mahal dan tidak ada yang bisa menandinginya walau dengan orang tua dan keluarga. Dengan modal itu segala problem kejiwaan dan gangguan mental seperti kesepian akibat jauh dari keluarga bisa terobati. Tidak sepantasnya seorang gadis menolak lamaran laki-laki yang sesuai dan cocok baik dari sisi agama, akhlak dan tabiat.
16. Seorang isteri wajib bersikap baik dan menaruh kasih sayang kepada keluarga dan kerabat suami karena demikian itu bagian dari berbuat baik kepada suaminya sehingga kecintaan suami kepadanya semakin dalam.
17. Sikap merugikan atau memperkeruh rumah tangga baik dari pihak suami atau isteri sebagai tanda hilangnya muru’ah dan adab yang bisa merusak popularitas dan nama baik pelakunya, sehingga dia menjadi orang yang dibenci dan dijauhi baik dari kalangan orang dekat, orang jauh, tetangga dan teman karib.
18. Termasuk langkah menghidupkan sunnah sahabat dan salafus salih orang tua hendaknya melamar pemuda salih untuk puterinya dan membantu meringankan beban biaya pernikahan, sebagaimana riwayat dari Umar bin Khaththab, beliau berkata, "Saya datang kepada Utsman bin Affan untuk menawarkan Hafshah maka ia berkata,” Saya akan pikirkan dahulu”. Saya (Umar) menunggu beberapa malam lalu ia bertemu denganku dan ia berkata,” Untuk sementara saya tidak punya keinginan untuk menikah”. Umar berkata,” Saya bertemu Abu Bakar As Shiddiq dan saya berkata kepadnya,” Jika engkau setuju maka aku akan menikahkanmu dengan Hafshah binti Umar. Abu Bakar terdiam dan tidak memberi jawaban apa-apa. Aku menahan perasaan dari Abu Bakar sebagaimana Utsman lalu setelah aku menunggu beberapa malam Rasulullah melamar Hafshah dan saya menikahkan dia dengan beliau. Lalu aku bertemu Abu Bakar dan dia berkata,” Barang kali kamu kecewa denganku ketika engkau menawarkan Hafshah kepadaku tapi aku tidak memberi jawaban apapun”. Umar berkata,” Aku berkata,” Ya”. Abu Bakar berkata,” Bukan saya tidak mau menanggapi tawaranmu, namun saya telah mengetahui bahwa Rasulullah pernah menyebutnya dan aku tidak mau menyebarkan rahasia Rasulullah. Jika seandainya Rasulullah tidak menikahinya maka aku akan menerima tawaranmu itu". ([HR Bukhari].
19. Menerapkan ajaran Islam dalam rangka untuk memelihara dan menjaga keutuhan rumah tangga serta merasa tanggung jawab terhadap pendidikan agama keluarga.
Dari Ibnu Umar bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَ كُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَ الأَمِيْرُ رَاعٍ وَ الرِّجَالُ رَاعٍ عَلى أَهْلِ بَيْتِهِ وَ المَرْأَةُ رَاعِيَّةٌ على بَيْتِ زَوْجِهَا
"Setiap kalian adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawaban atas kepemimpinannya dan imam adalan pemimpin, dan orang laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya, dan wanita adalah penanggung jawab atas rumah suami dan anaknya. Dan setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan diminta pertanggung jawaban atas kepemimpinannya". [HR Bukhari].
20. Memilih tetangga yang baik dan menjauhi tentangga yang buruk, terutama menjauhkan isteri dan anak sebab tetangga bisa memberi pengaruh besar baik dari sisi kebaikan dan keburukan. Rasulullah telah menafikan iman dari orang yang tidak memberi rasa aman kepada tetangganya, sebagaimana sabda Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.
وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ، قِيْلَ مَنْ يَا رَسُلَ الله؟ قال الذي يَأْمَنُ جَارَهُ بَوَائِقَهُ
"Demi Allah ia tidak beriman, demi Allah ia tidak beriman dan demi Allah ia tidak beriman. Ditanyakan: Siapakah wahai Rasulullah? Beliau bersabda,”Orang yang tetangganya tidak merasa aman dengannya." [HR Bukhari dan Muslim].
Ahli hikmah mengatakan,"Pilihlah tetangga lebih dahulu, baru rumah".
21. Ketika seorang isteri tidak taat, membangkang dan berperangai buruk maka sang suami boleh menggunakan kekuasaannya sesuai dengan ketentuan syariat sebagai berikut:
Langkah pertama, memberi nasihat dengan baik. Langkah kedua, jika tidak mau menerima nasihat maka ia boleh mengangkat penengah untuk mendamaikan pihak yang sedang sengketa sebagaimana firman Allah.
وَالاَّتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا ، وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِّنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِّنْ أَهْلِهَآ إِن يُرِيدَآ إِصْلاَحًا يُوَفِّقِ اللهُ بَيْنَهُمَآ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا ،

"Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya maka nasehatilah maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di termpat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. Dan jika kamu khawatir ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan niscaya Allah memberi taufik kepada suami isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal". [An Nisa’ :34-35].
22. Meskipun Islam memberi kekuasaan bagi laki-laki untuk menjatuhkan sanksi kepada isteri, namun Islam juga memberi peringatan keras kepada kaum laki-laki agar tidak menyalahgunakan kekuasaan tersebut, dan menghindari sebisa mungkin sanksi pukulan. Nabi pernah ditanya,”Apakah hak isteri atas suami?” Maka Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

أَنْ تُطْعِمهاَ إِذَا طَعِمْتَ وَ تَكْسُوْها إِذَا اكْتَسَيْتَ وَ لاَ تَضْرِبْ الوَجْهَ وَ لاَ تُقَبِّحْ وَ لاَ تهجر إلاَّ في البَيْتِ
"Jika kamu makan berilah dia makan, bila kamu berpakaian berilah dia pakaian, jangan memukul bagian wajah, jangan mencela dan janganlah kamu mendiamkan kecuali di rumah saja". [HR Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Majah].
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:
يعمد أَحَدُكُمْ فَيَجْلِدُ امْرَأَتَهُ جِلْدَ العَبْدِ، فَلَعَلَّهُ يُضَاجِعُهَا مِنْ آخِرِ يَوْمِهِ
"Di antara kalian ada yang sengaja mendera isterinya seperti mendera budak lalu tidur bersama dengannya di akhir harinya". [HR Muttafaqun alaih]. 

Sumber :  Majalah Kartini dan almanhaj.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar